Aku berdiri di tengah-tengah ballroom yang sudah penuh dengan meja bundar beserta kursinya. Kami harus bersiap untuk acara besok, walaupun hanya untuk lima puluh tamu. Aku melihat ke sekelilingku, aku tak percaya akan meninggalkan tempat yang sudah membesarkanku selama ini. Pemandangan ini akan sangat kurindukan nantinya.
Hal yang sangat aneh kurasakan saat ini adalah, aku sangat jarang bertemu Ritchie. Bahkan hampir tak pernah. Aku bukan dengan sengaja menghindarinya, aku bekerja seperti biasanya. Tapi itu hal bagus sebenarnya, jadi aku tak perlu berpura-pura menghindarinya.
Pintu di hadapanku terbuka, dan Bella muncul dengan wajah sinisnya. Hanya ini masalahku yang tersisa saat ini. Aku bahkan tak mengerti atas alasan apa ia membenciku, kami juga tak pernah saling sapa. Aku sangat menjunjung tinggi senioritas, apalagi jika itu menyangkut karyawan baru ataupun anak magang.
Terdengar sombong, tapi itu prinsipku. Tapi masih di batas wajar, aku juga tak terlalu mengekang bawahanku. Aku bertindak selayaknya senior yang memberi contoh pada juniornya, dan Bella ini sudah sangat melewati batas.
“Kakak nyari aku?” tanyanya dengan gaya tengil.
Lihatlah. Bahkan ia sama sekali tak menyapaku dengan ramah dan tetap menunjukkan wajah tak sukanya padaku. Jika aku adalah Pak Robert, maka hari ini juga aku akan mengeluarkannya dengan tak hormat. Dan aku pastikan tak ada satupun hotel yang akan menerimanya.
“Hari ini kamu yang setting ballroom untuk acara besok.”
Bella tampak terkejut, biasanya ada tiga atau empat orang yang akan men-setting ruangan ini. Tapi acara besok hanya berjumlah lima puluh tamu, maka hanya ada tujuh meja bulat yang sudah rapi dengan kursi dan linen yang juga sudah terpasang. Bahkan semua cutleries, chinaware, glassware, serta aksesoris untuk menata meja sudah di siapkan semua.
“Kenapa cuma aku sendiri, ini banyak kak, dan kakak minta aku buat nyiapin semuanya?” Ia menatapku dengan tak percaya.
Aku sudah menduga ia akan protes. Dia bukan anak magang pada umumnya yang akan mengiyakan semua ucapan senior begitu saja. Ini pertama kali aku berbicara lama padanya, dan kemungkinan aku akan menghabiskan satu atau dua jam dengannya, bahkan mungkin tiga jam. Tergantung seberapa keras kepalanya dia.
“Total hanya ada tujuh meja, dan semua peralatan sudah di siapkan. Kamu hanya tinggal menyusunnya. Apa itu terlihat sangat sulit? Atau kamu sama sekali tak tahu bagaimana caranya menata meja?”
Ia menggerutu tanpa menjawab pertanyaanku, dan melangkah menuju troli yang berisi piring dan cutleries. Aku hanya mengawasinya. Aku sama sekali belum tahu kinerjanya seperti apa, dan apakah ia sudah pernah men-set meja sebelumnya. Hari ini aku akan melihat semuanya, dan memastikan seberapa pintar ia.
Sebenarnya aku melakukan ini karena sekalian ingin menguji. Setidaknya, jika ia tak menghormati para seniornya, maka ia seharusnya bisa lebih pintar. Dan tak hanya memamerkan kecantikannya itu. Ah, aku sangat muak dengan wanita yang hanya bisa memamerkan kecantikan, tanpa memiliki hal lain untuk di pamerkan.
“Kak, ini kenapa gak lengkap? Wine glass gak ada di sini?” tanyanya. Masih dengan gaya angkuh. Percaya atau tidak, rasanya aku ingin mencakar wajah itu.
“Ini untuk lunch, basic set up aja.”
“Cuma basic set up aja sampe nyuruh aku.”
Aku mendengar ocehan yang sangat lirih itu, tapi aku hanya mengamatinya dari sini. Akan sangat melelahkan jika aku menanggapi semua ocehannya itu. Toh, aku juga akan resign. Masalah kecil seperti ini seharusnya tak mengganggu ketenangan jiwaku.
Empat puluh lima menit kemudian, Bella sudah menyelesaikan semuanya. Dan semua rapi, tak ada kesalahan yang berarti. Jadi, sebenarnya dia ini cukup pintar. Hanya saja minus dengan sifatnya yang buruk, dan inilah yang harus aku lakukan. Set up meja hanyalah permulaan.
