Tak mengindahkan acara yang sedang berlangsung, Leo segera ke kamarnya. Mengambil celana tidur berbahan satin dengan rahang menegang.
Membiarkan suasana ramai diiringi dengan gelak tawa dan juga obrolan riang khas keluarga di bawah sana.
Waktu terasa berjalan begitu lambat seiring langkah kaki yang bergerak menuju kamar Valerie. Perasaan Leo berdebar tak karuan. Bahkan kegugupannya mengalahkan momen ketika ia mengatakan ingin menikahi Vania pada sang calon ayah mertua.
Tapi bagaimanapun— ia harus memastikannya sendiri. Mencari tau apa yang sebenarnya terjadi tentang semalam.
‘’Val,’’ panggil Leo, pelan.
Tak ada suara ataupun tanda-tanda pintu yang akan dibuka dari dalam. Jadi ia mencoba mengetuk.
Tok… tok… tok
‘’Valerie.’’ Memanggil sekali lagi.
Karena tak juga mendapatkan jawaban, akhirny Leo langsung masuk setelah memastikan tak ada orang yang melihat.
Hati Leo seakan diremas kala mengedarkan pemandangan ke seluruh ruangan selama beberapa detik. Bukan karena ia tak mendapati Valerie di sana. Tapi karena kamar luas bernuansa serba pink itu menjawab rasa penasaran Leo tentang siapa pemilik dari celana tidur yang tadi malam ia pakai.
Namun samar-samar ia mendengar suara percikan air dari kamar mandi. Leo memutuskan menunggu selama lima menit berharap Valerie segera keluar. Tapi sampai menit ke sepuluh pun, Leo masih mendengar suara air terus saja menyala. Itu membuatnya sedikit khawatir.
‘’Astaga, Valerie.’’
Leo berseru kaget saat pandangannya tertuju pada Valerie yang tengah meringkuk di bawah shower dengan masih mengenakan seragam keluarga. Tangannya merangkul lutut dengan dua telapak tangan yang saling bertumpu di depan. Satu mengepal dan satu lagi diisi dengan pisau.
Apa yang tengah ia perbuat?
Apa dia merasa putus asa hingga memutuskan untuk bunuh diri?
Valerie berharap bahwa air dapat membersihkan tubuhnya dari perbuatan Leo semalam. Tapi sebanyak apapun air yang menghujam tubuhnya dan sebarapa lama pun ia membasahi diri, Valerie sadar bahwa hal itu tidak akan mengembalikan kesuciannya.
Tapi keraguan untuk mati lebih cepat tiba-tiba menyentuh benaknya saat melihat Leo sudah menyetarakan posisi di depannya seraya menjauhkan pisau itu darinya.
Mereka saling bersitatap di bawah hujaman air keran. Diam seribu bahasa dengan gelombang kemarahan, kecewa dan marah yang tak bisa dideskripsikan lewat kata-kata.
Bagaimana Leo menyentuhnya. Bagaimana Valerie berusaha melawannya. Memori kelam itu bermain di pikiran dan benak kedua anak manusia tersebut.
Meski kata andai diharapkan dapat membantu untuk memperbaiki situasi, tapi waktu tak dapat diputar kembali.
Cukup lama kamar mandi itu diisi oleh suara air hingga akhirnya Leo memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Meski sudah tau, meski semua fakta yang didapat telah mengungkapkan kebenarannya— tapi tetap saja Leo harus memastikan sendiri agar tak dihantui oleh rasa penasaran.
‘’Val,’’
Leo menghela napas kembali. Rasanya begitu sulit untuk bertanya apalagi kondisi Valerie yang terdiam dengan pandangan datar dan bibir pucat.
Jadi ia memutuskan untuk mengganti pertanyaan itu dengan menunjukkan benda yang sekarang ia keluarkan dari balik saku.
‘’Apa ini milikmu, Val?’’
Valerie melirik sekilas dan langsung membuat bibirnya bergetar menahan tangis.
‘’Jawab saya, Val. Ini benar punyamu atau bukan?’’
Leo berharap Valerie menggeleng atau membuka mulut untuk mengatakan tidak. Tetapi yang ia lihat dan dengar malah isak diikuti air mata yang bercampur dengan buliran air dari atas.
‘’Valerie…’’ Leo berusaha mendapatkan atensi gadis yang masih tak bergeming tersebut.
Sedetik kemudian, Valerie mengangkat wajah dan mendapati pandangan Leo dengan kepiluan yang sama. Beradu pandang seperti itu membuat dadanya seperti teriris dan air yang keluar dari matanya semakin deras tanpa bisa ia cegah.
Leo meremas kain licin, polos tanpa gambar apapun tersebut. Tampaknya ia tak perlu mengulangi kalimat itu lagi. Bahkan ia tak perlu repot-repot mengeluarkan pertanyaan inti. Leo yakin seratus persen bahwa Valerie adalah orang yang ia tiduri.
Celana yang ia pegang, warna dekorasi kamar Valerie, pesan Vania, semua itu sudah menjelaskan bahwa Valerie adalah orangnya.
‘’Maafkan saya, Val.’’
Andai tiga kata itu cukup untuk membuat waktu berputar dan mengembalikan yang telah hilang, mungkin Valerie akan mempertimbangkan untuk memaafkan Leo.
‘’Saya tidak tau bagaimana menyikapi ini. Tapi apa yang terjadi adalah sebuah kesalahan yang benar-benar tidak disengaja. Saya… salah masuk kamar, Val. Saya pikir ruangan ini adalah kamar Vania.’’
Bagaimanapun, Leo merasa perlu menjelaskan kronologi di balik tragedi ini. Ia tak bermaksud membela diri. Ia juga mengaku bahwa dirinya telah salah meniduri Valerie. Dan itu adalah kesalahan terfatal yang pernah Leo perbuat seumur hidupnya. Meski pahit untuk didengar— tetap saja Valerie harus tau penyebabnya.
‘’Kamu mendengar sendiri bahwa pernikahan saya akan diselenggarakan satu bulan lagi. Kamu juga tau bahwa saya sangat mencintai Vania. Jadi saya tidak mungkin menikahi kamu, Val.’’
Seketika Leo merasa bahwa dirinya seperti seorang bajingan. Ia merasa bersalah berbicara seperti ini. Tapi ia juga tidak bisa membatalkan pertunangan hanya demi Valerie.
Vania telah lama menjadi wanita yang ia tunggu untuk menjadi bagian dari hidupnya yang sah di mata hukum dan juga agama. Dan ketika dua keluarga telah melakukan diskusi dan merembukkan hari, tentu Leo tak akan menghentikan itu.
Perlahan Valerie berdiri untuk menggapai keran shower— mematikannya. Lalu menghapus air mata dari sumbernya, juga di pipi.
Meski sudah menghancurkan mental dan rasa percaya dirinya, setidaknya Leo telah berterus terang dan meminta maaf.
Penyematan pria gentle yang diberikan Vania bila bercerita tentang Leo ternyata tak hanya sekedar omong kosong belaka.
Leo kemudian meletakkan celana satin itu ke lantai. Lagi-lagi menyetarakan tingginya dengan Valerie.
Sejenak ia memandangi gadis yang masih terdiam dengan wajah tertunduk. Ia tau bahwa Valerie masih bingung bagaiman solusi atas permasalahan ini.
Leo lalu menyingkirkan helaian rambut yang menutupi iras yang tak lebih cantik dari Vania tersebut. Bergerak perlahan menyentuh dagu dan memaksa Valerie untuk menatapnya.
‘’Mas mohon, Val. Tolong rahasiakan ini dari keluarga dan terutama pada Vania ya.’’
Valerie mengangguk perlahan. Berusaha menahan tangis dengan menggigit bibir.
Leo yang masih menautkan jarinya lantas mengusap air mata adik iparnya yang terpaut sepuluh tahun dengannya itu.
Menyingkirkan helaian rambut yang hampir masuk ke netra, memandang iba gadis yang akan masuk ke perguruan tinggi itu dari jarak sejengkal.
Dan reflek— Leo menarik tubuh Valerie dengan harapan gadis itu akan merubah raut wajahnya.
Namun yang terjadi tak seperti yang diharapkan. Valerie meledakkan tangis yang sejak tadi ia tahan hingga membuat dadanya terasa sesak.
Leo mengelus puncak kepala Valerie, membelai punggung dengan jutaan penyesalan yang membakar hingga ubun-ubun. Hingga akhirnya pelukan tersebut merenggang, Valerie meminta Leo untuk pergi.
Itu menyadarkan Leo bahwa ada acara penting yang tengah ia tinggalkan cukup lama. Sontak ia langsung teringat akan Vania.
Leo menutup pintu dengan tubuhnya yang basah kuyup dan buru-buru masuk ke kamarnya.
Vania kebingugan mencari calon suaminya yang tak terlihat di mana-mana. Lalu ia berinisiatif untuk naik ke lantai dua dan menemukan Leo keluar dari sana. Vania mematung di undakan tangga.
Selain itu, walau dulunya sering bertengkar, kini Rian sangat menyayangi Gia. Tidak ada lagi aksi nakal hingga Gia menangis.Rian sudah bisa menerima Gia.Bahkan memanggil Gia dan Alia dengan julukan si kembar kedua.‘’Nggak nyangka, ya, kita jadi kakak adik.’’ Rian tersenyum pada Gia, mungkin itu untuk pertama kalinya. Entahlah, mungkin sejak lama Rian sudah peduli dan sayang pada Gia tetapi terlalu malu menunjukkannya karena Gia bukan Alia. Alias sang adik.Tetapi kini sudah resmi. Sehingga Rian tidak menutup apapun lagi.‘’Iya. Semoga kamu jadi kakak yang baik seperti baiknya kamu ke Alia.’’ Gia pun membalas senyuman tersebut. ‘’Kalau mas nggak baik, kasih tau aku saja. Nanti aku laporin ke Papi Leo,’’ celetuk Alia walau mata dan tanganya sibuk menata boneka.Ketiganya tengah main bersama. Tak lama si kembar datang bersama orang tua mereka.‘’Rian, mana kedua mami sama papimu?’’ seru Delia.‘’Di kamar, Tante.’’‘’Ngapain?’’ Alin kini yang bertanya. Padahal mereka sekeluarga beren
Beberapa hari setelahnya…Vania, Valerie dan Leo kompak menuju rumah sakit jiwa. Melihat Gavi tidak sendiri di dalam dunianya. Sandra dan Elsa menemani, satu ruangan berisi tiga orang.Elsa kehilangan bayinya saat di rumah sakit dan berakhir seperti Sandra yang terobsesi pada Gavi.Hingga kini pun Sandra memanggil nama Gavi.Elsa menyebut nama Rendi.Dan Gavi menyebut nama Vania.‘’Apa ada kemungkinan bisa sembuh?’’ tanya Vania pada perawat yang mendampingi.‘’Bisa. Tapi tidak bisa sembuh total. Hanya jika gejalanya diredakan, mereka akan kembali normal. Tetapi, kemungkinan kambuhnya juga akan sangat tinggi.’’Vania tidak menyangka jika kembalinya dirinya pada Leo adalah penyebabnya. ‘’Lebih baik jangan diredakan. Dia itu kriminal. Kalaupun disembuhkan untuk menjalani pemeriksaan biar bisa dikurung di penjara.’’ Leo masih memendam dendam yang belum terlampiaskan.‘’Dia sudah mendapat hukuman setimpal. Mungkin bukan penjara tempatnya dihukum, tapi di sini.’’ Valerie menepuk bahu Vani
‘’Kamu biadab!’’Gavi ingin sekali melayangkan tamparan, tetapi…‘’Jangan bergerak!’’ Polisi berteriak tegas.Kenyataan itu membuat peluh bercucuran membasahi tubuhnya. Penyesalan menyeruak masuk, menusuk kalbu. Berawal dari cinta dan abadi menjadi benci.Baru terasa bila memilih Sandra adalah kesalahan terbesar seumur hidup. Dan dirinya menyia-nyiakan Vania. Yang tidak sadar makin tidak ada orangnya makin Gavi jatuh cinta.Pipinya basah meneteskan air mata penyesalan.Mengapa semua diketahui ketika sudah terlambat?Apakah tidak ada lagi kesempatan kedua untuknya dan Vania bahagia dengan anak mereka?Gavi hanya ingin lepas. Bebas dari sini dan menjemput Vania dengan mulut terucap meminta maaf dan kedua tangan menangkup memohon ampun.Seorang suami pun hanya manusia biasa tidak ada yang sempurna.‘’Aku harus bertemu Vania.’’ Itulah yang terucap dari bibir Gavi.‘’Tidak akan ku biarkan kau mendekati adik iparku lagi.’’ Rendi mendesis sinis.Adik ipar?Tetapi sayangnya belum resmi. Gavi
‘’Apa-apaan…’’‘’Gav, ini anak-anak kita. Aku membawanya karena bayi kita telah gugur. Dan ini sebagai penggantinya. Lihat, lihat,’’ Sandra menarik si kembar ke depan Gavi yang kebingungan dan dua bocah itu semakin takut. ‘’Aku bisa memberimu anak. Mereka lucu juga menggemaskan. Artinya, kita tidak bercerai, bukan?’’Saat ini Sandra terlihat seperti wanita gila. Takut ditinggalkan, membutuhkan kepastian. Ternyata perkataan Gavi membuatnya putus asa sehingga menculik anak orang untuk diakui. ‘’Jika kamu tidak bisa memberiku anak, maka aku akan menceraikanmu,’’ Sandra mengulang kalimat yang pernah Gavi ucapkan. ‘’Dan mereka adalah alasan kamu tidak bisa menceraikan aku, Gav.’’Gavi kian geram dengan tingkah Sandra. Perkataannya sudah kemana-mana.‘’Yang aku maksud dari rahimmu. Bukan dari rahim orang lain!’’ desisnya. Andai bisa berteriak tentu dibarengi kekerasan. Tapi ini rumah sakit. Di mana dirinya sedang bersembunyi untuk menjalankan rencana.‘’Ini anakku, Gav. Mereka adalah anak
Senja di sore hari. Pemandangan indah untuk dinikmati dengan mata telanjang. Di saat orang-orang baru pulang dari lelahnya mencari uang, Gavi berdiri di balkon dengan earphone yang baru saja dihancurkan olehnya.Penyadap yang diletakkan di jendela tempat Vania dirawat meremukkan hatinya menghancurkan rencana yang telah disusun matang.Rasanya tidak mungkin secepat itu Vania memutuskan menikah lagi. Mungkinkah dengan trauma yang diberikannya Vania bisa membangun rumah tangga dalam waktu dekat? Apalagi menikah lagi dengan mantan suami pertama.Tidakkah Vania merasa malu?Tidakkah Vania berpikir sampai ke sana?Setelah Vania keluar dari rumah sakit, dirinya akan menculik Vania dan juga putri mereka tinggal bersamanya.Di rumah yang dibelinya ketika melihat gelagat Vania tidak mau lagi serumah dengan Yura.Gavi tidak sudi, putrinya memanggil Leo sebutan papa padahal Gia adalah anaknya.Mungkinkah Gia dipaksa? Gia dicuci otaknya agar lupa padanya yang kini menyesal menyia-nyiakan anak dan
‘’Gia kangen dipeluk. Dicium. Dibacakan dongeng sebelum tidur.’’ Betapa bayangan Gavi mencuat ke relung hati. Tangisan itu tidak lagi tentang keinginan melainkan tentang kerinduan.Rindu dengan sang ayah.Mulai dari caranya bicara.Mengajaknya bercanda.Menyuapinya.Dada Gia kian terasa sesak, menyadari kalau itu semua tinggal kenangan. Luka yang dicurahkan sang ayah sudah terlalu dalam, mengobati pun akan percuma karena tidak akan bisa sembuh.‘’Gia mau ketemu sama papa, Nak?’’ Terasa berat sekali bertanya. Tetapi sebrengsek apapun mantan suaminya itu, tetaplah ayah bagi putrinya.Namun dengan tegas Gia menggeleng.Valerie dan Vania pun dibuat heran.Gia angkat kepala yang menyembunyikan air matanya. Lalu menyeka walau airnya masih saja keluar. Terlalu sakit sehingga butuh sedikit lebih lama untuk kembali bicara.‘’Gia nggak mau papa Gavi.’’ Intinya, Gia cukup ingat kenangannya dengan Gavi tapi tidak mau papanya Gavi lagi. Traumanya sudah mendarah daging. Gia bisa mengingat dengan