Home / Fantasi / Pharmacist Save the Villain / Bagian 5: Ingatan Masa Silam

Share

Bagian 5: Ingatan Masa Silam

Author: Puziyuuri
last update Last Updated: 2023-02-26 22:35:53

“Kamu itu lebih dewasa dan bijak, memiliki aura seorang ibu, cocok jadi calon ibu anak-anakku nanti."

~Ardhan~

---

Kelas sepi, hanya ada bangku dan meja tak berpenghuni. Lagu-lagu bertema persahabatan terdengar silih berganti. Hari ini perpisahan kelas tiga, terakhir kali para murid bersua. Namun, Ardhan malah menyanderaku di kelas.

Alasannya sangat menggelikan. Dia cemburu karena aku menyumbangkan lagu di panggung acara perpisahan dan mendapat pujian dari para murid laki-laki. Ardhan memang sedikit posesif, tidak bisa menahan emosi saat cemburu. Padahal, kami sudah berpacaran selama setahun terakhir, tapi seperti baru-baru jadian saja.

"Sudah dong, Dan. Jangan ngambek," bujukku.

"Tapi, janji jangan pernah beri harapan cowok-cowok genit itu, ya?"

"Iya, iya."

Ardhan tersenyum manis, membuat hatiku menghangat dan berdebar. Saat-saat bersamanya memang selalu membuat jantung berdetak kencang. Momen romantis ini benar-benar seperti mimpi yang terlalu indah bagiku.

Sebenarnya, aku memiliki trauma dan takut menjalin hubungan dengan laki-laki. Namun, kegigihan Ardhan meluluhkan hati, juga ada tekanan dari omongan julid para penggemarnya yang menuduhku sombong karena sempat menolak. Dia memang siswa populer idola satu sekolah. Entah angin apa sampai jatuh hati padaku.

Setahun  menjalin hubungan, Ardhan semakin pandai mengambil hatiku. Perlakuan-perlakuan manisnya sedikit melunturkan citra buruk lelaki yang selama ini terpatri dalam pikiran. Meskipun rasa khawatir kadang datang mengingat status sosial kami jauh berbeda.

“Kamu lagi mikirin apa, Sayang?” Suara merdu Ardhan membuyarkan lamunan. DIa meraih tanganku dan mengecupnya lembut.

Lihatlah, betapa manisnya dia! Padahal, Ardhan selalu bersikap cuek ke cewek lain, tapi akan berbeda saat berhadapan denganku. Bagaimana mungkin aku tidak luluh?

“Soal kita. Padahal, banyak cewek di sekolah ini yang jauh lebih cantik dari aku, kenapa kamu malah ....”

“Sssttt.”

Aku urung bicara karena telunjuk Ardhan sudah menempel di bibir. Wajah tampannya yang mirip-mirip dengan Omar Barkan Al Gala itu mendekat, membuat kami bertatapan. Jantungku berdetak semakin cepat dibuatnya.

“Banyak cewek cantik di sekolah ini, tapi kamu istimewa.” Mata elang menatap syahdu. Aku mengalihkan pandangan, tidak ingin jantung meledak. “Kamu itu lebih dewasa dan bijak, memiliki aura seorang ibu, cocok jadi calon ibu anak-anakku nanti.”

Ish! Kayak bakal berjodoh saja!”

“Karena itu ayo kenalkan aku dengan ibumu.”

“Ibu tuh ngelarang aku pacaran kalau masih sekolah. Sabar, ya, bentar lagi deh aku bujuk ibu, nanti kamu boleh datang ke rumah.”

Ardhan tampak hendak menyahut, tapi beberapa cowok masuk kelas. Mereka, teman-teman segengnya itu mengajak pergi dengan paksa ke kantin. Aku hanya bisa melongo tertinggal sendiri, hingga menyadari ponsel tergeletak di meja.

“Aduh, hape Ardhan ketinggalan!”

Kuputuskan menyusul ke kantin. Sayangnya, kebenaran pahit terpampang di sana. Kawan-kawan Ardhan tergelak sambil memegangi perut. Tak salah bergurau, jika saja bukan hati seseorang yang dipermainkan. Ya, aku hanya menjadi taruhan bagi Ardhan.

“Ayolah, Dhan, kapan lu putusin tuh cewek sombong? Udah setahun, padahal taruhan kita cuman buat sebulan,” celetuk Tino, salah satu geng Ardhan yang pernah kutolak cintanya. “Lu nggak perlu kasian gitu lah sama dia.”

