“Kabar apa?”
“Bahwa aku tidak mau ikut campur di dalam urusan yang melibatkan perempuan. Apalagi perempuan yang terlalu cantik.”
Nona itu tersenyum karena dipuji oleh si Sukma Harum. Jika seluruh laki-laki di bumi ini dikumpulkan lalu mereka memuji dan menghambakan diri kepadanya, tentu rasanya masih belum semenyenangkan jika dipuji oleh lelaki di hadapannya ini. Tapi wajahnya masih membayangkan kekhawatiran. Kemudian ia berkata, “Hanya tuan harapan kami.”
“Maaf, nona.” hanya itu kata-katanya dan ia kembali meneruskan makannya yang tertunda.
Mengapa ia begitu tega menampik permintaan gadis secantik ini?
Tampak sekali kekecewaan di wajah si nona. Tetapi ia sepertinya menerima keputusan itu dengan pasrah. “Kalau begitu, baiklah.”
Nona itu beranjak dan melangkah pergi dari situ. Kesedihan membayang dari gerak gerik tubuhnya. “Saya mohon diri.”
“Silahkan. Mari kuantar turun,” sambil menuruni tangga, ia memegang tangan perempuan itu dengan penuh sopan.
Walaupun wajahnya masih membayangkan kekecewaan, gadis itu tersenyum lalu berkata. “Ternyata ada lagi kabar yang benar tentangmu, tuan.”
“Kabar bahwa aku adalah seorang yang terlalu tega?”
“Bukan. Melainkan kabar bahwa jika kau ingin menarik pergi tangan seorang perempuan, maka tidak ada satu orang pun yang mampu menolaknya.”
“Mengapa banyak sekali kabar tentang diriku?” Sukma Harum tersenyum.
“Siapa di dunia ini yang tidak mengenal si Sukma Harum? Orang tuli saja pastinya sudah pernah mendengar tentang kisah dan perbuatanmu yang gagah. Justru karena itulah kami memberanikan diri datang kemari.”
“Akhir-akhir ini aku hanya ingin hidup dengan tenang,” jelas Sukma Harum.
“Aku mengerti,” nona itu mengangguk dengan lembut.
Jika seorang perempuan dapat memahami perasaan laki-laki, maka tentu kehidupan manusia di kolong langit ini akan menjadi lebih baik.
Sukma Harum menatap mata nona itu dengan dalam seperti ingin memasuki jiwanya yang paling tersembunyi.
Gadis itu sekejap terpana. Untuk sejenak jiwanya terasa melayang pergi direngkuh oleh sinar mata yang tajam dan hangat itu. Ia kemudian tersadar dan berkata, “Jika tuan memandangku lebih lama, bisa-bisa aku tidak jadi pulang.”
“Eh? Kalau nona tidak pulang, lantas ke-5 pengawal itu bagaimana? Masa disuruh diam di sana menemani kuda?” canda Sukma Harum.
“Hahahahahaa,” untuk sejenak gadis cantik itu dapat tertawa. Mereka sampai di pintu depan dan gadis itu lalu berkata, “Baiklah. Kita berpisah sampai di sini. Semoga kelak dapat bertemu kembali.”
Tangan itu masih tergenggam. Seolah keduanya tidak ingin melepaskannya. Sukma Harum masih menatap mata itu dengan dalam. Pandangannya berpindah ke bibir si gadis yang merekah indah. Si nona menghela nafas.
Hanya dipandang saja dapat membuat seluruh tubuhnya seperti tersengat getaran yang lembut namun menggelora.
Tetapi si nona tidak mampu melepas pegangan tangannya. Ia berharap Sukma Harum melepas pergi saja dirinya dengan dingin. Tetapi malah pegangan tangan itu semakin hangat, semakin erat.
“Nona belum sempat melihat tempat terbaik di daerah ini, sayang jika buru-buru pulang. Mari kuantarkan melihat pemandangan terindah di tempat ini,” kata si Sukma Harum.
“Baiklah. Apakah jauh?”
Sukma Harum hanya tersenyum kecil dan menarik tangan nona itu menuruni jalan setapak di samping kedai. Gadis itu sejenak agak ragu, tapi Sukma Harum berkata, “Percayalah padaku.”
Entah kenapa, jika lelaki itu yang berbicara, seolah setiap perempuan di dunia ini rela melakukan apa saja yang ia minta.
