Pertengkaran dengan adik kesayangan membuat Aleeya, si apoteker cantik galau. Dia menjadi banyak pikiran, sehingga tidak hati-hati saat menyeberang jalan dan mengalami tabrakan maut. Namun, insiden itu justru membawa takdir baru untuknya, menjadi tokoh antagonis di cerita rakyat. Mampukah Aleeya mengubah nasibnya dengan menjadi Bawang Merah baik hati?
Lihat lebih banyak"Mana mungkin bahagia bisa diraih dengan pernikahan jika bayangan tentang itu hanyalah kelabu.”
~Aleeya Puspita Wulandari~
---
Mata Ibu melotot. Ghaida, adik semata wayangku seketika mengkerut. Lagi-lagi, keinginannya untuk melanjutkan hubungan dengan sang kekasih ke jenjang pernikahan memicu kemarahan wanita yang melahirkan kami.
Ya, ini memang bukan pertama kalinya. Sejak lulus kuliah setahun lalu, dua sejoli itu sudah beberapa kali meminta restu Ibu. Namun, jawabannya selalu sama.
“Tidak, Ghaida! Umur kakak kamu sudah 30 tahunan. Kalau dilangkahi, akan makin sulit jodohnya,” cerocos Ibu.
“Tapi, Bu ... kalau Kakak nggak nikah-nikah juga, sampai kapan kami harus menunggu? Kasian Mas Teguh sudah ditanyain juga sama keluarganya.”
Hati terenyuh melihat mata bundar berkaca-kaca. Aku ikut andil dalam pilunya. Namun, apa daya trauma ini mengalahkan segalanya.
Maaf, Dik ....
“Tidak ada tapi-tapian! Aleeya harus menikah lebih dulu!”
Aku mendesah berat. Sebenarnya, jika Ghaida menikah lebih dulu, tidak masalah. Namun, Ibu terlalu memercayai mitos.
Ah, kalau terus begini, bisa-bisa jadi perawan tua kedua putri Ibu. Fobia terhadap pernikahan memang membuatku memutuskan untuk melajang saja seumur hidup. Ada goresan luka di dalam jiwa yang sukar disembuhkan meski sudah menjalani terapi psikologis.
Huh! Sepertinya, aku harus turun tangan.
“Bu, Aleeya tidak apa-apa kok dilangkahin,” gumamku lembut sembari menggenggam tangan yang mulai keriput.
“Aleeya!”
Suara Ibu malah meninggi. Aku berusaha tetap tenang. Masalah ini sudah terlalu lama membuat luka di hati Ghaida.
“Kita, kan, tinggal adakan upacara pelangkahan, Bu.”
Mata Ibu berkaca-kaca. Hati serasa diremas melihatnya. Tangan dalam genggamanku gemetar.
“Ibu tidak mau kamu seperti anaknya pak lurah. Biar sudah ada acara pelangkahan juga tetap belum ada jodohnya sampai sekarang.”
Sebenarnya, aku malah senang jika memang jodoh itu tidak datang-datang juga. Memangnya kenapa harus menikah? Apakah bahagia hanya bisa diraih dengan pernikahan? Bukankah Ibu malah mengalami penderitaan setelah menikah?
Sayangnya, semua itu hanya bisa kuungkapkan dalam hati. Ibu bisa kena serangan jantung kalau sampai mendengarnya langsung.
“Bu, jodoh itu, kan, rezeki. Yah, kalau jodohnya Ghaida datang lebih dulu, jangan ditolak, nanti pamali kalau nolak rezeki.” Sekalian saja aku bawa-bawa pamali.
“Tidak! Pokoknya, Ibu tidak setuju!”
Ibu melenggang meninggalkan kami, menuju kamar, lalu tak lama kemudian membanting pintu. Ghaida terduduk di lantai dan mulai terisak. Aku mendekat, hendak mengusap kepalanya. Namun, dia malah menepis, juga menatap nyalang.
“Puas Kakak menghambat pernikahan aku?”
“Ghaida, kakak tidak pernah bermaksud menghalangi ....”
“Tapi, Ibu nggak akan kasih restu kalau Kakak nggak nikah-nikah juga. Apalagi, sih, yang Kakak cari? Semua cowok yang mendekat selalu dicuekin!”
Aku menghela napas berat. Ghaida memang sering mencoba menjodohkan dengan kenalannya, begitu juga teman-temanku. Namun, sikap cuek dan sedikit apatis membuat para pria itu melipir, mundur teratur. Hanya satu orang yang masih bertahan meski sudah ditolak berkali-kali. Untung saja, Ibu dan Ghaida tidak tahu tentang dia.
“Nanti kita bujuk ibu, ya, Dek. Pelan-pelan pasti bisa.”
“Nggak akan, Kak. Selama Kakak masih belum menikah. Hanya karena dikhianati satu lelaki bukan berarti semuanya sama saja.”
“Tapi, Ghaida ....”
“Aku kecewa sama Kakak,” ketus Ghaida membuyarkan lamunan. Dia bangkit dari lantai dan bergegas ke luar rumah.
Satu kalimat sederhana yang menambah lagi goresan di hati.
