Rembulan tenggelam di ufuk barat, menyisakan kegelapan pekat sebelum fajar.Kuil Malaikat Keadilan yang rusak berdiri sunyi, menyimpan rahasia pertarungan yang baru saja terjadi. Aura kematian masih mengambang di udara seperti kabut tipis, menyelimuti reruntuhan dan altar yang rusak.Angin malam berhembus, membawa aroma darah samar yang telah mengering. Kemudian, keheningan itu terusik oleh suara tajam—seperti angin yang terbelah oleh benda-benda yang bergerak cepat.Lima sosok mendarat dengan keras di halaman kuil bagian timur, mengenakan jubah putih bersih dengan sulaman emas."Berhati-hatilah," bisik Tian Zhang dari Sekte Langit Murni. "Ada sesuatu yang tidak beres di tempat ini."Mereka adalah pemimpin lima sekte aliran putih terbesar di Kekaisaran Bai Feng—Tian Zhang, Guang Jian dari Sekte Pedang Cahaya, Xue Mei dari Sekte Bunga Salju, Feng Zhen dari Sekte Angin Sejati, dan Yue Sheng dari Sekte Bulan Suci.Hampir bersamaan, lima sosok berjubah hitam dengan aksen merah darah menda
Rong Tian berdiri di atas bukit rendah, memandang Kota Bian Cheng yang terbentang di bawahnya. Tembok kota yang tinggi dan kokoh menjulang dengan empat gerbang utama yang dijaga ketat oleh prajurit berseragam hitam-merah.Matahari sore menyinari pagoda-pagoda tinggi dan bangunan-bangunan dengan atap melengkung yang khas, menciptakan siluet keras melawan langit kemerahan.Kota Bian Cheng—Kota Perbatasan—berdiri tegak di persimpangan jalur perdagangan utama antara wilayah Utara dan Barat Benua Longhai. Arsitektur kota ini unik, mencampurkan gaya Utara yang formal dengan sentuhan Barat yang lebih kasar.Pedagang dari berbagai penjuru dunia memenuhi jalanan, membawa barang dagangan eksotis dan kabar dari negeri jauh."Jadi ini Kota Bian Cheng," gumam Rong Tian, mengamati arus manusia yang bergerak melalui Gerbang Timur. "Tempat di mana semua rahasia tersembunyi di balik tembok-tembok tinggi."Ia merapikan jubah pelajarnya yang sederhana dan menyesuaikan topi khasnya. Penyamaran sebagai pe
"Tuliskan sebuah puisi tentang perjalananmu ke Bian Cheng. Biarkan aku melihat kemampuanmu."Rong Tian mengambil kuas yang disodorkan, mencelupkannya ke dalam tinta, dan mulai menulis dengan gerakan penuh keyakinan. Ia telah mempersiapkan ini, mempelajari gaya sastra klasik untuk menyempurnakan penyamarannya.Setelah selesai, Guru Lu mengambil kertas itu dan membacanya dengan seksama. Alisnya terangkat sedikit, tanda ketertarikan."Menarik," gumamnya. "Gaya tulisanmu kasar namun memiliki kekuatan tersembunyi. Seperti pedang yang dibungkus kain sutra." Ia menatap Rong Tian dengan pandangan menilai."Baiklah, aku akan menerimamu sebagai murid. Tapi ingat, di paviliun ini, aku yang menetapkan aturan.""Terima kasih, Guru. Saya akan mematuhi semua aturan," jawab Rong Tian."Kau bisa tinggal di kamar kosong di lantai atas. Pelajaran dimulai besok pagi saat matahari terbit," ucap Guru Lu. "Oh, dan satu hal lagi—di Bian Cheng, mata dan telinga ada di mana-mana. Berhati-hatilah dengan apa yan
