Langit di atas Kota Zhongtian merah saga, seolah tahu betapa berdarahnya hari ini. Awan gelap menggantung seperti benang takdir yang hendak diputus. Kota ini tak pernah tidur, tapi pagi itu, seisi negeri menahan napas.
Turnamen Seribu Pedang bukan sekadar pertarungan biasa. Ini adalah ujian darah dan kehormatan, panggung raksasa yang mempertemukan para pewaris sekte, anak dewa, hingga murid buangan. Tapi hari ini, semua sorotan tertuju pada satu nama yang bahkan tak tercatat dalam daftar resmi. Gohan Lee. Pemuda yang tidak membawa bendera sekte manapun, namun membuat langit berguncang hanya dengan tatapan. Sosoknya berdiri di tengah arena utama, dikelilingi lapisan kabut spiritual. Di tangannya, pedang emas bergetar pelan, seolah tak sabar mencicipi darah lagi. "Duel ke-87! Han Bei dari Sekte Jalur Derai melawan Gohan Lee dari... status tidak terverifikasi," suara wasit menggema, disertai dentuman genderang."Langit berubah warna saat darah turun dari surga." Desas-desus itu berembus di sepanjang Pegunungan Perawan Tua, tempat Gohan terakhir kali menginjakkan kaki sebelum segel langit terbelah. Dan sekarang, saat ia melangkah kembali ke tanah duniawi, langkahnya terasa lebih berat. Bukan karena beban tubuh, melainkan bayangan bisikan Dewa Terkutuk yang masih menggema di kepala. Langkah pertama Gohan menapaki tanah desa terluar Sekte Bersayap disambut keheningan yang mencekam. Tidak ada suara burung, tak terdengar langkah penjaga, bahkan angin seolah menahan napas. Hanya aroma terbakar dan darah yang masih hangat menelusup ke dalam lubang hidungnya. Ia mempercepat langkah. Setiap bangunan yang dilalui, reruntuhan. Setiap rumah yang sempat jadi pelatihan murid, hanya tersisa arang hitam. Dan halaman pusat sekte itu, tempat bendera bersayap putih biasa berkibar megah, kini hanya tiang patah, bercak da
Langit Zhongtian tak lagi bersinar biru. Awan-awan menggulung kelabu, berputar di atas reruntuhan altar kuno yang baru saja retak karena satu napas Gohan. Tubuhnya gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena kekuatan yang tiba-tiba bangkit dari dalam darahnya sendiri. "Berhenti bernapas, atau dunia akan mati." Suara ibunya, Lian Hua, menggema dari dalam pikirannya. Padahal wanita itu sudah lama meninggal. Gohan menggigit bibir. Ia tak tahu apakah itu suara nyata atau sekadar ilusi dari retakan segel di tubuhnya. Tapi dada terasa terbakar, dan setiap helaan napas membuat tanah di bawahnya semakin bergetar. "Kau... adalah kunci," suara kedua terdengar, berat dan dalam, seperti gaung dari dasar neraka. Tiba-tiba altar kuno itu bersinar. Simbol-simbol kuno mengambang, membentuk huruf-huruf asing yang bercahaya merah darah. Udara mengental. Semua terasa seperti mimpi buruk. Yue Xiulan muncul dari balik puing-puing.
Keringat dingin mengalir dari pelipis Gohan, padahal tubuhnya terbakar seakan dililit api surgawi. Setiap tarikan napasnya seperti mendobrak dunia yang rapuh, seperti menorehkan celah halus pada dinding langit yang tak kasat mata. Ia terbangun di tengah kehampaan, menggantung di udara abu-abu yang sepi, sunyi, dan nyaris tidak nyata. "Di mana... ini?" bisiknya. Tapi suaranya tak menggema. Tak ada dinding. Tak ada langit. Hanya kekosongan yang bergolak pelan, seperti danau hitam yang bernafas. Di kejauhan, sesosok bayangan perlahan membentuk. Wajahnya samar, suaranya lebih seperti gema kenangan daripada suara sungguhan. Namun Gohan mengenalnya seketika. "Ibu...?" Sosok itu tersenyum samar. Tidak muda, tidak tua. Seperti potongan mimpi yang pernah ia tinggalkan dalam tidur-tidur penuh luka. Tapi yang membuat jantung Gohan terhenti bukan karena rindu—melainkan karena kata-kata yang keluar dari bibir itu. "Gohan.
Suara gemuruh dari dalam Makam Tujuh Langit masih terngiang di telinga Gohan. Langkah-langkahnya gemetar di antara bebatuan purba, tempat para dewa lama dimakamkan. Sisa darah di sekeliling jubahnya mulai mengering, menyisakan jejak hitam kemerahan yang tampak membusuk di udara. Namun pikirannya tidak tenang. "Apa maksudnya... darah ini menuntut tebusan jiwa suci?" gumam Gohan pelan, suaranya terpantul oleh dinding batu yang menjulang tinggi. Ia menggenggam Mantel Darah Dewa erat-erat. Mantel itu tak terasa seperti jubah, lebih mirip lapisan hidup yang menempel di tubuhnya, berdenyut mengikuti detak jantungnya. Seketika matanya menangkap cahaya di ujung lorong. Langkahnya dipercepat. Nafas memburu. Ketika ia tiba di ruangan terakhir makam itu, jantungnya serasa berhenti. Di hadapannya, terdapat singgasana. Tinggi, menjulang dari batu hitam dengan ukiran naga bersayap. Di atasnya,
"Buka matamu, Pewaris... atau darahmu akan sia-sia." Suara itu—tidak berasal dari luar, tetapi dari dalam dada Gohan—menyusup seperti racun lembut. Saat kelopak matanya terbuka, dunia di sekitarnya telah berubah. Ia tidak lagi berada di makam batu dingin, tapi di tengah padang langit ungu, tanpa batas, di mana ribuan lentera merah terapung seperti bintang-bintang yang tersesat. Langkah kakinya terasa ringan, tubuhnya mengambang, jiwanya seolah tercerabut dari raganya. Tapi rasa nyeri dari goresan pedang di dadanya masih nyata. Luka itu belum sembuh. Hatinya belum tenang. Di hadapannya berdiri tujuh bayangan kolosal. Setiap bayangan memiliki bentuk berbeda—ada yang bersayap naga, ada yang membawa pedang langit, satu duduk di singgasana tengkorak, dan satu lagi hanya siluet yang terus berubah bentuk. Tapi semuanya menatap Gohan dengan mata kosong, namun menyala dalam satu warna: merah darah. "Siapa kalian?" sua
Angin di Kota Terapung berubah arah. Aroma dupa suci, debu darah, dan arus spiritual membentuk pusaran tak kasatmata yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang telah menembus batas ranah Zhongtian. Dan malam itu, di tengah reruntuhan menara kristal bekas Turnamen Darah, Gohan Lee berdiri diam di bawah langit ungu yang baru saja memuntahkan bintang. Langkah kaki berat terdengar dari belakang. "Kau tak seharusnya bangun," suara itu berat, serak, dan penuh beban yang tak diucapkan. Qin Rouye muncul dari balik reruntuhan, mengenakan jubah setengah hangus, matanya tak lagi sombong—melainkan penuh tanya. "Aku tidak tidur," jawab Gohan pendek. "Aku bermimpi sambil berdiri. Dan mimpiku... penuh suara orang mati." Rouye mengernyit. "Itu pertanda buruk." "Atau panggilan." Langit kembali bergetar, dan seberkas cahaya ungu menukik dari langit, menghantam altar pusat arena. Suara retak spirit