“Aku udah boleh pergi, kan?”
Tanpa menunggu jawabanku, ia mulai melangkahkan kakinya menuju pintu.
“Kamu bisa jujur sekarang kalau memang gak suka sama aku,” ucapku.
Bella menghentikan langkahnya dan menatapku dengan pandangan penuh tanya, dan jangan lupakan wajah angkuh yang setia ia tunjukkan padaku. Apa ia pikir aku akan terintimidasi karena wajah itu? Dia memilih lawan yang salah.
“Aku udah sering denger gosipnya, tentang seberapa banyak kamu benci sama aku. Bilang aja kalau memang gak suka sama aku. Itu lebih terhormat di banding ngomongin di belakang aku.” Aku menaikkan alis, menanti ia bicara.
Bella masih menatapku, tanpa mengatakan apapun. “Kamu gak berani?” Aku mencoba memancingnya.
“Kalau memang mau mojokin aku, gak perlu pake kedok set up meja. Tinggal ngomong langsung aja. Kakak takut?” ucap Bella dengan tatapan yang meremehkanku, ia mencoba membalikkan ucapanku.
Aku tersenyum sinis dan menyilangkan tanganku di dada. “Ini tes. Dan kamu cukup pintar. Hanya saja sikapmu yang tak mencerminkan kepintaranmu itu.”
Kalau kalian berpikir aku akan berbicara dengan lembut padanya, maka buang semua pikiran itu karena aku tak akan melakukannya. Gadis ini tak akan bisa di ajak berbicara dengan lembut. Aku hanya menyamakan situasinya.
“Kenapa baru sekarang? Kenapa gak dari awal aku masuk di sini? Kakak mau balas dendam karena aku gak suka sama kakak?” Bella juga ikut menyilangkan tangannya di dada, dan menaikkan dagunya.
Setidaknya ada hal baik yang ia lakukan. Ia masih memanggilku kakak. Tapi itu tak berarti aku akan melepaskannya begitu saja.
“Kamu seharusnya sudah sadar atas sikapmu selama di sini. Banyak yang mulai protes karena sikapmu. Apa kamu tak sadar? Atau kamu memang terbiasa bersikap seperti itu?”
“Dan sejauh ini semuanya biasa aja, gak ada yang protes ke aku. Apa ini akal-akalan kakak aja?”
Aku merasa hari ini akan menjadi hari yang berat untukku, sama beratnya ketika aku menjelaskan pada Ritchie. Beruntung aku hanya akan menghadapi gadis ini selama kurang lebih sebulan. Tapi, aku benar-benar tak habis pikir dengan caranya berbicara padaku. Ini sangat menyebalkan ketika orang yang jauh lebih muda darimu, merendahkanmu seolah ia adlaah yang terbaik.
“Kita mulai dari awal, kenapa kamu gak suka sama saya? Kamu punya masalah sama saya? Ini bahkan pertemuan pertama kita.”
“Kenapa aku harus kasih tahu semua itu? Gak semua orang bisa suka sama kakak, kenapa harus di paksain? Apa segitu putus asanya buat di sukai sama orang lain?”
Jawaban yang sangat tak terduga sama sekali. Jadi, aku harus tertawa atau melakukan kekerasan di sini? Karena aku yakin ini benar-benar akan memakan waktu yang lama. Aku tertawa sinis, gadis ini benar-benar menguji kesabaranku. Dia membuat sisi jahatku terbangun dari tidur panjangnya.
“Kamu gak ngerti bahasa Indonesia? Saya tanya kenapa kamu selalu menunjukkan wajah sinismu itu, saya tak pernah meminta kamu untuk menyukai saya. Kamu tahu, menjelekkan orang lain di belakangnya sudah sangat ketinggalan jaman dan tipikal pengecut. Kenapa gak kamu katakan langsung di depan saya?”
Bella tampak menahan kesalnya. “Karena kamu sangat menyedihkan. Kamu punya pacar, tapi masih mendekati pria lain yang masih satu lingkungan pekerjaan. Bahkan sampe harus libatin Kak Tsania segala. Kamu gak bisa lebih profesional dari ini?”
Ah, jadi ini tentang Tsania, dan dia sepupu Tsania. Semuanya sangat jelas sekarang, tapi ini membuatku ingin tertawa dengan keras. Kejadian beruntun yang aku alami, semuanya sangat lucu untukku. Kalian pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya?
