Bab pertama hari ini ... Kevin mulai menemukan lawan yang kuat tapi, apa gubernur ini benar-benar kuat? Bab Utama : 1/2 Bab Bonus Gems : 0/3 Gabungan sebelumnya Bab Extra Author : Kemungkinan 1 Bab Selamat beraktivitas ...
Satu hentakan kaki menghentak permukaan tanah dengan kekuatan yang nyaris tak terdengar—namun dampaknya mengguncang. Udara di sekitarnya bergetar hebat, seperti permukaan danau yang dipukul oleh kekuatan tak kasat mata. Riak itu tak menyentuh kulit, tapi menusuk ke dalam jiwa siapa pun yang menyaksikannya.Perlahan, ia mengangkat pedangnya.Cahaya di sekelilingnya mengerut, waktu terasa tertahan dalam tarikan napas yang tercekik. Setiap helai rambut di tubuh siapa pun yang melihat berdiri, seolah alam bawah sadar mereka tahu—sesuatu yang tak bisa diperbaiki sedang terjadi.Kemudian—ia menebas.KRAAAAK!!!Bukan suara daging, bukan suara besi. Tapi sesuatu yang jauh lebih dalam. Lebih kuno. Suara retakan realitas—suara dunia... pecah.Udara pecah seperti kaca disambar palu petir. Dari garis tebasan itu, retakan menjalar bagai urat petir ungu hitam, berdenyut seperti nadi raksasa yang baru saja terbangun dari tidur abadi. Di belakang Kevin, ruang mulai merekah. Menganga seperti luka terbu
Gubernur Adam Smith terduduk di lantai marmer yang retak, bersandar pada dinding pilar yang nyaris runtuh. Napasnya terengah, dadanya naik turun tak beraturan, dan darah kental mengalir dari luka di sisi tubuhnya, mencemari jubah kebesarannya yang dulu berkilau. Tangan kanannya mencengkeram perut, sementara tangan kirinya mencoba menopang tubuhnya yang mulai gemetar. Usahanya untuk berdiri hanya menghasilkan desahan frustasi, seolah tubuhnya menolak tunduk pada kehendaknya sendiri.Di seberangnya, Kevin Drakenis berjalan pelan. Setiap langkahnya terdengar berat, mantap, menggema dalam aula yang kini sunyi dan penuh bayangan. Pedangnya—masih meneteskan darah—terus diseret di sampingnya, meninggalkan jejak sayatan kecil di lantai batu.Adam menatapnya dengan mata menyipit, menolak menunjukkan rasa takut meski tubuhnya nyaris lumpuh. Dan tiba-tiba, ia tertawa. Suara tawanya serak dan pahit, seperti seseorang yang menertawakan akhir dari mimpinya sendiri."Hahaha... Kau pikir kau menang?
Aula itu senyap seperti kuburan. Hanya desiran angin kencang yang menyelinap melalui celah retakan dinding, membawa bau darah, besi, dan kebusukan yang menusuk. Di tengah reruntuhan megah, Kevin berdiri bagai sosok dari bayangan dunia lain—tenang, dingin, namun aura gelap yang mengalir dari tubuhnya cukup untuk membuat darah siapa pun membeku.Adam Smith masih duduk terpaku, tubuhnya menggigil meski ia mencoba menyembunyikannya. Matanya menatap Kevin dengan campuran benci dan takut. Ia tahu... lelaki itu belum selesai.Kevin menoleh perlahan ke sebuah meja panjang yang setengah hancur di sisi aula. Dengan tenang, ia berjalan ke sana, mengangkat sehelai kain beludru merah yang menutupi sebuah kotak logam. Suara gesekan kain terdengar begitu lambat... namun mencekam. Ia membuka kotaknya.Pisau. Penjepit logam. Jarum kristal. Tang panas. Alat-alat yang tak punya nama, tapi punya satu tujuan ... mencabut rahasia dari mulut orang yang bersumpah untuk bungkam.Adam menyipitkan mata. "Kau...
