"Sabar, Yang. Kita doakan semoga Anggia segera sadar." Sadewa mengelus rambut sang istri yang bersandar di bahunya. Mereka sedang berada di rumah sakit setelah mendengar kabar bahwa Anggia koma. "Aku takut dia kenapa-napa, Mas. Bagaimana dengan bayinya kalau sampai Anggia tidak bisa bertahan? Bayi itu pasti membutuhkan sosok seorang ibu. Dan kalau Anggia--"Tangis Ayuna pecah. Tidak kuasa melanjutkan ucapan mengingat betapa mirisnya nasib sang adik. Seharusnya kini Anggia sedang berbahagia atas kelahiran bayi cantiknya, tetapi justru masih harus berjuang di antara hidup dan mati karena kondisinya. "Hei, jangan bicara seperti itu. Kita memang belum tahu apa yang akan terjadi pada Anggia nanti. Tapi kita harus tetap optimis kalau dia pasti sembuh. Ingat, Yang. Kamu juga sedang hamil. Mas tidak ingin berpengaruh pada bayi kita kalau kamu terus-terusan bersedih."Ayuna mengangguk dalam pelukan Sadewa. Isakannya mulai mereda, tetapi air mata tak kunjung surut. Walau bagaimanapun Anggia a
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya istrimu. Maaf aku tidak bisa datang ke pemakaman karena harus menjaga Mama yang sedang sakit.""Gak papa, Rin. Terima kasih karena kamu bela-belain datang ke sini hanya untuk mengucapkan itu." Raga tersenyum ke arah teman yang kini sudah bekerja di rumah sakit yang sama dengannya. Karina memang tidak sempat hadir di pemakaman Anggia sebab mamanya baru saja pulang dari rumah sakit setelah dirawat beberapa hari karena terkena typus. "Bagaimana kondisi putri kamu? Masih di inkubator?""Ya. Menurut Dokter Nurma, kemungkinan beberapa hari lagi sudah diperbolehkan pulang jika kondisinya, terutama organ dalam mulai stabil," terang Raga yang masih nampak lesu.Kehilangan Anggia membuatnya tidak bersemangat melakukan apa pun. Sudah Satu Minggu kepergian sang istri untuk selamanya dan Raga masih betah mengurung diri di rumah. Beruntung orang tuanya memahami kondisinya dan mereka yang menjaga Zeya di rumah sakit. Raga bukannya abai terhadap sang putr
"Mau pulang bareng, Ga?""Gak, Rin. Aku mau mampir dulu ke suatu tempat."Penolakan ke sekian yang diberikan Raga setiap kali Karina berusaha mendekati pria itu. Bukannya Karina tidak paham Raga masih berduka atas kepergian Anggia, hanya saja, Karina tidak ingin membuang kesempatan untuk memiliki pria yang sejak dulu disukainya, apalagi sampai keduluan wanita lain lagi seperti dulu. "Ya sudah. Sampaikan salam ku untuk mamamu. Nanti kapan-kapan aku berkunjung sekalian melihat Zeya." Karina masih tidak menyerah mengambil hati Raga. "Ya, nanti aku sampaikan." Raga berlalu dari hadapan Karina yang masih menatap tubuhnya hingga menghilang di balik pintu mobil. Raga sudah terang-terangan menolak sebab ia tidak ingin memberi harapan pada wanita manapun. Ia tidak akan melarang Karina untuk dekat dengan Zeya. Namun, jika sahabatnya itu menginginkan lebih, Raga jelas tidak bisa. Makam Anggia adalah tujuan Raga setiap kali pria itu merindukan sang istri. Berdiam diri di sana dan bercerita ten
"Sudah, Yang. Jangan diambil hati. Dia juga tadi sudah minta maaf."Sadewa mengelus bahu sang istri. Mereka sudah berada di kamar sebab karyawan kantor yang berkunjung sudah berpamitan pulang. Mood Ayuna belum juga membaik. Perkataan salah satu dari mereka sangat menyinggungnya. "Dia orangnya memang agak ceplas-ceplos. Nanti Mas akan menegurnya supaya tidak bicara sembarangan lagi pada siapapun. Sudah, ya. Mas gak suka kamu murung begini."Ayuna mengangguk lemah, meski hatinya masih dongkol luar biasa. Kepercayaan dirinya sedang berada di titik terendah dan ia akan mudah tersinggung jika mendengar orang membicarakan perihal fisiknya yang berubah. Ketakutan akan Sadewa yang berpaling bukanlah tanpa alasan. Ia pernah merasakan bagaimana sakitnya dikhianati, dan tidak ingin kejadian yang sama terulang lagi. "Begini saja. Mas akan menyewa jasa baby sitter untuk membantu kamu menjaga Athalla agar kamu bisa meluangkan waktu untuk memanjakan diri. Kamu mau Mas datangkan instruktur senam? A