Suasana mendadak hening. Para pelanggan saling pandang dengan waspada."Jangan bicara sembarangan tentang hal itu di sini," bisik seorang pria tua, matanya melirik ke kiri dan kanan. "Banyak telinga yang mendengar di Pasar Seribu Lentera.""Memangnya kenapa?" Rong Tian pura-pura bingung. "Bukankah itu hanya legenda?""Legenda yang telah membuat banyak orang mati," jawab pria itu dengan suara rendah."Terutama belakangan ini. Kau pendatang baru, jadi kau tidak tahu. Tapi ada banyak orang yang menghilang setelah mencari tahu terlalu banyak tentang harta karun itu."Informasi ini membuat Rong Tian semakin yakin bahwa ia berada di tempat yang tepat. Namun, setelah dua minggu mengumpulkan informasi, ia masih belum menemukan petunjuk nyata tentang peta harta karun atau keberadaan Sekte Tengkorak Api.+++"Mungkin aku salah tempat," gumamnya pada diri sendiri malam itu, sambil membereskan kedai mienya."Besok aku akan kembali ke Biramaki."Saat itulah ia mendengar suara samar—suara jubah sut
Sosok bertopeng putih melesat pergi, menghilang di antara pepohonan lebat Hutan Kabut Ungu. Suara desiran jubahnya perlahan lenyap, menyisakan keheningan mencekam yang hanya diisi oleh hembusan angin malam.Guru Lu dan An Ying kini berdiri berhadapan, dipisahkan oleh jarak sepuluh langkah. Bulan purnama menyinari mereka dari celah-celah dedaunan, menciptakan pola bayangan yang menari-nari di tanah hutan."Kau membiarkan dia pergi," ucap An Ying, matanya menyipit berbahaya. Tangannya perlahan bergerak ke gagang pedang hitam yang tersarung di pinggangnya. "Kau tahu apa yang dia bawa, bukan?"Guru Lu menatap An Ying dengan tenang. Tidak ada lagi kesan lemah lembut seorang guru sastra dalam tatapannya. Yang ada hanyalah ketajaman dan kewaspadaan seorang petarung berpengalaman."Itu bukan urusanmu, An Ying," jawab Guru Lu, suaranya dingin dan tegas. "Kembali ke Kekaisaran Bai Feng-mu, dan jangan ikut campur urusan Kota Bian Cheng."An Ying tertawa rendah. "Kau pikir kau bisa memerintahku?
"Teknik Sembilan Racun Langit!" An Ying melancarkan serangan lanjutan. Pedangnya menusuk udara sembilan kali, meninggalkan jejak energi beracun yang mengarah pada Guru Lu.Rong Tian menahan napas menyaksikan pertarungan ini. Kedua kultivator ini bertarung dengan kecepatan dan kekuatan yang mengesankan. Meski berada di bawah tingkatannya, teknik bertarung mereka sangat matang dan efisien, hasil dari puluhan tahun pengalaman."Formasi Bintang Penghalau Racun!" Guru Lu meneriakkan jurusnya. Kipasnya bergerak dalam pola rumit, menciptakan perisai energi yang menetralisir sembilan racun An Ying.Pertarungan berlanjut dengan intensitas mengerikan. Setiap benturan energi qi mereka menciptakan gelombang kejut yang menghancurkan area hutan di sekitar. Pohon-pohon tumbang, tanah retak, dan udara dipenuhi dengan energi pertempuran yang mencekam.An Ying melancarkan serangan demi serangan. "Jurus Pedang Api Neraka Menghanguskan! Bara Memusnahkan Dunia! Teknik Tapak Bayangan Iblis!"Guru Lu menang
"Guru Lu..." geramnya, meludahkan darah ke lantai kuil. "Kau licik... sangat licik... Berpura-pura menjadi guru sastra lemah, padahal kau memiliki kekuatan sebesar itu..."An Ying mengeluarkan botol kecil dari balik jubahnya, berisi pil obat berwarna merah. Ia menelan pil tersebut, lalu memejamkan mata, berusaha menstabilkan aliran qi dalam tubuhnya yang kacau."Peta itu... harus menjadi milikku..." gumamnya sebelum jatuh dalam meditasi penyembuhan. "Harta karun Dinasti Xi Tian... akan menjadi milikku...">>>> Sinar bulan menembus celah-celah atap kuil yang rusak, menciptakan pola cahaya dan bayangan di lantai berdebu. An Ying duduk bersila di sudut, darah mengalir dari sudut bibirnya. Luka dalam yang dideritanya akibat pertarungan dengan Guru Lu semakin parah. Aliran qi dalam tubuhnya kacau, dan organ dalamnya mengalami kerusakan serius."Sial... sial..." geramnya, berusaha menstabilkan pernapasan. Pil merah yang ia telan hanya memberikan efek sementara, tidak cukup untuk menyembuhk
