Share

Bab 5

Author: Norman Tjio
last update Last Updated: 2024-07-12 11:20:32

Pedang Naga Langit milik Siwa Baruna. Yang ke-2 adalah Tombak Hitam milik Si Tombak Setan, Candramawa. Dan yang nomer satu…hmmmm…,adalah Bumbung Bratagini.”

“Semua senjata pernah aku dengar. Tapi Bumbung Bratagini, aku belum pernah mendengar tentang senjata ini.”

“Penjelasannya panjang, raden. Aku tidak sempat membaca,” tawa nyonya Oey.

“Sangat menarik!” tukas Sukma Harum.

“Raden tidak heran mengapa Kujang Arka Kencana yang sakti mandraguna milik raden warisan dari sang ibunda tidak berada di urutan teratas dalam daftar ini?”

“Memangnya di urutan berapa?”

“Tidak masuk urutan sama sekali!” tukas nyonya Oey enteng.

“Ahahaha,” tawa Sukma Harum sambil menutup mulutnya. Bahkan saat tertawa pun ia masih bersikap sopan seperti seorang gadis pingitan.

“Kujang Arka Kencana tidak masuk di dalam daftar karena tidak ada seorang saksi pun yang dapat menceritakan kehebatan kujang itu. Begitu menurut yang ditulis suamiku,” jelas nyonya Oey.

“Hmmmm.”

“Apakah karena Raden memang sudah lama tidak terlibat di dunia persilatan?”

“Sepertinya begitu,” jawab Sukma Harum. Tetapi jauh di dasar hatinya ia tahu, seperti juga yang diketahui oleh Oey Kim Seng yang menulis daftar itu. Alasan sebenarnya mengapa tidak ada seorang saksi pun yang dapat menceritakan kehebatan Kujang itu adalah karena memang tidak ada seorang pun yang hidup setelah melihat Kujang itu melesat dari tangan pemiliknya!

“Sebenarnya alasanku kemari untuk menanyakan 2 hal kepada suamimu, cici (kakak),” kata Sukma Harum. “Kumohon cici dapat menyampaikannya kepada koh-Seng (kakak Seng).”

“Tentu saja, raden. Silahkan.”

“Pertanyaan pertama, Apakah kerajaan Kaloka benar ada?”

“Pertanyaan kedua, Apakah telah terjadi pembunuhan di desa Cipandana yang korbannya beberapa orang dengan penyebab diracun?”

“Baik. Apakah itu saja, Raden?” tanya nyonya Oey yang dijawab dengan anggukan oleh Sukma Harum. Nyonya Oey segera beranjak pergi dari situ. Sambil menunggunya kembali, Sukma Harum memperhatikan keadaan di dalam kamar.

Dinding terbuat dari batu yang sangat kuat namun halus. Bahan seperti ini amat sangat mahal untuk dijadikan tembok rumah. Langit-langit terbuat dari kayu jati yang kokoh. Cukup dengan memandang sekilas Sukma Harum yakin kamar ini tidak mudah diterobos oleh orang luar. Oey Kim Seng ternyata membangun sebuah benteng kokoh yang dijadikan kamar olehnya.

Segala hiasan di dinding, di meja dekat ranjang, tertata dengan rapi dan enak dipandang. Kamar ini sangat luas. Tertata rapi. Wangi pula.

Tidak perlu menduga, Sukma Harum yakin ada jalan rahasia dibalik tembok atau di dasar lantai yang merupakan jalan kabur jika sesuatu yang berbahaya tak dapat dibendung lagi.

 Cukup lama baru nyonya Oey kembali ke kamar itu. Sukma Harum memandangnya dengan pandangan bertanya. Sambil tersenyum, nyonya cantik itu hanya mengangguk. Ia lalu duduk di kursi sebelah Sukma Harum. Katanya, “Raden sedang menyelidiki sesuatu?”

Sukma Harum mengangguk membenarkan. Ia mengerti bahwa kaum perempuan memang sering menanyakan hal yang sudah jelas jawabannya.

