Share

PTH 4 (Tersesat)

Pagi yang cerah mengawali pembukaan perkemahan. Pukul enam pagi setelah semua siswa selesai mandi, beberapa siswa mulai mendirikan tenda di tepi hutan, meninggalkan rumah Pak RT yang semalam mereka tempati.

Setelah beberapa waktu, hingga semua regu selesai membangun tenda, Bu Anne sebagai guru pembimbing yang menggantikan Pak Randi memulai pembukaan acara.

“Bismillahirrahmanirrahim. Assalaamualaikum anak-anak, apa kabar hari ini?” sapanya.

“Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh, alhamdulillah baik, Bu!” jawab semua siswa dan siswi serentak. Bu Anne mengangguk sambil tersenyum.

“Alhamdulillah. Hari ini sebagai hari pertama pembukaan perkemahan ada beberapa hal yang ingin ibu sampaikan.”

“Meskipun kita beregu, berjumlah banyak, tetap saja tidak boleh semena-mena terhadap alam dan makhluk lain,” ucapnya dengan penuh penekanan pada frasa terakhir.

“Kita di sini untuk ikut serta memelihara alam dan mewawancarai petani yang setiap hari pergi ke kebun atau sawahnya. Kalian sudah dibagi kelompok dengan 15 siswa per kelompoknya. Ibu tidak menuntut kalian untuk mencari petani yang sama di tempat yang sama, kalian bisa mengunjungi beberapa daerah tempat bertani di sekitar sini. Ingat, jangan jauh-jauh dan terus berkelompok! Jangan merusak alam, jangan berbicara seenaknya, dan jangan bertingkah angkuh di depan siapa pun di sini. Jika ada pertanyaan, kalian boleh mengangkat tangan!” Bu Anne menjelaskan apa saja yang harus dilakukan para siswa serta larangan yang tidak boleh mereka langgar.

“Bu, maksud ibu semena-mena terhadap makhluk lain apa, ya?” tanya seorang siswa sambil mengacungkan tangannya.

Bu Anne berdehem singkat. “Begini, di desa ini tidak hanya ada manusia, tapi ada makhluk lain seperti hewan, dan kalian tidak boleh mengganggu kehidupan mereka.” Bu Anne berbohong. Padahal, yang ia maksud adalah ‘makhluk lain’ yang sebenarnya. Makhluk yang tidak kasat mata yang senantiasa ada di sela-sela mereka. Ia tak ingin membuat siswanya takut. Bu Anne mencoba mengatakan hal lain tanpa menjelaskan maksudnya yang sebenarnya. Walau ia tahu, ada satu siswi yang mengerti betul maksudnya.

“Masih ada pertanyaan?” tanyanya lagi. Suasana hening, tak ada siswa yang menjawab. Artinya, tidak ada lagi pertanyaan.

“Oke, jika sudah tidak ada pertanyaan, kalian boleh memulai perjalanan. Jangan lupa mencatat hasil wawancara kalian, ya!”

Para siswa pun berpencar sesuai rencana regunya yang akan menentukan ke mana mereka melakukan perjalanan.

Via, Defa, Fadri, Raffa, dan Arini ada di dalam regu yang sama. Mereka memilih mewawancarai warga yang bekerja di kebun teh di dekat perkemahan mereka. Mereka bergegas menuju kebun teh yang dituju dengan membawa beberapa keperluan.

***

“Aduh, anjir! Banyak nyamuk banget di sini! Gue mau pulang! Desa apaan sih ini banyak banget nyamuknya!” Fadri mengoceh sambil terus menepuk tangan dan tengkuknya berusaha mengusir nyamuk yang hinggap di tubuhnya. 

“Eh, Fadri! Denger kata Bu Anne tadi gak, sih? Gak boleh ngomong sembarangan! Inget ini bukan di Jakarta!” Via mengingatkan.

“Halah, orang gue cuma bilang banyak nyamuk doang apa salahnya, hah? Kan emang bener di sini banyak nyamuk banget!” Fadri melawan perkataan Via.

“Apa susahnya, sih lo gak usah ngoceh di deket perkebunan gini? Udah tinggal pake losion anti nyamuk kan gampang, gak usah bacot gitu.” Raffa ikut mengingatkan.

“Suka-suka gue, lah! Mulut-mulut gue! Apa lo?” Fadri masih berceloteh. Defa hanya menggelengkan kepalanya. 

“Kalian ditinggal di sini aja, ya. Biar yang lain ikut sama gue sama Via. Lanjutin debat kalian sampe magrib!” Defa meninggalkan mereka berdua.

Sebelum menuju perkebunan teh, mereka harus melewati hutan kecil di tepi desa. Hutan itu kecil bagi orang yang taat aturan dan menjadi besar bagi .... Ah, sudahlah!

