Nyonya Agatha bergegas menutup panggilan telepon dengan asisten sang suami, usai berbicara. Nyonya Muda itu kemudian menghampiri perawat keluarganya yang masih saja bersimpuh di lantai dengan berderai air mata.
"Cepatlah bersiap-siap, aku telah menyuruh Tuan Reinhard untuk mengurus segalanya di rumah sakit!" seru Nyonya Agatha sembari melipat kedua tangan di depan dada.
"Nyonya! Saya mohon jangan lakukan itu!" rengek Camilia sembari meraih kaki jenjang sang Nyonya Muda yang masih berdiri angkuh.
"Tidak bisa! Secepatnya gugurkan kandungan itu!" teriak wanita yang telah mempunyai 2 keturunan itu.
Mendengar sang Nyonya Muda berteriak, membuat Nyonya Merry kembali keluar dari kamar. Wanita tua itu menghampiri ruang keluarga lagi.
"Apa-apaan, masih ribut saja di sini! Apa yang kamu lakukan terhadap Camilia lagi. Biarkan dia istirahat di kamarnya!" seru wanita lanjut usia itu sembari memandang sengit sang menantu.
"Oh ... jadi Ibu membela wanita murahan ini. Jangan-jangan Ibu juga terlibat akan hal ini! Apakah benar itu, Ibu?" bentak Nyonya Agatha kepada ibu mertuanya itu.
"Berani-beraninya kamu membentakku, Agatha! Semua itu salahmu yang meninggalkan suami begitu lama. Alfonso butuh seseorang untuk menemaninya saat lelah pulang dari bekerja!" Nyonya Merry berganti berteriak. Wanita tua itu lagi-lagi menyalahkan sikap menantunya yang angkuh.
Nyonya Agatha menyentuh pelipis setelah mendengar balasan, teriakan ibu mertuanya. Dia tak habis pikir jika sang mertua terlibat akan kehamilan Camilia.
Sang Nyonya Besar yang tidak tega melihat Camilia masih saja bersimpuh dan menangis, kemudian meraih lengan gadis itu. Wanita tua itu membantu perawatnya itu berdiri. Namun, Camilia bergegas mendelik saat Nyonya Agatha menatapnya penuh kebencian.
Camilia bergegas menuju kamarnya lagi, setelah Nyonya Merry berbisik agar dirinya beristirahat. Sementara, Nyonya Agatha begitu kesal melihat tingkah polah mertuanya yang justru membela Camilia. Dia lantas meninggalkan ruang keluarga dan menuju kamarnya juga.
Camilia tiba di kamarnya, begitupun dengan Nyonya Agatha. Perawat bermata bulat itu bergegas membaringkan tubuhnya di ranjang. Matanya masih saja melelehkan buliran bening. Dia kemudian membenamkan wajah di bantal sembari memikirkan Tuan Alfonso yang tidak mengetahui hal yang baru saja terjadi.
***
Nyonya Agatha menghampiri minibar yang berada di dalam kamarnya yang mewah dan luas. Dia lantas meraih sebotol minuman beralkohol yang masih sisa setengah itu, kemudian menenggaknya. Hal yang selalu dilakukannya saat ada masalah atau dia merasa terancam posisinya sebagai Nyonya Muda.
Dia lantas meletakkan botol minuman di meja dan kembali menghubungi Tuan Reinhard melalui sambungan telepon.
"Ternyata perintahku belum bisa dilakukan sekarang. Nyonya tua itu tidak sengaja menghalangi rencanaku. Lebih baik, besok ketika Nyonya Merry cek kesehatan berkala sesuai jadwalnya, anda mengantar wanita keparat itu. Aku akan memaksanya!" ujar Nyonya Agatha yang berbicara dengan asisten suaminya itu.
"Baik, Nyonya!" balas Tuan Reinhard.
"Ya sudah, lanjutkan pekerjaanmu!" seru Nyonya Agatha, kemudian menutup panggilan telepon itu.
Nyonya Muda itu, kemudian duduk di sofa sembari termenung seolah-olah mengingat sesuatu. Dia teringat saat mengunjungi seorang paranormal yang sangat familiar.
"Kamu bisa memperoleh keturunan laki-laki, jika berhubungan dengan laki-laki selain suamimu," ujar lelaki tua yang ditemuinya.
"Maksudnya ... aku harus berhubungan dengan orang lain?" tanyanya saat itu.
"Iya. Tapi itupun bukan solusi, karena suamimu akan mempunyai keturunan laki-laki dari wanita lain juga," ujar sang peramal itu membuat Nyonya Agatha tampak syok saat itu.
Nyonya Agatha tersentak saat mendengar petir menggelegar di luar rumah. Hal itu membuat lamunannya buyar seketika. Dia lantas menghampiri meja dan meraih minuman dalam botol lagi. Nyonya Muda yang tampak cantik dan modis itu kemudian menenggaknya lagi.
Bunyi hujan terdengar mulai turun dengan deras. Batin dan pikiran Nyonya Agatha sangat kalut dengan keadaan yang menimpanya. Namun, setelah beberapa saat termenung, dia lantas tersenyum.
"Mama! Mama! Apakah Mama udah pulang?" teriak Nona Kecil Alice di luar kamar sang ibu.
"Masuklah, Sayang!" sahut Nyonya Agatha menyuruh buah hatinya itu memasuki kamar.
Nona Alice membawa boneka beruangnya masuk ke kamar dan segera menghampiri ibunya. Gadis kecil itu lantas memeluk erat pinggang wanita yang melahirkannya.
"Bagaimana sekolahmu, Sayang? Apa anak Mama ini rajin belajar, selama Mama pergi?" tanya Nyonya Muda itu kepada gadis kecilnya yang diam menunduk.
"Kenapa diam, Sayang? Bibi Camilia mengajak Alice bermain, kan?" selidik Nyonya Agatha.
Alice yang terus saja bungkam, membuat ibunya tak melanjutkan bertanya. Nyonya Agatha seolah-olah paham yang terjadi. Pikirannya menuduh Camilia tidak bertanggung jawab dalam mengasuh kedua buah hatinya.
"Awas saja Camilia! Aku tak akan tinggal diam!" gumam Nyonya Muda itu sambil mengepalkan kedua tangan.
Dia lantas mengajak Nona Alice menuju kamar Nona Brenda, putri keduanya.
***
Nyonya Merry tampak berangkat pagi-pagi menuju kota dengan diantar Tuan Alfonso sendiri. Hal itu membuat Nyonya Agatha merasa senang. Dia bergegas menjalankan rencana liciknya yang sempat tertunda.
Asisten suaminya telah datang di rumah mewah tersebut untuk menjemput sekaligus mengantar Camilia. Nyonya Agatha memaksa gadis 24 tahun itu untuk melakukan aborsi di rumah sakit.
Sang perawat keluarga yang sedang mengandung 3 bulan itu terpaksa menuruti perintah sang majikan. Dia bergegas menuju mobil yang telah menantinya di halaman. Batin Camilia begitu sakit menerima kenyataan dirinya yang dipaksa menggugurkan buah cinta sang Tuan itu. Dia mengelus lembut perutnya saat menanti Tuan Reinhard yang masih berbicara dengan Nyonya Muda.
"Pastikan, wanita keparat itu benar-benar menuju ruang aborsi!" bisik Nyonya Agatha kepada asisten suaminya itu.
"Baik, Nyonya!" jawab Tuan Reinhard. Lelaki itu lantas menuju mobil. Kemudian melajukan kendaraan roda empat itu meninggalkan kediaman Tuan Alfonso.
Camilia terdiam sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Sang asisten majikannya itupun demikian juga. Pikiran gadis 24 tahun itu terus bergelut dengan keadaan. Dia tak mampu menolak keinginan Nyonya Muda.
Mobil terus melaju menembus jalanan. Camilia menatap nanar keluar jendela kaca. Ranting dan dedaunan kering memenuhi jalanan layaknya musim gugur. Hati Camilia semakin pilu saat ranting dan daun kering itu mulai tersapu angin dan beterbangan tak tentu arah.
Gadis bermata bulat itu bergegas turun dari kendaraan yang ditumpanginya, setelah Tuan Reinhard menghentikan lajunya tepat di depan halaman rumah sakit. Lelaki yang menjabat asisten pribadi Tuan Muda itu, kemudian turun juga.
"Cepatlah masuk, kemudian katakan nama anda! Mereka yang di dalam telah mengetahui dan segera menangani anda. Aku akan menunggu di luar saja," ujar Tuan Reinhard. Camilia lantas mengangguk meskipun tubuhnya mulai gemetar tak karuan.
Camilia mulai memasuki rumah sakit dengan langkah gugup. Dia berhenti sejenak saat tiba di lorong dan memandang beberapa pasangan suami istri yang begitu bahagia menyambut kedatangan buah hati. Gadis itu lantas menelan ludah, kemudian mengelus perut. Batinnya merasakan iri melihat pasangan lain.
'Tuan Alfonso ... tolong saya! Apa yang harus saya perbuat?' keluh Camilia dalam batin.
Perawat yang dipaksa melakukan aborsi itu lantas melangkah lagi menembus pintu kaca menuju ruangan yang akan menangani dirinya. Tubuhnya makin gemetar, tangan dan keningnya mulai basah dengan keringat dingin. Camilia sangat ketakutan.
Brandon menjalani serangkaian operasi di bagian lengan dan tangan karena beberapa jemarinya nyaris putus. Ia yang terbaring di meja operasinya pikirannya berkecamuk, sesaat sebelum obat bius bereaksi di tubuhnya. Bayangan wajah ibunya, Martin, Angel bahkan gadis yang ia sangka Emily memenuhi otaknya silih berganti.Pandangannya makin lama makin kabur saat gorden ruang operasi telah ditutup. Kesadarannya perlahan hilang, meskipun masih mendengar apapun di sekitarnya. Brandon berharap operasi di tubuhnya lancar dan ia bisa kembali beraktivitas. Bahkan ia juga ingin membuat perhitungan dengan Martin.Sementara, Angel yang setia menunggu Brandon di rumah sakit merasa cemas. Butiran rosario ia genggam kuat sambil mengucap doa demi kelancaran proses operasi pemuda yang diam-diam ia cintai."Nona Angel! Nona sebaiknya pulang dulu, atau setidaknya makanlah di kantin. Saya khawatir dengan Nona," ucap Martin dengan wajah cemas.
"Kamu mau ke mana?" tanya Angel begitu Brandon beranjak dari duduk.Brandon menoleh, menatap Angel dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ia kemudian terkekeh, melihat gadis di hadapannya itu wajahnya bersemu merah."Kenapa bertanya aku mau ke mana? Kamu mau ikut?" tanya Brandon kemudian, tetapi Angel malah menggeleng."Gak usah tanya mau ke mana, kalau kamu gak mau ikut. Cantik-cantik, kok, plin-plan!" sindir pemuda itu sambil melirik genit ke arah Angel yang masih terpaku."Tapi!""Tapi, apaan?""Temani nonton, yuk!" seru Angel lantas tertunduk. Gadis itu tiba-tiba memberanikan diri mengajak Brandon."Nonton ke mana? Memangnya kamu gak malu jalan sama aku?" tanya Brandon yang urung melangkah keluar kamar."Kenapa aku harus malu? Kamu baik, tampan. Tapi kadang ngeselin, sih!""What