**
Aku masih menatap Bella, dengan datar. Ia sudah menyentuh emosiku yang paling dalam. Kalau tak mengingat bahwa aku sedang bekerja dan saat ini aku sedang bertindak sebagai senior yang mencoba menasehati juniornya, maka aku bisa melakukan hal lain yang lebih terjamin akan menyadarkan dirinya. Kekerasan mungkin?
“Ah, jadi ini karena perasaan pribadi?” Sama sekali tak ada emosi pada nada suaraku, karena memang itu tak di perlukan.
Bella tak menanggapi, ia masih menatapku dengan dagu yang semakin di naikkan dan tatapan angkuh.
“Aku tak pernah bermasalah dengan orang yang membenciku, tapi sebelum itu kamu harus tahu cerita lengkapnya sebelum membenciku. Kamu benar-benar hanya anak kecil yang tak tahu permasalahan orang dewasa. Benci aku sepuasnya, tapi cari tahu cerita yang sebenarnya.”
Bella ingin membalas ucapanku, tapi aku segera memotongnya. “Dan aku akan profesional di sini seperti yang kamu bilang. Kak Vero dan bahkan Pak Robert sudah menyampaikan semua keluhan tentang kelakuan kamu selama ini.”
“Aku gak yakin, jangan-jangan ini cuma kamu yang mau menjelekkan aku.”
“Pakaian yang ketat, celana yang lebih pendek dari yang seharusnya, bahkan flirting dengan tamu pria. Apa kamu lupa kalau kita menjual service bukan menjual diri?” Aku memotong ucapan Bella yang hanya akan menambah emosiku.
Bella sangat kaget dengan ucapan kasarku. Well, dia sendiri yang membuat aku mengatakan itu semua. Aku bisa saja melakukan tindakan kekerasan, tapi tak ada manfaatnya dan hanya aku yang rugi, di tambah akan membuang energiku.
Seragam untuk hotel ini memang tak terlalu formal. Kaos polo berwarna oranye, dan celana khaki dengan dua pilihan—panjang dan sependek lutut—dan aku memilih mengenakan celana panjang karena aku tak pede jika harus memakai celana yang panjangnya hanya di bawah lutut. Tahu apa yang paling aku benci saat ini? Bella yang sudah melepaskan panggilan kakak padaku.
“Di laundry sudah tak ada pakaian yang seukuranku, aku hanya memakai apa yang di berikan.”
“Oh ya? Kamu sangat tahu ukuran tubuhmu, apa kamu memang sengaja memakai pakaian dengan ukuran satu kali lebih kecil untuk menarik perhatian para tamu, atau Lucas? Sayangnya kamu malah terlihat murahan dengan semua itu, siapa yang lebih menyedihkan sekarang?”
Aku yakin setelah ini rasa bencinya padaku semakin besar. Tapi, aku tak peduli. Dia pantas mendapatkannya.
Bella hanya memandangku tanpa mengatakan apapun, tapi aku yakin ia sudah sangat kesal padaku. Wajahnya sudah sangat memerah dan tangannya sudah mengepal di kedua sisi tubuh. Aku bahkan masih menyimpan semua kalimat kesalku yang akan aku keluarkan jika ia kembali membantahku.
“Kalau besok kamu masih memakai seragam ini lagi, saya pastikan kamu akan menerima surat peringatan, tidak peduli kamu punya sepupu di sini atau gak. Kamu boleh keluar.”
Untuk kalian tahu, seragam yang kenakan Bella sangat ketat. Ia cantik dan bentuk tubuhnya sangat berlekuk di bagian yang tepat. Dan ia membuat seragam itu sangat pas badan serta celana yang juga sangat ketat sehingga membuatnya semakin pendek. Sangat wajar jika di tegur, kan? Itu sangat menyalahi aturan hotel.
Aku berpegangan pada kursi yang ada di dekatku. Rasanya sangat sesak seperti ini. Aku menahan rasa kesal dan marah tapi tak mampu tersalurkan dengan benar. Dan rasanya sangat sesak. Air mataku perlahan turun, terlalu banyak rasa sesak yang kutahan sendiri. Dan semua amarah yang tak bisa kusalurkan, aku merasa frustasi dan kesal pada diriku sendiri. Aku mengeluarkan semuanya di ballroom ini yang membuatku terasa semakin kesepian.
