Sukma Harum melepas rombongan itu pergi. Sambil melambaikan tangan ia berkata, “Jika kalian sampai di gerbang bawah, mohon lepaskan ikatan yang kalian lakukan kepada pengawal-pengawalku. Dan beri mereka ganti rugi ini serta sampaikan salamku.”
Ia melemparkan sebuah kain bungkusan yang dari suara gemerincingnya dapat diduga tentu berisi uang.
Si putri hanya bisa tersenyum masam sambil menjura, “Mohon maaf. Kami terpaksa melakukannya agar bisa bertemu dengan tuan.” Dalam hati ia sangat kaget bagaimana Sukma Harum dapat mengetahui bahwa mereka telah mengikat dan menyekap para penjaga di kaki gunung.
“Aku dapat mengerti,” kata si Sukma Harum sambil tersenyum masam pula.
***
Rombongan itu pun pergi meninggalkan puncak gunung yang indah itu.
Dalam perjalanan turun, seorang pengawal berkata kepada sang putri, “Ku lihat wajah paduka putri cerah sekali. Rupanya Sukma Harum bersedia menolong kesulitan kita.”
Dari balik jendela kereta, si putri tersenyum dan mengangguk.
Salah satu pengawal yang lain menyahut, “Lelaki itu memang setampan kabar yang terdengar. Bahkan aku pun ingin tanganku digenggam olehnya. Hahahhaha.”
“Betul sekali,” salah seorang yang lain menukas pula. “Konon, tangannya dapat menangkap senjata apapun. Ku lihat, tangan itu ternyata mahir juga menangkap burung merak yang cantik.”
Si putri tidak dapat menjawab. Wajahnya bersemu merah. Biasanya ia adalah orang yang cukup suka berceloteh. Entah kenapa kali ini ia tidak dapat membuka mulutnya. Mungkin karena seluruh pikiran dan jiwanya masih tertinggal di puncak gunung sana.
***
Kini Sukma Harum kembali sendirian di beranda atas. Sudah berjam-jam ia duduk di sana menikmati kesunyian itu. Suara hewan liar bersahut-sahutan di tempat itu membuat suasana semakin menyenangkan hatinya. Selamanya ia memang selalu menyukai dan menikmati rasa sepi.
Tengah hari datang menjelang.
Seorang pelayan naik ke atas dan berkata, “Merpati pengirim kabar sudah sampai, raden,” ia lalu mengambil bungkusan kecil yang terikat dari kaki burung merpati itu.
“Bacakan saja untukku, Ki Jamang,” kata Sukma Harum.
Pelayan itu mengangguk lalu membuka bungkusan yang ternyata berisi surat rahasia. “Oey Kim Seng berada di Jamparing.”
“Ah. Kabar bagus. Mungkin besok aku akan segera ke sana,” kata Sukma Harum.
“Apakah tugas dari gadis itu sangat berat, raden? Sehingga raden harus bertemu koh-Seng?” tanya Ki Jamang.
“Masalah ini terlihat sederhana. Seorang bekas raja dan pengawalnya mati diracun, harta simpanan mereka yang sangat besar ludes seluruhnya. Kedua anaknya yang tersisa memintaku mencarikan pelakunya. Tapi aku yakin, ada banyak hal tersembunyi dibalik semua ini.”
“Tetapi mengapa kabar seperti ini tidak pernah terdengar? Padahal hal seperti ini biasanya cukup menghebohkan.”
“Itulah kenapa aku harus bertemu dengan Kim Seng,” tukas Sukma Harum.
“Tapi Raden sudah lama sekali tidak berbicara dengan koh-Seng.”
“Sekali-kali orang memang harus melupakan gengsi. Haha,” Saat tawanya mereda ia berkata, “Sepertinya rombongan yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Tak lama lagi mereka akan muncul. Mari kita sambut mereka di gerbang depan!”
Telinga lelaki yang bernama Ki Jamang itu belum mendengarkan apa-apa, padahal sejak dulu ia sangat mempercayai kehebatan pendengarannya. Tetapi ia mengangguk dan segera bergegas. Di hadapan majikannya, pendengarannya memang boleh dianggap benar-benar tuli.
