Share

2. Maafkan Saya, Val.

Tak mengindahkan acara yang sedang berlangsung, Leo segera ke kamarnya. Mengambil celana tidur berbahan satin dengan rahang menegang. 

Membiarkan suasana ramai diiringi dengan gelak tawa dan juga obrolan riang khas keluarga di bawah sana.

Waktu terasa berjalan begitu lambat seiring langkah kaki yang bergerak menuju kamar Valerie. Perasaan Leo berdebar tak karuan. Bahkan kegugupannya mengalahkan momen ketika ia mengatakan ingin menikahi Vania pada sang calon ayah mertua.

Tapi bagaimanapun— ia harus memastikannya sendiri. Mencari tau apa yang sebenarnya terjadi tentang semalam.

 ‘’Val,’’ panggil Leo, pelan. 

Tak ada suara ataupun tanda-tanda pintu yang akan dibuka dari dalam. Jadi ia mencoba mengetuk. 

Tok… tok… tok

‘’Valerie.’’ Memanggil sekali lagi.

Karena tak juga mendapatkan jawaban, akhirny Leo langsung masuk setelah memastikan tak ada orang yang melihat. 

Hati Leo seakan diremas kala mengedarkan pemandangan ke seluruh ruangan selama beberapa detik. Bukan karena ia tak mendapati Valerie di sana. Tapi karena kamar luas bernuansa serba pink itu menjawab rasa penasaran Leo tentang siapa pemilik dari celana tidur yang tadi malam ia pakai.

Namun samar-samar ia mendengar suara percikan air dari kamar mandi. Leo memutuskan menunggu selama lima menit berharap Valerie segera keluar. Tapi sampai menit ke sepuluh pun, Leo masih mendengar suara air terus saja menyala. Itu membuatnya sedikit khawatir.

‘’Astaga, Valerie.’’

Leo berseru kaget saat pandangannya tertuju pada Valerie yang tengah meringkuk di bawah shower dengan masih mengenakan seragam keluarga. Tangannya merangkul lutut dengan dua telapak tangan yang saling bertumpu di depan. Satu mengepal dan satu lagi diisi dengan pisau.

Apa yang tengah ia perbuat?

Apa dia merasa putus asa hingga memutuskan untuk bunuh diri?

Valerie berharap bahwa air dapat membersihkan tubuhnya dari perbuatan Leo semalam. Tapi sebanyak apapun air yang menghujam tubuhnya dan sebarapa lama pun ia membasahi diri, Valerie sadar bahwa hal itu tidak akan mengembalikan kesuciannya.

Tapi keraguan untuk mati lebih cepat tiba-tiba menyentuh benaknya saat melihat Leo sudah menyetarakan posisi di depannya seraya menjauhkan pisau itu darinya.

Mereka saling bersitatap di bawah hujaman air keran. Diam seribu bahasa dengan gelombang kemarahan, kecewa dan marah yang tak bisa dideskripsikan lewat kata-kata.

Bagaimana Leo menyentuhnya. Bagaimana Valerie berusaha melawannya. Memori kelam itu bermain di pikiran dan benak kedua anak manusia tersebut.

Meski kata andai diharapkan dapat membantu untuk memperbaiki situasi, tapi waktu tak dapat diputar kembali.

Cukup lama kamar mandi itu diisi oleh suara air hingga akhirnya Leo memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Meski sudah tau, meski semua fakta yang didapat telah mengungkapkan kebenarannya— tapi tetap saja Leo harus memastikan sendiri agar tak dihantui oleh rasa penasaran.

‘’Val,’’ 

Leo menghela napas kembali. Rasanya begitu sulit untuk bertanya apalagi kondisi Valerie yang terdiam dengan pandangan datar dan bibir pucat.

Jadi ia memutuskan untuk mengganti pertanyaan itu dengan menunjukkan benda yang sekarang ia keluarkan dari balik saku. 

‘’Apa ini milikmu, Val?’’

Valerie melirik sekilas dan langsung membuat bibirnya bergetar menahan tangis. 

‘’Jawab saya, Val. Ini benar punyamu atau bukan?’’ 

Leo berharap Valerie menggeleng atau membuka mulut untuk mengatakan tidak. Tetapi yang ia lihat dan dengar malah isak diikuti air mata yang bercampur dengan buliran air dari atas. 

‘’Valerie…’’ Leo berusaha mendapatkan atensi gadis yang masih tak bergeming tersebut.

Sedetik kemudian, Valerie mengangkat wajah dan mendapati pandangan Leo dengan kepiluan yang sama. Beradu pandang seperti itu membuat dadanya seperti teriris dan air yang keluar dari matanya semakin deras tanpa bisa ia cegah.