“Baik. Untuk pertanyaan pertama, ya benar. Kerajaan Kaloka memang ada. Sebuah kerajaan kecil yang berdiri sekitar 120 tahun yang lalu. Pada saat pemerintahan raja ke-6, kerajaan ini menghadapi perang saudara yang cukup besar. Menyebabkan kerajaan ini musnah dan pewaris tahtanya hilang. Konon ia melarikan diri bersama pengawal-pengawalnya ke daerah kulon (Jawa Barat) sini. Sampai saat ini kabar mereka tidak pernah terdengar lagi.”

“Untuk pertanyaan kedua, benar juga. Terjadi sebuah pembunuhan di desa Cipandana. Seorang saudagar dan tuan tanah bernama Argapala yang berusia sekitar 50 tahunan bersama seluruh anggota keluarga dan pegawainya meninggal diracun. Konon katanya seluruh harta dan isi gudang di rumah itu telah diambil. Yang tersisa hanya 2 orang anak mereka. Perempuan dan laki-laki. Yang laki-laki telah cacat sejak kecil.”

Sukma Harum mendengar penjelasan nyonya Oey dengan seksama. Ia tidak berkata apa-apa dan hanya memikirkan seluruh perkataan nyonya Oey ini.

“Apakah seluruh kejadian ini berhubungan, raden?”

“Sepertinya begitu, cici. Tapi saya belum berani mengambil kesimpulan.”

“Hmmm. Baiklah. Semoga cepat selesai, dan pelakunya cepat tertangkap.”

Sukma Harum hanya menghela nafas. Katanya, “Semoga.”

“Hari sudah menjelang malam, sebaiknya raden menginap di sini. Akan aku siapkan kamar khusus untuk Raden. Kamar Raden biasanya yang tidak pernah dipakai orang lain.”

“Ah, terima kasih, cici. Tapi saya harus segera berangkat. Besok malam ada janji dengan orang lain,” Sukma Harum menampik dengan halus.

“Ooo. Gadis siapa lagi yang kau ajak pergi bertemu (istilah di jaman itu untuk pacaran atau berkencan), raden?” tawa nyonya Oey menggoda.

Sukma Harum tertawa kecil dan berkata, “Malah justru kali ini sayalah yang ia ajak pergi bertemu, cici.”

“Oh? Ingin kulihat seperti apa tampang gadis mana yang berani seperti itu. Pasti cantik sekali.”

“Lumayan. Tapi tentu tidak secantik cici,” tukas Sukma Harum ringan.

“Aku tidak percaya. Masa aku ini cantik?”

Sukma Harum tidak menjawab, ia hanya tersenyum. Senyumnya hangat seperti musim semi yang baru menyeruak menyegarkan bumi.

“Mengenal raden bertahun-tahun, aku tahu raden tidak pernah berbohong.”

“Saya sering berbohong. Hanya saja belum pernah ketahuan. Mungkin itulah kelebihan saya yang sebenarnya,” tukas Sukma Harum sambil menahan tawa.

Nyonya Oey juga ikut tertawa. Katanya, “Semoga hubungan raden dan suamiku akan dapat membaik nantinya. Susah juga rasanya melihat kalian berdua tidak mau saling menyapa.”

“Semoga saja. Apakah dia hanya sibuk menulis akhir-akhir ini? Jarang keluar rumah?”

“Katanya jika kitabnya selesai, ia akan pergi ke Andalas.”

“Hmm. Menemukan tambang baru?”

“Sepertinya begitu. Akhir-akhir usahanya sangat pesat. Ia banyak membuka cabang, bahkan sampai ke pulau lain.”

“Syukurlah. Jagalah ia jangan sampai kecapaian dan jatuh sakit, cici.”

“Harusnya raden bilang sendiri kepadanya,” kata nyonya Oey.

Sukma Harum tidak menjawab. Ia hanya berdiri dan meminta diri. “Nampaknya saya harus berangkat sekarang, cici. Terima kasih banyak atas bantuanmu. Semoga kita segera bertemu kembali.”

“Baiklah, raden. Mari aku antarkan ke depan.”

Mereka berdua berdiri dari kursi dan beranjak dari sana. Dengan gerakan sangat cepat dan tak terlihat, Sukma Harum telah meninggalkan sebuah kotak kecil di atas meja.

Ia telah keluar gerbang depan ketika kemudian terdengar teriakan dari dalam rumah, “Keparat! Pergi kau! Jangan pernah datang kemari lagi! Bangsat!”