Mereka menuruni jalan setapak itu menembusi pepohonan yang rindang dan lebat. Jalan itu sedikit basah oleh embun pagi hari, dan agak sedikit berbatu. “Satu kelok lagi di ujung, kita akan sampai.”
Akhirnya mereka sampai.
Sebuah air terjun kecil yang sangat indah. Cipratan airnya menciptakan warna pelangi yang elok.
Mata si nona membesar tanda ia sangat kagum dengan pemandangan itu.
“Nah. Sekarang ceritakan siapa engkau? Dan ada keperluan apa mencariku?"
Gadis itu menatapnya lalu berkata, “Mengapa tuan berubah pikiran?”
“Ada 2 golongan orang yang tidak tahu diri. Yang pertama adalah mereka yang meminta dengan mengancam. Yang kedua adalah mereka yang meminta dengan merayu.”
“Dan aku bukan dari kedua golongan itu?”
“Ku lihat kau cukup tahu diri, nona,” senyum Sukma Harum.
“Oh jadi penolakan tadi hanyalah ujian? Kini aku mengerti.”
Sukma Harum tidak berkata apa-apa. Ia memiliki nilai yang ia pegang dengan kukuh.
“Namaku Sri Murti Trianti. Aku adalah keturunan ke 9 dari penguasa kerajaan Kaloka di daerah wetan (Timur). Aku datang kemari meminta tuan untuk mencarikan keadilan untuk kami. Tentunya kami akan mengganti jerih payah pertolongan tuan dengan harga yang pantas.”
“Aku belum pernah mendengar tentang kerajaan Kaloka.”
“Kami hanya sebuah kerajaan kecil. Perang saudara membuat kerajaan kami runtuh dan keluarga kami harus mengungsi. Ayahku adalah raja terakhirnya. Saat itu beliau baru berumur 16 tahun.”
Lanjut si nona, “Kerajaan kami yang tersisa hanya ayah dan 4 orang pengawal terpercaya. Mereka lalu melarikan diri ke kulon (barat) dan menetap di sebuah desa terpencil. Saat dewasa, ayah menikah dengan seorang gadis di desa itu, kemudian lahirlah aku dan adikku.”
“Ketika ayah dulu mengungsi, mereka membawa harta simpanan yang cukup besar. Dengan harta itu, ayah membangun pertanian dan perdagangan yang sangat maju. Harta kami sangat melimpah. Ayah menyimpannya dengan tujuan untuk kembali membangun kerajaan kami suatu saat nanti.”
“Pada suatu hari, ketika ayah dan ke-empat pengawalnya yang sudah tua itu berkumpul untuk membicarakan rencana mereka membangun kembali kerajaan, mereka semua mati terbunuh. Dan harta kekayaan kami di gudang penyempanan sudah raib seluruhnya.”
“Mereka dibunuh dengan racun. Saat itu aku sedang mengantarkan adikku untuk sebuah urusan. Saat kami pulang, mereka semua sudah mati terbunuh.”
“Racun apa yang dipakai untuk membunuh kerabat nona?” tanya Sukma Harum.
“Racun Jincan.”
“Hmmm. Menarik,” tukas Sukma Harum.
Racun Jincan adalah sebuah racun yang terkenal dari daerah Tiongkok. Cara membuatnya adalah dengan mengumpulkan berbagai macam binatang berbisa dan dimasukkan ke dalam satu kotak agar mereka saling menggingit dan saling membunuh. Hewan yang tersisalah yang racunnya diambil racunnya untuk dijadikan senjata.
“Dari mana nona tahu itu racun Jincan?”
“Kami memeriksa makanan mereka, dan terdapat sedikit bau yang khas dalam cawan teh mereka,” jawab Sri Murti.
“Kapan kejadian ini? Dan di mana?”
“Sekitar 7 bulan yang lalu di desa Cipandana. Aku dan adikku telah berusaha mencari pelakunya, namun semua ini sia-sia. Dengan sisa-sisa uang yang kami punya, kami terpaksa menyewa pengawal dan mencari tahu siapa orang yang paling pantas kami mintai tolong. Siapa lagi kalau bukan si Sukma Harum? Tapi entah orangnya mau atau tidak. Sesungguhnya aku sudah kehilangan seluruh harapan…..,”
Si Sukma Harum hanya memandang jauh ke depan. Cukup lama baru ia berkata, “Baiklah aku akan membantumu.”
