"Papa kecewa sama kamu, Bram. Kamu tidak bisa berbuat adil pada kedua putrimu. Teganya kalian mengadakan acara pertunangan Anggia sedangkan Ayuna sedang patah hati karenanya."
Brata menatap kecewa sang putra. Hari ini ia sengaja meminta Bram datang ke kediamannya. Tak lupa, kedua menantunya pun diminta untuk datang."Maaf, Pa. Tapi Papa tahu kan kondisi Anggia yang sedang sakit. Aku hanya ingin membahagiakan dia.""Dengan merenggut kebahagiaan putrimu yang lain?"Bram tertunduk. Tidak mampu menjawab ucapan sang Papa karena memang kenyataannya seperti itu."Dalam hal ini bukan sepenuhnya salah kami. Raga memang sudah merasa tidak cocok dengan Ayuna dan lebih nyaman bersama Anggia. Jika kenyataannya mereka saling mencintai, kita sebagai orang tua bisa apa? Tinggal Ayuna yang harus ikhlas melepas pria yang sudah tidak mencintainya." Prita angkat bicara. Mengabaikan tatapan tajam dari Bram yang sudah memperingatkan sang istri kedua agar tidak membuka suara di rumah orang tuanya."Kamu tenang saja. Ayuna sudah mengikhlaskan Raga untuk Anggia. Putriku tidak akan mempertahankan pria yang tidak bisa setia." Salma pun tak tinggal diam. Jika Prita bisa dengan angkuh membanggakan Anggia yang berhasil merebut Raga, maka ia pun akan membela Ayuna yang telah mereka tusuk dari belakang."Mbak yakin Ayuna sudah ikhlas? Kok aku gak percaya?" ledek Prita."Terserah. Aku tidak memintamu untuk percaya.""Sudah! Jangan memancing keributan di rumah ini!" Ambar menyela perdebatan kedua menantunya. "Kamu juga Prita. Anak kamu jadi perebut kok malah bangga. Seharusnya kamu nasehati dia supaya tidak mengikuti jejakmu!""Mama kenapa bicara seperti itu?" sergah Prita tak terima. "Anggia juga cucu Mama. Tidak seharusnya Mama berkata buruk tentangnya.""Memang begitu kenyataannya, kan? Putrimu telah merebut calon suami Ayuna dengan menggunakan sakitnya sebagai alat untuk mendapatkan simpati dan perhatian dari Raga. Pokoknya Mama tidak mau tahu. Jangan adakan acara pertunangan kalau kalian tidak ingin menanggung malu di hadapan seluruh keluarga besar kita!" kecam Ambar."Maaf, Ma. Kami tidak bisa memenuhi permintaan Mama. Acara pertunangan ini sudah sangat ditunggu-tunggu oleh Anggi. Dengan atau tanpa kehadiran Mama dan Papa, pertunangan itu akan tetap terjadi." Prita kukuh pada pendiriannya. Sudah kepalang basah tak disukai oleh mertuanya, lebih baik menentang mereka secara terang-terangan."Aku pulang duluan, Mas. Percuma aku datang ke sini kalau keberadaanku tidak pernah dihargai. Mama dan Papa hanya menyayangi Mbak Salma padahal aku juga menantu mereka!"Prita beranjak tanpa menunggu jawaban dari Bram. Wanita bertubuh ramping itu meninggalkan kediaman mertuanya dengan kekesalan yang memuncak.Selama usia pernikahannya dengan Bram, ia sama sekali tidak pernah dihargai oleh Brata dan Ambar. Bahkan, mereka memperlakukan Anggia berbeda dengan Ayuna. Sebenarnya Prita tidak peduli jika memang Brata dan Ambar tidak menyukainya. Namun sebagai seorang ibu, Prita tidak bisa terima saat putrinya dipandang sebelah mata."Lihatlah, Bram. Begitu kelakuan istri kesayanganmu. Tidak ada sopan-sopannya sama mertua!" Ambar menggerutu."Maafkan sikap Prita, Ma." Bram tertunduk malu."Lagian kamu ini masih saja manjain dia. Lihatlah Salma. Dia sudah bisa mandiri dengan membuka usaha sendiri. Sedangkan istri keduamu hanya bisa menghamburkan uang."Lagi, Bram membenarkan ucapan sang Mama dalam hati. Menoleh ke arah Salma, sang istri pertama menanggapi ucapan mertuanya dengan senyuman.Ah, wanita ini selalu bersikap tenang dan bijak. Tidak pernah merasa bangga meski mertuanya kerap kali memuji. Tidak pernah memojokkan Prita meski sang madu sering menganggap remeh.Pembawaan Salma yang seperti ini membuat Bram makin kagum. Betapa bodoh dirinya yang menduakan wanita hampir sempurna seperti sang istri pertama dengan wanita manja dan angkuh seperti Prita.