Brandon berada di stasiun telah hampir setengah jam lamanya. Pemuda itu sebentar-sebentar mengedarkan pandangan ke arah pintu keluar-masuk stasiun. Bahkan ia juga berusaha mengamati setiap penumpang yang naik maupun turun.Sebuah buku yang bertuliskan nama gadis tersebut masih dalam genggaman tangannya yang basah oleh keringat dingin. Brandon tiba-tiba merasakan degup jantungnya berdebar hebat, bersaing dengan suara laju kereta api yang melintas. Ia merasa grogi dan gugup sejak tadi, hingga batinnya berprasangka jika pemilik buku tersebut benar-benar milik gadis yang disukainya saat masih bocah.Tak terasa waktu terus merangkak naik, akan tetapi gadis bernama Emily itu tak kunjung ditemui Brandon. Bahkan batin Brandon sudah tidak sabar. Petugas informasi stasiun mengabarkan jika saat ini tepat jam sembilan pagi. Hal itu, pertanda jika Brandon telah berada di stasiun lebih dari dua jam lamanya.Brandon akhirnya memutuskan
Brandon memasuki halaman luas sebuah rumah mewah. Beruntung, saat dirinya menyelinap, melewati gerbang para penjaga sedang tertidur. Dia lantas berhenti sesaat di halaman, membayangkan deretan masa lalunya. Masa lalu yang begitu menyakitkan baginya, membuat ia ingin membalas dendam atas kesakitannya itu.Sebuah bangunan rumah kecil berhadapan langsung dengan taman, lampunya tampak menyala terang. Pertanda ada seseorang yang Brandon kagumi sedang berada di sana. Perlahan kaki kekarnya melangkah mendekati bangunan rumah itu.Brandon mencari posisi yang tepat untuk mengintip aktivitas di dalam sana. Dia lantas bersembunyi di balik pagar dengan sesekali menyibakkan ranting tumbuhan pagar tersebut. Ekor matanya menatap sang ayah yang sedang beraktivitas di sana. Ayahnya yang telah dua belas tahun ia tinggal gara-gara mencari keberadaan Camilia.Lamunan Brandon mengembara. Ia ingin sekali membalas dendam kepada orang-orang yan
Brandon terkesiap dan lantas menarik lengan salah satu staf yang menolongnya. Ia bergegas menyingsingkan lengan kemeja lelaki itu. Namun, rasa kecewa justru ia dapatkan."Busyet! Kamu mencurigai diriku?" tuduh staf tersebut sembari menatap tajam, seakan-akan merasa jika Brandon tak tahu terima kasih telah ditolong. Brandon justru mencurigainya."Maafkan aku, Tuan!" pintanya sembari menangkupkan kedua tangan dan mencoba tersenyum meskipun sudut bibir Brandon terluka, begitupun dengan lelaki yang menolongnya itu.Tuan Jordan yang mengetahui Brandon dan salah satu stafnya itu sama-sama terluka, kemudian menyuruh kembali ke mes. Staf karyawan yang tidak sebegitu terluka itu kemudian menuntun Brandon menuju mes. Brandon sesekali meringis merasakan perih di beberapa bagian wajahnya.Brandon tiba di rumah yang merangkap kantor tersebut. Saat hendak melewati anak tangga menuju lantai atas, Angel melihatnya.
Brandon terpaksa menerima keadaan untuk berbagi kamar dengan Jimmy. Walaupun dia sebenarnya kurang menyukai pemuda yang tampak sombong tersebut. Apalagi Jimmy juga menampakkan sikap kurang bersahabat dengannya.Kini, anak dari Camilia itu menghabiskan waktu lagi, untuk belajar sekaligus bekerja di kantor ayahnya Angel. Gadis yang terkadang membuat Brandon kesal. Selain belum diterima sepenuhnya oleh teman-teman untuk bergabung di perusahaan kontraktor tersebut, Brandon juga mendapat perlakuan tidak senang dari ayahnya Angel tersebut.Jika tidak karena Tuan Josh, mungkin pemuda itu tidak kembali ke tempat tersebut. Apalagi misinya untuk menemukan sang ibu belum juga berhasil. Jangankan menemukan sang ibu, menemukan orang bertato naga itu saja belum berhasil hingga kini."Hai, sekarang kamu bantu pindahin kayu-kayu itu ke gudang!" perintah ayahnya Angel membuat lamunan Brandon buyar seketika.Sejenak d