Tapi sepertinya doaku tak di kabulkan. Aku baru saja sampai di kosku, dan menemukan Tsania sedang duduk di teras kamar kosku. Aku ingin mengurungkan niat untuk memasuki gerbang, tapi aku tak ingin terlihat seperti pengecut. Dan juga, bukan aku yang bersalah di sini. Jadi aku tetap melangkah maju, mereka sudah menghancurkan hidupku sedemikian rupa. Jadi lebih baik jika di hancurkan langsung semuanya.
"Tumben, Tsan." Aku menyapanya dengan datar.
Tak ada alasan untuk ramah padanya setelah semua yang terjadi. Lagipula aku heran, bagaimana bisa ia menemuiku setelah semua gosip yang ia sebarkan? Apa ia ingin meminta maaf? Atau ingin mengorek cerita lebih dalam agar bisa di jadikan bahan gosip lain?
"Iya nih, boleh ngobrol-ngobrol sebentar, Van? Atau kamu mau langsung istirahat?" tanyanya. Ia menunjukkan wajah tak bersalah, dan masih bisa tersenyum, bagaimana seseorang bisa melakukan semua hal seperti ini?
Aku akui ia memang cantik, wajahnya hampir mirip dengan Bella. Tapi sangat di sayangkan sifatnya tak bisa mencerminkan kecantikannya. Atau keluarganya memang terlahir dengan sifat yang sama seperti itu?
“Kalau ini penting, aku bakal dengerin. Aku capek banget soalnya dengerin semua omong kosong yang ada di hotel.”
Tsania hanya tersenyum tipis menanggapi ucapanku. Aku bahkan yakin jika bukan di hadapanku, maka ia akan tersenyum lebar mendengar ucapanku barusan. Ia sangat pantas bersanding dengan Ritchie, sifat mereka sangat mirip.
Aku ingin mengatakan ‘seandainya aku tak pernah berhubungan dengan Ritchie,’ tapi sepertinya sudah terlalu banyak pengandaian yang aku sebut di sini, sampai aku muak membayangkannya.
"So?" Aku berusaha langsung kepada poinnya. Selain aku muak jika harus berbicara berdua dengan Tsania, aku juga sangat lelah dan hanya ingin segera merebahkan diriku.
"Kamu sama Ritchie..." Dia tampak sulit untuk memilih kata.
"Kami putus."
Dan aku rasa ia sudah sangat tahu hal itu, lalu kenapa harus kembali menanyakannya lagi? Ia sangat ingin merasa kalau ia tak bersalah di sini. Dia benar-benar membuatku sangat muak.
"Kenapa?" Tsania menundukkan pandangannya, mungkin gugup atau berpura-pura gugup. Aktingnya sangat bagus, kenapa ia harus berakhir di hotel jika bisa menjadi aktris terkenal?
"Sudah jelas, kan? Aku rasa kamu sudah sangat tahu, Tsan, dan obrolan kayak gini bener-bener gak penting banget. Setelah semua yang terjadi,” ucapku.
"Aku minta maaf soal semuanya, Van, aku cuman gak mau anak-anak anggep aku dan Ritchie bermain dibelakangmu. Kami tidak melakukan itu."
Sama sekali tak ada penyesalan dalam ucapan Tsania. Ia sama saja seperti Ritchie yang mencoba bermain peran menjadi korban di sini. Aku sangat ragu mereka memiliki hati.
"Dan menyebarkan gosip tentang aku yang selingkuh, padahal aku sama sekali gak pernah ngelakuin itu. Kalau kalian memang sama-sama cinta kenapa harus ngorbanin aku? Pacaran aja seperti yang sudah seharusnya! Apa kamu takut kehilangan sumber dana kalau sampai pacaran sama Ritchie?” hardikku.
Aku berusaha menahan teriakanku agar tak menimbulkan keributan di sini. Emosiku benar-benar sudah di batasnya. Aku akan pergi sebentar lagi, tak bisakah mereka hanya tinggalkan aku sendirian dengan semua gosip-gosip ini?
Dan untuk kalian tahu, pacar Tsania ini termasuk dalam daftar orang terkaya di sini. Aku tak ingin berprasangka buruk, tapi setelah kejadian ini aku semakin yakin kalau Tsania hanya memanfaatkan pacarnya itu. Bukankah sudah pernah aku katakan bahwa orang lain pun bisa melihat kalau Tsania dan Ritchie ini saling mencintai, tapi kenapa sampai sekarang mereka tak berpacaran saja?
