Langit Zhongtian tak pernah mengenal gerhana. Setidaknya, tidak sejak kalender surgawi dicatat oleh Para Penjaga Awan di zaman keempat. Tapi pagi itu, ketika fajar baru menggeliat, tiga matahari menggantung di langit, seolah waktu sendiri kehilangan arah. Satu bersinar emas seperti biasa. Satunya merah gelap, seperti luka terbuka. Dan yang ketiga, hitam, bagaikan lubang yang menelan cahaya.
Gohan berdiri di puncak Gerbang Langit Timur, rambutnya terurai liar karena angin spiritual yang tak terkendali. Tubuhnya masih memar akibat duel terakhir dengan Han Bei, dan jiwa di balik matanya seperti belum sepenuhnya kembali. Xiulan duduk bersila di belakangnya, jubahnya compang-camping dan aura bunga teratai di sekeliling tubuhnya seperti layu. Tapi yang paling mengganggu bukan luka fisik mereka, melainkan bisikan yang muncul setiap kali matahari hitam berkedip. "Akar... teratai... sudah... tumbuh..." Bisika“Kau pikir langit akan diam setelah darah itu terserap?” Suara itu—bukan suara manusia, bukan suara iblis, bukan pula gema dari langit—berbisik dari ujung pedang yang kini bersinar hijau giok. Gohan tidak menjawab. Tubuhnya bergetar, tapi bukan karena takut. Melainkan karena getaran dari tanah di bawah kakinya. Tanah yang tak seharusnya ada karena Zhongtian bukanlah negeri yang bersandar pada bumi. Ia melayang. Ia berdiri di atas lautan awan. Namun kini, awan itu berdenyut. Langitnya membiru, lalu menghitam, lalu... merah darah. Gema guntur meletus dari segala arah. “Tidak!” seru Qin Rouye, berlari dari balik pilar naga yang retak. “Segel terakhir retak! Kau membangunkannya terlalu cepat!” Dari belakangnya, Yue Xiulan tertatih-tatih. Tiga lubang di dadanya hasil serangan ritual tiga matahari sebelumnya masih belum pulih sepenuhnya, meski jiwanya dipinjam oleh Gohan untuk menyelamatkannya.
Suara denting pedang terdengar pelan saat Gohan menggenggam senjata yang berubah warna di tangannya. Cahaya hijau giok menyelimuti seluruh bilahnya, seolah menyerap cahaya dari sekelilingnya. Api pemakaman Sang Mentor telah padam, menyisakan kabut tipis dan aroma kayu terbakar yang masih menggantung di udara. Angin membawa suara lembut, seperti gumaman kuno yang datang dari masa ribuan tahun silam. Pedang itu tidak hanya berubah warna, tapi berdenyut... hidup. Dan dari dalam pedang, suara lirih menggema langsung ke dalam kesadaran Gohan. “Lǐ Gēhán… Pewaris Langit Ketujuh… darahmu... telah kembali.” Gohan terdiam. Nama itu. Nama yang baru saja dipanggil oleh pedang ini—nama yang tidak pernah ia dengar, tapi terasa lebih akrab daripada dirinya sendiri. Suara itu melanjutkan, bukan dengan nada ancaman, tapi penuh beban: “Segel telah retak. Perjanjian lama akan terbuka. Kau harus memilih antara dua langit: menyelamatkan, atau m
Aroma dupa lembut bercampur bau darah segar memenuhi aula tua itu. Cahaya senja menyelinap di antara retakan dinding batu giok, membentuk siluet yang menyayat. Di tengah altar giok kuno, tubuh Maestro Yu Heng berdiri kaku. Tak bernapas. Tak bergerak. Tapi juga tak tumbang. "Dia... membatu?" bisik Qin Rouye dengan suara serak, masih berlutut, setengah jiwanya hilang, tubuhnya gemetar. Yue Xiulan menggigit bibir. Tangannya berlumur darah dari luka dada yang belum sepenuhnya sembuh. Tapi matanya tak berkedip menatap tubuh tua itu. "Itu bukan batu. Itu... teknik penyaluran terakhir. Jiwa dipadatkan agar bisa mengalirkan kekuatan terakhirnya." Gohan berdiri terpaku, jantungnya berdetak lebih keras daripada dentum guntur di luar. Tubuhnya masih terasa setengah tertarik ke portal dunia iblis yang tadi menyedot Han Bei. Tapi hatinya... seolah tertinggal di altar ini. "Kenapa dia... memilih mati berdiri?" tanyanya pelan.
