Share

Bab 6. Wewangian di Malam Hari

Malam itu Sekar Pandan dan Mahisa Dahana bermalam di tepi sungai Berantas. Hawa dingin di alam terbuka menjadi hangat seketika saat api unggun telah dinyalakan. Bau harum yang lembut seketika berpendar . Kening Mahisa Dahana berkerut. Dia heran, di dalam hutan kenapa ada wewangian seharum ini?

Diam-diam tangannya meraba gagang pedang yang ada di pinggangnya. Dia yakin ada seorang perempuan yang tengah mengintai mereka berdua di tempat itu. Dan perempuan yang selalu memakai wewangian di hutan pastilah dia dari golongan hitam.

Cukup lama pemuda itu bersiap siaga.

Sekar Pandan yang mengira memang ada tamu tak diundang ikut bersiap. Dia kerahkan semua panca inderanya untuk mengetahui keberadaan tamu itu.

Karena yang ditunggu tidak berani muncul menampakkan batang hidung, Mahisa Dahana berdiri menantang. "Nisanak, keluar lah! Jangan hanya sembunyi. Kami bukan orang jahat dari golongan hitam. Keluarlah, Nisanak …!"

Tak ada suara. Hanya suara jangkrik dan gemericik air sungai yang terdengar.

Mahisa Dahana mengedarkan pandangan menembus kegelapan. Angin malam berhembus menyebarkan bau harum itu kembali.

"Sepertinya perempuan yang menebarkan bau harum itu tetap tidak mau muncul," tukas Mahisa Dahana memandang Sekar Pandan yang tengah menikmati daging ikan bakar.

Tiba-tiba Sekar Pandan tertawa. Tanpa suara.

"Kenapa Nini tertawa?"

Sekar Pandan menahan tawa dengan menutup mulutnya. Rupanya Mahisa Dahana mengira bahwa bau harum yang sejak tadi tercium berasal dari seseorang yang mengintai mereka. Pemuda itu tidak tahu, bahwa bau harum itu berasal dari bau alami tubuhnya yang hanya keluar jika malam hari.

Mahisa Dahana mendengus. Memiliki teman yang tidak bisa bicara sama saja dengan bicara sendiri.

Sekar Pandan merasa kasihan pada kawan barunya ini, maka dia meraih satu ranting lalu mendekati tempat duduk Mahisa Dahana. Dengan ranting itu dia menggores tanah di depan laki-laki muda itu.

BAU HARUM ITU BERASAL DARIKU, KAKANG.

Wajah Mahisa Dahana mendongak. Dan benar. Bau harum itu semakin tercium santer masuk ke dalam hidungnya. Bau harum yang berasal dari tubuh gadis berkain hijau ini lah yang tadi dia kira adalah musuh yang tengah mengintai. Menyadari kekeliruannya, Mahisa Dahana tertawa terpingkal.

"Hahaha, aku bodoh sekali. Aku pikir bau harum ini berasal dari seorang wanita yang tengah mengintai kita. Ternyata dugaanku salah." Sekar Pandan kembali duduk ke tempatnya.

Mahisa Dahana memandangi Sekar Pandan yang kembali melanjutkan makannya. Gadis ini masih belasan warsa, tapi memiliki raga yang luar biasa cantik. Kulitnya halus seperti para putri keraton yang rajin merawat diri dengan lulur mangir dan kuning kulitnya seperti kuningnya buah langsat. Rambut hitamnya yang lebat bergelombang sepinggul menambah pesonanya.

Hidungnya yang mancung itu bagai rautan lilin dengan sepasang bola mata yang sebening telaga dihiasi bulu lentik yang memesona.

Bibirnya merah meranum dan jika tertawa, ada gingsul yang menyihir siapa pun yang menatapnya.

Gadis ini bukan gadis desa yang lemah. Atau seorang putri keraton yang membutuhkan pengawalan dari prajurit pilihan. Dia seorang pendekar wanita. Dari gagang pedang yang ia sandang saja sudah menunjukkan bahwa pedang itu bukan pedang biasa. Itu pedang pusaka yang cantik dan luar biasa.

Mahisa Dahana lupa menarik pandangannya yang sejak tadi berlabuh pada diri Sekar Pandan. Sehingga saat gadis cantik itu mendadak balik menatapnya, dia geragapan. Sambil salah tingkah pemuda berkain tambal-tambal itu menunduk. Berharap Sekar Pandan tidak melihat perubahan wajahnya yang malu karena ketahuan telah menatap diam-diam padanya.

Tapi rasanya memang rugi bandar jika makhluk secantik itu dihiraukan. Perlahan dia mengangkat wajahnya yang sebenarnya tampan, hanya saja kurang perhatian dengan rambut yang sedikit awut-awutan sebahu. Ditambah pancaran sinar matanya yang tanpa gairah hidup, membuat penampilan Mahisa Dahana menyedihkan.

Saat dia kembali menatap Sekar Pandan, gadis itu ternyata masih menatapnya. Dua pasang mata saling pandang. Dada Mahisa Dahana berdegup kencang memompa darahnya lebih cepat. Ada hawa hangat yang mengalir cepat ke seluruh tubuhnya. Membuat dirinya merasa bergairah. Hal yang belum pernah dialami.

Jika selama ini hidupnya dingin tanpa gairah hidup, tapi saat ini ketika bersama Sekar Pandan ia merasa hidupnya lebih berwarna.

Perlahan sudut mulutnya tertarik ke samping, menciptakan garis senyum yang manis.

Sekar Pandan pun membalas senyum pemuda berusia dua puluh warsa itu. Dia berharap, Mahisa Dahana ini akan menjadi kawan baik seperti Raden Prana Kusuma yang saat ini telah pulang ke Trowulan.

"Kau biasa memakai wewangian jika malam hari, Nini?"

Sekar Pandan menggeleng.

"Lalu?"

Gadis itu kembali menorehkan huruf demi huruf sansekerta di atas tanah.

ITU BAU ALAMI TUBUHKU, KAKANG.

Mahisa Dahana membaca tulisan itu. Walaupun dia hidup di sebuah tempat yang jauh dari keramaian, lebih tepatnya di Bukit Tengkorak. Gurunya yang aneh itu tetap mengajarkan baca tulis. Walaupun kurang pandai, Mahisa Dahana masih bisa membaca tulisan gadis berbau harum ini.

"Luar biasa, baru kali ini aku bertemu gadis unik sepertimu, Nini." Sekar Pandan tertunduk malu. Pemuda itu melanjutkan kembali kalimatnya, "kau pendekar wanita yang berilmu tinggi, pasti memiliki julukan."

Sekar Pandan mengernyit tidak mengerti.

"Nini seorang pendekar wanita yang cantik bagai Dewi. Dan memiliki bau alami yang harum di malam hari. Pantasnya Nini mendapat julukan … Dewi Malam."

Sekar Pandan tertawa memamerkan gigi gingsulnya.

"Nini tidak suka?"

Sekar Pandan menggeleng.

Mahisa Dahana berpikir keras membuatkan julukan yang tepat untuk Sekar Pandan. Gadis itu menunggu dengan memeluk lutut. Hatinya demikian gembira karena akan mempunyai julukan seperti para pendekar digdaya lainnya. Kelak,jika dia pulang ke perguruan Pulau Pandan, dia akan memamerkan julukannya itu pada bibi pengasuh dan saudara seperguruannya di sana.

Biar semua orang tahu, bahwa tidak hanya kedua ayah angkatnya saja yang memiliki

julukan, yaitu si Muka Merah dan si Muka Putih. Dirinya pun memiliki.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status