Share

PTH 3 (Hari yang Ditunggu)

Hari yang ditunggu-tunggu semua siswa akhirnya tiba. Hari ini, tepat pukul 8 pagi seluruh siswa kelas X dan kelas XI akan berangkat berkemah ke Garut menggunakan bus sekolah. Via, setelah berdebat kecil dengan orang tuanya pun akhirnya mendapat izin untuk ikut berkemah. Via tidak percaya dengan perkataan Raini—gadis yang beberapa hari lalu kerasukan di kelasnya dan isi surat yang juga mengatakan hal yang sama, tentang larangan untuk pergi ke Garut.

Tak lupa, Via membawa buku yang ia pinjam dari perpustakaan beberapa hari lalu. Ia sudah selesai membaca namun belum paham poin utama dalam buku itu. Menurut Via, bahasa di dalam buku itu sulit dipahami karena mengandung unsur mistis yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Ia akan membacanya lagi nanti saat ada waktu luang.

Siswa dan siswi SMA Alamanda mulai berkumpul dan duduk di bangku bus sesuai nomor urut yang diberikan guru. Beruntungnya, Via duduk dengan Arini teman sekelasnya dan Defa duduk di belakangnya bersama Fadri.

“Def, mau camilan Defa, dong! Camilan aku buat nanti kalo udah sampe di sana, ya!” pinta Via.

Defa mengangguk, memang niatnya membawa banyak camilan untuk Via, dia tau gadis itu sangat suka makan makanan ringan, apalagi untuk perjalanan jauh yang memakan waktu dan membosankan. Defa menyodorkan beberapa bungkus makanan Via dibalas senyuman singkat.

“Makasih, Defa ganteng!” pujinya. Defa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum tipis pada Via.

“Eh, Vi, itu buku apa?” tanya Arini pada Via yang mengeluarkan buku bersampul hitam dari dalam tas gendongnya.

“Ini tuh, dibilang novel iya, tapi kata-katanya susah dipahami. Seolah-olah pembaca yang bakalan paham cuma yang ngalamin ceritanya.”

“Emang isinya apa? Yang bisa kamu tangkap tentang novel ini apa?” tanya Arini lagi.

“Em,” Via menjeda ucapannya, ”yang aku tangkap sih buku ini menceritakan seorang gadis yang menjadi salah sasaran pembunuhan di sebuah sekolah gitu. Tapi, aku juga kurang paham sama alurnya. Aku udah selesai baca sekali, tapi aku masih penasaran mau baca lagi sampai aku bisa paham isi buku ini.” Arini mengangguk paham.

“Berarti kayaknya genre cerita buku ini horor, ya? Iyalah pasti, dari sampulnya orang yang liat juga pasti mikir buku ini bergenre horor.” Via membuka sebungkus camilannya.

“Tapi-“

Perkataan Via terpotong saat bus tiba-tiba mengerem mendadak. Sontak, semua siswa kaget dan banyak yang memarahi sopir bus yang bisa membahayakan nyawa orang-orang dalam bus.

“Pak sopir gimana, sih nyetirnya? Masak ngerem mendadak gitu, kalo celaka gimana?” teriak seseorang dari bangku belakang.

“Iya, ih! Emang kalo kita mati Pak Sopir mau tanggung jawab balikin nyawa kita lagi?” tambah seseorang.

“Maaf semuanya, di depan ada tabrakan bus.”

 Pernyataan sopir yang padat itu membuat kaget semua siswa dan beberapa memilih melihat langsung dari kaca bus paling depan.

“Mana-mana yang kecelakaan? Gue mau foto!” kata seorang siswa.

“Gue juga! Gue juga!” 

“Tungguin gue bawa hape dulu!”

“Kalian apa-apaan, sih? Ada yang kecelakaan malah mau foto-foto! Otak kalian di mana, hah?” Via tak bisa menahan lagi kata-katanya.

“Kalian mau kalo di posisi mereka yang kecelakaan itu? Terus kalian gak ditolong orang-orang dan mayat kalian malah dijadiin instastory mereka! Mau?!” ucap Via lagi geram.

“Apaan, sih, lo, lebay! Bilang aja mau foto juga! Bacot banget, lo!” ucap seorang siswi sambil turun dari bus. Baru selangkah ia keluar bus, tiba-tiba sebuah truk melaju kencang dari arah berlawanan dan mementalkan tubuh langsingnya hingga beberapa meter ke depan.

Orang-orang di dalam bus yang menyaksikan hal itu berteriak histeris. Melihat kepala yang lepas dari tempatnya dan beberapa bagian tubuh yang terpotong-potong karena menghantam mobil lain dan langsung terlindas saat itu juga.

“Raisya!” teriak seorang siswi. Ia pasti teman baiknya. Beberapa siswa termasuk Via turun dari bus untuk mengecek mayat gadis yang dipanggil Raisya itu.

Suatu hal yang mengherankan, tidak ada apa pun di tempat Raisya terlindas, tidak ada bekas darah atau potongan tubuh yang tergeletak. Dari jauh Via sudah melihat kepala Raisya yang menyeringai tajam tanpa tubuh. Akan tetapi, saat ini, saat mereka berada pada jarak satu meter dari tempat kepala Raisya tergeletak tidak ada apa pun di sana. Beberapa mobil di belakang mereka sempat memberi klakson peringatan agar mereka pergi dari tengah jalan karena menghalangi mereka yang akan bepergian.

“Woy! Kalian semua mau mati berjamaah, hah?”