"Xiulan!" Gohan menjerit. Tubuhnya limbung, jatuh dari langit setelah tiga cahaya hitam memecah dadanya dan menyusup ke tulang sumsum. Dunia berputar. Arah angin tak lagi terasa. Dan yang tersisa di dalam dirinya hanya satu rasa—kehampaan. Yue Xiulan terbaring tak bernyawa. Rambutnya terbakar sebagian. Tubuhnya seperti patah di lima tempat. Tapi anehnya... wajahnya tenang. Terlalu tenang. Rouye berdiri di antara mereka. Nafasnya tersengal. Tapi matanya tetap tajam, menyala seperti bintang jatuh yang menolak padam. Ia tidak menangis, tidak berteriak. Tapi tangannya, tangan itu memegang jiwa naga. Benda langit itu, yang biasanya tersembunyi di dalam pusarnya, kini bergetar di udara, menyala ungu, dan memekik seperti sedang dilukai. "Kita tak bisa menunggu lagi." Suara Rouye pelan, tapi menusuk. "Jika jiwa Xiulan hancur, Teratai Hitam akan lepas kendali. Dan kau tahu apa yang terjadi jika itu terjadi di tengah Gerhana Tiga Mat
Langit Zhongtian tak pernah mengenal gerhana. Setidaknya, tidak sejak kalender surgawi dicatat oleh Para Penjaga Awan di zaman keempat. Tapi pagi itu, ketika fajar baru menggeliat, tiga matahari menggantung di langit, seolah waktu sendiri kehilangan arah. Satu bersinar emas seperti biasa. Satunya merah gelap, seperti luka terbuka. Dan yang ketiga, hitam, bagaikan lubang yang menelan cahaya. Gohan berdiri di puncak Gerbang Langit Timur, rambutnya terurai liar karena angin spiritual yang tak terkendali. Tubuhnya masih memar akibat duel terakhir dengan Han Bei, dan jiwa di balik matanya seperti belum sepenuhnya kembali. Xiulan duduk bersila di belakangnya, jubahnya compang-camping dan aura bunga teratai di sekeliling tubuhnya seperti layu. Tapi yang paling mengganggu bukan luka fisik mereka, melainkan bisikan yang muncul setiap kali matahari hitam berkedip. "Akar... teratai... sudah... tumbuh..." Bisika
Langit di atas Zhongtian retak seperti kaca. Awan-awan bergulung, menggulung seperti naga kehilangan kendali, dan guntur bersahutan tanpa jeda. Di tengah tanah luas yang sudah porak-poranda oleh peperangan internal sekte dan desakan gerbang iblis, Gohan berdiri mematung. Darah mengalir di pelipisnya, tapi matanya tak berkedip menatap sosok yang dulu ia panggil sahabat, Han Bei. "Han... kenapa wajahmu begitu asing sekarang?" Han Bei berdiri di sisi berlawanan, tubuhnya dibalut jubah hitam yang tak pernah ia kenakan sebelumnya. Mata yang dulu jenaka, kini hanya menampilkan kehampaan dan kilatan merah menyala. Aura iblis menyelimuti dirinya, dan tatapan kosongnya seolah menembus jiwa. Pepingsan dalam pikiran Gohan dimulai jauh sebelum pedang dihunus. Ia mencoba mengurai potongan-potongan waktu. Kapan Han Bei mulai berubah? Di lembah Batu Hitam, saat mereka menyelamatkan Xiulan? Atau saat ia menghilang selama tiga hari sebelum turnamen?