*****"Pertunanganmu dengan Ayuna beneran batal?"Raga mengangguk. Pria itu baru saja menikmati makan siang bersama Anggia di ruangannya.Begitu sang kekasih pulang, Bara -- teman seprofesinya sekaligus putra dari pemilik Rumah Sakti tempatnya bertugas, masuk tanpa mengetuk pintu.Namun, Raga sama sekali tidak marah sebab hal seperti itu sudah biasa."Karena Anggia?"Lagi, Raga mengangguk.Bara menarik napas panjang. "Aku heran sama kamu. Ayuna itu kurangnya apa? Dia cantik, cukup terkenal, dan yang paling penting, dia sehat. Tapi kenapa kamu malah memilih Adiknya yang sering sakit-sakitan?" tanyanya, tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya."Karena rasa nyaman, Bar. Aku sudah tidak pernah merasakannya lagi saat bersama Ayuna. Jika sedang bersama Anggi, aku merasa dibutuhkan. Dia yang manja dan sangat bergantung padaku. Berbeda dengan Ayuna yang terlalu mandiri.""Jadi kamu lebih suka direpotkan, begitu?" Bara terkekeh. "Kamu ini aneh. Kalau aku berada di posisimu, justru aku sangat bangga punya kekasih seperti Ayuna. Ingat, Ga. Kamu pernah cerita kalau Ayuna diperlakukan berbeda oleh ayahnya. Tidakkah kamu berpikir kemandirian Ayuna ada hubungannya dengan hal itu? Dia berusaha menjaga dirinya sendiri karena merasa tidak memiliki pelindung," papar Bara.Raga tertegun.Ya, Ayuna sering bercerita bahwa dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang lebih dari ayahnya. Bramantyo terlalu fokus pada keluarganya yang lain, hingga sering mengabaikan Ayuna. Gadis itu bertekad untuk menjadi wanita mandiri agar bisa melindungi dirinya sendiri dan sang Mama."Kamu bodoh, Ga. Kamu melepas wanita tangguh seperti Ayuna demi wanita rapuh seperti Anggia. Apa kamu yakin rasamu pada Anggia benar-benar cinta? Atau hanya kenyamanan sementara saat kamu sedang merasa jenuh pada hubunganmu dengan Ayuna?"Entahlah. Raga tidak bisa menjabarkan perasaannya saat ini. Di satu sisi, ia merasa nyaman saat sedang bersama Anggia, tapi di sisi lain, ia masih memikirkan Ayuna."Mungkin kamu benar. Aku ini pria bodoh yang lebih memilih wanita penyakitan. Tapi aku harus konsisten dengan pilihanku, kan? Apa pun yang akan terjadi ke depannya padaku dan Anggia, aku harus bersiap menghadapinya."Raga menyudahi perbincangan mereka. Pria itu bersiap untuk melakukan operasi setengah jam lagi. Raga berpamitan pada Bara yang sedang memperhatikan setiap gerak-geriknya."Ga ...."Raga yang baru saja akan membuka pintu, menoleh lagi."Ya?"Bara berdiri. Pria itu menghampiri Raga, kemudian berhadapan dengan sang sahabat dalam jarak dekat. Mereka saling bertatapan cukup lama, hingga Bara berucap."Kalau aku mendekati Ayuna ... apa kamu tidak keberatan?"*****"Lho, Pak Kardi mau berhenti? Tapi kenapa, Pak? Apa gaji yang saya kasih kurang besar?" Salma terkejut saat sopir yang sudah beberapa tahun bekerja padanya tiba-tiba mengundurkan diri."Tidak sama sekali, Bu. Justru gaji dari ibu lebih besar dari tempat kerja saya yang dulu. Hanya saja, saat ini saya ingin fokus pada pengobatan istri saya di kampung," jawab pak Kardi dengan menunduk."Tapi kenapa mendadak? Kalau Bapak bicara dari jauh-jauh hari, mungkin saya bisa mencari pengganti Bapak sejak kemarin," keluh Salma.Ayuna yang berdiri di samping sang Mama pun membenarkan."Kami sudah menganggap Bapak seperti keluarga sendiri. Saya dan Mama sedih kalau harus berpisah dengan Bapak." Ayuna menimpali."Nyonya dan Non Yuna tenang saja. Saya sudah menyiapkan orang yang akan menggantikan saya," terang Pak Kardi."Benarkah?""Benar, Non. Itu orangnya ada di luar," tunjuk Pak Kardi."Coba Bapak ajak masuk," titah Salma."Baik, Nyonya."Pria paruh baya berperawakan kurus itu bergegas keluar. Cukup lama Salma dan Ayuna menunggu, hingga akhirnya sang sopir masuk kembali diikuti oleh pria muda di belakangnya."Ini dia, Nyonya, Non Yuna. Dia ini putra saya ... Sadewa."Salma dan Yuna terpaku menatap pria muda di samping Pak Kardi.Sejak kapan Pak Kardi punya anak laki-laki? Kenapa pria paruh baya itu tidak pernah bercerita?Dan jika dilihat, Pria muda ini sama sekali tidak ada kemiripan dengan Pak Kardi.Pria bernama Sadewa bertubuh tegap, berkulit putih dan terlalu tampan untuk menjadi seorang sopir.**Bersambung."Saya senang akhirnya kita bisa berkumpul seperti ini," ujar Bram pada semua orang yang hadir di rumahnya. Malam itu, ia sengaja mengundang Hadiwijaya bersama Miranda, juga Pras dan Yunita untuk makan malam bersama. "Kalian jadi bulan madu?" Tatapan Bram beralih pada Ayuna dan Raga yang duduk di depannya. "Jadi, Pa." Raga yang menjawab. "Aku sudah mengajukan cuti minggu depan.""Baguslah. Nikmati bulan madu kalian. Semoga saja sepulang kalian nanti, ada kabar bahagia untuk kami," ujar Hadiwijaya, ikut membuka suara. "Betul. Semoga saja, tidak lama lagi Athalla, Alika sama Zeya akan punya adik," timpal Miranda dan diaminkan oleh semua orang yang berada di sana. Kebahagiaan benar-benar menyelimuti keluarga mereka setelah mendapat kabar tentang Airin yang mendapat vonis hukuman dua puluh tahun penjara, meski sebenarnya Hadiwijaya tidak puas dengan vonis tersebut karena yang dia inginkan, wanita yang telah menyebabkan putranya meninggal dihukum seumur hidup. Namun, pria paruh baya it
"Jadi, kalian mau bulan madu?" tanya Farhan. Saat ini pria itu sedang menemui Raga di ruangannya. "Iya. Aku sudah ngambil cuti beberapa hari. Gak jauh kok. Cuma ke Bali," jawab Raga. "Memangnya, hubunganmu sama Ayuna sudah membaik, ya? Dia gak sering menghindar lagi?"Raga mengulum senyum. Ingatannya tiba-tiba melayang ke kejadian tadi malam saat pertama kalinya mereka melakukan hubungan suami istri, dan Raga benar-benar dibuat tergila-gila oleh istrinya itu. Ayuna bukan saja memuaskan dahaganya sebagai seorang pria dewasa yang beberapa tahun tidak mendapatkan sentuhan dari seorang wanita, tapi juga membuatnya merasa menjadi pria paling beruntung karena bisa memiliki istri sempurna yang diidamkan banyak pria. "Ya. Hubungan kami sudah jauh lebih baik. Aku sama dia sudah sepakat untuk menjalani pernikahan kami sebagaimana mestinya."Farhan tersenyum lebar. Ia turut bahagia mendengar pernikahan sahabatnya itu sudah membaik dan perjuangan Raga untuk mendapatkan cinta Ayuna lagi tidak b
