Bab Utama : 2/2 Selesai. Terima kasih untuk Gems-nya sobat readers ... Bab ini merupakan bab terakhir hari ini ... selamat beristirahat.
Dari balik bayang-bayang, makhluk gagal pertama sudah menunggu. Ia meloncat dengan jeritan tajam—mulutnya menganga lebar, memperlihatkan gigi-gigi seperti deretan gergaji logam yang bengkok, berkilau oleh lendir hitam.Namun sebelum taring-taring itu sempat menyentuh batas formasi, pedang Valkyrie menyambut lebih dulu.SLASH!Tebasan itu bukan hanya indah, tapi mematikan. Pedang berbalut energi spiritualnya berputar seperti siklon, menghantam tepat ke arah rahang makhluk tersebut.KRAAAK!Bunyi tulang pecah menggema seperti kayu tua dipatahkan paksa. Rahang bawah makhluk itu remuk, menggantung longgar, namun tubuh busuknya masih berdiri. Bahkan... ia tertawa. Tertawa dengan suara garuk yang mengiris hati.“Makhluk ini ...” gumam Valkyrie, bibirnya menegang, “... tidak tahu rasa sakit.”Ia mundur sejenak, kedua kakinya menapak batu goa dengan ringan. Lalu, dengan sekali hembusan napas—ia meluncur kembali, tubuhnya berputar seirama dengan pedangnya. Kali ini, tak ada ampun.SREEETT!!Ca
Cahaya biru keperakan yang menyelubungi lingkaran pertahanan spiritual mulai berkerlap-kerlip tak menentu, seperti nyala lilin di tengah badai malam yang mengamuk. Getaran halus merambat dari dalam lingkaran, nyaris tak terdengar, namun cukup untuk mengirimkan rasa ngeri ke tulang belakang. Perlahan, dari arah simbol utara, muncul retakan halus—mirip retakan kaca pada jendela yang akan runtuh kapan saja.Valkyrie memicingkan mata, tangan kanannya mengepal di sisi tubuh, menahan desakan untuk melangkah. Suaranya keluar seperti desis angin di antara gigi...“Retaknya … terlalu cepat,” bisiknya, nada cemas menyusup di balik ketenangannya yang semu. “Qi-mu, Tuan Muda … sudah menjadi umpan.”Kevin tidak menjawab segera. Ia menggigit rahang bawahnya, napasnya mulai berat. Di dadanya, energi spiritual mengamuk seperti naga luka—membelit, mencakar, dan menabrak dinding meridian dengan liar. Setiap tarikan napas seolah menambah nyeri yang menyayat dari dalam.Tangannya bergerak cepat—menusuk t
Kevin mengambil sebutir batu spiritual dari cincin dimensi. Ia menekannya perlahan, dan batu itu mulai menyala, memancarkan cahaya biru pucat. Tapi sinar itu seolah ditelan oleh dinding kegelapan—hanya mampu menyinari sejauh satu meter ke depan. Selebihnya, hanya kehampaan, seperti dunia tak pernah terbentuk di luar radius cahaya itu.“Kita seperti berada dalam perut makhluk purba,” bisik Valkyrie, suaranya tak lebih dari desir angin yang tak ada. Ia merapat ke sisi Kevin, matanya terus mengamati kegelapan yang menari.Kevin menyipitkan mata, menajamkan indra spiritualnya. Bahkan tanpa suara, ia bisa ‘merasakan’ kehadiran—angin tak kasat mata yang berhembus dingin di tengkuk, bayangan tak berbentuk yang menyentuh sisi pikirannya.“Aku tak suka tempat ini,” gumam Valkyrie lagi, nadanya menegang. “Ini bukan sekadar gua … Ini seperti entitas. Seperti roh yang sadar.”Kevin mengangguk perlahan, menahan desakan tekanan di tengkuk dan dada. “Roh ...” katanya pelan, “... dari banyak kematian
Langit di atas Hutan Ilahi masih tampak hitam. Warna fajar belum tampak, hanya nuansa kelam yang mengendap di antara ranting dan akar. Bau lumpur busuk dari Rawa Spirit Beast masih melekat kuat di pakaian mereka, meresap ke kulit seperti noda kutukan yang enggan pergi. Setiap tarikan napas membawa rasa getir tanah busuk dan darah monster yang belum mengering.Kevin mengusap luka kecil di tangannya—goresan ringan, tapi cukup untuk menyerap sebagian energinya. Aliran spiritual di dalam tubuhnya mulai melambat. Di sampingnya, Valkyrie menyeka sisi wajahnya yang berlumur lumpur dan abu roh, napasnya pendek tapi tetap terkendali.“Kita harus terus jalan,” ucap Kevin pelan, suaranya nyaris hilang ditelan keheningan hutan.Valkyrie mengangguk, langkahnya menyatu dengan tanah lembap saat mereka mendekati celah batu besar yang menjulang di hadapan—Goa Kematian. Dua batu raksasa menjulang bagaikan rahang monster yang menganga, menanti mangsa untuk ditelan tanpa ampun.Tak ada angin. Tak ada sua
Sisik keras Hydrascale Maw bergeser saat mengayunkan tubuh, dan di sela-sela gerakannya yang besar, Kevin menemukan celah—titik kecil, tak terlihat oleh mata biasa, terletak di bawah ketiak belakang makhluk itu. Ia bergerak cepat, jari-jarinya melesat seperti petir senyap.“Satu ... dua ... tiga ... empat ...” Jarum-jarum spiritual ditancapkan dengan presisi mutlak.“Lima.”Kelima jarum itu menusuk dalam pola melingkar, mengenai titik vital yang dikenal sebagai Pengatur Tekanan Qi, pusat aliran energi makhluk tersebut. Sebuah mantra keluar dari bibir Kevin, nyaris seperti desahan, namun penuh kekuatan yang tak tertahankan.“Ilmu Alkimia Medis-Racun Surgawi Tanpa Batas!”Seketika, tubuh makhluk raksasa itu kejang hebat. Seluruh otot-ototnya mengencang seperti tali busur yang ditarik hingga batas, lalu meledak dalam ledakan energi yang tak terkendali. Salah satu kepala tambahan di punggungnya menjerit dengan suara yang memekakkan telinga, lalu meleleh seperti lilin disiram api, daging da
Lendir hijau kental muncrat dari sela-sela semak dan akar menggembung, menyembur seperti darah dari luka terbuka. Dari celah-celah pepohonan rawa yang melengkung menyerupai taring raksasa—berkerut dan ditumbuhi lumut keunguan—sesosok makhluk muncul perlahan, menggerakkan tubuhnya seolah menari dalam mimpi buruk.Raksasa Buaya Roh—Hydrascale Maw.Makhluk setinggi lima meter itu menyapu pandangan mereka dengan tubuhnya yang mengerikan. Kulitnya bersisik, berlapis-lapis seperti zirah naga tua, berwarna hijau lumut yang memudar ke ungu gelap. Setiap gerakan tubuhnya menimbulkan suara berdecit seperti logam yang digesek batu. Dari dalam rongga matanya yang dalam, dua bola mata bersinar merah darah—tidak berkedip, tidak berperasaan. Hanya haus ... haus akan darah dan energi spiritual.Namun itu belum semuanya.Dari punggungnya yang berdenyut seperti daging bernapas, muncul dua kepala tambahan—menjuntai seperti ular kelaparan. Lidah dari ketiganya menjulur panjang dan bercabang, masing-masing