"Hei, Nona! Anda sudah gila! Kenapa Anda menampar majikan saya?" Pak Agus naik pitam menyaksikan gadis yang tak sengaja ia tabrak menampar Sadewa tanpa alasan. Sepertinya wanita itu tidak tahu siapa pria yang berada di dekatnya. Sikap lancangnya bisa saja menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Sedangkan Sadewa masih memegangi pipi dengan menatap tajam gadis itu. Keduanya masih bertatapan, tidak nampak sama sekali ketakutan dari wajah si gadis. "Kenapa? Wajar aku marah karena kalian hampir menabrakku. Lihat itu!" Ia menunjuk makanan yang berserakan di atas aspal. "Makanan yang susah payah aku masak untuk nenekku hancur gara-gara kalian!" ujarnya dengan kilat emosi. "Ini salah saya yang kurang berhati-hati membawa mobil. Tapi kenapa Anda malah menampar majikan saya?""Aku tidak peduli! Yang jelas, pria ini pemilik mobil itu, kan? Tidak salah kalau aku marah padanya karena mempekerjakan sopir sepertimu!" "Kamu!""Sudah, Pak Agus." Sadewa mengangkat sebelah tangan. Memberi isyarat a
"Permisi. Saatnya diperiksa ya, Bu."Dara dan neneknya terperanjat mendengar suara Raga. Keduanya langsung menghentikan pembicaraan dan memaksakan senyum, meski kentara masih terkejut atas kedatangan Dokter tersebut yang tiba-tiba."Silakan, Dok." Wanti, sang nenek menjawab dengan sedikit gugup."Tekanan darahnya sudah normal. Kondisi ibu juga makin membaik. Sepertinya besok sudah diperbolehkan pulang," ujar Raga setelah memeriksa Wanti."Syukurlah." Wanti bernapas lega."Oh ya. Saya teringat ucapan Anda tadi tentang kemungkinan cucu Anda yang akan dipecat karena sudah terlalu sering bolos. Saya ada tawaran pekerjaan untuknya dan pastinya dengan gaji yang lebih besar. Bagaimana, Anda bersedia, Nona?" Dara dan Wanti saling tatap. Raga menunggu jawaban mereka dengan melipat kedua tangan di dada. Setelah mendengar percakapan keduanya, Raga tidak bisa berdiam diri dan membiarkan Sadewa dalam bahaya. Ia akan membantu suami Ayuna tersebut agar lepas dari jeratan orang yang berniat jahat pa
"Tante senang kalian mau berkunjung ke sini untuk menjenguk Zeya." Wajah Yunita menyendu. "Anak itu tidak pernah rewel. Sepertinya dia tahu kalau ibunya sudah tiada dan tidak ingin merepotkan neneknya," lirihnya dengan menghapus air mata yang mulai menetes. "Kadang Tante sedih, Yun. Zeya tidak akan pernah mendapatkan kasih sayang dari mamanya. Anak itu sudah menjadi piatu sejak lahir. Tante takut, dia akan minder saat dewasa nanti dan melihat teman sebayanya mempunyai orang tua yang lengkap."Ayuna menghela napas berat. Ia bisa merasakan kesedihan Yunita, mengingat mamanya Raga itulah yang mengurusi Zeya sejak lahir. Kepergian Anggia bukan hanya meninggalkan kesedihan, tetapi juga tanggung jawab mengurus Zeya yang harus dijalani Yunita sebagai nenek dari bayi cantik tersebut. "Aku ngerti, Tante. Aku minta maaf karena tidak bisa membantu Tante mengurus Zeya." Ayuna melirik Sadewa yang mengelus bahunya. "Tapi aku dan Mas Dewa janji akan selalu meluangkan waktu untuk menjenguk dan mema
"Silakan diminum, Pak."Dara meletakkan secangkir teh ke atas meja di depan Sadewa. Tangan gadis itu sedikit gemetar, sebab merasa gugup dan takut rencananya akan gagal, bahkan mungkin ketahuan. "Terima kasih. Oh ya, Nenek kamu mana? Dia sudah tidur?" Mata Sadewa mengedar. Meneliti isi rumah sederhana itu yang hanya memiliki dua kamar, ruang tamu, dan satu ruangan lagi yang ia yakini adalah dapur, sebab barusan Dara muncul dari sana. "Jam segini Nenek saya sudah tidur."Sadewa mengangguk. "Bagaimana kondisinya pasca pulang dari rumah sakit?" tanyanya kemudian. "Nenek sudah baikan. Terima kasih karena Bapak sudah membayar biaya rumah sakitnya. Kami berhutang budi sama Bapak.""Tidak usah dipikirkan. Saya hanya ingin membantu kalian." Sadewa mengambil ponsel dalam saku jas. Memainkan benda tersebut seraya sesekali melirik Dara yang nampak gelisah. "Kamu kenapa? Kok saya perhatikan seperti gelisah begitu?" "Ah ... tidak. Saya hanya gerah. Oh ya, silakan diminum tehnya. Saya ke belak