Raja Kelelawar Hitam menatapnya dengan mata merah yang dingin. "Aku menawarkan perjanjian. Bekerjalah untukku sebagai mata dan telinga. Cari tahu siapa sosok bertopeng itu, dan laporkan padaku segala yang kau temukan.""Dan apa yang hamba dapatkan sebagai balasannya, Tuanku?" tanya An Ying, meski ia sudah bisa menebak jawabannya.Raja Kelelawar Hitam mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik jubahnya. Ia membukanya, menampakkan sebuah pil hitam yang mengeluarkan aura dingin dan bau busuk yang menyengat."Pil Iblis Pemulih Jiwa," ucap Raja Kelelawar Hitam. "Dapat menyembuhkan luka dalam terparah sekalipun dalam waktu singkat. Bahkan kultivator yang berada di ambang kematian bisa pulih sepenuhnya."An Ying menatap pil itu dengan campuran keraguan dan keinginan. Pil Iblis Pemulih Jiwa adalah artefak legendaris yang hanya pernah ia dengar dalam cerita. Konon, pil ini dibuat dengan jiwa seribu kultivator, diproses dengan teknik terlarang yang hanya dikuasai oleh beberapa iblis terkuat."B
Jeritan kesakitan memenuhi udara saat kedelapan pria itu jatuh berlutut, memegangi bahu kanan mereka yang kini tanpa tangan. Wajah mereka pucat pasi, campuran antara rasa sakit yang luar biasa dan ketakutan yang mendalam. Senjata-senjata mereka tergeletak sia-sia di tanah, masih digenggam oleh tangan-tangan yang kini terpisah dari tubuh pemiliknya."Ampun! Ampun!" teriak pemimpin kelompok, air mata dan ingus mengalir di wajahnya yang pucat. Keangkuhan dan kesombongannya lenyap seketika, digantikan oleh ketakutan yang mendalam. "Kami tidak tahu... kami tidak tahu Tuan adalah...""Tuan Muda Iblis yang asli," bisik salah satu anak buahnya, suaranya bergetar hebat. "Ampuni kami, Tuan... kami hanya murid bodoh yang tidak tahu apa-apa..."Rong Tian menatap kedelapan pria itu dengan pandangan dingin, tidak ada belas kasihan di matanya yang tajam. "Kalian menghina dan mengancam orang yang salah. Anggap ini pelajaran untuk tidak menilai orang dari penampilannya saja."Akhir-akhirnya, semak
Tawa mengejek kembali terdengar dari kedelapan pria itu, begitu keras hingga beberapa burung terbang ketakutan dari pohon-pohon di sekitar jalan setapak. Namun tawa mereka terhenti seketika saat Rong Tian mengangkat tangannya dengan gerakan yang hampir tidak terlihat oleh mata biasa."Seperti katak di dasar sumur yang tidak pernah melihat luasnya samudra," ucap Rong Tian pelan, suaranya dingin seperti es di musim dingin. "Kalian terlalu sombong untuk ukuran kultivator tingkat rendah."Pemimpin kelompok itu terdiam sejenak, terkejut dengan keberanian Rong Tian. Namun keterkejutan itu segera berganti dengan kemarahan yang meledak-ledak."Kau!" teriaknya, wajahnya merah padam seperti kepiting rebus. "Berani sekali kau menghina kami! Anak-anak, beri pelajaran pada pengecut ini! Potong tangannya agar dia tidak bisa lagi berpura-pura menjadi Tuan Muda Iblis!"Kedelapan pria itu bergerak serentak, masing-masing mengeluarkan senjata mereka. Pedang, golok, dan cambuk berkilau tertimpa sinar