Tubuh Adam Smith bergetar hebat. Napasnya sesak, tercekat di tenggorokan yang kering seperti pasir. Darah yang mengalir dari luka-lukanya mulai mengering di kulit, menciptakan kerak merah kehitaman yang kontras dengan jubah kebesarannya yang dulu megah—kini compang-camping, robek seperti kehormatannya yang hancur.Dengan suara parau, penuh rasa sakit yang ditekan mati-matian, ia akhirnya bersuara.“Aku tidak tahu banyak… tapi Naga Putih—dia yang memimpin Sekte Infinity Power. Sekte itu bersembunyi di Kota Centralpolis, wilayah rahasia di Provinsi Arkandaria.”Ia terbatuk keras, darah memercik dari sudut bibirnya. Tapi ia memaksa melanjutkan, seperti seseorang yang tahu bahwa nyawanya tergantung pada setiap kata yang diucapkannya.“Dia berasal dari... Negeri Seiryu. Tempat itu tidak... tidak ada di dunia fana ini.”Kevin berdiri di atasnya, wajahnya bagai batu granit—dingin, tak bergeming, tak memberi ruang untuk harapan.“Terima kasih,” gumam Kevin datar, suaranya nyaris tak berjiwa.
Adam Smith, atau lebih dikenal sebagai Sang Gubernur, kini bagai serigala terluka yang terpojok. Napasnya memburu, dadanya naik-turun cepat, sementara matanya yang licik terus berputar, mencari-cari celah untuk bertahan. Tetesan darah mengalir pelan dari pelipisnya, membasahi kerah jas mahal yang kini tampak compang-camping.Celestial Myrad... cepatlah datang... pikirnya, bibirnya bergetar menahan desakan panik. Harapannya unuk hidup hanyalah pengawal dari Sekte Infinity Power.Namun, bahkan di ambang kematian, Adam Smith tidak kehilangan keahliannya ... menjual kata-kata seperti pedagang licik di pasar gelap.“Aku tahu masa lalu ayahmu…” bisiknya tergesa, suaranya serak namun tetap terdengar memancing, seperti tali pancing yang dilempar dengan harap-harap cemas. “Aku tahu kebenaran yang kau cari! Jadikan aku pelayanmu, Tuan… Aku akan bersumpah setia padamu. Aku akan menyerahkan seluruh hidupku padamu! Izinkan aku melayanimu!”Nada liciknya menyusup, menyelusup seperti ular yang berbi
Langkah-langkah tegas terus berdentum pelan namun menghantam udara dengan tekanan tak kasat mata, menggema di antara puing-puing batu dan lantai marmer yang retak. Setiap hentakan tumit seolah menandai kedatangan sesuatu yang tak terhindarkan, seperti gema palu takdir yang mendekat.Aura dingin menyayat udara, membuat ruangan yang sebelumnya hangat oleh ketegangan kini terasa membeku.Sekarang penampakan Celestial Myrad ini lebih jelas. Dia seorang wanita muda—mungkin tak lebih dari dua puluh lima tahun. Tapi ada sesuatu pada caranya melangkah: wibawa yang tidak bisa diajarkan, aura kepemimpinan yang membuat udara sendiri seolah menahan napas.Rambut panjangnya, perak dengan semburat keemasan, terurai indah hingga pinggang, berkilau di bawah cahaya matahari. Tiap helai rambut memantulkan cahaya lembut, menciptakan ilusi seperti mahkota cahaya yang menghiasi kepalanya.Sepasang mata biru tajam menatap lurus ke arah Kevin—mata yang bagaikan kristal es, dingin, bening, namun memancarkan
“Kevin Drakenis,” ucapnya akhirnya. Suaranya terdengar lembut—seperti senandung angin malam yang tenang—namun di balik kelembutan itu tersembunyi kilatan petir yang siap menyambar tanpa peringatan. “Nama yang mulai membuat kekacauan di seluruh Provinsi Xandaria.”Kevin mengeluarkan tawa pendek, hampir seperti gumaman, namun matanya menyala tajam, penuh api yang tak bisa dipadamkan. “Nama yang membawa kebenaran keluar dari bangkai kebohongan, maksudmu?” balasnya, nadanya ringan namun berisi keyakinan baja.Valkyrie menghentikan langkahnya hanya beberapa meter dari Kevin. Seketika, aura spiritual mereka saling berbenturan, seperti dua badai yang bertemu di garis tengah. Udara mendadak berat, padat, menekan paru-paru siapa pun yang ada di ruangan. Debu-debu yang beterbangan mulai berputar, puing-puing kecil bergetar hebat, dan lampu gantung yang tergantung tinggi di langit-langit mulai berderik, rantainya berayun dengan suara cemas, seolah takut roboh di bawah benturan energi dua kekuat
Kilatan cahaya menyambar liar, menggurat udara seperti kilat yang turun langsung dari langit. Ledakan demi ledakan mengguncang ruangan megah itu, memecahkan dinding, menghancurkan pilar, dan menyisakan puing-puing yang beterbangan seperti hujan batu. Percikan energi spiritual yang membara memantul di segala permukaan, mewarnai udara dengan semburat biru, ungu, dan perak yang berkilauan.Bagi mata manusia biasa, pertarungan ini mustahil untuk diikuti. Kecepatan mereka terlalu gila, kekuatan mereka terlalu buas. Yang terlihat hanyalah bayangan kabur, garis-garis cahaya yang saling beradu, dan dentuman keras yang menggema seperti perang para dewa. Di antara keanggunan tubuh Valkyrie yang menari lincah dan keganasan aura Kevin yang membara seperti badai petir, terpatri awal dari duel yang tak hanya memperebutkan hidup dan mati, tetapi juga mengguncang tatanan kekuasaan Arkandaria.BRAAAKK!Suara ledakan menggetarkan seluruh ruangan ketika pedang Valkyrie beradu dengan Pedang Dewa Ilahi mi
“Cukup dengan kebohonganmu.”Suara Kevin terdengar pelan, nyaris tanpa emosi, seperti sebongkah es yang jatuh menghantam tanah, dingin dan datar. Matanya menatap kosong ke arah Adam Smith, yang kini hanya tinggal bayangan lelaki sombong yang dulu berdiri gagah sebagai Gubernur Xandaria.“Kau hanyalah makhluk rendahan …” lanjut Kevin pelan, kata-katanya menggantung tajam di udara, “yang tak berguna bagiku.”Ia menunduk perlahan, membiarkan helaan napasnya yang dingin menyapu telinga Adam yang pucat.“Kau akan mati bukan sebagai gubernur …” bisiknya, suaranya nyaris seperti suara angin yang berkesiur di sela reruntuhan. “Tapi sebagai pengkhianat … yang menjual nyawa demi kekuasaan murahan.”Tubuh Adam makin menggigil, giginya bergemeletuk tanpa kendali. Mata lebarnya memantulkan bayangan Kevin yang perlahan berdiri kembali, tegap, seolah menyerap semua kekuatan di sekitarnya.“Tidak … tidak …” gumam Adam pelan, hampir seperti doa kosong, air mata bercampur ingus mengalir di pipinya.Kev
“Aku tak butuh bantuanmu,” gumamnya datar, seolah ucapan itu hanya fakta, bukan ancaman.Adam mengerang pelan, air mata bercucuran, tubuhnya berkelojotan seperti ikan yang dilempar ke daratan. Matanya—mata yang dulu menatap rakyat Xandaria dengan penuh arogansi—kini hanya memantulkan ketakutan murni, ketakutan seorang manusia yang tahu ajalnya sudah menjemput.“Lalu … apa yang kau mau …?” bisiknya, suara itu seperti hela nafas terakhir, hampir tak terdengar, hanya serpihan suara di tengah kehancuran.Kevin menarik napas panjang, dadanya naik turun perlahan. Aura petir yang sedari tadi menggema liar di sekeliling tubuhnya perlahan mereda, satu demi satu kilatan padam, menyisakan hanya keheningan berat. Ia memejamkan mata sesaat, mendengar debar jantungnya sendiri, mendengar suara kenangan lama berbisik di kepalanya.Saat matanya terbuka kembali, hanya ada satu hal di sana: dingin, tak berperasaan.“Aku ingin kau mati,” bisiknya pelan, “dalam ketakutan … dan keputusasaan …”Ia mengangka
Langkah kaki Kevin menghantam tanah yang retak dan hangus, setiap jejaknya menggemakan dentuman berat seperti palu menghajar bumi. Bau logam terbakar bercampur dengan aroma tanah basah menusuk hidungnya, sisa dari kawah pertempuran mautnya dengan Valkyrie yang masih mengepulkan asap tipis ke udara. Setiap embusan angin menggiring kepulan abu, menari-nari di antara reruntuhan dinding yang setengah runtuh. Namun mata Kevin tak goyah. Fokusnya terpaku pada satu sosok yang berlutut gemetar di ujung pandangannya.Adam Smith—dulu Gubernur Xandaria yang angkuh dan berkuasa—kini tampak seperti cangkang kosong, wajahnya pucat, rambut kusut, mata membelalak sembab. Tubuhnya menggigil, satu tangannya terangkat setengah, jari-jari gemetar seperti benang rapuh yang nyaris putus.“Tung-tunggu … Kevin…” suaranya pecah, parau, lebih mirip suara pria yang depresi daripada suara seorang pria yang pernah berdiri di puncak kekuasaan. “Kita … kita bisa bicara …!”Kevin berhenti, hanya satu langkah darinya
Jeritan Valkyrie memecah malam, suara itu seperti lengkingan baja yang dipanaskan, menembus kabut dan debu. Aura perak membuncah dari tubuhnya, berputar liar, menciptakan pusaran cahaya yang menyilaukan. Dari balik kilau itu, muncul wujud ilusi seekor burung langit bersayap tujuh—makhluk legendaris yang hanya bisa dipanggil lewat teknik pamungkas, Lunar Phoenix Ascension. Sayap-sayapnya terbentang, tiap helai bulunya memancarkan cahaya perak yang menusuk gelap, memantulkan bayangan di reruntuhan yang mengelilingi mereka. Pedang Valkyrie, meski retak dan nyaris patah, memancarkan cahaya terakhirnya. “Moonlight Final Art : Silver Phoenix Reversal!” teriaknya, suara itu menggema, bercampur gaung magis yang membuat udara di sekitar bergetar.Di sisi lain, Kevin mencengkeram Pedang Dewa Ilahi lebih erat. Aura hitam-putih yang menyelubunginya semakin mengerucut, seperti tombak kilat yang siap menusuk langit. Mata Kevin, yang kini sepenuhnya bersinar putih, memantulkan kilatan dewa pembala
Valkyrie berdiri limbung di tengah lantai marmer yang sudah retak-retak, kakinya gemetar, lututnya hampir menyerah. Setetes darah mengalir pelan dari pelipisnya, menyusuri garis wajah hingga menetes dari dagu, jatuh ke lantai seperti tetesan waktu yang menghitung mundur. Rambut peraknya, yang biasanya tertata rapi dan berkilau keemasan, kini kusut berantakan, sebagian menempel di kulit wajah yang basah oleh keringat dan darah, sebagian terurai liar seperti tirai api yang tersapu badai. Nafasnya pendek-pendek, dada naik turun cepat, namun tatapan matanya… tatapan itu tetap menyalakan perlawanan. Bara kecil yang menolak padam, meski dikepung hujan badai tanpa ampun.Di seberang ruangan, Kevin berdiri diam, tubuhnya dibalut aura listrik yang mengamuk liar. Lengan kirinya terluka, darah mengalir hingga menodai jari-jarinya, dan bahunya robek, memperlihatkan sepotong daging merah di balik jubah putih yang sudah tercabik. Namun luka-luka itu tidak melemahkannya. Sebaliknya, aura petir di se
Asap tebal membubung di tengah ruangan, dan dari balik kabut itu, Valkyrie terdorong mundur, lututnya menghantam lantai dengan dentuman berat. Napasnya memburu, darah segar menetes dari ujung bibirnya, melukis noda merah di pipi pucatnya. Meski begitu, matanya tetap tajam, menusuk, seperti elang yang tak sudi jatuh hanya karena satu luka.“Kau …” desisnya pelan, suaranya berat namun tetap mengandung kehormatan. “…bukan lawan sembarangan, Kevin Drakenis.”Langkah kaki berat bergema mendekat. Kevin berjalan pelan, setiap jejaknya membakar lantai, meninggalkan bekas arang hitam yang menguapkan asap tipis. Aura petirnya kini menggila, menyambar-nyambar di sekeliling tubuhnya, mencabik udara hingga terdengar suara siulan tajam. Matanya menyala bagai bara, memancarkan cahaya putih yang memaksa jantung siapapun berdetak lebih cepat.Ia menyeringai tipis, senyumnya dingin, tapi di sana ada sedikit kekaguman.“Dan kau …” bisiknya pelan, suaranya hampir seperti gumaman maut, “…terlalu cantik un
Kilatan cahaya menyambar liar, menggurat udara seperti kilat yang turun langsung dari langit. Ledakan demi ledakan mengguncang ruangan megah itu, memecahkan dinding, menghancurkan pilar, dan menyisakan puing-puing yang beterbangan seperti hujan batu. Percikan energi spiritual yang membara memantul di segala permukaan, mewarnai udara dengan semburat biru, ungu, dan perak yang berkilauan.Bagi mata manusia biasa, pertarungan ini mustahil untuk diikuti. Kecepatan mereka terlalu gila, kekuatan mereka terlalu buas. Yang terlihat hanyalah bayangan kabur, garis-garis cahaya yang saling beradu, dan dentuman keras yang menggema seperti perang para dewa. Di antara keanggunan tubuh Valkyrie yang menari lincah dan keganasan aura Kevin yang membara seperti badai petir, terpatri awal dari duel yang tak hanya memperebutkan hidup dan mati, tetapi juga mengguncang tatanan kekuasaan Arkandaria.BRAAAKK!Suara ledakan menggetarkan seluruh ruangan ketika pedang Valkyrie beradu dengan Pedang Dewa Ilahi mi
“Kevin Drakenis,” ucapnya akhirnya. Suaranya terdengar lembut—seperti senandung angin malam yang tenang—namun di balik kelembutan itu tersembunyi kilatan petir yang siap menyambar tanpa peringatan. “Nama yang mulai membuat kekacauan di seluruh Provinsi Xandaria.”Kevin mengeluarkan tawa pendek, hampir seperti gumaman, namun matanya menyala tajam, penuh api yang tak bisa dipadamkan. “Nama yang membawa kebenaran keluar dari bangkai kebohongan, maksudmu?” balasnya, nadanya ringan namun berisi keyakinan baja.Valkyrie menghentikan langkahnya hanya beberapa meter dari Kevin. Seketika, aura spiritual mereka saling berbenturan, seperti dua badai yang bertemu di garis tengah. Udara mendadak berat, padat, menekan paru-paru siapa pun yang ada di ruangan. Debu-debu yang beterbangan mulai berputar, puing-puing kecil bergetar hebat, dan lampu gantung yang tergantung tinggi di langit-langit mulai berderik, rantainya berayun dengan suara cemas, seolah takut roboh di bawah benturan energi dua kekuat
Langkah-langkah tegas terus berdentum pelan namun menghantam udara dengan tekanan tak kasat mata, menggema di antara puing-puing batu dan lantai marmer yang retak. Setiap hentakan tumit seolah menandai kedatangan sesuatu yang tak terhindarkan, seperti gema palu takdir yang mendekat.Aura dingin menyayat udara, membuat ruangan yang sebelumnya hangat oleh ketegangan kini terasa membeku.Sekarang penampakan Celestial Myrad ini lebih jelas. Dia seorang wanita muda—mungkin tak lebih dari dua puluh lima tahun. Tapi ada sesuatu pada caranya melangkah: wibawa yang tidak bisa diajarkan, aura kepemimpinan yang membuat udara sendiri seolah menahan napas.Rambut panjangnya, perak dengan semburat keemasan, terurai indah hingga pinggang, berkilau di bawah cahaya matahari. Tiap helai rambut memantulkan cahaya lembut, menciptakan ilusi seperti mahkota cahaya yang menghiasi kepalanya.Sepasang mata biru tajam menatap lurus ke arah Kevin—mata yang bagaikan kristal es, dingin, bening, namun memancarkan