Tak terkira begitu besar rasa bahagia dan kelegaan di wajah Sri Murti. Ia bahkan berlutut dan berterima kasih. Sukma Harum mengangkatnya berdiri dan berkata, “Aku baru bisa berangkat 3 hari lagi. Karena hari ini aku sedang ada janji di puncak gunung ini.”
“Saya sendiri harus meminta diri saat ini karena sebelumnya ada janji pula dengan beberapa orang. Apa bisa kita bertemu di sebuah tempat nanti?”
“Nona akan ke mana?”
“Kami ada janji bertemu di kota Mandeung.”
“Baik, kita bertemu di kota Mandeung. Empat hari dari sekarang.”
“Mari kugambarkan peta tempat kita bertemu,” gadis itu lalu mengeluarkan sapu tangan dan menggunakan gincu untuk menggambar daerah tempat mereka bertemu.
“Baik, aku sudah paham,” tukas Sukma Harum.
“Baik. Terima kasih banyak saya haturkan. Semoga Tuhan selalu merahmati tuan,” nona itu menjura.
Sukma Harum balas menjura. “Mari kita kembali. Kasihan pengawalmu sejak tadi menunggumu.”
“Mari.”
tadi. Raka menahan nafas. Kesalahan kecil saja bisa membuatnya terhempas ke dalam jurang dan disambut oleh ratusan perangkap tajam dan beracun.Masih ada 5 titik yang ditujunya. Masih ada banyak senjata rahasia dan perangkap yang harus dihindarinya. Semuanya dilewatinya satu persatu dengan aman. Titik terakhir adalah sebuah pohon di ujung sana. Ia harus bisa sampai ke atas pohon itu dengan satu lompatan. Karena jika tidak, ia akan ditelan perangkap-perangkap ganas yang tersembunyi di balik rerumputan dan semak-semak di bawah sana.Raka menarik nafas dalam-dalam. Lompatan ini sangat jauh. Ia belum pernah melakukannya. Tetapi ia harus mencoba, karena inilah satu-satunya jalan. Dan selama ini, ia tidak pernah kecewa dengan ilmu meringankan tubuhnya.Swuuuuussshhh.Sebenarnya tidak ada orang yang mampu mendengar gerakannya. Hanya angin di sekitarnya sendiri yang dapat mampu “mendengar” gerakannya!Lompatan itu dilakukannya dengan sederhana. Tidak ada keindahan, tidak ada gerakan yang lema
Jika kau pernah melihat Kujang itu disambitkan, maka kau pun akan berpikiran terbuka.“Melihat bahwa Mahaguru kami menerima tuan pun dengan tangan terbuka, maka kami telah mengambil keputusan bahwa aturan ini tidak dapat diterapkan.”Dengan keputusan ini, sang bhiksu seolah mengatakan bahwa meskipun Sukma Harum telah memasuki daerah terlarang, maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman, karena pemiik daerah terlarang itu sendiri telah menerimanya dengan tangan terbuka.“Kabar yang terdengar bahwa Bhiksu kepala Padepokan Rajawali Sakti adalah orang yang sangat bijaksana, ternyata bukanlah kabar angin. Hari ini sudah hamba buktikan sendiri,” tukas Sukma Harum.“Ingat, tuan. Satu purnama. Setelah itu kami akan mencari tuan,” kata-kata sang bhiksu penuh ancaman.Sukma Harum hanya mengangguk. Ia lalu menjura dan meminta diri.Semua mata masih memandangnya dengan tajam saat ia berjalan keluar dengan santai melalui pintu gerbang depan. Tahu-tahu Sukma Harum mengeluarkan suitan panjang yang keras s
Bahkan ketka seorang laki-laki sudah menjadi begitu tua, kenangan tentang cinta masa lalu akan tetap membara di hatinya.Menjadi bhiksu bukanlah menjadi manusia sempurna tanpa nafsu. Menjadi bhiksu adalah menjadi manusia yang mampu menjaga kesucian hatinya, menjaga diri dari nafsu dan amarah. Dari gejolak jiwa dan hati manusia yang tak pernah dapat lurus sepenuhnya.Kembang Gunung Lawu.Itulah nama julukan wanita itu di masa lalu. Kembang itu sekarang tentu telah menua. Telah layu, bahkan mungkin telah getas dan mengering. Hancur menjadi debu. Tetapi kembang itu pernah merekah dan mengharumi hidupnya. Bagi seorang laki-laki, kenangan yang harum saja sudah cukup baginya untuk melanjutkan hidup dengan lebih baik.Sudah lebih dari cukup.Sukma Harum dapat melihat perubahan rona wajah bhiksu agung itu. Ia pun dapat merasakan getaran perasaan mahaguru itu.Hanya laki-laki yang pernah terluka yang dapat memahami perasaan lelaki yang terluka pula.Akhirnya Sukma Harum tidak berani mengangkat