Salah satu anak buahnya, pria kurus dengan rambut panjang yang diikat tinggi, melangkah maju dengan senyum mengejek. "Mungkin dia memang ingin menjadi Tuan Muda Iblis. Lihat pakaiannya, lihat gaya rambutnya!" Ia berjalan mengelilingi Rong Tian, mengamatinya seperti pedagang yang menilai barang dagangan. "Tapi sayang sekali, peniruan yang buruk. Tuan Muda Iblis yang asli memiliki aura yang bisa membuat orang biasa pingsan hanya dengan tatapannya.""Dan kau," tambah pria lain dengan guratan luka membekas di lehernya, "hanya membuat kami ingin tertawa!"Gelak tawa meledak dari kedelapan pria itu, bergema di sepanjang jalan setapak. Para penonton yang berkumpul ikut tertawa, beberapa bahkan menunjuk-nunjuk Rong Tian dengan sikap merendahkan.Rong Tian tetap diam, matanya yang tajam mengamati kedelapan pria itu dengan seksama, menilai kekuatan dan kelemahan mereka dalam sekejap. Dari aliran qi yang ia rasakan, kedelapan pria ini berada di tingkat Fondasi Akhir, jauh di bawah levelnya sen
Kota Fengluo berdiri angkuh di kaki gunung yang menjulang tinggi, diselimuti kabut tipis yang tak pernah benar-benar sirna. Berbeda dengan kota-kota lain di Dataran Tengah yang dipenuhi warna-warna cerah dan suara tawa, Fengluo dibalut nuansa kelam dan bisikan-bisikan rahasia.Bangunan-bangunannya didominasi warna hitam dan merah gelap, dengan ukiran naga dan makhluk mitologi lainnya yang seolah mengawasi setiap sudut kota.Atap-atap melengkung tajam seperti cakar yang siap mencengkeram langit, sementara lentera-lentera merah berpendar redup, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di dinding-dinding batu.Inilah pusat berbagai aliran iblis di Dataran Tengah, tempat di mana praktik-praktik yang dianggap terlarang di wilayah lain justru berkembang dan dihormati.Udara di sini terasa berbeda, lebih berat dan kaya akan energi yin yang pekat, membuat kultivator biasa merasa tidak nyaman dan tertekan. Namun bagi mereka yang telah memilih jalan kultivasi iblis, tempat ini adalah surga yan
Xiao Hu menatap gurunya dengan bingung."Menghindar? Tapi bukankah mereka perampok? Kereta kita ditarik empat kuda perkasa, jelas menunjukkan bahwa kita bukan orang biasa. Seharusnya mereka justru tertarik, bukan?""Seperti kata pepatah, 'bahkan harimau pun tahu kapan harus mundur'," jawab Rong Tian, masih menatap ke luar jendela."Ada sesuatu yang tidak kita ketahui."Perjalanan mereka berlanjut tanpa gangguan, melewati hutan-hutan lebat, sungai-sungai jernih, dan lembah-lembah hijau yang membentang luas.Dua hari berlalu dengan damai, tanpa satu pun perampok atau bandit yang berani menghadang mereka. Fenomena yang sangat tidak biasa untuk jalur perdagangan yang terkenal berbahaya ini.Pada sore hari ketiga, mereka akhirnya melihat tembok tinggi Kota Fengluo di kejauhan. Kota ini, yang terletak di kaki Gunung Fengluo, adalah pusat perdagangan dan kultivasi terbesar di bagian utara Dataran Tengah.Tembok kotanya yang tinggi dan kokoh dilapisi formasi perlindungan yang berpendar kebiru
Malam telah merangkak naik di langit Kota Tianzhou, menyelimuti jalanan dengan kegelapan yang hanya diterangi oleh lentera-lentera yang bergoyang pelan tertiup angin.Bintang-bintang berkilauan di langit seperti permata yang ditaburkan di atas kain beludru hitam, menyaksikan dalam diam saat kereta kayu berukir dengan empat kuda hitam perkasa melaju keluar dari gerbang utara kota.Rong Tian duduk dengan tenang di dalam kereta, matanya terpejam seolah bermeditasi. Di hadapannya, Xiao Hu masih terjaga, sesekali melirik keluar jendela dengan waspada.Kejadian dengan Guru Negara Long Jian beberapa jam lalu masih membekas jelas dalam ingatannya, menciptakan campuran rasa kagum dan kekhawatiran yang tidak bisa ia sembunyikan."Shizun," Xiao Hu akhirnya memberanikan diri memecah keheningan. "Apakah Guru Negara Long Jian benar-benar akan mencari kita di Sekte Hehuan?"Rong Tian membuka matanya perlahan, cahaya bulan yang menembus jendela kereta menciptakan kilau misterius di matanya yang dalam