"Aku tidak percaya, ternyata wanita ib*is itu yang telah membuat Sadewa meninggal," ujar Hadiwijaya dengan mengepalkan tangan. Saat ini, Ia, Bram, dan Raga sedang berada di ruang tamu rumah Raga, sedangkan Salma dan Miranda sedang menemani Ayuna serta cucu-cucunya di kamar. "Dia menyimpan dendam karena dulu ditolak Sadewa dan merasa dipermalukan oleh Ayuna," timpal Raga. "Dan parahnya, ternyata Alex juga terlibat." Hadiwijaya kembali menyahut. Ia sangat terkejut saat mengetahui salah satu reka bisnisnya tersebut adalah suami dari Airin, sekaligus orang yang membantu wanita itu mencelakai putranya. "Kita harus memastikan wanita itu dihukum seberat-beratnya." Bram yang sejak tadi diam, ikut membuka suara. "Itu pasti." Hadiwijaya berdiri, melangkah menuju kamar Ayuna untuk melihat kondisi mantan menantunya itu. Di sana, di kamar itu, Ayuna sedang dipeluk oleh Salma, sedangkan Miranda sedang menatap Athalla dan Alika yang tertidur. Hati Miranda kembali dilanda nyeri saat mengingat me
Raga baru saja selesai mandi saat mendapati Ayuna sedang duduk menghadap jendela dengan tatapan kosong. Raga mengira, istrinya itu sedang memikirkan sesuatu yang cukup serius karena Ayuna tidak menjawab panggilannya setelah beberapa kali ia menegur sang istri.Raga memutuskan menghampiri Ayuna dengan handuk yang masih tersampir di lehernya. Ia menatap Ayuna dengan lembut, lalu mengusap rambut sang istri penuh kasih. "Sedang memikirkan apa, hmm?" Raga bertanya lembut. "Mas perhatikan, dari kemarin kamu sering melamun."Ayuna sedikit tersentak, kemudian menoleh pada suaminya. "Aku tidak sedang memikirkan apa pun, Mas. Aku hanya sedikit lelah."Raga mengangguk pelan, berusaha mempercayai ucapan istrinya, meski ia menebak Ayuna sedang berbohong.Direngkuhnya kepala sang istri untuk ia sandarkan di bahunya. "Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, kamu bisa cerita sama Mas. Jangan dipendam sendirian."Ayuna tersenyum tipis. Ia mulai merasa nyaman dengan sentuhan dan perhatian dari suaminya.
Alex duduk di kursi mobilnya setelah meninggalkan Hadiwijaya dan keluarganya. Meski ia sempat berpamitan dengan sopan, pikirannya terus berputar tentang Ayuna. Bayangan wajahnya dan cara Ayuna menatapnya membuat dadanya berdebar, meskipun ia tahu itu salah. Ayuna adalah istri Raga, dan lebih dari itu, mantan istri Sadewa, musuh yang tak pernah ia temui, namun sudah menjadi bagian dari hidupnya melalui cerita-cerita Airin.“Kenapa aku merasa seperti ini?” gumam Alex, menatap keluar jendela, mencoba mengabaikan perasaan yang tumbuh di dalam dirinya. Dia menghembuskan napas panjang, seolah-olah mencoba mengeluarkan perasaan tersebut.Tapi semakin dia mencoba, semakin kuat bayangan Ayuna menghantui pikirannya.Airin selalu menggambarkan Ayuna sebagai wanita licik yang berhasil merebut Sadewa darinya. Namun, dari setiap interaksi singkat yang terjadi, Ayuna tak pernah terlihat seperti wanita yang Airin gambarkan. Sebaliknya, Ayuna selalu menunjukkan sikap yang tenang dan penuh kasih, terut
Alex mengepalkan tangan. Laporan yang ia dapat dari anak buahnya makin membuatnya yakin bahwa Airin tengah bermain curang di belakangnya. Wanita itu menemui seorang pria dan Alex bisa menangkap gelagat tak biasa dari keduanya, apalagi dalam video tersebut pria itu berani mencium istrinya. "Kamu sudah mulai bermain api, Airin. Jika terbukti hubunganmu dengan pria itu sudah sangat jauh, aku tidak akan berpikir dua kali untuk membuangmu," gumam Alex dengan mata yang terus tertuju pada video yang dikirimkan anak buahnya. Alex memang mencintai Airin. Namun, pria itu sangat membenci yang namanya pengkhianatan dan tidak akan pernah ada kata maaf untuk yang satu itu. Alex berdiri dari tempatnya duduk. Pria itu berjalan ke arah balkon dengan sebatang rokok yang menyelip di sela-sela jemarinya. Ia hisap benda tersebut dan menghembuskan asapnya ke udara. Kilasan masa lalu ketika ia pertama kali bertemu Airin hingga jatuh cinta dan memutuskan menikahi wanita itu melintas dalam ingatan pria ber