Bab pertama hari ini ... Bab Utama : 1/2 Bagaimana nasib Ravena? Mampukah Vermillion Vein mengembalikan kondisinya?
Langit di atas Pegunungan Abadi mulai memudar ke ungu kelam saat Kevin berdiri sendiri di puncak dunia, tubuhnya dihujani angin dingin yang menusuk tulang. Kabut qi masih mengepul dari tanah yang retak, mencium aroma darah dan kehancuran yang masih segar. Zherana telah pergi, meninggalkan bayangannya seperti kutukan yang tak bisa dihapus.Di kejauhan, Desa Langit masih samar terlihat, dikelilingi dinding qi dan pegunungan terjal. Di sanalah Valkyrie terbaring, masih lemah setelah luka fatal dari pertempuran sebelumnya. Kevin menatap ke arah desa itu—matanya mengeras.“Maafkan aku, Valkyrie… Aku belum bisa kembali. Belum sekarang. Musuh belum habis.”Ia memalingkan wajah. Tujuannya berubah: Kota Dewa, pusat dari peradaban spiritual, tempat para penguasa langit memerintah dan rahasia tertinggi disembunyikan. Tapi sebelum sampai ke sana, ia harus melewati Lembah Ilahi—batas terakhir antara Pegunungan Abadi dan Kota Dewa.Dan di situlah, bahaya sesungguhnya telah menunggunya.***Ketika K
Zherana berdiri diam, tubuhnya tampak tenang di tengah pusaran angin yang masih menggila di Pegunungan Abadi. Kabut qi hitam berputar lembut di sekelilingnya seperti ular spiritual yang tak pernah tidur. Matanya, dua batu giok kelam, menatap tajam ke arah Kevin Drakenis, yang walau tubuhnya sudah penuh luka dan darah, masih berdiri.Bahu Kevin bergetar. Nafasnya terengah. Tapi di tengah bayangan dan darah yang mengalir di pelipis, matanya menyala, tak padam, seperti bara yang baru saja disiram minyak.Zherana mengerutkan alis. Ada sesuatu yang muncul di wajahnya—bukan belas kasihan. Tapi semacam... kekaguman pahit. Kekaguman yang tak ingin ia akui, tapi tak bisa ia sangkal.“Kau benar-benar pewaris darah naga…” katanya perlahan, suaranya sehalus angin namun setajam bilah. “Tapi sayangnya, kau terlalu percaya pada harga dirimu sendiri.”Kevin menyeka darah dari wajahnya dengan punggung tangan. Ia mengangkat pedang besar yang hampir jatuh dari genggamannya, dan menggenggamnya lebih erat.
Zherana bergerak lebih cepat dari desiran angin. Tanpa aba-aba. Tanpa gerakan awal. Hanya ledakan tekanan qi yang meledak tiba-tiba—hembusan angin hitam yang melesat dan mencabik udara seolah hendak memisahkan dunia.“Ilmu Fana Angin Surgawi - Pisau Langit Tujuh Tingkat!” serunya, suaranya bergetar oleh resonansi qi yang tak kasat mata.Dari langit yang berputar gelap, puluhan bilah angin tak terlihat muncul, memutar, lalu menghujani Kevin dari segala arah seperti hujan bintang maut. Pisau-pisau ini tak hanya tajam—mereka adalah penghancur aliran qi. Siapa pun yang terkena, regenerasi spiritualnya akan terhenti seketika, seolah tubuhnya dilumpuhkan dari dalam.Kevin mengayunkan tubuhnya ke belakang, melompat dengan gerakan spiral. Suara angin bersiul tajam di dekat telinganya. Dalam sekejap, dia menciptakan lingkaran hitam di bawah telapak kakinya—pola qi naga hitam yang meledak seperti tinta kegelapan yang menciprat liar ke seluruh arah.“Phantom Demon Blast!”Ledakan energi pekat dar
Langit di atas Pegunungan Abadi tidak sekadar membentang biru—ia mengisyaratkan kegelisahan. Garis-garis gelap dari awan qi menyatu dalam pusaran mengerikan, melingkar seperti cakar raksasa yang mencakar langit dari dalam, menciptakan ilusi bahwa alam itu sendiri sedang merintih. Angin meraung liar, tak seperti hembusan biasa. Ia membawa serta kilatan qi tajam yang mencabik udara, dan salju turun bukan dengan keanggunan, melainkan seperti bilah-bilah kecil yang menghujam kulit seperti ribuan jarum es.Di langit yang gelap dan bergolak itu, Kurozan, burung legendaris bersayap malam, melayang rendah. Sayap raksasanya mengepak berat, menantang badai spiritual yang semakin menggila. Bulu-bulunya, hitam sepekat malam, kini diselimuti kristal-kristal es yang berkilau seperti duri beku. Ia mengepakan sayap bukan sekadar untuk terbang, tapi seolah menantang langit itu sendiri agar tidak runtuh.Berdiri gagah di punggung Kurozan adalah Kevin Drakenis. Sosoknya tegap dalam balutan jubah hitam ya
Malam itu turun perlahan seperti selimut hitam yang dibentangkan oleh langit sendiri. Bintang-bintang bermunculan satu per satu, menembus kabut qi tipis yang menyelimuti Desa Langit. Kabut itu bukan biasa—ia mengandung riak energi spiritual yang berkedip-kedip, seolah alam pun tahu bahwa malam ini bukan malam yang tenang.Di dalam ruang penyembuhan berlapis batu qi kristal, cahaya dari lentera roh menari di dinding. Suara napas Valkyrie terdengar tenang, tapi tubuhnya masih dibalut oleh pelindung qi yang terus bergelora di permukaannya—pertanda bahwa luka di dalamnya masih belum pulih seutuhnya.Kevin berdiri membelakanginya. Tubuhnya mengenakan kembali jubah hitam tempur yang sebelumnya sudah disimpan, kini beraroma kabut dan darah kering. Meski gerakan tubuhnya masih tertahan oleh nyeri, ada sesuatu yang lain di matanya—keteguhan yang tak bisa ditawar.Ia berjalan mendekat, lututnya sedikit goyah namun tegas. Cahaya dari lentera spiritual menerpa wajahnya, memperlihatkan garis kelela
Langit di atas Samudera Kahyangan terbentang luas, seolah tak berbatas, namun terasa sempit bagi hati yang penuh luka. Di atas punggung Kurozan yang membentang seperti bayangan hitam melintasi cakrawala, Kevin duduk diam, tak mengucapkan sepatah kata pun.Angin lembut menyentuh wajahnya, membawa aroma garam dan partikel-partikel spiritual dari riak ombak yang berkilau seperti potongan cahaya qi. Tapi tidak satu pun dari itu mampu menenangkan gejolak yang berputar di dalam dadanya. Luka di kulitnya mungkin sudah pulih—berkat pil pemulihan langka yang ia simpan—namun luka di hatinya masih terbuka seperti goresan dari pisau tak kasatmata: perpisahan, kehancuran, dan kematian yang selalu membayangi jejaknya.Di pelukannya, Valkyrie bersandar lemah, napasnya tenang tapi berat. Ujung jubahnya menggenggam erat tangan Kevin. Tubuhnya masih memulihkan diri dari pertarungan brutal melawan Harimau Salju Bersayap Naga. Sekalipun terluka, tatapan matanya saat membuka kelopak—walau hanya sesekali—ma