Mereka bergegas ke halaman depan. Dari kejauhan sana terlihat rombongan belasan kereta. Terlihat wajah Sukma Harum semakin cerah melihat rombongan semakin mendekat. Belasan kereta ini dikawal oleh puluhan gadis cantik. Semua berpenampilan gagah, dan bertubuh montok semampai. Terlihat jelas mereka adalah orang-orang yang berilmu silat tinggi. Kusir-kusir kereta itu pun semuanya perempuan cantik dengan tubuh yang sintal menggairahkan.
Rupanya sejak beberapa hari daerah ini ditutup untuk umum adalah karena rombongan yang menakjubkan ini akan datang berkunjung ke sini.
Di muka bumi ini, tentu hanya sang Sukma Harum seorang yang mampu mengundang rombongan makhluk-makhluk secantik ini datang ke tempat ini, dan bahkan menutup kawasan ini sehingga tidak dapat didatangi pelancong lain.
Ya. Karena tempat itu dan juga bahkan gunung ini adalah milik keluarganya.
Jika keluargamu memiliki sebuah gunung, maka berapa besar kekayaan yang dimiliki oleh keluargamu itu tentu sudah tak dapat dihitung lagi.
Tetapi pertanyaan yang sebenarnya adalah, apa maksud sesungguhnya mengundang puluhan wanita cantik itu datang ke tempat yang indah, sepi, dan tenang seperti itu?
Bab 2 Menemui Sahabat Lama
Sukma Harum telah tiba di kota Jamparing, ibu kota dari Kadipaten dengan nama yang sama. Nama daerah ini berarti “Busur dan Panah”. Dulu mungkin karena daerah ini memiliki banyak hewan buruan sehingga banyak orang datang berburu ke tempat ini. Akhirnya banyak orang menetap di sini dan jadilah daerah ini menjadi sebuah kota yang cukup ramai. Ada pelabuhan cukup besar yang menghubungkan jalur angkutan antar sungai dan laut. Sukma Harum tentu datang menggunakan kapal mewahnya.
Kapal mewah ini bernama “Nindira”. Ia mendapatkan kapal itu dari mahagurunya. “Nindira” terbuat dari bahan-bahan terbaik, dengan rancangan paling bagus. Layarnya kokoh, ruangannya sejuk, dan yang paling penting, kapal ini bagaikan sebuah benteng perang yang tak dapat ditembus lawan. Banyak senjata yang bisa ditembakkan dari kapal ini. Meriam, peledak, panah api, dan lain-lain. Tetapi senjata-senjata berada di ruang rahasia dan tak mungkin ditemukan. Mahagurunya lah yang membangunnya dengan tangannya sendiri. Begitu sudah jadi, malah kapal itu diberikan kepada murid kesayangannya.
Nindira diawaki oleh 5 orang. Semuanya perempuan. Mereka adalah pengawal-pengawal untuk setiap anggota keluarganya. Para pengawal ini diambil dari perguruan-perguruan terkenal. Sangat patuh dan setia kepada keluarganya sejak dari dulu.
Untuk awak kapal ini, Sukma Harum sendiri yang memilih mereka. Selain mahir mengawaki kapal, mereka juga memiliki ilmu silat yang tinggi, mengerti ilmu pengobatan, pintar memasak, serta mampu mengurus segala keperluan sang majikan.
Kata “segala keperluan” memang bisa menimbulkan pemahaman tersendiri dalam pikiran orang. Apalagi kelima awak kapal ini semuanya cantik dan tunduk patuh kepada tuannya. Tapi Sukma Harum tidak pernah perduli pada pikiran orang lain.
Ia memang paling suka dikelilingi perempuan. Baginya, mereka adalah kesenangan dan hiburan tersendiri. Semakin banyak, semakin bagus.
Mungkin inilah sebabnya ia belum menikah sampai sekarang. Karena jiwanya ingin bebas tanpa terikat dengan satu orang saja.
Nindira telah bersandar di sebuah pelabuhan kecil. Sukma Harum turun ke darat dan sekejap ia disambut oleh suasana sore yang hangat. Ada sesuatu di dalam sore yang membuat hatinya seolah dibawa ke sebuah masa.
