Sekar Pandan masih menunggu dengan sabar julukan itu. Dia yakin, kawannya ini tengah berpikir keras untuk membuatkan julukan atau nama lain yang sesuai dengan dirinya di dunia persilatan Jawa Dwipa."Ah, aku tahu, Nini. Julukan yang tepat untukmu adalah … Dewi Bunga Malam! ""Rupanya sepasang muda mudi tengah bermain membuat julukan. "Serangkum angin melesat melabrak api unggun hingga api itu bergoyang dahsyat dan padam. Sekar Pandan yang duduk paling dekat dengan api unggun bisa merasakan besarnya kekuatan angin itu. Gadis yang berasal dari perguruan Pulau Pandan itu membuang tubuhnya ke samping, menghindari serangan tiba-tiba itu.Saat membuang tubuhnya ke samping, kakinya sempat menendang satu kayu dari api unggun hingga terlempar ke udara. Saat api unggun padam, kayu yang masih dimakan api yang melayang di udara itu lah yang menerangi tempat itu. Dengan gerak cepat Sekar Pandan menyambar kayu yang masih melayang. Siapa sangka, sebuah tendangan yang demikian cepat berhasil membua
Dengan hati-hati, kedua muda mudi itu berjalan menyusuri semak dan rerumputan yang setinggi lutut untuk mencapai rumah yang terlihat samar dalam gelap. Benar saja. Di depan mereka berdiri sebuah rumah berbentuk panggung sederhana dari kayu. Obor penerangan terpasang di sudut luar rumah. Tidak cukup besar, tapi cukup sebagai penerang serambi depan dan sebagian halaman.Sekar Pandan berjalan mendekati pintu. Mengetuknya dengan pelan. Satu orang pun tidak ada yang menyahut dari dalam rumah. Sekar Pandan mengetuk kembali. Kali ini suara ketukannya lebih dikeraskan berharap pemilik rumah mendengarnya lalu bangun untuk membukakan pintu.Perkiraannya benar.Dari dalam terdengar suara palang kayu pintu dibuka. Disusul dengan suara geritan pintu yang dibuka. Seraut wajah laki-laki tua dengan wajah masih mengantuk muncul di sana."Ada apa? Kau mengganggu tidurku saja."Mahisa Dahana menghampiri mereka. Merangkapkan kedua tangannya di depan dada pada pemilik rumah, sebagai permintaan maaf karen
"Aku akan berusaha. Besuk pagi akan memetik daun obat untuk merawat anak kakek ini. Kalian berdoalah, agar semuanya berjalan lancar.""Kau tetaplah di sini, Dewi Bunga Malam," ujar mereka bersama-sama. Gadis itu mengangguk. Kakek dan nenek pemilik rumah keluar kamar meninggalkan Sekar Pandan dan anaknya yang masih terbaring."Jika kau ingin istirahat, kau bisa tidur di balai balai itu, Dewi Bunga Malam." Sekar Pandan menoleh pada sebuah balai balai yang ada di sudut ruangan. "Itu tempat tidur ibuku.""Siapa namamu?" tanya Sekar Pandan."Sekar Wangi." jawab Sekar Wangi."Bagaimana kau bisa sakit separah ini? Apakah kedua orang tuamu tidak—""Ceritanya panjang dan kau tidak perlu tahu. Tidak ada satu orang pun yang bisa mengobati penyakitku. Tubuhku dari waktu ke waktu bertambah kurus hingga seperti yang kau lihat. Tubuhku tak ubahnya tengkorak hidup," desah Sekar Wangi pasrah dengan keadaan dirinya.
