Bab Utama : 2/2 Selesai. Bab Bonus Gems : 0/1 Bab Extra Author : ? Semoga bisa rilis bab tambahan dari author malam ini ...
Udara di sekitar Kevin berubah drastis. Bukan lagi hawa membakar dari api neraka sebelumnya, melainkan sesuatu yang lebih murni—dingin, tajam, namun penuh wibawa. Aura pedang yang ia lepaskan berdesir di udara seperti ribuan jarum tipis menusuk kulit, membuat bulu kuduk berdiri bagi siapa pun yang merasakannya.Para tetua paviliun yang menyaksikan langsung merasakan dada mereka terhimpit. Beberapa bahkan terpaksa mundur selangkah, wajah pucat pasi.“Tidak mungkin… dia benar-benar… hendak mengeluarkan teknik itu…!” desah salah seorang, suaranya bergetar, seolah baru saja melihat malapetaka turun dari langit.“Apa yang dia lakukan?!” teriak tetua lain dengan panik, kedua tangannya bergetar menahan tongkatnya agar tidak jatuh. “Aura pedangnya… seperti gunung itu sendiri yang runtuh menimpa kita!”Dan saat itu—Pedang Iblis Surgawi di tangan Kevin meledak dengan cahaya yang tak tertahankan. Sinar emas menyilaukan memancar, menusuk hingga ke sudut-sudut paviliun. Dari kilatan itu, terbentuk
Debu dan asap masih meliuk di udara, bergulung seperti naga kelabu yang enggan menghilang. Paviliun Drakenis yang tadi berkilau megah kini tampak seperti medan perang neraka—lantai marmernya pecah membentuk celah-celah menganga, pilar-pilar marmer rebah tak berdaya, dan lampu kristal berayun liar, memantulkan cahaya kacau ke seluruh ruangan.Para tamu masih di tempatnya. Tak ada yang berani lari, seolah kaki mereka tertancap di lantai. Napas mereka memburu, mata tak berkedip. Mereka tahu ini bukan lagi sekadar duel kehormatan—ini adalah ritual penentuan penguasa, dan mereka adalah saksi yang tak bisa berpaling.Dari balik kabut asap yang menyesakkan dada, siluet Alaric muncul. Tubuhnya tegak, jubahnya berkibar, dan senyum tipis menghiasi wajahnya—senyum yang dingin, penuh keyakinan. Matanya menyala merah, seperti bara yang siap meledak kapan saja. Bayangan raksasa yang menjulang di belakangnya mengangkat kedua tangan, seakan hendak meremukkan langit dan bumi dalam satu genggaman.“Kevi
Langit-langit Paviliun seakan bergetar saat seratus pedang surgawi melayang di udara, berkilau laksana bintang-bintang emas yang siap jatuh menghantam bumi. Aura tajamnya menusuk tulang, membuat para tamu yang berada di aula menahan napas dengan wajah pucat pasi. Beberapa yang lemah spiritualnya langsung terjatuh berlutut, darah merembes dari telinga mereka hanya karena tertekan oleh niat pedang Kevin.Di sisi lain, Alaric mengangkat tangannya perlahan. Dari tubuhnya menyembur kabut hitam pekat, lalu mencair menjadi ratusan sosok bayangan—prajurit tanpa wajah dengan mata merah menyala. Mereka bergerak senada, seolah tubuh Alaric adalah poros dan mereka hanyalah cerminan kegelapan yang patuh. Suara desisan lirih terdengar dari tiap langkah mereka, seperti ribuan roh lapar yang merintih dalam jeritan sunyi.“Seratus pedang surgawi… melawan seratus pasukan bayangan.” Suara seorang tetua paviliun bergetar, seperti baru saja menyaksikan akhir dunia.“Ini… bukan lagi duel,” bisik yang lain,
Seratus pedang berkilauan kini menggantung di udara. Pedang-pedang itu berputar perlahan, masing-masing memancarkan aura berbeda—ada yang menyemburkan api merah keemasan, ada yang mengalirkan listrik biru, ada yang memancarkan kabut es putih membeku, ada pula yang menebar angin tajam yang mendesir hingga membuat telinga berdengung.Udara di dalam Paviliun Drakenis seolah berhenti. Para tamu menatap ke atas dengan mata membelalak, wajah pucat, beberapa bahkan mundur tanpa sadar hingga punggung mereka menempel ke dinding.“Aku... aku tak pernah melihat jurus seperti ini...” salah seorang tetua dari Organisasi Artefak Kuno tergagap, tangannya bergetar saat menunjuk ke atas. “Pedang-pedang itu... seolah punya nyawa sendiri!”Seorang wanita dari Sekte Racun Iblis Utama menutup mulutnya dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar hebat. “Bukan hanya aura pedang... setiap bilah mengandung niat membunuh! Kalau jatuh sekalipun satu pedang saja... kita semua akan hancur lebur!”Celestine Aschne menga
Hening menggantung di udara, begitu tebal hingga setiap detik terasa seperti sebuah palu yang menghantam dada. Semua orang menahan napas.Kevin akhirnya bergerak. Dengan gerakan perlahan namun penuh wibawa, ia meraih gagang pedangnya.SREEENG!Suara logam itu seperti petir yang membelah langit. Begitu bilah pedang keluar sepenuhnya dari sarung, cahaya keemasan meledak, memancar ke setiap sudut ruangan.WHUUUM!Seakan-akan seratus matahari kecil meledak sekaligus di Paviliun Drakenis. Dinding kristal bergetar, lantai berderak halus. Para tamu refleks menutup mata, sebagian bahkan jatuh terduduk, berteriak karena silau.Cahaya itu bukan hanya terang—ia membawa tekanan spiritual yang membuat jantung semua orang berdebar panik. Aura pedang itu memancarkan perpaduan yang aneh... suci namun mengancam, surgawi namun iblis. Udara di sekeliling bilahnya berputar, berdesis, seolah ruang itu sendiri menolak keberadaan senjata tersebut.Simbol-simbol kuno di pedang itu bergetar, menyala seperti ru
Kabut keheningan kembali turun setelah nama itu terlontar. Alaric Xarxis. Dua kata yang seakan mengguncang dinding Paviliun Drakenis.Semua mata tertuju pada sosok pria itu. Alaric masih duduk tenang, jubah hitamnya jatuh rapi tanpa lipatan. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi, seolah tuduhan Raisa hanyalah angin lalu. Namun justru ketenangannya yang membuat bulu kuduk setiap orang berdiri.Kevin berdiri tegak, pedang hitamnya berkilau temaram. Aura spiritualnya merambat perlahan, tapi cukup untuk membuat udara di dalam paviliun terasa berat, menekan paru-paru siapa pun yang lemah. Sementara itu, Alaric akhirnya mengangkat wajah, menatap Kevin dengan tatapan setajam pisau.“Jadi... kau percaya pada ocehan seorang wanita yang hampir mati?” suara Alaric dalam, tenang, namun di baliknya ada getaran amarah yang ditahan.Kevin tidak langsung menjawab. Ia melangkah maju, suara langkah sepatunya bergema keras di lantai batu. Tap... tap... tap. Setiap langkah seperti menggedor jantung para tamu ya