Leo meremas kain licin, polos tanpa gambar apapun tersebut. Tampaknya ia tak perlu mengulangi kalimat itu lagi. Bahkan ia tak perlu repot-repot mengeluarkan pertanyaan inti. Leo yakin seratus persen bahwa Valerie adalah orang yang ia tiduri. 

Celana yang ia pegang, warna dekorasi kamar Valerie, pesan Vania, semua itu sudah menjelaskan bahwa Valerie adalah orangnya. 

‘’Maafkan saya, Val.’’

Andai tiga kata itu cukup untuk membuat waktu berputar dan mengembalikan yang telah hilang,  mungkin Valerie akan mempertimbangkan untuk memaafkan Leo.

‘’Saya tidak tau bagaimana menyikapi ini. Tapi apa yang terjadi adalah sebuah kesalahan yang benar-benar tidak disengaja. Saya… salah masuk kamar, Val. Saya pikir ruangan ini adalah kamar Vania.’’

Bagaimanapun, Leo merasa perlu menjelaskan kronologi di balik tragedi ini. Ia tak bermaksud membela diri. Ia juga mengaku bahwa dirinya telah salah meniduri Valerie. Dan itu adalah kesalahan terfatal yang pernah Leo perbuat seumur hidupnya. Meski pahit untuk didengar— tetap saja Valerie harus tau penyebabnya.

‘’Kamu mendengar sendiri bahwa pernikahan saya akan diselenggarakan satu bulan lagi. Kamu juga tau bahwa saya sangat mencintai Vania. Jadi saya tidak mungkin menikahi kamu, Val.’’

Seketika Leo merasa bahwa dirinya seperti seorang bajingan. Ia merasa bersalah berbicara seperti ini. Tapi ia juga tidak bisa membatalkan pertunangan hanya demi Valerie. 

Vania telah lama menjadi wanita yang ia tunggu untuk menjadi bagian dari hidupnya yang sah di mata hukum dan juga agama. Dan ketika dua keluarga telah melakukan diskusi dan merembukkan hari, tentu Leo tak akan menghentikan itu.

Perlahan Valerie berdiri untuk menggapai keran shower— mematikannya. Lalu menghapus air mata dari sumbernya, juga di pipi.  

Meski sudah menghancurkan mental dan rasa percaya dirinya, setidaknya Leo telah berterus terang dan meminta maaf. 

Penyematan pria gentle yang diberikan Vania bila bercerita tentang Leo ternyata tak  hanya sekedar omong kosong belaka.

Leo kemudian meletakkan celana satin itu ke lantai. Lagi-lagi menyetarakan tingginya dengan Valerie.

Sejenak ia memandangi gadis yang masih terdiam dengan wajah tertunduk. Ia tau bahwa Valerie masih bingung bagaiman solusi atas permasalahan ini. 

Leo lalu menyingkirkan helaian rambut yang menutupi iras yang tak lebih cantik dari Vania tersebut. Bergerak perlahan menyentuh dagu dan memaksa Valerie untuk menatapnya.

‘’Mas mohon, Val. Tolong rahasiakan ini dari keluarga dan terutama pada Vania ya.’’

Valerie mengangguk perlahan. Berusaha menahan tangis dengan menggigit bibir.

Leo yang masih menautkan jarinya lantas mengusap air mata adik iparnya yang terpaut sepuluh tahun dengannya itu. 

Menyingkirkan helaian rambut yang hampir masuk ke netra, memandang iba gadis yang akan masuk ke perguruan tinggi itu dari jarak sejengkal.

Dan reflek— Leo menarik tubuh Valerie dengan harapan gadis itu akan merubah raut wajahnya.

Namun yang terjadi tak seperti yang diharapkan. Valerie meledakkan tangis yang sejak tadi ia tahan hingga membuat dadanya terasa sesak.

Leo mengelus puncak kepala Valerie, membelai punggung dengan jutaan penyesalan yang membakar hingga ubun-ubun. Hingga akhirnya pelukan tersebut merenggang, Valerie meminta Leo untuk pergi.

Itu menyadarkan Leo bahwa ada acara penting yang tengah ia tinggalkan cukup lama. Sontak ia langsung teringat akan Vania.

Leo menutup pintu dengan tubuhnya yang basah kuyup dan buru-buru masuk ke kamarnya. 

Vania kebingugan mencari calon suaminya yang tak terlihat di mana-mana. Lalu ia berinisiatif untuk naik ke lantai dua dan menemukan Leo keluar dari sana. Vania mematung di undakan tangga. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status