Share

Bab 12

Tapi sepertinya doaku tak di kabulkan. Aku baru saja sampai di kosku, dan menemukan Tsania sedang duduk di teras kamar kosku. Aku ingin mengurungkan niat untuk memasuki gerbang, tapi aku tak ingin terlihat seperti pengecut. Dan juga, bukan aku yang bersalah di sini. Jadi aku tetap melangkah maju, mereka sudah menghancurkan hidupku sedemikian rupa. Jadi lebih baik jika di hancurkan langsung semuanya.

"Tumben, Tsan." Aku menyapanya dengan datar.

Tak ada alasan untuk ramah padanya setelah semua yang terjadi. Lagipula aku heran, bagaimana bisa ia menemuiku setelah semua gosip yang ia sebarkan? Apa ia ingin meminta maaf? Atau ingin mengorek cerita lebih dalam agar bisa di jadikan bahan gosip lain?

"Iya nih, boleh ngobrol-ngobrol sebentar, Van? Atau kamu mau langsung istirahat?" tanyanya. Ia menunjukkan wajah tak bersalah, dan masih bisa tersenyum, bagaimana seseorang bisa melakukan semua hal seperti ini?

Aku akui ia memang cantik, wajahnya hampir mirip dengan Bella. Tapi sangat di sayangkan sifatnya tak bisa mencerminkan kecantikannya. Atau keluarganya memang terlahir dengan sifat yang sama seperti itu?

“Kalau ini penting, aku bakal dengerin. Aku capek banget soalnya dengerin semua omong kosong yang ada di hotel.”

Tsania hanya tersenyum tipis menanggapi ucapanku. Aku bahkan yakin jika bukan di hadapanku, maka ia akan tersenyum lebar mendengar ucapanku barusan. Ia sangat pantas bersanding dengan Ritchie, sifat mereka sangat mirip.

Aku ingin mengatakan ‘seandainya aku tak pernah berhubungan dengan Ritchie,’ tapi sepertinya sudah terlalu banyak pengandaian yang aku sebut di sini, sampai aku muak membayangkannya.

"So?" Aku berusaha langsung kepada poinnya. Selain aku muak jika harus berbicara berdua dengan Tsania, aku juga sangat lelah dan hanya ingin segera merebahkan diriku.

"Kamu sama Ritchie..." Dia tampak sulit untuk memilih kata.

"Kami putus."

Dan aku rasa ia sudah sangat tahu hal itu, lalu kenapa harus kembali menanyakannya lagi? Ia sangat ingin merasa kalau ia tak bersalah di sini. Dia benar-benar membuatku sangat muak.

"Kenapa?" Tsania menundukkan pandangannya, mungkin gugup atau berpura-pura gugup. Aktingnya sangat bagus, kenapa ia harus berakhir di hotel jika bisa menjadi aktris terkenal?

"Sudah jelas, kan? Aku rasa kamu sudah sangat tahu, Tsan, dan obrolan kayak gini bener-bener gak penting banget. Setelah semua yang terjadi,” ucapku.

"Aku minta maaf soal semuanya, Van, aku cuman gak mau anak-anak anggep aku dan Ritchie bermain dibelakangmu. Kami tidak melakukan itu."

Sama sekali tak ada penyesalan dalam ucapan Tsania. Ia sama saja seperti Ritchie yang mencoba bermain peran menjadi korban di sini. Aku sangat ragu mereka memiliki hati.

"Dan menyebarkan gosip tentang aku yang selingkuh, padahal aku sama sekali gak pernah ngelakuin itu. Kalau kalian memang sama-sama cinta kenapa harus ngorbanin aku? Pacaran aja seperti yang sudah seharusnya! Apa kamu takut kehilangan sumber dana kalau sampai pacaran sama Ritchie?” hardikku.

Aku berusaha menahan teriakanku agar tak menimbulkan keributan di sini. Emosiku benar-benar sudah di batasnya. Aku akan pergi sebentar lagi, tak bisakah mereka hanya tinggalkan aku sendirian dengan semua gosip-gosip ini?