Ia menoleh. Dilihatnya Oey Kim Seng berdiri dan mengancungkan pedang kepadanya.

Dengan tenang Sukma Harum berkata, “Baiklah. Maaf telah mengganggumu….,”

“Enyah kau dari sini!”

Teriakan itu masih mengiang-ngiang di relung jiwanya meskipun ia telah pergi jauh dari sana.

Bab 3 Kejadian di Mandeung

Sukma Harum telah kembali berada di atas “Nindira”. Kini ia sedang berbaring dengan nyaman di atas dipan mewah di dalam ruang kemudi kapal kesayangannya. Seisi ruang kemudi itu bernuansa sangat mewah, dan penuh cita rasa tinggi. Ada sebuah kecapi yang diletakkan di samping dipan. Lalu ada meja kecil tempat meletakkan makanan dan hidangan. Di atas dipan ada bantal-bantal empuk yang lembut dan wangi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 20

    tadi. Raka menahan nafas. Kesalahan kecil saja bisa membuatnya terhempas ke dalam jurang dan disambut oleh ratusan perangkap tajam dan beracun.Masih ada 5 titik yang ditujunya. Masih ada banyak senjata rahasia dan perangkap yang harus dihindarinya. Semuanya dilewatinya satu persatu dengan aman. Titik terakhir adalah sebuah pohon di ujung sana. Ia harus bisa sampai ke atas pohon itu dengan satu lompatan. Karena jika tidak, ia akan ditelan perangkap-perangkap ganas yang tersembunyi di balik rerumputan dan semak-semak di bawah sana.Raka menarik nafas dalam-dalam. Lompatan ini sangat jauh. Ia belum pernah melakukannya. Tetapi ia harus mencoba, karena inilah satu-satunya jalan. Dan selama ini, ia tidak pernah kecewa dengan ilmu meringankan tubuhnya.Swuuuuussshhh.Sebenarnya tidak ada orang yang mampu mendengar gerakannya. Hanya angin di sekitarnya sendiri yang dapat mampu “mendengar” gerakannya!Lompatan itu dilakukannya dengan sederhana. Tidak ada keindahan, tidak ada gerakan yang lema

  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 19

    Jika kau pernah melihat Kujang itu disambitkan, maka kau pun akan berpikiran terbuka.“Melihat bahwa Mahaguru kami menerima tuan pun dengan tangan terbuka, maka kami telah mengambil keputusan bahwa aturan ini tidak dapat diterapkan.”Dengan keputusan ini, sang bhiksu seolah mengatakan bahwa meskipun Sukma Harum telah memasuki daerah terlarang, maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman, karena pemiik daerah terlarang itu sendiri telah menerimanya dengan tangan terbuka.“Kabar yang terdengar bahwa Bhiksu kepala Padepokan Rajawali Sakti adalah orang yang sangat bijaksana, ternyata bukanlah kabar angin. Hari ini sudah hamba buktikan sendiri,” tukas Sukma Harum.“Ingat, tuan. Satu purnama. Setelah itu kami akan mencari tuan,” kata-kata sang bhiksu penuh ancaman.Sukma Harum hanya mengangguk. Ia lalu menjura dan meminta diri.Semua mata masih memandangnya dengan tajam saat ia berjalan keluar dengan santai melalui pintu gerbang depan. Tahu-tahu Sukma Harum mengeluarkan suitan panjang yang keras s

  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 18

    Bahkan ketka seorang laki-laki sudah menjadi begitu tua, kenangan tentang cinta masa lalu akan tetap membara di hatinya.Menjadi bhiksu bukanlah menjadi manusia sempurna tanpa nafsu. Menjadi bhiksu adalah menjadi manusia yang mampu menjaga kesucian hatinya, menjaga diri dari nafsu dan amarah. Dari gejolak jiwa dan hati manusia yang tak pernah dapat lurus sepenuhnya.Kembang Gunung Lawu.Itulah nama julukan wanita itu di masa lalu. Kembang itu sekarang tentu telah menua. Telah layu, bahkan mungkin telah getas dan mengering. Hancur menjadi debu. Tetapi kembang itu pernah merekah dan mengharumi hidupnya. Bagi seorang laki-laki, kenangan yang harum saja sudah cukup baginya untuk melanjutkan hidup dengan lebih baik.Sudah lebih dari cukup.Sukma Harum dapat melihat perubahan rona wajah bhiksu agung itu. Ia pun dapat merasakan getaran perasaan mahaguru itu.Hanya laki-laki yang pernah terluka yang dapat memahami perasaan lelaki yang terluka pula.Akhirnya Sukma Harum tidak berani mengangkat