***
Hari ini, apotek benar-benar ramai. Jika dokter penyakit dalam dan dokter jiwa berpraktik memang pasien sering membludak. Ingat si psikiater itu, kadang aku enggan masuk kerja. Pasti ada saja modusnya agar bisa mengantar pulang. Untunglah, aku punya seribu alasan untuk menolak.
Ah, ambil saja hikmahnya. Paling tidak kesibukan di apotek bisa mengalihkan pikiran dari masalah Ghaida.
Tiga lembar resep masuk. Asisten apoteker memberikannya padaku untuk diperiksa lebih dulu. Setelah resep dipastikan rasional, baru kuserahkan kembali pada asisten. Jika sudah selesai dikerjakan, nanti aku yang akan menyerahkan pada pasien dengan ditambahkan beberapa informasi.
“Resepnya tolong dikerjakan, ya, Dek.”
“Iya, Bu.”
Saat mereka meracik obat dalam resep, aku melayani swamedikasi, yakni pengobatan dengan obat bebas, bebas terbatas atau obat wajib apotik. Sebagian besar obat keras memang tidak boleh diberikan tanpa resep dokter. Hanya saja, masih banyak penyalahan aturan ini.
Kesibukan seolah tak henti. Tak terasa waktu berlalu. Jam tutup apotek tinggal sebentar lagi. Hanya ada dua pasien tersisa, itu pun sudah masuk ke ruang periksa. Dua asistenku sudah bisa sedikit santai.
Sementara itu, aku kembali mengerjakan tugas yang sempat tertunda, pendataan obat narkotika dan psikotropika. Jenis obat-obatan ini memang harus dilaporkan secara online per bulan. Tidak boleh selisih meskipun hanya sebutir saja. Apalagi apotekku memang ada praktik dokter jiwa yang banyak meresepkan psikotropika.
“Wah, ada mobil mewah masuk halaman apotek! Orang kaya nih kayaknya,” celetuk salah seorang asistenku, membuyarkan konsentrasi.
“Siapa tau cowok ganteng CEO perusahaan kayak di novel-novel itu,” sahut asistenku yang lain.
“Kyaaa, pasti so sweet banget!” Keduanya histeris sendiri.
Aku terpaksa mengalihkan pandangan, melepaskan sejenak pendataan obat narkotika dan psikotropika yang tengah digarap. Ternyata, obrolan mereka tadi memang benar. Lamborghini hitam baru saja terparkir rapi di halaman.
Kenapa perasaanku tidak enak, ya?
Pintu mobil mewah itu terbuka perlahan. Aku dan para asisten. Kami seolah-olah kompak menunggu dalam ketegangan dan rasa penasaran.
***
Aku mengangkut keranjang kecil berisi kayu manis yang telah dikeringkan. Baru beberapa langkah, sosok tinggi menjulang dengan badan atletis sudah menghadang. Ya, Danar memaksa untuk membantu membawakan. Aku menolak karena merasa sanggup melakukannya sendiri. Belum habis masalah, Dharma menghampiri dan langsung mengambil alih keranjang. Danar tentu tidak terima. “Kangmas jangan menyerobot! Aku lebih dulu menawarkan bantuan!” “Sebagai pengawal, kamu pasti punya banyak tugas, kenapa harus menganggu pekerjaan para tabib?” “Aku membantu, bukan menganggu!” Keduanya bertatapan dengan tangan terkepal. Aku mulai merasa kesal. Pekerjaan yang seharusnya selesai dari tadi menjadi tertunda. Padahal, target produksi bubuk kayu manis paling lambat siang ini sudah beres. “Sudahlah, Danar. Kami banyak pekejaan hari ini. Kamu kembali saja ke tempat latihan pengawal.” “Mentang-mentang sesama tabib, Kangmas cari kesempatan. Padahal, aku lebih dulu mengenal Dinda Bawang Merah.” Kepalaku terasa mend
Istilah cinta tumbuh karena terbiasa terjadi padaku. Setelah rasa bersalah pada Ardhan bisa disembuhkan, kebersamaan karena tuntutan pekerjaan membuat hati perlahan bisa menyambut perasaan Dharma. Kadang, pipi mendadak hangat saat melihatnya begitu serius meramu bahan-bahan alam. Seperti saat ini, aku berusaha keras menahan debaran jantung. Menatapnya diam-diam ketika tabib muda itu sibuk bekerja menjadi kebiasaan baruku. Sorot matanya yang berbinar saat meramu obat herbal baru begitu memesona.“Kenapa menatapku seperti itu, Dinda? Jangan-jangan kamu akhirnya jatuh cinta padaku?” godanya membuyarkan lamunanku.Aku terkekeh, lalu tersenyum nakal. “Kalau iya, bagaimana, Tuan Tabib?” pancingku.Dharma tampak tersentak. Pipinya bersemu. Namun, dia menggeleng cepat, mungkin mengira aku tengah mencandainya seperti biasa. Dia pun ikut terkekeh.“Aku bisa pingsan karena bahagia. Ah, alangkah bahagianya hatiku jika itu benar-benar terjadi," gumamnya dengan sorot mata lembut yang selalu bisa m