Dan untuk kalian tahu, pacar Tsania ini termasuk dalam daftar orang terkaya di sini. Aku tak ingin berprasangka buruk, tapi setelah kejadian ini aku semakin yakin kalau Tsania hanya memanfaatkan pacarnya itu. Bukankah sudah pernah aku katakan bahwa orang lain pun bisa melihat kalau Tsania dan Ritchie ini saling mencintai, tapi kenapa sampai sekarang mereka tak berpacaran saja?

“Kamu…,”

“Kamu tahu kalau dari tadi aku nahan rasa muak aku cuman buat ngobrol sama kamu? Aku gak mau sok ramah di sini. Dan aku udah tahu semuanya, aku juga gak peduli kamu bakal ngelakuin apa. Jadi berhenti sok baik dan menjadi korban di sini, kamu bener-bener gak punya malu apa gimana?”

Dan aku sudah mengatakan semua rasa kesalku. Belum semua sebenarnya, itu hanya sebagian kecil. Jika aku mengatakan semuanya, aku tak tahu apa yang bisa aku lakukan padanya. Terkadang aku bisa berbuat nekat yang mungkin merugikanku, dan kadang aku tak peduli dengan yang aku lakukan. Tapi aku harus berpikir dengan kepala dingin. Aku tak ingin terpancing emosi hanya karena perempuan ini.

Tsania bangun dari duduknya dan segera pergi dengan kesal, bahkan ia tak berpamitan denganku. Lagipula aku ragu jika ia masih punya kesopanan itu. Hanya wajahnya saja yang cantik, dan gadis seperti ini yang sangat di gilai Ritchie?

Yah, kalau di lihat lagi mereka memang sangat cocok. Aku harap mereka akan selalu bahagia tanpa harus mengorbankann orang lain nantinya.

**

 Setelah kepergian Tsania, aku tak bisa beristirahat dengan baik. Aku hanya menyempatkan diri untuk mandi dan makan beberapa cemilan. Aku sedang menunggu Lucas yang katanya sedang menuju ke tempatku.

Aku juga sudah memutuskan untuk mempercepat keberangkatanku ke Bali. Selain aku sudah sangat stres jika harus lebih lama di sini, tanggal aku memulai kerja di Bali juga sangat dekat. Harusnya aku masih di sini untuk tiga minggu lagi, tapi tanggal masuk kerjaku sudah di putuskan menjadi dua minggu lagi. Aku juga harus menyiapkan kebutuhanku selama di sana.

Tak ada penyesalan untuk meninggalkan kota ini, walau sudah banyak kenangan indah dan kenangan buruk yang sudah bercampur. Toh aku benar-benar sendiri saat ini, sendiri dalam artian yang benar-benar sendiri. Apa aku belum menceritakan tentang kedua orang tuaku?

Itu kisah lama yang jika aku ceritakan kembali, hanya membuat hatiku sakit. Mereka bercerai ketika aku baru menjadi murid SMA, dengan alasan sudah tak saling mencintai lagi dan tak memiliki kecocokan lagi. Aku kaget tentu saja, apalagi saat itu aku baru memasuki usia remaja yang sangat labil.

Aku berpindah-pindah antara rumah Ayah dan Ibuku sampai aku lulus kuliah. Saat ini aku sudah bisa mengerti alasan mereka bercerai, tapi tetap saja rasa kecewa itu masih mendominasi. Saat ini, aku memutuskan semua yang ada di hidupku sendiri. Kedua orang tuaku sudah bahagia dengan keluarganya masing-masing, hal terakhir yang mereka katakan adalah, aku harus memilih jalanku sendiri untuk bahagia dan mereka akan selalu mendukung keputusanku dengan baik.

Dan di sinilah aku, berpindah dari satu kota ke kota lain untuk mencari kebahagiaanku. Aku lahir dan besar di Jakarta, memilih kuliah dan tinggal di Bandung bersama Ayahku, lalu bekerja di Batam. Bali menjadi tujuanku selanjutnya. Aku pikir Bali bisa menjadi batu loncatanku agar semakin sukses.

Aku tersadar dari lamunanku ketika mendengar suara klakson mobil yang berhenti tepat di depan teras kosku. Lucas keluar dari mobilnya dengan senyum yang sangat lebar. Hanya seperti itu saja dan mampu membuat wajahku kembali ceria.

Lucas memperlihatkan bawaannya yang memenuhi kedua tangannya. Ada ayam krispi satu ember penuh dan juga pepsi serta cola dengan botol besar. Aku tersenyum dan ngeri dalam waktu bersamaan. Padahal aku sama sekali tak bernafsu untuk menyentuh makanan sedikitpun.

“Kalau tahu kayak gini aku minta uangnya aja, jadi kamu gak perlu beliin semua itu,” ucapku. Aku sedih melihat semua makanan yang ia bawa, aku tak perlu mengkonsumsi ayam krispi untuk satu bulan ke depan sepertinya.

“Hai juga, Van.” Lucas seperti tak memedulikan ocehanku, ia selalu seperti itu. Tapi, percayalah, ia orang yang paling bisa kupercaya dan melakukan segalanya untukku

Lucas segera duduk di kursi plastik di sampingku, tanpa memperdulikan ucapanku barusan. Beruntung ibu kosku berbaik hati meletakkan kursi plastik dan meja kecil di setiap kamar kos yang kami sewa.

“Makan, gih, aku tahu kamu belum makan.” Lucas membuka tutup ayam krispi yang di bawanya dan menyerahkan semuanya padaku.

Aku menerimanya, dan mencoba sepotong. Aku tak ingin masalah ini melemahkanku, tapi rasanya aku semakin terpengaruh dan menjerumuskan diriku sendiri dalam lingkaran kesedihan ini.

“Dwi udah cerita sama aku. Aku rasanya pengen banget ngelabrak dua sejoli itu, termasuk si Bella. Mereka udah keterlaluan banget.”

Aku hanya mengangkat bahu tak acuh. “Kamu bisa ngelakuin itu setelah aku di Bali, aku udah gak peduli sama mereka. Aku ngerasa kayak lagi main permainan otak sama mereka, semakin aku terpengaruh, semakin mereka seneng.” Aku masih melanjutkan kunyahanku.

Aku bisa merasakan tatapan Lucas yang tak lepas dariku yang masih asyik mengunyah ayam krispi. Beruntung aku masih memiliki Lucas dan juga Dwi yang selalu menyemangatiku semenjak masalah ini semakin berlarut dan bahkan bertambah heboh.

“Kamu sama Ina ada masalah apa? Kemarin dia nemuin aku buat nanyakin kamu.”

Aku berhenti mengunyah, lalu menghela napas. Aku tak pernah berharap akan bertengkar hebat dengan Ina seperti ini, tapi aku juga tersakiti di sini. Dan ingin menjauhi sumber dari rasa sakit itu. Setidaknya untuk saat ini, nanti kami pasti akan kembali seperti semula waktu, semua tergantung waktu.

“Ini pertama kalinya aku ngerasa di khianati sahabat sendiri, Luke. Dia bahkan lebih percaya sama omongan Ritchie di banding aku. Aku juga pengen baikan, tapi gak tahu kenapa rasanya sakit banget. Aku rasanya udah muak banget sama semua ini.”

Tanpa di minta, air mata itu mengalir dengan sendirinya. Air mata dari rasa kesal, muak, marah, semuanya bercampur menjadi satu.

“Bahkan kamu nangis aja masih cantik, ya? Aku heran sama Ritchie yang cinta banget sama Tsania,” ucap Lucas.

Aku tertawa mendengar ucapan Lucas, ia sangat mampu mengubah moodku. Walaupun kadang aku berharap itu benar. Aku ingin ada seseorang yang menjelekkan Ritchie dan Tsania untukku. Walaupun hanya sebentar, setidaknya aku bisa merasakan lega.

“Minggu depan aku berangkat ke Bali.”

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status