“Dhan, jangan denger kata Tino. Gua tau lu sayang banget sama Leeya,” sergah Mamat. Dia sahabat Ardhan sejak SD, juga satu-satunya anggota geng itu yang selalu bersikap baik padaku.

Percuma, Mat. Kamu tidak perlu membelaku seperti itu. Sahabat kamu yang tampan dan kaya raya ini memang mustahil jatuh cinta pada upik abu.

“Eh, Mamat cupu! Jangan sembarangan ngomong, ya. Nggak mungkinlah Ardhan beneran suka si burik!” Poppy, sepupu Ardhan sekaligus salah satu cewek populer di sekolah langsung naik darah.

“Bisa diem nggak, Pop?” ketus Ardhan, lalu bangkit dari kursi.

Dia berbalik dan langsung terbelalak saat melihatku berdiri tepat di belakangnya. Panas menjalari dada. Tanganku terkepal kuat sebelum mendaratkan tamparan di pipi kanan Ardhan. 

“Dasar kurang ajar!” bentakku sembari memberikan tamparan kedua pada pipi sebelahnya.

Eh, tunggu! Kenapa kulitnya terasa lembut sekali?

“Iya, Kak! Iya, aku adik kurang ajar!”

Aku tersentak, lalu mengerjapkan mata berkali-kali. Kantin sekolah sudah tidak tampak, tertinggal ruang kamar dengan wallpaper garis-garis hitam putih. Ardhan berganti dengan Ghaida yang berurai air mata.

Jangan-jangan ... aku mengigau dan menamparnya. Tidak! Tidak! Masa aku tidur sampai segitunya?

Namun, bekas kemerahan di pipi Ghaida tak bisa disangkal. Tubuhnya tampak gemetar. Rasa bersalah meracuni hati. Aku hendak menyentuh memarnya, tapi dia langsung bangkit dari kasur dan bergegas ke luar kamar.

“Arghh! Makin kacau saja!”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pharmacist Save the Villain   Ending with Raka

    Aku mengangkut keranjang kecil berisi kayu manis yang telah dikeringkan. Baru beberapa langkah, sosok tinggi menjulang dengan badan atletis sudah menghadang. Ya, Danar memaksa untuk membantu membawakan. Aku menolak karena merasa sanggup melakukannya sendiri. Belum habis masalah, Dharma menghampiri dan langsung mengambil alih keranjang. Danar tentu tidak terima. “Kangmas jangan menyerobot! Aku lebih dulu menawarkan bantuan!” “Sebagai pengawal, kamu pasti punya banyak tugas, kenapa harus menganggu pekerjaan para tabib?” “Aku membantu, bukan menganggu!” Keduanya bertatapan dengan tangan terkepal. Aku mulai merasa kesal. Pekerjaan yang seharusnya selesai dari tadi menjadi tertunda. Padahal, target produksi bubuk kayu manis paling lambat siang ini sudah beres. “Sudahlah, Danar. Kami banyak pekejaan hari ini. Kamu kembali saja ke tempat latihan pengawal.” “Mentang-mentang sesama tabib, Kangmas cari kesempatan. Padahal, aku lebih dulu mengenal Dinda Bawang Merah.” Kepalaku terasa mend

  • Pharmacist Save the Villain   Ending with Syahril (Dharma)

    Istilah cinta tumbuh karena terbiasa terjadi padaku. Setelah rasa bersalah pada Ardhan bisa disembuhkan, kebersamaan karena tuntutan pekerjaan membuat hati perlahan bisa menyambut perasaan Dharma. Kadang, pipi mendadak hangat saat melihatnya begitu serius meramu bahan-bahan alam. Seperti saat ini, aku berusaha keras menahan debaran jantung. Menatapnya diam-diam ketika tabib muda itu sibuk bekerja menjadi kebiasaan baruku. Sorot matanya yang berbinar saat meramu obat herbal baru begitu memesona.“Kenapa menatapku seperti itu, Dinda? Jangan-jangan kamu akhirnya jatuh cinta padaku?” godanya membuyarkan lamunanku.Aku terkekeh, lalu tersenyum nakal. “Kalau iya, bagaimana, Tuan Tabib?” pancingku.Dharma tampak tersentak. Pipinya bersemu. Namun, dia menggeleng cepat, mungkin mengira aku tengah mencandainya seperti biasa. Dia pun ikut terkekeh.“Aku bisa pingsan karena bahagia. Ah, alangkah bahagianya hatiku jika itu benar-benar terjadi," gumamnya dengan sorot mata lembut yang selalu bisa m

  • Pharmacist Save the Villain   Ending with Ardhan (Danar)