Raffa menepuk bahu Fadri dan berbisik. “Gue denger di sini ada arwah pengantin gentayangan, lho! Arwahnya mungkin aja berbentuk nyamuk yang tadi lo maki-maki, haha!” Raffa menakuti Fadri sambil berlari menyusul Defa dan yang lain.

“Arwah berbentuk nyamuk? Astaga! Si Curut ninggalin gue!” Fadri bermonolog sambil melirik ke kanan dan kirinya.

“Kampret, lo, Raffa! Tungguin gue!” 

***

“Permisi, Pak, Bu mohon maaf jika mengganggu. Kami siswa dan siswi dari SMA Alamanda yang sedang melakukan perkemahan ingin wawancarai Bapak dan Ibu di sini. Apa boleh, Pak, Bu?” tanya Via sopan.

“Mangga, Neng. Bade naros naon?”

(“Boleh, Neng. Mau tanya apa?”)

“Jadi begini, Pak, Bu, perkenalkan saya Defa, ini Via, Raffa, Arini, Vera, Galih, Gilang, Ferdi, Farhan, Nisa, Nina, Fahira, Dinda, dan Fika.” ‘Eh, Fadri ke mana?’ batin Defa. Namun ia kembali meneruskan ucapannya dan memilih mencari temannya nanti. Ia kira Fadri mungkin hanya tertinggal di belakang karena tadi ia tinggalkan, jadi biar saja nanti juga dia menyusul.

 “Kemarin saat ujian nilai kami kurang di mata pelajaran kewirausahaan, guru kami memperbolehkan kami mendapat nilai tambahan dengan syarat melakukan beberapa penelitian ke desa-desa petani. Guru kami juga yang merekomendasikan kami agar ke Garut. Karena katanya, selain di sini masih bebas polusi, di sini juga daerahnya lengkap. Ada sungai, air terjun, pantai, kebun teh, dan pegunungan. Kelompok kami memilih untuk mewawancarai para petani yang bekerja di kebun teh. Selain wawancara, kami juga akan membantu Bapak dan Ibu dalam melakukan pekerjaan agar kami pun tahu sedikit banyaknya cara bertani dari petani desa langsung.” Defa menjelaskan panjang lebar tujuannya.

Para petani di hadapan mereka mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.

“Nama bapak Ucu, ini Bu Siti, Bu Salamah, Pak Iman, dan Pak Furqon.” Pak Ucu memperkenalkan dirinya.

“Jadi, Neng sama Ujang mau mulai dari mana, atuh?” tanya Pak Iman.

“Kami mau bantu kegiatan Bapak dan Ibu saja dulu. Biar kami mempelajari cara memetik daun teh dan memelihara kebun teh.” Defa kembali menjadi juru bicara.

“Siap kalo begitu! Hayu atuh kita dimulai saja kerjanya!” ajak Pak Furqon dibalas anggukan oleh teman-teman petaninya.

***

“Def, Fadri kok aku liat belum datang terus, ya? Perasaan tadi ketinggalannya enggak jauh, kok. Jangan-jangan Fadri tersesat!” kata Via.

“Gak usah ngomong yang enggak-enggak, Vi. Kita tunggu sepuluh menit lagi kalo dia masih gak datang kita cari, ya!” Via mengangguk.

***

“Gue kok muter-muter di sini terus, sih? Perasaan tadi gak jauh waktu ngejar Raffa. Tapi kok balik lagi ke sini, ya? Apa jangan-jangan gue nyasar? Astaga!” Fadri bermonolog. Ia sudah empat kali berjalan dengan jarak yang cukup jauh namun rasanya ia hanya diam di tempat yang sama. Untuk membuktikan dugaannya, Fadri membuat tanda pada sebuah pohon menggunakan batu yang tajam.

“Nah, kalo udah gini bisa keliatan gue nyasar atau enggaknya,” katanya setelah berhasil mengukir beberapa sayatan di sebuah pohon. 

Fadri kembali berjalan ke arah yang berbeda dari yang sebelumnya, ia menengok ke arah kanan di mana ia mengukir sayatan-sayatan di pohon tadi. Fadri mendekati pohon itu, mencoba melihat dengan saksama apakah itu hasil sayatannya atau bukan. Namun, saat Fadri menyentuh sayatan itu, tiba-tiba cairan putih merembes keluar dari garis sayatan yang Fadri buat. Lama-kelamaan cairan itu berubah menjadi warna merah. Bau amis menguar indra penciuman Fadri. 

“Gila! Pohon apaan ini? Kok ngeluarin darah?”

Saat hendak berbalik meninggalkan pohon itu, sebuah pisau tajam dilempar oleh seseorang dan hampir melukai lehernya. Pisau itu menancap tepat di pohon yang mengeluarkan darah. Fadri kaget dan seketika pingsan di tempat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status