Home / Fantasi / Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa / 356. Inti Jiwa Naga dan Tiga Legenda

Share

356. Inti Jiwa Naga dan Tiga Legenda

Author: Zhu Phi
last update Last Updated: 2025-06-28 16:14:05
Debu pertarungan perlahan turun seperti hujan abu yang dingin, melayang ringan sebelum menyentuh tanah yang telah diremukkan oleh kekuatan para cultivator. Di antara retakan-retakan tanah terlarang yang masih mengepulkan asap, getaran qi spiritual—sisa dari pertempuran maha dahsyat—masih terasa. Seolah-olah tanah ini sendiri sedang mencoba mengingat... atau mungkin, sedang menangis.

Celestine jatuh berlutut.

Suara tubuhnya menyentuh tanah bukan ledakan, bukan gemuruh—melainkan suara lirih dari kekuatan yang telah mengerahkan segalanya. Tubuhnya bergetar halus, tak hanya oleh kelelahan, tapi karena nyeri yang menari di sekujur otot dan tulang.

Rambut pirangnya, yang dulunya mengilap di bawah sinar langit, kini kusut tak karuan, melekat di dahi dan pipi karena keringat, darah, dan debu. Jubah putih sucinya, simbol kehormatan dari Sekte Petir Langit, kini tercabik-cabik seperti panji perang usang. Luka terbuka menghiasi lengannya, memar menghitam di bahu dan dada, dan dari sudut bibirnya,
Zhu Phi

Bab Bonus Gems : 1/3. Akhir dari Sekte Naga Emas, namun Kevin belum selesai ...

| 2
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   540. Ravena vs Larxene - II

    Ledakan demi ledakan mengguncang medan perang tanpa henti. Tanah berguncang seperti hendak runtuh, bebatuan bergetar, dan udara penuh dengan retakan suara yang menusuk telinga.Setiap kali Ravena mengangkat tangannya, badai es keluar seperti tsunami beku. Dalam sekejap, ratusan bahkan ribuan pasukan musuh kehilangan nyawa—mereka membeku di tempat, mata membelalak, tubuh kaku. Lalu, suara krek-krek-krek! memenuhi udara saat tubuh-tubuh itu pecah menjadi serpihan tajam, beterbangan bagai pecahan kaca berkilauan.Di sisi lain, setiap kali Larxene tertawa, kabut hitam menggulung deras. Dari dalamnya muncul wajah-wajah ilusi, tak terhitung jumlahnya, menari dengan gerakan yang mustahil dimiliki manusia. Ada yang tersenyum manis, ada yang meratap, ada yang menjerit—semua serentak. Wajah-wajah itu menyerang bagai badai setan: mengiris daging, menjerat leher, memenggal kepala. Dan yang paling mengerikan… senyum mereka tak pernah hilang.Langit yang semula kelam kini benar-benar lenyap. Kabut

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   539. Helena vs Larxene

    Kabut hitam itu merayap di medan perang seperti makhluk hidup. Ia tidak hanya menutupi pandangan, tetapi menyusup ke pori-pori, membuat paru-paru pasukan terasa penuh jelaga. Dari dalam kabut, bayangan-bayangan tipis memanjang, mirip ribuan tangan tak kasat mata yang meraih tubuh para korban, menyeret mereka ke dalam kegelapan.Tawa Larxene langsung pecah.Pertama satu suara.Lalu menjadi sepuluh.Sepuluh berlipat menjadi seratus.Seratus pecah menjadi ribuan, hingga seakan-akan seluruh medan perang menertawakan dirinya sendiri.Suara itu bukan sekadar tawa—ia menusuk gendang telinga, bergetar di tulang, merayap ke otak. Para cultivator lemah memekik, darah mengalir dari telinga mereka, beberapa jatuh tersungkur sambil mencakar kepala sendiri, seolah ingin mencabut suara itu dari dalam batok kepala.“Lihatlah, Ravena Xenagon…”suara Larxene bergema dari segala arah—dari bawah tanah, dari atas langit, dari setiap mulut ilusi yang bermunculan.Ribuan wajahnya menatap Ravena serentak, se