Note: Bagian ending ini aku kembalikan ke pov 1 lagi~~~Aku tersentak, lalu mendengkus kasar. Raka hanya menunduk dalam. Dia memang baru saja jujur tentang identitas Danar dan Dharma yang sebenarnya. Ternyata, Mereka benar-benar Ardhan dan Dokter Syahril. Jadi, setelah memasukkanku ke dunia dongeng, Raka melakukan perjalanan melintasi waktu ke depan. Dia merasa iba melihat Ardhan, lalu menawarkan kesepakatan gila. Sialnya, Dokter Syahril malah ikut terbawa. Pantas saja, si ikan mas ini sempat bilang menyesal karena kedua pria itu malah menjadi saingannya. Hatiku tentu terenyuh saat mendengar kegilaan Ardhan hanya demi bertemu lagi denganku. Dia rela menukar ingatan, juga kesuksesan yang telah dicapai di dunia sana. Namun, Ardhan juga membuktikan kesungguhan yang tidak main-main. Hatinya bisa mengenaliku. “Maaf, Aleeya, aku sudah mengacaukan semuanya.” “Kamu hanya melakukan apa yang menurutmu terbaik, Raka. Terima kasih sudah membawaku ke sini. Aku bisa mengenal adik terbaik seper
Note: After story dibuat dalam pov 3~~~Avanza hitam memasuki halaman rumah sederhana, lalu berhenti tepat di depan pohon mangga. Satu keluarga kecil ke luar dari mobil, lelaki dan wanita muda beserta gadis kecil usia 7 tahun. Sementara dua orang dewasa menurunkan barang-barang, si bocah berlarian riang mengejar kupu-kupu.Rumah sederhana itu memang memiliki kebun bunga yang indah. Kupu-kupu warna-warni pun menjadi suka mencari madu di sana."Nak, ayo ikut Mama masuk! Katanya, kamu merapikan barangmu sendiri, 'kan?" ajak sang ibu membuyarkan lamunan si gadis kecil."Siap, Komandan!" seru si anak.Ibunya melotot. Bocah perempuan itu menyengir lebar, memperlihatkan gigi depannya yang sudah tanggal dua. Sang ibu menggeleng sebelum memasuki rumah diikuti putri kecilnya.Mereka memang baru pindah rumah. Sang ayah mengangkut kardus-kardus dari teras. Sementara ibu dan anak itu pun sibuk merapikan barang-barang. Mereka membongkar dan menata perabot bersama-sama. “Mama, lihat ada buku cerit
Note: after story ditulis dalam POV 3 ~~~ Syahril dan Rosa tampak terperanjat. Pecahan kaca berserakan di lantai. Ada jejak darah hingga ke kamar Ardhan. Suara teriakan penuh amarah juga terdengar dari sana. Sementara itu, Mamat hanya berdiri gemetaran di depan pintunya. Pemuda kurus ceking itulah yang tadi menghubungi Syahril dan Rosa. “Bang, tolong Ardhan!” seru Mamat dengan wajah memelas. “Iya, Mat. Biarkan Abang masuk dulu.” “Ya ampun, Ardhan!” jerit Rosa saat pintu dibuka. Dia seketika terduduk lemas melihat adiknya berbaring di lantai dengan kaki berlumuran darah. Syahril bisa bersikap lebih tenang. Sang dokter masuk dan memeriksa kondisi Ardhan. “Aleeya, kenapa kamu mengingkari janjimu, hah? Jawab aku Leeya! Jawab!” Ardhan kembali berteriak. Dia mendadak bangkit, lalu mulai menghamburkan barang-barang di nakas. Pigura-pigura berisi foto-foto mesranya dengan Aleeya di dinding dihempaskan ke lantai. Syahril memberi isyarat pada Mamat untuk mendekat. Tak lama hingga mer
Note: After story saya tulis dalam bentuk POV 3 serba tahu~~~Acara pemakaman Aleeya baru saja usai. Saudara dan tetangga masih ramai di rumah duka sekedar menghibur hati keluarga yang ditinggalkan. Sulastri, ibu almarhumah duduk lemas tersandar di dinding dengan mata bengkak. Dia sudah tiga kali pingsan sejak jenazah dibawa pulang dari rumah sakit. “Aleeya, kenapa harus kamu, Nak? Kenapa bukan ibu saja?” Isakan Sulastri kembali terdengar. “Sudah, Mbak, sudah. Ikhlaskan Aleeya,” bujuk Riana, adiknya. Sulastri mendelik. “Kamu tidak mengerti! Aleeya itu anak yang selalu mencoba membahagiakanku. Dia bahkan tidak pernah menangis karena tidak ingin aku sedih.” “Iya, Mbak. Kita tahu, Aleeya anak yang berbakti.” “Dia selalu menjadikan keluarga nomor satu.” Sulastri mengelap air mata di pipinya dengan sapu tangan yang sudah basah kuyup. Sementara itu, putri keduanya, Ghaida hanya bisa menunduk dalam dengan hati dirasuki rasa bersalah. Andaikan bisa mengulang waktu, dia tidak akan bert
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen