Share

3. Kamu Kenapa?

Setelah berada di dalam kamar, Leo lantas mengambil kemeja batik motif lain. Kemudian mengenakannya secepat kilat.

Tadi, ia sempat melihat Vania yang memergokinya keluar dari kamar Valerie. Namun ia berpura-pura acuh.

Jadi ia telah menyusun beberapa kalimat untuk menangkis tudingan dan kecurigaan Vania. Padahal selama ini ia tidak pernah menutupi apapun dari wanita yang sangat ia cintai itu.

Mempersiapkan mental, Leo menghela oksigen berselimutkan kegelisahan. Lalu menghembuskan kegugupan berbalut karbodioksida. Berharap dapat membantunya mengatasi kegugupan. Kemudian ia keluar dari kamar, melangkahkan kaki dengan tenang.

‘’Kenapa berganti pakaian?’’ Manik Vania memandangi setelan Leo.

Laki-laki itu masih berada satu langkah dari pintu. Dan Vania berada di anak tangga terakhir. Rupanya Vania masih di tempat yang sama ketika memergokinya tadi.

‘’Ada apa dengan Valerie? Kenapa kamu keluar dari kamarnya basah-basah?’’ 

‘’Aku tidak sengaja melihat pintu kamar Valerie terbuka. Dia terlihat keluar masuk kamar mandi, Sayang. Ternyata keran di kamar mandinya bocor. Jadi aku memutuskan untuk membantunya.’’ Leo menambahkan senyum kecil. Membuat Vania berpikir bahwa kebohongan itu benar-benar nyata dan bukan rekayasa.

‘’Kenapa tidak memanggil Pak Sena? Kalau ada apa-apa kamu bisa panggil tukang kebun di rumah ini. Dia bisa segala hal.’’

‘’Sebagai kakak ipar yang baik, aku gak tega adik iparku kesusahan. Lagi pula aku bisa mengatasinya,’’ jawab Leo, bersandiwara lagi. 

Vania memicing, menyelidik— menatap Leo penuh curiga.  Selang beberapa detik, ia tersenyum setelah tidak menemukan motif lain diekspresi Leo. 

‘’Baiklah, kalau begitu kita turun lagi. Mama sama Papa nanyain kamu.’’

Leo mendekati Vania dengan perasaan lega. Lalu merangkul Vania sambil menuruni tangga.

Setelah acara pertunangan selesai dan keadaan rumah mulai sepi, Leo masuk ke kamar calon istrinya. Melakukan hal yang sempat gagal tadi malam. 

Di tengah kerungsingan yang menjalar, ia ingin sekali menolak keinginan Vania. Tapi bagaimanapun, ia harus membuat calon istrinya ini tidak berpikir macam-macam.

Waktu berlalu begitu cepat, Vania sudah tertidur di bawah selimut. Sementara itu, Leo masih saja tidak bisa menghilangkan Valerie dari pikirannya. Jadi ia memutuskan untuk menemui gadis itu lagi. Valerie yang sampai ingin bunuh diri benar-benar membuat Leo shock bukan main.

Leo beranjak dari tempat tidur, bergerak sepelan mungkin agar Vania tidak terbangun. Kemudian berpakaian. 

Ia bergegas berpindah ruangan di sebelah kamar Vania. Membuka pintu Valerie buru-buru.

Leo langsung mendapati gadis polos itu di tempat tidur. Tidak seperti Vania yang terlelap dengan wajah puas, Valerie meringkuk dengan wajah bengkak akibat menangis. 

Tempat tidur yang bergerak membuat Valerie sadar bahwa ia tidak sendiri sekarang. Ternyata Leo sudah duduk di tepi ranjang. Ia tidak tahu sejak kapan Leo sudah berada di kamarnya. Kenapa Leo datang lagi? Ia tak ingin Vania memergoki mereka.

‘’Kamu baik-baik saja, Val?’’ tanya Leo. Ia lihat bibir Valerie pucat. 

‘’Apa aku terlihat baik-baik saja?’’ balas Valerie dengan nada geram. 

Ingin rasanya Valerie memaki calon kakak iparnya. Leo masih bisa bertanya? Apa dia tidak bisa melihat?

Leo terlihat muram, paham dengan kata-kata Valerie, ‘’Apa kau sudah makan?’’

Tak bermaksud untuk perhatian, tapi Leo ingin memastikan bahwa Valeria cukup mendapatkan asupan makanan agar tidak terlihat seperti mayat hidup. Bagaimanapun, ia tak mau Valerie sakit apalagi terus-terusan merasa tersiksa.

Terlepas dari perlakuannya pada Valerie, ia merasa berdosa karena telah menemui Valerie di belakang Vania. Di samping itu, ia sangat mencintai wanita yang sudah bertahta di hatinya sejak lama. Berpikiran untuk selingkuh saja sebenarnya Leo tidak punya.

Valerie menggeleng, lalu Leo dengan kewaspadaan yang tinggi menuju dapur dan membawakan nasi beserta lauk pauk untuk Valerie. Meletakkannya di atas meja saat gadis itu tengah terlelap.

Beberapa jam kemudian, Valerie bangun dengan pemandangan makanan dan minuman yang ditutupi dengan tisu.

Dengan lemah Valerie bangun, lalu menyumpal nasi bersama air mata yang lagi-lagi jatuh tanpa bisa ia cegah. 

***

Malam harinya…

Valerie merasakan pusing pada kepala, badannya panas disertai hidung tersumbat. Tubuhnya juga terasa sakit bila digerakkan. Ia meriang sekaligus demam.

Tak melihat putri bungsunya sejak acara berjalan, sang ibu pun masuk ke kamar Valerie. Biasanya Valerie akan terlihat mondar-mandir ke dapur karena anak itu suka sekali memasak. 

‘’Val…’’ panggil Vira sembari menutup jendela yang masih terbuka.

Valerie berusaha duduk untuk mendekati sang ibu, tapi tubuhnya terlalu remuk untuk melakukan itu. 

‘’Kamu kenapa, Nak?’’ tanya Vira. Ia berdiri di tempat tidur sambil menyentuh dahi Valerie. ‘’Sakit?’’

Sulit membuka mulut untuk berkata, akhirnya Valerie hanya bisa menggeleng. Berbohong.

Dari pintu yang terbuka, Valerie mendapati seorang pria baru saja masuk dari sana. Dan beberapa detik kemudian sudah berdiri di samping Vira. Dilihatnya Valerie dalam kondisi lemas. Bukan hanya bibir, tapi wajahnya pun pucat.

‘’Anak kita kenapa, Ma?’’ tanya Devano Mahendra, ayahnya. 

‘’Anakmu sakit,’’ jelas Vira. Menoleh pada Devano sebentar, lalu menatap Valerie lagi. ‘’Kita ke rumah sakit, ya? Atau kalau kamu ga mau, dokternya aja yang ke rumah. Gimana?’’ 

Tanpa sadar, belaian hangat tangan Vira membuat ujung mata Valerie basah. ‘’Mama… Papa...,’’ panggilnya, lemah.

‘’Kamu di kamar saja ya, Nak. Jangan banyak bergerak. Nanti Papa panggilkan dokter.’’

Devano membawa istrinya keluar dari sana. Membiarkan Valerie kembali tertidur. Sekarang sudah waktunya makan malam, jadi mereka berdua langsung mendatangi lantai satu— ke meja makan. Di sana sudah ada Vania, Leo dan juga calon besan mereka.

‘’Maaf membuat menunggu.’’ Devano tersenyum. Lalu menarik kursi untuk duduk, begitu juga dengan Vira.

‘’Tidak apa-apa, Besan.’’ Ayah Leo yang menjawab.

‘’Ayo silakan dimulai makan malamnya,’’ ucap Vira sambil mengedarkan pandangan pada semua orang di sana.

‘’Ah, ada sayur asem sama ayam goreng ternyata,’’ pekik Vania girang. Itu kesukaannya.

‘’Nanti kalau sudah tinggal di Kalimantan, Vania makannya soto banjar. Bukan sayur asem lagi.’’ Perkataan Ibu Leo berhasil membuat meja makan yang tadinya sepi jadi ramai oleh kekehan.

‘’Kenapa Valerie tidak ikut turun, Ma?’’ tanya Leo penasaran— karena melihat kosongnya kursi di sebelah Vira.

Wanita itu melirik bangku di sampingnya, lalu menatap Leo yang duduk bersebrangan dengannya. 

‘’Adik iparmu demam, Leo.’’

‘’Demam?’’

Leo yakin penyebabnya adalah air keran kemarin.

‘’Apa sih, Sayang!’’

Vania protes. Baginya, keterkejutan Leo itu benar-benar berlebihan.

‘’Dia adikmu, Sayangku. Apa kamu tidak khawatir?’’

‘’Setelah makan malam, Papa akan menghubungi dokter. Biasanya dia akan pulih lebih cepat jika sudah diperiksa dokter dan diberi obat.’’ Devano menjelaskan dengan tenang. 

‘’Apa tidak sebaiknya dihubungi sekarang saja Pah dokternya? Kasihan kalau Valerie sampai kenapa-kenapa,’’ kata Leo.

‘’Sayang kamu tuh kenapa sih? Kan Papa sudah bilang setelah makan malam.’’ Vania benar-benar tidak terima akan sikap Leo yang tiba-tiba begitu perduli terhadap Valerie. Walau Valerie adalah adiknya, tapi Vania tetap saja tidak suka. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status