**
Aku kembali bekerja setelah menyelesaikan urusan di Bali. Sejauh ini tak ada yang tahu aku mengundurkan diri, hanya Lucas dan Pak Robert. Tapi jika Lucas sudah membocorkannya, maka satu hotel akan mengetahuinya. Lucas bukan tipe orang yang akan membocorkan sesuatu tanpa tedeng aling-aling, tapi jika ada yang bertanya, maka Lucas tak segan untuk menceritakan semuanya.Pagi ini hotel terlihat ramai, padahal ini hari rabu. Aku melihat ke sekeliling dan hampir semua karyawan terlihat mondar mandir untuk melayani tamu. Tapi Lucas tak terlihat di manapun, mungkin ia masuk sore. Aku menuju bar untuk menghampiri Dwi yang sibuk meracik minuman.“Hai, Wi. Tumben rame, ya?”“Hai, Mbak. Iya nih, ada grup dari Singapor. Gimana cutinya?” Dwi menjawab pertanyaanku sembari fokus pada mocktail yang sedang ia racik.“Lucas gak cerita sama kamu, ya?”“Cerita apa, Mbak?”Biasanya jika ada berita apapun yang menyangkut diriku, Lucas akan menceritakan langsung pada Dwi. Tumben sekali kali ini dia lebih men
Tapi sepertinya doaku tak di kabulkan. Aku baru saja sampai di kosku, dan menemukan Tsania sedang duduk di teras kamar kosku. Aku ingin mengurungkan niat untuk memasuki gerbang, tapi aku tak ingin terlihat seperti pengecut. Dan juga, bukan aku yang bersalah di sini. Jadi aku tetap melangkah maju, mereka sudah menghancurkan hidupku sedemikian rupa. Jadi lebih baik jika di hancurkan langsung semuanya. "Tumben, Tsan." Aku menyapanya dengan datar. Tak ada alasan untuk ramah padanya setelah semua yang terjadi. Lagipula aku heran, bagaimana bisa ia menemuiku setelah semua gosip yang ia sebarkan? Apa ia ingin meminta maaf? Atau ingin mengorek cerita lebih dalam agar bisa di jadikan bahan gosip lain? "Iya nih, boleh ngobrol-ngobrol sebentar, Van? Atau kamu mau langsung istirahat?" tanyanya. Ia menunjukkan wajah tak bersalah, dan masih bisa tersenyum, bagaimana seseorang bisa melakukan semua hal seperti ini? Aku akui ia memang cantik, wajahnya hampir mirip dengan Bella. Tapi sangat di sayan
Aku menatap dengan seksama matahari terbit yang sangat indah menyinari pantai ini. Pantai ini selalu menjadi tempat tujuan ketika mendapatkan hari liburku, karena jaraknya yang jauh dengan tempat kosku, dan aku juga tak mungkin mampu berkendara selama lebih dari satu jam hanya untuk mengunjungi pantai ini di hari biasa. Sudah hampir enam bulan aku tinggal dan bekerja di Bali. Aku menyukainya. Setidaknya aku sudah menemukan kenyamananku di kota ini. Dan aku selalu menghabiskan seharian berada di pantai Sanur ini, terkadang aku juga mengunjungi pantai Kuta. Aku hampir mendatangi seluruh pantai yang ada di Bali sepertinya. Aku bekerja di Kayon Resort yang terletak di Ubud, salah satu daerah di Bali yang terkenal dengan budayanya. Awalnya aku memilih resort ini hanya untuk berlibur, ketika aku sedang menghadapi masalahku saat itu. Tapi, kemudian aku malah mengirimkan lamaranku dan mereka meresponnya dengan baik. Tapi aku bersyukur saat itu karena langsung menerimanya tanpa berpikir dua
Aku kembali melanjutkan aktifitas seperti biasa, setelah aku menghabiskan satu hari penuh bersama Lucas. Aku tetap merasa lelah walaupun sudah libur, karena Lucas tentunya. Jika saja ia tidak memaksa untuk di temani berkeliling Bali, maka aku tidak akan selelah ini. Tapi aku tetap menikmatinya. Keuntungan bekerja di resort, aku tidak perlu menyibukkan diriku untuk menyiapkan buffet breakfast yang selalu ada di setiap city hotel. Bisa di bilang pekerjaanku cukup santai, walaupun tanggunng jawab yang kumiliki cukup besar karena aku yang mengepalai restoran di resort ini. Jabatanku hanya sementara, aku melamar sebagai asisten manajer di resort ini, tapi selang beberapa hari aku bekerja di sini, manajer restoran ini mengundurkan diri. Dan karena belum ada penggantinya, maka aku sementara menjadi manajer restoran di resort ini. Sejauh ini aku bekerja, tak ada kesulitan yang berarti kecuali mengenakan seragam. Karena konsep resort ini sendiri sangat kental budaya Bali, maka seragam yang k