    Note: Bagian ending ini aku kembalikan ke pov 1 lagi~~~Aku tersentak, lalu mendengkus kasar. Raka hanya menunduk dalam. Dia memang baru saja jujur tentang identitas Danar dan Dharma yang sebenarnya. Ternyata, Mereka benar-benar Ardhan dan Dokter Syahril. Jadi, setelah memasukkanku ke dunia dongeng, Raka melakukan perjalanan melintasi waktu ke depan. Dia merasa iba melihat Ardhan, lalu menawarkan kesepakatan gila. Sialnya, Dokter Syahril malah ikut terbawa. Pantas saja, si ikan mas ini sempat bilang menyesal karena kedua pria itu malah menjadi saingannya. Hatiku tentu terenyuh saat mendengar kegilaan Ardhan hanya demi bertemu lagi denganku. Dia rela menukar ingatan, juga kesuksesan yang telah dicapai di dunia sana. Namun, Ardhan juga membuktikan kesungguhan yang tidak main-main. Hatinya bisa mengenaliku. “Maaf, Aleeya, aku sudah mengacaukan semuanya.” “Kamu hanya melakukan apa yang menurutmu terbaik, Raka. Terima kasih sudah membawaku ke sini. Aku bisa mengenal adik terbaik seper

  • Pharmacist Save the Villain   After Story 3: Waktu Berlalu

    Note: After story dibuat dalam pov 3~~~Avanza hitam memasuki halaman rumah sederhana, lalu berhenti tepat di depan pohon mangga. Satu keluarga kecil ke luar dari mobil, lelaki dan wanita muda beserta gadis kecil usia 7 tahun. Sementara dua orang dewasa menurunkan barang-barang, si bocah berlarian riang mengejar kupu-kupu.Rumah sederhana itu memang memiliki kebun bunga yang indah. Kupu-kupu warna-warni pun menjadi suka mencari madu di sana."Nak, ayo ikut Mama masuk! Katanya, kamu merapikan barangmu sendiri, 'kan?" ajak sang ibu membuyarkan lamunan si gadis kecil."Siap, Komandan!" seru si anak.Ibunya melotot. Bocah perempuan itu menyengir lebar, memperlihatkan gigi depannya yang sudah tanggal dua. Sang ibu menggeleng sebelum memasuki rumah diikuti putri kecilnya.Mereka memang baru pindah rumah. Sang ayah mengangkut kardus-kardus dari teras. Sementara ibu dan anak itu pun sibuk merapikan barang-barang. Mereka membongkar dan menata perabot bersama-sama. “Mama, lihat ada buku cerit

  • Pharmacist Save the Villain   After Story 2: Tekad Ardhan

    Note: after story ditulis dalam POV 3 ~~~ Syahril dan Rosa tampak terperanjat. Pecahan kaca berserakan di lantai. Ada jejak darah hingga ke kamar Ardhan. Suara teriakan penuh amarah juga terdengar dari sana. Sementara itu, Mamat hanya berdiri gemetaran di depan pintunya. Pemuda kurus ceking itulah yang tadi menghubungi Syahril dan Rosa. “Bang, tolong Ardhan!” seru Mamat dengan wajah memelas. “Iya, Mat. Biarkan Abang masuk dulu.” “Ya ampun, Ardhan!” jerit Rosa saat pintu dibuka. Dia seketika terduduk lemas melihat adiknya berbaring di lantai dengan kaki berlumuran darah. Syahril bisa bersikap lebih tenang. Sang dokter masuk dan memeriksa kondisi Ardhan. “Aleeya, kenapa kamu mengingkari janjimu, hah? Jawab aku Leeya! Jawab!” Ardhan kembali berteriak. Dia mendadak bangkit, lalu mulai menghamburkan barang-barang di nakas. Pigura-pigura berisi foto-foto mesranya dengan Aleeya di dinding dihempaskan ke lantai. Syahril memberi isyarat pada Mamat untuk mendekat. Tak lama hingga mer