“Kamu…,”
“Kamu tahu kalau dari tadi aku nahan rasa muak aku cuman buat ngobrol sama kamu? Aku gak mau sok ramah di sini. Dan aku udah tahu semuanya, aku juga gak peduli kamu bakal ngelakuin apa. Jadi berhenti sok baik dan menjadi korban di sini, kamu bener-bener gak punya malu apa gimana?”
Dan aku sudah mengatakan semua rasa kesalku. Belum semua sebenarnya, itu hanya sebagian kecil. Jika aku mengatakan semuanya, aku tak tahu apa yang bisa aku lakukan padanya. Terkadang aku bisa berbuat nekat yang mungkin merugikanku, dan kadang aku tak peduli dengan yang aku lakukan. Tapi aku harus berpikir dengan kepala dingin. Aku tak ingin terpancing emosi hanya karena perempuan ini.
Tsania bangun dari duduknya dan segera pergi dengan kesal, bahkan ia tak berpamitan denganku. Lagipula aku ragu jika ia masih punya kesopanan itu. Hanya wajahnya saja yang cantik, dan gadis seperti ini yang sangat di gilai Ritchie?
Yah, kalau di lihat lagi mereka memang sangat cocok. Aku harap mereka akan selalu bahagia tanpa harus mengorbankann orang lain nantinya.
**
Setelah kepergian Tsania, aku tak bisa beristirahat dengan baik. Aku hanya menyempatkan diri untuk mandi dan makan beberapa cemilan. Aku sedang menunggu Lucas yang katanya sedang menuju ke tempatku.
Aku juga sudah memutuskan untuk mempercepat keberangkatanku ke Bali. Selain aku sudah sangat stres jika harus lebih lama di sini, tanggal aku memulai kerja di Bali juga sangat dekat. Harusnya aku masih di sini untuk tiga minggu lagi, tapi tanggal masuk kerjaku sudah di putuskan menjadi dua minggu lagi. Aku juga harus menyiapkan kebutuhanku selama di sana.
Tak ada penyesalan untuk meninggalkan kota ini, walau sudah banyak kenangan indah dan kenangan buruk yang sudah bercampur. Toh aku benar-benar sendiri saat ini, sendiri dalam artian yang benar-benar sendiri. Apa aku belum menceritakan tentang kedua orang tuaku?
Itu kisah lama yang jika aku ceritakan kembali, hanya membuat hatiku sakit. Mereka bercerai ketika aku baru menjadi murid SMA, dengan alasan sudah tak saling mencintai lagi dan tak memiliki kecocokan lagi. Aku kaget tentu saja, apalagi saat itu aku baru memasuki usia remaja yang sangat labil.
Aku berpindah-pindah antara rumah Ayah dan Ibuku sampai aku lulus kuliah. Saat ini aku sudah bisa mengerti alasan mereka bercerai, tapi tetap saja rasa kecewa itu masih mendominasi. Saat ini, aku memutuskan semua yang ada di hidupku sendiri. Kedua orang tuaku sudah bahagia dengan keluarganya masing-masing, hal terakhir yang mereka katakan adalah, aku harus memilih jalanku sendiri untuk bahagia dan mereka akan selalu mendukung keputusanku dengan baik.
Dan di sinilah aku, berpindah dari satu kota ke kota lain untuk mencari kebahagiaanku. Aku lahir dan besar di Jakarta, memilih kuliah dan tinggal di Bandung bersama Ayahku, lalu bekerja di Batam. Bali menjadi tujuanku selanjutnya. Aku pikir Bali bisa menjadi batu loncatanku agar semakin sukses.
Aku tersadar dari lamunanku ketika mendengar suara klakson mobil yang berhenti tepat di depan teras kosku. Lucas keluar dari mobilnya dengan senyum yang sangat lebar. Hanya seperti itu saja dan mampu membuat wajahku kembali ceria.
Lucas memperlihatkan bawaannya yang memenuhi kedua tangannya. Ada ayam krispi satu ember penuh dan juga pepsi serta cola dengan botol besar. Aku tersenyum dan ngeri dalam waktu bersamaan. Padahal aku sama sekali tak bernafsu untuk menyentuh makanan sedikitpun.
“Kalau tahu kayak gini aku minta uangnya aja, jadi kamu gak perlu beliin semua itu,” ucapku. Aku sedih melihat semua makanan yang ia bawa, aku tak perlu mengkonsumsi ayam krispi untuk satu bulan ke depan sepertinya.