Sebuah kenangan.
Jantungnya seperti berdegup lebih kencang. Darahnya seolah mengalir lebih deras. Kenangan memang dapat membawa perubahan dalam diri seseorang.
Ia berkata pada dirinya sendiri sambil tertawa, “Sudah selama ini, kau masih belum menghilang dalam hatiku.”
Jika ada seorang pria muda yang tampan, kaya raya, keluarganya mempunyai kekuasaan yang sangat besar, sakti mandraguna, sehat dan cerdas, namun masih memiliki kenangan menyedihkan tentang “seseorang”, maka siapa pula yang dapat membayangkan sosok seperti apa “seseorang” itu?
Perempuan seperti apa yang mampu membuat lelaki seperti ini tersenyum seorang diri di dalam kesunyian sambil menikmati rasa sakit akan kenangan yang menghimpit dadanya?
tadi. Raka menahan nafas. Kesalahan kecil saja bisa membuatnya terhempas ke dalam jurang dan disambut oleh ratusan perangkap tajam dan beracun.Masih ada 5 titik yang ditujunya. Masih ada banyak senjata rahasia dan perangkap yang harus dihindarinya. Semuanya dilewatinya satu persatu dengan aman. Titik terakhir adalah sebuah pohon di ujung sana. Ia harus bisa sampai ke atas pohon itu dengan satu lompatan. Karena jika tidak, ia akan ditelan perangkap-perangkap ganas yang tersembunyi di balik rerumputan dan semak-semak di bawah sana.Raka menarik nafas dalam-dalam. Lompatan ini sangat jauh. Ia belum pernah melakukannya. Tetapi ia harus mencoba, karena inilah satu-satunya jalan. Dan selama ini, ia tidak pernah kecewa dengan ilmu meringankan tubuhnya.Swuuuuussshhh.Sebenarnya tidak ada orang yang mampu mendengar gerakannya. Hanya angin di sekitarnya sendiri yang dapat mampu “mendengar” gerakannya!Lompatan itu dilakukannya dengan sederhana. Tidak ada keindahan, tidak ada gerakan yang lema
Jika kau pernah melihat Kujang itu disambitkan, maka kau pun akan berpikiran terbuka.“Melihat bahwa Mahaguru kami menerima tuan pun dengan tangan terbuka, maka kami telah mengambil keputusan bahwa aturan ini tidak dapat diterapkan.”Dengan keputusan ini, sang bhiksu seolah mengatakan bahwa meskipun Sukma Harum telah memasuki daerah terlarang, maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman, karena pemiik daerah terlarang itu sendiri telah menerimanya dengan tangan terbuka.“Kabar yang terdengar bahwa Bhiksu kepala Padepokan Rajawali Sakti adalah orang yang sangat bijaksana, ternyata bukanlah kabar angin. Hari ini sudah hamba buktikan sendiri,” tukas Sukma Harum.“Ingat, tuan. Satu purnama. Setelah itu kami akan mencari tuan,” kata-kata sang bhiksu penuh ancaman.Sukma Harum hanya mengangguk. Ia lalu menjura dan meminta diri.Semua mata masih memandangnya dengan tajam saat ia berjalan keluar dengan santai melalui pintu gerbang depan. Tahu-tahu Sukma Harum mengeluarkan suitan panjang yang keras s
Bahkan ketka seorang laki-laki sudah menjadi begitu tua, kenangan tentang cinta masa lalu akan tetap membara di hatinya.Menjadi bhiksu bukanlah menjadi manusia sempurna tanpa nafsu. Menjadi bhiksu adalah menjadi manusia yang mampu menjaga kesucian hatinya, menjaga diri dari nafsu dan amarah. Dari gejolak jiwa dan hati manusia yang tak pernah dapat lurus sepenuhnya.Kembang Gunung Lawu.Itulah nama julukan wanita itu di masa lalu. Kembang itu sekarang tentu telah menua. Telah layu, bahkan mungkin telah getas dan mengering. Hancur menjadi debu. Tetapi kembang itu pernah merekah dan mengharumi hidupnya. Bagi seorang laki-laki, kenangan yang harum saja sudah cukup baginya untuk melanjutkan hidup dengan lebih baik.Sudah lebih dari cukup.Sukma Harum dapat melihat perubahan rona wajah bhiksu agung itu. Ia pun dapat merasakan getaran perasaan mahaguru itu.Hanya laki-laki yang pernah terluka yang dapat memahami perasaan lelaki yang terluka pula.Akhirnya Sukma Harum tidak berani mengangkat