  • Pharmacist Save the Villain   After Story 1: Sesal

    Note: After story saya tulis dalam bentuk POV 3 serba tahu~~~Acara pemakaman Aleeya baru saja usai. Saudara dan tetangga masih ramai di rumah duka sekedar menghibur hati keluarga yang ditinggalkan. Sulastri, ibu almarhumah duduk lemas tersandar di dinding dengan mata bengkak. Dia sudah tiga kali pingsan sejak jenazah dibawa pulang dari rumah sakit. “Aleeya, kenapa harus kamu, Nak? Kenapa bukan ibu saja?” Isakan Sulastri kembali terdengar. “Sudah, Mbak, sudah. Ikhlaskan Aleeya,” bujuk Riana, adiknya. Sulastri mendelik. “Kamu tidak mengerti! Aleeya itu anak yang selalu mencoba membahagiakanku. Dia bahkan tidak pernah menangis karena tidak ingin aku sedih.” “Iya, Mbak. Kita tahu, Aleeya anak yang berbakti.” “Dia selalu menjadikan keluarga nomor satu.” Sulastri mengelap air mata di pipinya dengan sapu tangan yang sudah basah kuyup. Sementara itu, putri keduanya, Ghaida hanya bisa menunduk dalam dengan hati dirasuki rasa bersalah. Andaikan bisa mengulang waktu, dia tidak akan bert

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 58: Memaafkan Diri

    “Mbakyu, sadarlah huaaa!” Suara isakan menggelegar. Aku tersentak. Saat membuka mata, wajah cemas Bawang Putih tertangkap pandangan. Sementara itu, tubuh terasa lelah dan basah oleh keringat. Mimpi tentang Ardhan menguras banyak energi. Akhirnya, janji yang dulu terucap bisa diingat kembali. Rasa bersalah pun menggayuti hati. Amarah dan kekecewaan membuatku gelap mata. Seluruh sikap manis Ardhan menjadi terlihat seperti kepalsuan. Aku pun berusaha melupakan semuanya termasuk janji sendiri. Padahal, jika dipikirkan, mana mungkin seorang laki-laki yang sampai membelikan rumah hendak mempermainkan. Sebenarnya, Ardhan tidak jauh berbeda denganku. Dia juga takut pernikahan karena sering melihat ibunya bermain api dengan arisan berondong. Sang ayah yang gila kerja seperti tak acuh. Oleh karena itulah, Ardhan dikenal suka bersikap dingin pada wanita. Kehadiranku dalam hidupnya membawa angin segar. Ardhan perlahan membangun kepercayaan, bahkan menjadi terlalu bergantung. Namun, taruhan ya

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 57: Janji

    “Ardhan, kamu mau apa, sih? Pakai harus tutup mata segala.” Ardhan tak menyahut. Terdengar suara pintu mobil dibuka. Dia membimbingku keluar dan berjalan dengan pelan. Pacar tampanku ini memang selalu fenomenal. Sepulang sekolah bukannya diantar pulang, aku malah disuruh tutup mata dan dibawa entah ke mana. “Siap-siap.” Ardhan melepas penutup mata. “Surprise!” Aku menggerutkan kening. Rumah bergaya minimalis dengan taman kecil terpampang di depan mata. Ada tempat bermain anak mini juga, bersebelahan dengan air terjun buatan. Halamannya cukup luas dan masih berupa tanah berumput hias. Jiwa bercocok-tanamku terasa meluap-luap. Pasti menyenangkan menanam TOGA di sini. “Ardhan, ini apa maksudnya?” “Ini hadiah anniversary kita, Leeya, rumah masa depan. Setelah menikah, kita akan tinggal di sini. Lihat tempat bermain itu untuk anak-anak kita. Mereka pasti cantik seperti kamu. Halamannya sengaja tidak disemen. Kamu, kan, suka menanam tanaman obat.” Ardhan terus mencerocos tentang renc

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 56: Melepaskan Kebencian

    Suara keras membuatku terbangun. Badan langsung gemetaran. Enam bulan ini rumah kami memang terasa mengerikan. Ayah berubah menjadi jahat, suka memukul ibu. Aku juga akan dipukul atau dicambuk dengan sabuk jika mencoba membela ibu. Anehnya, besok paginya Ayah akan meminta maaf, lalu pergi bekerja. Ibu bilang, Ayah begitu karena minuman setan. Aku juga mencium bau tidak enak dari mulut dan badan Ayah setiap dia memukuli kami. Matanya juga memerah. Mungkin minuman setan membuat orang jadi kerasukan setan. Praaang! “Lepaskan kakiku, Bodoh!” Suara Ayah terdengar menggelegar. Dia pasti menyakiti Ibu lagi. Keadaan menjadi bertambah buruk ketika terdengar tangisan bayi. Sepertinya, adikku Ghaida terbangun juga. Ayah bisa tambah murka. Aku cepat bangkit dari tempat tidur, lalu berlari ke luar kamar. Benar saja, Ayah sedang berkacak pinggang dengan wajah dan mata merah. Kata-kata yang kasar terus keluar dari mulutnya. Aroma minuman setan juga tercium. Ibu terisak-isak sambil memeluk Gha

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status