Sekar Pandan menelisik tubuh Sekar Wangi, tak percaya."Dan aku benar-benar sakit. Kau bisa melihat keadaanku," terang Sekar Wangi diantara kekehannya."Kau tahu namaku?" tanya Sekar Pandan pada Sekar Wangi. Kedua bola mata Sekar Pandan melebar."Tentu saja tahu. Asal usulmu pun aku tahu," jawab Sekar Wangi enteng."Tidak mungkin!" sanggah Sekar Pandan."Apanya yang tidak mungkin bagi kami. Namamu Sekar Pandan. Kau berasal dari sebuah pulau yang sangat jauh dari tanah Jawa Dwipa ini. Kedua ayah angkatmu merupakan Datuk ahli obat dan racun. Ibumu berasal dari hutan Gendingsewu." Sekar Wangi mulai membuka jati diri Sekar Pandan. Gadis itu semakin dibuat takjub oleh pengetahuan wanita di depannya ini. Sekar Wangi adalah wanita dari bangsa lelembut, tentu saja dia tahu banyak hal tentang diri Sekar Pandan."Hutan Gendingsewu?""Ya. Ibumu adalah putri seorang pertapa di Padepo
Sekar Wangi terus maju dan menepuk pundak Sekar Pandan dengan senyum mengembang di bibirnya yang penuh. "Itu memang aku. Lebih tepatnya kekuatan jahat yang ada dalam diriku.""I-Itu … wujud aslimu?" Mata Sekar Pandan berputar menatap sosok Sekar Wangi, seolah ingin mencari celah dari tubuh sempurna, dari mana perubahan mengerikan itu berasal."Hihihi, tentu bukan, Sekar Pandan. Wujud asliku seperti ini." Sekar Wangi terkekeh sembari menutupi mulutnya dengan punggung tangannya. Karena merasa lucu dengan tuduhan Sekar Pandan barusan."Ohh, lalu kau membawa kami ke sini? Bagaimana dengan temanku? Kalian tidak—" gumam Sekar Pandan tidak meneruskan perkataannya karena mengkhawatirkan Mahisa Dahana yang tengah terluka. Bagaimanapun dia sangat khawatir dengan keselamatan pemuda itu. Apalagi mereka berada di alam lain.Seolah mengerti dengan isi kepala si gadis, perempuan dari bangsa lelembut itu segera menimpali."Temanmu itu aman. Jangan khawatir. Sekarang kembalilah kau bersama temanmu it
Dalam waktu sepenginangan sirih, Mahisa Dahana telah bangun dan setelah membersihkan diri di sungai, keduanya menyantap daging ayam hutan bakar hasil perburuan Sekar Pandan."Dewi Bunga Malam, apakah semalam kau merasakan sesuatu?"Sekar Pandan tahu kemana arah pertanyaan pemuda ini. Pasti ingin tahu tentang Sekar wangi, atau pak tua semalam yang telah memberi tumpangan menginap. Untuk menutupi dan menghentikan rasa penasaran si pemuda, Sekar Pandan sengaja menggelengkan kepalanya keras-keras.Mahisa Dahana serba salah jika berbicara dengan Sekar Pandan yang bisu. Tentu gadis itu lebih memilih menggeleng tidak tahu daripada harus bercerita. Seumpama gadis itu memilih bercerita pun, tentu dirinya juga tidak akan mengerti. Sebab gadis itu bercerita dengan menggerakkan tangannya."Ah, sungguh susah berteman dengan gadis bisu," gumam Mahisa Dahana pelan. Dia menghentikan gigitan pada daging ayam bakar miliknya, saat dia tidak sengaja mengangkat pinggangnya. Rasa nyeri yang luar biasa baga
Saat dia merasakan tubuh pemuda itu merapat ke tubuhnya. Dia gadis polos yang belum pernah tersentuh laki-laki manapun. Kedua pipinya menghangat, malu."Jangan takut, Nini. Aku akan menemanimu menempuh perjalanan." Pemuda itu berkata di belakang telinga si gadis. Hembusan nafas hangat si pemuda pun merayap di kulit halusnya lalu menjelajahi tubuhnya. Memaksa bulu kuduknya berdiri.Mahisa Dahana pun tidak beda jauh dengan Sekar Pandan. Meskipun sudah dua puluhan warsa usianya, tapi dia belum pernah bersentuhan dengan seorang gadis. Bisa dikatakan Sekar Pandan lah gadis pertama yang pernah bersentuhan dengannya.Dia pikir, saat memutuskan akan berkuda bersama dengan Sekar Pandan, akan biasa saja. Tidak akan seperti ini yang dia rasakan. Begitu berhasil duduk di belakang punggung gadis itu, jantungnya berdegup kencang.Rambut hitam panjang bergelombang Sekar Pandan tercium harum. Seperti inikah bau rambut seorang gadis? Harum sekali, katanya dalam hati. Dan saat lengannya berhasil memel
Gerakan keduanya gesit, sehingga si Pekatik segera menghormat. Dia hafal tamu-tamu yang datang ke rumah penginapan. Mana yang dari pendekar dan mana yang saudagar. Jika dengan saudagar, biasanya akan mendapat imbalan kepeng atas kerjanya. Namun, jika dengan pendekar, jangankan kepeng, tidak dibentak dan dipukul saja sudah untung.Tangan gadis itu mengambil dua buntalan miliknya dari punggung kuda. Si Pekatik menuntun kuda hitam ke belakang rumah penginapan melewati samping rumah. Sekar Pandan justru menghalangi langkah Pekatik itu."Ada apa, Nini?" Hati si Pekatik mulai was-was. Dia sudah bersiap menerima cacian, pukulan, dan tendangan gadis bercadar hijau itu.Sekar Pandan mengelus-elus kepala kudanya dengan sayang. Sementara si kuda seperti merasakan apa yang ingin disampaikan majikannya. Dia pun mengusap-usapkan moncongnya ke wajah cantik gadis berusia tujuh belas warsa yang tertutup cadar hijau tipis. Melihat hubungan kedu