ini bukanlah sebuah serangan secara serampangan melainkan merupakan gerakan tingkat tinggi yang sangat terlatih. Sukma Harum menghindar dengan satu langkah ringan. Begitu kakinya menginjak tanah, segera tubuhnya melenting tinggi ke atas pula. Kini tubuhnya berada di atas Cakrawala.Burung itu membalikkan tubuhnya dengan sangat gesit. Kini punggungnya menghadap ke tanah, dan cakarnya berada di atas, menyambar bayangan Sukma Harum yang seolah terbang pula. Serangan cakar itu sangat cepat dan sangat berbahaya. Tidak sembarang manusia yang bisa menghindari serangan seperti itu.Tetapi tentu saja Sukma Harum bisa menghindarinya, karena ia bukan sembarang manusia.Dengan sebuah gerakan kecil, ia memutar tubuhnya sehingga cakar-cakar itu lewat begitu saja di hadapannya. Begitu cakar itu melewati kepalanya, tangannya bergerak cepat memegang batang kaki burung raksasa itu. Dengan meminjam tenaga sambaran batang kaki itu, Sukma Harum melesat ke arah kepala sang burung. Lalu sekali tangannya be
“Aku belum tahu siapa nama asli ananda,” kata bhiksu tua itu dengan senyumnya yang hangat.“Nama asli nanda adalah Rakantara Gandakusuma,” jawab Sukma Harum.“Ayahmu dari keluarga Gandakusuma yang terkenal itu?”Sukma Harum hanya mengangguk dengan sungkan.“Kakek buyutmu yang mulia adalah orang yang sangat berjasa bagi Pajajaran. Menyebut nama beliau saja sungguh bibir ini masih belum pantas.”Sukma Harum tidak tahu harus menjawab apa.“Nanda tampan, kaya raya, cerdas, dan punya ilmu silat dan kanuragan yang sangat tinggi. Banyak orang memimpikan memiliki hal ini. Tapi tahukah ananda bahwa memiliki anugrah sedemikian besar, kadang membuat hidup tak seindah bayangan orang?” “Nanda sangat memahami perkataan yang agung,” jawab Sukma Harum.“Semakin besar hikmat yang diberikan langit kepadamu, maka semakin besar pula cobaan dan ujian yang akan nanda dapatkan.”Suasana gunung sangat hening. Langit sudah mulai gelap. Hanya terdengar suara angin yang bergemerisik menembus alang-alang. Pepoh
Sukma Harum tidak mau ambil pusing. Ia tetap berdiri di depan pintu dan tidak masuk ke dalam ruangan.“Masuk,” suara itu sangat pelan seperti orang berbisik. Nadanya berat namun halus. Sukma Harum melangkah masuk.Orang yang tengah bersemedhi itu sudah membuka mata memandang dirinya. Pandangannya pun halus. Tetapi sorotnya seperti mampu menembus jiwa orang sampai ke dasar-dasarnya.“Punten, mahaguru yang agung. Hamba terpaksa harus melarikan diri kemari. Hamba bersalah,” kata Sukma Harum sambil menjura mengangkat tangan.Orang tua itu mungkin usianya sudah berusia lebih dari 100 tahun. Ia bertelanjang dada dan hanya mengenakan kain putih yang tipis menutupi bagian bawah tubuhnya. Ia memandang Sukma Harum dari atas ke bawah. Mengamati pemuda itu dari luar sampai dalam.“Dengan ilmu setinggi yang kau miliki, sepantasnya orang-orang di luar sana yang harusnya melarikan diri dari engkau, anak muda.”Sukma Harum hanya tersenyum masam. Orang tua itu melanjutkan, “Kau rela melanggar kesucian