ini bukanlah sebuah serangan secara serampangan melainkan merupakan gerakan tingkat tinggi yang sangat terlatih. Sukma Harum menghindar dengan satu langkah ringan. Begitu kakinya menginjak tanah, segera tubuhnya melenting tinggi ke atas pula. Kini tubuhnya berada di atas Cakrawala.Burung itu membalikkan tubuhnya dengan sangat gesit. Kini punggungnya menghadap ke tanah, dan cakarnya berada di atas, menyambar bayangan Sukma Harum yang seolah terbang pula. Serangan cakar itu sangat cepat dan sangat berbahaya. Tidak sembarang manusia yang bisa menghindari serangan seperti itu.Tetapi tentu saja Sukma Harum bisa menghindarinya, karena ia bukan sembarang manusia.Dengan sebuah gerakan kecil, ia memutar tubuhnya sehingga cakar-cakar itu lewat begitu saja di hadapannya. Begitu cakar itu melewati kepalanya, tangannya bergerak cepat memegang batang kaki burung raksasa itu. Dengan meminjam tenaga sambaran batang kaki itu, Sukma Harum melesat ke arah kepala sang burung. Lalu sekali tangannya be
“Aku belum tahu siapa nama asli ananda,” kata bhiksu tua itu dengan senyumnya yang hangat.“Nama asli nanda adalah Rakantara Gandakusuma,” jawab Sukma Harum.“Ayahmu dari keluarga Gandakusuma yang terkenal itu?”Sukma Harum hanya mengangguk dengan sungkan.“Kakek buyutmu yang mulia adalah orang yang sangat berjasa bagi Pajajaran. Menyebut nama beliau saja sungguh bibir ini masih belum pantas.”Sukma Harum tidak tahu harus menjawab apa.“Nanda tampan, kaya raya, cerdas, dan punya ilmu silat dan kanuragan yang sangat tinggi. Banyak orang memimpikan memiliki hal ini. Tapi tahukah ananda bahwa memiliki anugrah sedemikian besar, kadang membuat hidup tak seindah bayangan orang?” “Nanda sangat memahami perkataan yang agung,” jawab Sukma Harum.“Semakin besar hikmat yang diberikan langit kepadamu, maka semakin besar pula cobaan dan ujian yang akan nanda dapatkan.”Suasana gunung sangat hening. Langit sudah mulai gelap. Hanya terdengar suara angin yang bergemerisik menembus alang-alang. Pepoh
Sukma Harum tidak mau ambil pusing. Ia tetap berdiri di depan pintu dan tidak masuk ke dalam ruangan.“Masuk,” suara itu sangat pelan seperti orang berbisik. Nadanya berat namun halus. Sukma Harum melangkah masuk.Orang yang tengah bersemedhi itu sudah membuka mata memandang dirinya. Pandangannya pun halus. Tetapi sorotnya seperti mampu menembus jiwa orang sampai ke dasar-dasarnya.“Punten, mahaguru yang agung. Hamba terpaksa harus melarikan diri kemari. Hamba bersalah,” kata Sukma Harum sambil menjura mengangkat tangan.Orang tua itu mungkin usianya sudah berusia lebih dari 100 tahun. Ia bertelanjang dada dan hanya mengenakan kain putih yang tipis menutupi bagian bawah tubuhnya. Ia memandang Sukma Harum dari atas ke bawah. Mengamati pemuda itu dari luar sampai dalam.“Dengan ilmu setinggi yang kau miliki, sepantasnya orang-orang di luar sana yang harusnya melarikan diri dari engkau, anak muda.”Sukma Harum hanya tersenyum masam. Orang tua itu melanjutkan, “Kau rela melanggar kesucian