“Minggir! Dipikir ini jalan nenek kalian!” hardik beberapa pengendara roda empat.

Anggia—gadis yang tadi sempat berteriak memanggil nama Raisya itu terduduk di pinggir jalan. 

“Gue tadi gak salah liat! Gue liat Raisya ketabrak truk terus terlindas mobil kontainer!” Ia bermonolog.

Via mengelus punggung Anggia sambil memikirkan apa yang sebenarnya terjadi.

Via melihat sesuatu. Ia melihat seorang gadis dengan gaun berwarna biru tua selutut yang robek di bagian paha dan terus mengucurkan darah. Rambutnya sepunggung namun pendek di beberapa bagian. Sepertinya, sengaja dipotong tidak beraturan.

Gadis itu menatap Via dalam. Menyeringai tajam dan mengucapkan beberapa patah kata yang Via pahami walau ia tidak mendengar suaranya.

‘Ieu sakur conto!”

(‘Ini hanya contoh’)

Setelah mengucapkan itu, gadis yang Via lihat kemudian pergi entah ke mana. Via dikagetkan oleh suara panggilan seseorang.

“Anggia!”

“Anggia lo ngapain di sini? Gue nyariin lo dari tadi!” Anggia yang sedang syok melihat temannya terlindas truk kontainer seketika pingsan karena lebih kaget dengan siapa yang menyapanya.

“Anggia! Astaga, lo kenapa pingsan?”

“Rai-sya!” 

“Iya ini gue, lo kenapa?”

“Astaga Raisya lo kan tadi ketabrak terus kelindes truk? Kok masih hidup?” celetuk seseorang.

“Gue? Ketabrak? Enggak! Dari tadi gue tidur di bangku bus. Bahkan gue gak ingat kalian semua turun ke sini dan karena apa!” Pernyataan Raisya sukses membungkam semua siswa di sana.

Bagaimana mungkin Raisya yang jelas-jelas mereka lihat terlindas truk tiba-tiba keluar dari dalam bus dalam keadaan sehat dan tidak tahu apa yang menimpanya tadi.

“Kalian halu! Mana ada gue keluar bus. Gue gak bisa nyebrang! Jadi gue paling gak bisa jalan di jalanan gini sendirian!” tukasnya lagi.

Via mencoba memahami semua yang terjadi. Hingga panggilan dari Defa menyadarkan ia dari lamunannya.

“Via! Ngapain di sini?” tanya Defa.

“Defa liat gak, sih tadi Raisya ketabrak mobil?” tanyanya.

“Ketabrak? Raisya XI MIPA 3? Yang itu, kan? Dia kan duduk di samping bangku aku. Aku gak liat dia ketabrak! Dari tadi dia tidur di bangku dia.”

‘Astagfirullahaladzim! Mau kamu itu apa?’ batin Via.

Ia rasa, gadis yang ia lihat tadi yang mengadakan ilusi ini. Tapi bukan hanya Via yang melihat beberapa siswa juga melihat detik-detik Raisya terpental dari mobil yang menabraknya. 

“Ayo masuk bus lagi! Kalian semua ngapain diem di jalanan, sih?” kata Fadri.

Hanya lima siswa yang melihat kejadian itu, termasuk Via. Tapi siswa yang lain menganggap seolah itu adalah hal kecil dan mereka melupakannya agar tidak mengganggu acara yang akan mereka jalani nanti.

‘Apa arti semua ini?’

***

Pukul 7 malam mereka tiba di Garut. Di sebuah desa yang minim cahaya dan sangat sulit sinyal handphone. Malam ini mereka akan tidur di rumah warga sebelum besok mendirikan tenda masing-masing untuk tidur di malam selanjutnya.

“Silakan menempati kamar yang sudah kami sediakan! Ada 6 rumah yang bisa adik-adik tempati!” ucap Pak RT ramah.

Beberapa siswa pun bergantian masuk. Mereka terpaksa tidur berdesakan karena ruangan yang tidak begitu luas dan siswa yang cukup banyak.

Sebelum tidur, Via selalu berwudu. Ia beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi di luar rumah milik Pak RT. Beberapa siswi sudah terlelap, ada pula yang masih menggunakan krim wajah sebelum tidur, dan ada yang menelepon orang tuanya untuk mengabari walaupun sinyal yang tidak terlalu bagus.

Tangga demi tangga Via turuni. Rumah kayu milik Pak RT ini memang termasuk rumah khas desa. Dengan beberapa batu tumpuan, sebuah rumah didirikan di atasnya.

Sekitar sepuluh meter dari rumah, Via sampai ke kamar mandi. Sumur tua dan penutup yang terbuat dari kain serta anyaman bambu memang sangat mencerminkan suasana pedesaan. Setelah mengambil wudu, Via bergegas masuk ke rumah lagi. Namun, seseorang memanggilnya dengan suara yang begitu pelan.

“Pulang, Via!”

“Siapa?” tanya Via. Via menunggu seseorang itu menjawab. Tak ada jawaban, Via memutuskan untuk masuk. Akan tetapi, suara itu kembali muncul.

“Pulang, Via! Jangan bandel! Hihi!” ucapnya diakhiri tawa nyaring.

Via melihat gadis itu lagi. Gadis bergaun biru dengan sesuatu di tangannya. Kepala! Itu sebuah kepala yang terlepas dari tubuhnya!

Via berusaha berucap istigfar sebanyak mungkin dan melangkah pelan menuju pintu rumah. Kakinya terada berat untuk digerakkan.

“Via, pulang!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status