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   538. Menghancurkan Waktu

    Tanah Terlarang di sekitar mereka sudah tak bisa lagi disebut tanah—ia hanyalah kawah darah dan debu bercampur kilat. Ribuan mayat terbakar menjadi abu, yang tersisa hanyalah jeritan-jeritan pendek dari pasukan sekte kecil yang terlalu bodoh untuk mendekat.Helena melangkah maju lagi, Stormfang Saber memancarkan cahaya menyilaukan, seolah menarik petir dari setiap sudut langit. Di tangannya, pedang itu tak lagi sekadar senjata, melainkan penyalur kehendak untuk melawan waktu itu sendiri.Axel tetap berdiri tenang, tubuh berkerudungnya memancarkan aura kehampaan. Retakan-retakan waktu berputar di sekelilingnya, seperti pecahan kaca yang berkilau. Dari dalam pecahan itu, muncul bayangan Helena dalam ribuan versi—ada yang masih remaja, ada yang tua renta, ada pula mayatnya yang sudah membusuk. Semua versi itu menatap Helena dengan dingin.“Semua garis waktu menunjukkan akhirmu sama,” suara berat tanpa nada menggema. “Kematian.”Helena mendesis, menahan guncangan mental yang menghantam di

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   537. Melawan Waktu

    Ledakan demi ledakan mengguncang garis depan medan perang. Tanah retak, api menyala liar, mayat-mayat terbakar berserakan seperti patung arang yang dipahat dari mimpi buruk. Tulang-tulang mencuat dari tanah yang terbelah, menancap seperti monumen kematian. Bau darah, belerang, dan daging hangus bercampur jadi kabut tebal yang mencekik paru-paru siapa pun yang masih hidup.Namun—di tengah simfoni kehancuran itu, ada satu ruang yang berbeda. Sunyi.Sebuah kehampaan aneh membelah bising pertempuran.Axel Gods berdiri tegak di sana. Sosok berkerudungnya bagaikan pilar kegelapan yang tak tersentuh. Ia tak punya wajah—di tempat kepala seharusnya, hanya ada pusaran kehampaan berputar, seperti lubang hitam kecil yang menelan cahaya.Sekitar tubuhnya, waktu itu sendiri berputar aneh. Panah yang melesat berhenti seakan menggantung di udara. Tombak yang dilempar membeku, lalu retak dan berbalik arah, menghujam dada sekutu Kevin yang malang. Ledakan qi yang semestinya mengguncang tanah justru me

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   536. Ilusi vs Es Abadi

    Helena mengusap bibirnya, darah segar menetes. Wajahnya pucat, napasnya terengah, tapi matanya masih berkilat dengan api yang tak bisa dipadamkan. “Cih! Kau melebih-lebihkan dirimu, Axel! Kau hanyalah anjing penjaga Tian Long! Dan aku tahu, kalianlah dalang di balik kehancuran Paviliun Drakenis!”Ia berdiri goyah, dadanya naik turun, tapi tangannya tetap mengangkat pedang. Listrik biru menari di sekujur tubuhnya, menerangi sosoknya yang nyaris rubuh namun tidak mau jatuh.Senyum tipis terukir di wajahnya, senyum seorang pejuang yang tahu dirinya mungkin mati—tapi memilih melawan sampai akhir. “Sentuhan pertama itu hanya permulaan.” Helena mengangkat pedangnya lebih tinggi, kilau biru kembali merambat. “Sekarang… kau akan mengenal siapa Helena Caraxis yang sebenarnya.”***Sementara di sisi lain medan perang, hiruk-pikuk pertempuran berhenti sesaat seolah memberi ruang bagi sebuah duel yang lebih besar dari sekadar perang. Bayangan kabut hitam terbelah, memperlihatkan sosok wanita

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   535. Kemarahan Helena Caraxis

    Kematian Felix tidak menghentikan perang—justru membuatnya semakin menggila. Raungan pasukan sekte-sekte kecil semakin buas, darah mengalir seperti sungai, dan jeritan bercampur dengan denting logam yang tak ada henti. Desa Langit kini bukan lagi desa, melainkan lautan api dan darah.Di tengah kekacauan itu, tanah tiba-tiba bergetar seakan menolak keberadaan sesuatu yang terlalu asing. Rasa dingin yang menusuk sumsum tulang menyapu medan perang. Kabut hitam tipis merayap di permukaan tanah, menelan cahaya api dan spiritual sekitarnya.Dari balik kabut itu, berdirilah sosok berkerudung. Tubuhnya tegak, wajahnya tersembunyi di balik bayangan tudung gelap. Tak ada cahaya yang berani menyingkap siapa dirinya—hanya kehampaan. Dialah Axel Gods – Dewa Tanpa Wajah.Aura yang dipancarkannya begitu berat hingga dunia seolah melengkung di sekelilingnya. Waktu sendiri bergetar di sekitar tubuhnya—gerakan daun yang jatuh melambat, suara teriakan terdistorsi, bahkan detak jantung setiap makhluk tera

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status