Long Jian menatap Rong Tian dengan tatapan menilai. Keheningan yang mencekam menyelimuti jalan itu selama beberapa saat, hanya diinterupsi oleh suara angin yang masih bertiup kencang."Anda berbicara dengan baik, tuan muda," ucap Long Jian akhirnya. "Tapi kata-kata tidak selalu mencerminkan kebenaran. Mari kita lihat apakah kekuatan Anda sehebat mulut Anda."Tanpa peringatan, Long Jian menggerakkan tangannya dalam gerakan cepat yang hampir tidak terlihat oleh mata biasa. Telapak tangannya mendorong udara kosong di hadapannya, namun efeknya luar biasa. Gelombang qi biru keperakan melesat ke arah Rong Tian dengan kecepatan luar biasa, membuat udara bergetar dan tanah di bawahnya retak."Telapak Langit Runtuh," bisik Long Jian, suaranya hampir tidak terdengar.Serangan itu cukup kuat untuk menghancurkan batu granit, bahkan membuat kultivator Tahap Eliksir Emas level satu terluka parah. Long Jian jelas berharap untuk mempermalukan pemuda lancang di hadapannya, membuktikan bahwa ada ja
Cahaya senja menyinari meja kayu tempat Rong Tian dan Xiao Hu masih duduk dengan tenang. Hidangan yang tadinya mengepul panas kini sudah dingin, tersentuh hanya sedikit. Kejadian dengan Penatua Wei telah menghilangkan selera makan mereka, meski Rong Tian tetap menikmati Arak Bunga Peach dengan ketenangan yang kontras dengan ketegangan di sekitarnya."Kita berangkat malam ini juga," ucap Rong Tian setelah meletakkan cawan araknya. Matanya menatap keluar jendela, mengamati langit yang mulai berubah warna dari jingga keemasan menjadi ungu kemerahan. "Tidak bijaksana berlama-lama di kota yang tidak bersahabat."Xiao Hu mengangguk cepat, masih terpesona dengan kekuatan Shizun-nya yang baru saja ia saksikan. "Ke mana kita akan pergi, Shizun?""Kota Fengluo," jawab Rong Tian singkat. "Kita harus tiba sebelum perhelatan di Sekte Hehuan dimulai."Lao Wang, yang sejak tadi diam dengan wajah pucat, akhirnya bersuara. "Saya akan mengambil kereta di penginapan, Tuan. Kita sudah membayar untuk
Tantangan itu membuat Penatua Wei terdiam sejenak.Ia bisa merasakan aura dingin yang memancar dari pemuda di hadapannya, sesuatu yang tidak biasa untuk kultivator seusianya. Namun, egonya terlalu besar untuk mundur di hadapan murid-muridnya."Baiklah, jika itu yang kau inginkan!" Penatua Wei mengambil posisi bertarung, energi qi biru keperakan mulai berputar di sekitar tubuhnya."Aku akan memberimu pelajaran yang tidak akan kau lupakan!"Dengan gerakan cepat, Penatua Wei melancarkan serangan pertama. Telapak tangannya yang besar bergerak dalam pola rumit, menciptakan gelombang qi yang melesat ke arah Rong Tian.Udara bergetar saat energi qi biru keperakan itu membelah ruangan, menghancurkan beberapa piring dan mangkuk yang berada di jalurnya."Telapak Awan Menggulung!" teriak Penatua Wei, suaranya penuh keyakinan.Rong Tian menatap gelombang energi yang mendekat dengan ekspresi tenang. Tidak ada ketakutan, tidak ada keraguan di matanya yang dalam. Bahkan tidak ada gerakan untuk meng