  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 17

    ini bukanlah sebuah serangan secara serampangan melainkan merupakan gerakan tingkat tinggi yang sangat terlatih. Sukma Harum menghindar dengan satu langkah ringan. Begitu kakinya menginjak tanah, segera tubuhnya melenting tinggi ke atas pula. Kini tubuhnya berada di atas Cakrawala.Burung itu membalikkan tubuhnya dengan sangat gesit. Kini punggungnya menghadap ke tanah, dan cakarnya berada di atas, menyambar bayangan Sukma Harum yang seolah terbang pula. Serangan cakar itu sangat cepat dan sangat berbahaya. Tidak sembarang manusia yang bisa menghindari serangan seperti itu.Tetapi tentu saja Sukma Harum bisa menghindarinya, karena ia bukan sembarang manusia.Dengan sebuah gerakan kecil, ia memutar tubuhnya sehingga cakar-cakar itu lewat begitu saja di hadapannya. Begitu cakar itu melewati kepalanya, tangannya bergerak cepat memegang batang kaki burung raksasa itu. Dengan meminjam tenaga sambaran batang kaki itu, Sukma Harum melesat ke arah kepala sang burung. Lalu sekali tangannya be

  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 16

    “Aku belum tahu siapa nama asli ananda,” kata bhiksu tua itu dengan senyumnya yang hangat.“Nama asli nanda adalah Rakantara Gandakusuma,” jawab Sukma Harum.“Ayahmu dari keluarga Gandakusuma yang terkenal itu?”Sukma Harum hanya mengangguk dengan sungkan.“Kakek buyutmu yang mulia adalah orang yang sangat berjasa bagi Pajajaran. Menyebut nama beliau saja sungguh bibir ini masih belum pantas.”Sukma Harum tidak tahu harus menjawab apa.“Nanda tampan, kaya raya, cerdas, dan punya ilmu silat dan kanuragan yang sangat tinggi. Banyak orang memimpikan memiliki hal ini. Tapi tahukah ananda bahwa memiliki anugrah sedemikian besar, kadang membuat hidup tak seindah bayangan orang?” “Nanda sangat memahami perkataan yang agung,” jawab Sukma Harum.“Semakin besar hikmat yang diberikan langit kepadamu, maka semakin besar pula cobaan dan ujian yang akan nanda dapatkan.”Suasana gunung sangat hening. Langit sudah mulai gelap. Hanya terdengar suara angin yang bergemerisik menembus alang-alang. Pepoh

  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 15

    Sukma Harum tidak mau ambil pusing. Ia tetap berdiri di depan pintu dan tidak masuk ke dalam ruangan.“Masuk,” suara itu sangat pelan seperti orang berbisik. Nadanya berat namun halus. Sukma Harum melangkah masuk.Orang yang tengah bersemedhi itu sudah membuka mata memandang dirinya. Pandangannya pun halus. Tetapi sorotnya seperti mampu menembus jiwa orang sampai ke dasar-dasarnya.“Punten, mahaguru yang agung. Hamba terpaksa harus melarikan diri kemari. Hamba bersalah,” kata Sukma Harum sambil menjura mengangkat tangan.Orang tua itu mungkin usianya sudah berusia lebih dari 100 tahun. Ia bertelanjang dada dan hanya mengenakan kain putih yang tipis menutupi bagian bawah tubuhnya. Ia memandang Sukma Harum dari atas ke bawah. Mengamati pemuda itu dari luar sampai dalam.“Dengan ilmu setinggi yang kau miliki, sepantasnya orang-orang di luar sana yang harusnya melarikan diri dari engkau, anak muda.”Sukma Harum hanya tersenyum masam. Orang tua itu melanjutkan, “Kau rela melanggar kesucian

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status