Canyon jetty ini adalah salah satu dek yang ada di kanyon resort. Letaknya di tepi sungai dengan suara alami air terjun yang akan menemani para tamu yang akan menikmati hidangan di dek ini. Canyon jetty ini juga digunakan untuk mereka yang ingin melakukan yoga. Suasana yang di ciptakan sangat menenangkan jiwa, mampu menyembuhkan pikiran yang sedang stres.Aku juga termasuk salah satunya. Biasanya aku akan berlama-lama menatap air terjun itu sembari mendengarkan suara gemericik air yang turun lalu menghantam bebatuan yang ada di dasar. Suasana itu memang sangat menenangkan.Canyon jetty hanya dibuka untuk makan siang dari pukul sebelas siang, sampai pukul lima sore. Untuk mereka yang ingin menikmati kopi dan teh sorenya, sangat di rekomendasikan tempat ini.Saat ini aku sedang menunggu tamu yang sudah mereservasi meja di canyon jetty, dari yang aku dengar mereka adalah pasangan. Dan mereka mengharapkan makan siang yang romantis di sini. Terkadang aku merasa seperti miris dengan diriku
Aku masih bisa mengingat dengan jelas pria yang waktu itu tiba-tiba mencurahkan isi hatinya padaku, bahwa dia baru saja di putuskan oleh tunangannya. Sudah satu minggu berlalu, tapi aku bisa mengingatnya. Aku bahkan menceritakan hal itu pada Mbak Gita dan juga Emi. Mereka hanya tertawa. Tapi aku tetap mendapatkan tip yang ia janjikan.Aku sebenarnya sudah menolaknya, aku tak ingin mengambil kesempatan ketika orang tersebut sedang menghadapi masalah. Tapi ternyata ia memaksa, dan berterima kasih sudah menemaninya. Padahal bisa di bilang aku tak melakukan apapun, aku hanya berdiri di belakangnya sampai ia memutuskan untuk pergi.Harapanku hanya satu, semoga dia bisa segera lepas dari semua permasalahnnya. Dia terlihat seperti pria baik, walaupun senyumnya tak pernah terlihat bahkan sampai ia pergi.“Jadi, Mbak gak minta nomor hape cowok itu? Padahal lumayan, kan dia lagi butuh hiburan gitu,” ucap Emi. Ia adalah orang yang paling heboh merespon ceritaku. Ia juga sampai menyusun skenario a
Setelah mengeluarkan kemampuan mengebutku yang sangat payah, aku berhasil sampai di Kuta tepat pada pukul lima kurang sepuluh menit. Aku memarkirkan motor yang yang kugunakan sedikit asal, pasti ada tukang parkir yang akan mengaturnya nanti. Karena efek buru-buru itu, aku bahkan masih mengenakan kebaya dan juga kain kamen, dan tak lupa sepatu fantofel yang ada di genggaman tanganku, yang kulepas agar bisa merasakan pasir pantai ini. Aku sangat salah kostum datang ke pantai ini, aku bahkan bisa merasakan mata dari para turis yang memandangku, tapi aku tidak peduli. Aku hanya terus berjalan menuju spot yang bisa melihat matahari terbenam dengan jelas. Setelah menemukannya, aku hanya terus berdiri, sangat tidak memungkinkan untukku duduk di pasir dengan kain ini. Walaupun kaki ini sedikit keram, tapi tak masalah, karena aku sangat mencintai pantai, matahari terbit dan juga matahari terbenam. Hanya beberapa menit, dan perlahan matahari itu mulai turun dengan cahaya oranye yang sangat in
Aku melewati meja resepsionis ketika selesai mengantar pesanan tamu, aku hendak bersiap pulang karena jam kerjaku sudah selesai. “Van…” Suara panggilan dari Ismi, salah satu resepsionis yang bertugas sore ini menghentikanku. Aku menghampirinya, “Kenapa?” “Ada yang nyariin kamu, katanya dia temen kamu,” ucap Ismi sembari menunjuk orang yang di maksud, orang itu duduk di sofa yang membelakangi meja resepsionis. “Tamu di sini?” Aku bertanya lagi. “Iya, dia baru aja check-in, katanya sebelum ke villanya dia mau ketemu kamu dulu.” Aku hanya menganggukkan kepala dan berterima kasih pada Ismi. Aku segera menghampiri orang itu. Setahuku, aku tak memiliki teman di Bali kecuali rekan kerjaku. Apa mungkin itu Lucas? Dia kemarin berjanji akan berkunjung lagi ketika cutinya sudah di terima oleh Pak Robert. Atau yang lebih buruknya, itu Ritchie atau Tio. Aku mendekatinya dengan perlahan, untuk memastikan siapa pria ini, “Permisi.” Pria itu mendongakkan wajahnya, dan ini adalah wajah yang ku