“Hai juga, Van.” Lucas seperti tak memedulikan ocehanku, ia selalu seperti itu. Tapi, percayalah, ia orang yang paling bisa kupercaya dan melakukan segalanya untukku
Lucas segera duduk di kursi plastik di sampingku, tanpa memperdulikan ucapanku barusan. Beruntung ibu kosku berbaik hati meletakkan kursi plastik dan meja kecil di setiap kamar kos yang kami sewa.
“Makan, gih, aku tahu kamu belum makan.” Lucas membuka tutup ayam krispi yang di bawanya dan menyerahkan semuanya padaku.
Aku menerimanya, dan mencoba sepotong. Aku tak ingin masalah ini melemahkanku, tapi rasanya aku semakin terpengaruh dan menjerumuskan diriku sendiri dalam lingkaran kesedihan ini.
“Dwi udah cerita sama aku. Aku rasanya pengen banget ngelabrak dua sejoli itu, termasuk si Bella. Mereka udah keterlaluan banget.”
Aku hanya mengangkat bahu tak acuh. “Kamu bisa ngelakuin itu setelah aku di Bali, aku udah gak peduli sama mereka. Aku ngerasa kayak lagi main permainan otak sama mereka, semakin aku terpengaruh, semakin mereka seneng.” Aku masih melanjutkan kunyahanku.
Aku bisa merasakan tatapan Lucas yang tak lepas dariku yang masih asyik mengunyah ayam krispi. Beruntung aku masih memiliki Lucas dan juga Dwi yang selalu menyemangatiku semenjak masalah ini semakin berlarut dan bahkan bertambah heboh.
“Kamu sama Ina ada masalah apa? Kemarin dia nemuin aku buat nanyakin kamu.”
Aku berhenti mengunyah, lalu menghela napas. Aku tak pernah berharap akan bertengkar hebat dengan Ina seperti ini, tapi aku juga tersakiti di sini. Dan ingin menjauhi sumber dari rasa sakit itu. Setidaknya untuk saat ini, nanti kami pasti akan kembali seperti semula waktu, semua tergantung waktu.
“Ini pertama kalinya aku ngerasa di khianati sahabat sendiri, Luke. Dia bahkan lebih percaya sama omongan Ritchie di banding aku. Aku juga pengen baikan, tapi gak tahu kenapa rasanya sakit banget. Aku rasanya udah muak banget sama semua ini.”
Tanpa di minta, air mata itu mengalir dengan sendirinya. Air mata dari rasa kesal, muak, marah, semuanya bercampur menjadi satu.
“Bahkan kamu nangis aja masih cantik, ya? Aku heran sama Ritchie yang cinta banget sama Tsania,” ucap Lucas.
Aku tertawa mendengar ucapan Lucas, ia sangat mampu mengubah moodku. Walaupun kadang aku berharap itu benar. Aku ingin ada seseorang yang menjelekkan Ritchie dan Tsania untukku. Walaupun hanya sebentar, setidaknya aku bisa merasakan lega.
“Minggu depan aku berangkat ke Bali.”
**
Belajar dari kesalahan yang sebelumnya, tapi ini bukan kesalahanku juga sebenarnya. Aku justru tak tahu di bagian mana aku melakukan kesalahan, semuanya hanya terjdai secara alami dan aku mendapatkan bagian yang sial. Vania dan kesialan sepertinya sudah mendarah daging dan juga menjadi takdirku.Aku di pecat begitu saja, dengan kejadian yang aku sendiri sama sekali tak tahu bagaimana caranya aku bisa terlibat. Ini tak adil memang, tapi jika sudah seperti ini aku juga tak bisa melakukan apapun. Jejakku yang tertera di sana, dan itu menjadi bukti yang konkrit. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan aku?Pada saat seperti ini, pikiranku justru melakukan hal konyol dengan memikirkan skenario terburuk. Mungkin saja ini ulah Clarissa yang sengaja menjebakku karena tak ingin melihatku lebih lama bertahan pada jabatan ini. Aku tahu ini sangat sempit dan terlalu klise, justru aku memikirkan wanita itu setelah kejadian buruk ini menimpaku.“Berita itu benar?”Aku mendongak dari pintu
Kembali ke rutinitasku bekerja sebagai seorang manajer di sebuah resort di Ubud, aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri dan seluruh perjalanan ke Kuta nanti. Jika di suruh memilih, aku juga lebih suka bersantai di kamar dengan buku di sebelahku dan juga musik yang mengiringi untuk menambah suasana lebih berwarna.Bekerja ketika suasana hatiku sedang tak baik sangat sulit, aku harus memaksakan senyumku selama hari belum berakhir dan bersikap ceria di hadapan orang lain. Itu adalah hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Apapun yang di awali dengan kepura-puraan, selalu berjalan dengan tak baik.Ada sesuatu yang janggal kurasakan ketika melangkahkan kaki menuju restoran pagi ini, entah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh. Aku selalu mendapati anggotaku menyapa dengan ceria ketika aku muncul, atau hanya melemparkan sapaan dalam bentuk senyum, tapi hari ini berbeda. Tak ada senyum, tak ada sapaan, mereka seperti sibuk dengan
Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah. Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli. Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku
Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini. Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana. Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi seper
“Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa. “Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.” Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya. “Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana. “Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas. Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunanganny
“Tunangan Pak Erlangga marah-marah di lobi karena gak di kasih informasi soal kamar yang di sewa Pak Erlangga.”Itu percakapan yang terus berulang-ulang di gosipkan oleh karyawan Kayon. Aku bahkan sudah sangat muak mendengarnya. Aku bahkan sudah di tanyai beberapa orang tentang keberadaan tunangannya itu, dan aku memang bertemu dengan wanita itu.Aku sebenarnya merasa aneh, pertama kali aku bertemu Erlangga ia mengatakan bahwa tunangannya memutuskan dirinya ketika Erlangga sudah menyiapkan makan siang romantis. Ia bahkan terlihat putus asa saat itu. Lalu sekarang, ada seorang wanita yang mengaku sebagai tunangannya.Hal yang pertama terlintas di pikiranku ketika melihat wanita itu, dia adalah wanita yang angkuh dan sangat sosialita. Dia bahkan menatapku dengan sinis ketika aku masuk ke vilanya untuk mengecek ketersediaan mini bar. Erlangga sedang bekerja di luar, dan katanya akan sampai malam.Yang paling mengesalkan adalah selama satu harian ini aku melayaninya, dan ia hanya menunjuk
Aku benar-benar pulang tepat waktu ketika Dewa menginformasikan kalau Erlangga akan berada di luar. Aku menghela napas lega. Sebenarnya tak ada yang kulakukan ketika sampai di rumah. Aku tinggal sendirian, dan juga tak memiliki teman di Bali. Menyedihkan memang, tapi aku masih menikmatinya, dan akan terus menikmatinya. Dengan hotpants yang hanya menutupi setengah pahaku, dan baju tanpa lengan, ditambah cardigan putih yang menutupi sampai lutut, aku berjalan mengelilingi Ubud di malam hari. Hal ini sering kulakukan jika aku pulang kerja lebih cepat dan aku sedang tak ingin menempuh perjalanan jauh menuju Kuta ataupun Sanur. Sebenarnya di Ubud juga ada pantai, aku hanya sekali saja berkunjung ke pantai itu. Aku lebih suka suasana Kuta ataupun Sanur, itulah kenapa aku rela menghabiskan waktuku hanya untuk pantai di sana. Aku memasuki Istana Ubud setelah membeli tiket masuk di loket tadi. Setiap pukul tujuh tiga puluh, ada pertunjukan tari tradisional di Istana Ubud. Ini sudah kesekian k
Selama dua minggu ke depan, aku yakin hariku tak akan selancar biasanya. Salah satu bagian dari mimpi burukku yang coba kuhilangkan, tapi setelah di pikir-pikir, aku tak bisa menghindarinya.Erlangga ini, aku tak tahu apa yang ia mau. Kalian bisa bayangkan. Ia menginap di salah satu vila yang seharga hampir sepuluh juta selama dua minggu. Mungkin ia menghabiskan hampir seratus juta di vila ini. Itu haknya memang, tapi tetap saja. Memangnya sekaya apa dirinya hingga melakukan hal seperti ini?Hari pertama berjalan lancar, ia tak memiliki permintaan aneh. Yang paling aneh, ia hanya keluar dari kamarnya jika harus berenang di kolam. Bahkan ia meminta makanannya di antar kekamar. Minggu pertama ia menginap, ia selalu makan di restoran, dan hanya beberapa kali ia meminta room service.Aku mengetuk pintu vilanya lumayan lama untuk mengantarkan pesanan makan siang. Ketika aku sudah putus asa karena tak kunjung di bukakan, pintu itu terbuka menampilkan Erlangga dalam balutan handuk di pinggan
Aku kembali bekerja seperti biasa setelah cuti mendadak yang kuambil selama tiga hari. Mau tahu hal yang lucu? Clarissa sangat menentang ideku untuk cuti secara mendadak. Ia beralasan, seharusnya cuti itu di ambil setidaknya seminggu sebelumnya, jadi ia memiliki persiapan dan ada orang yang menggantikanku. Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya?Aku menjadi bahan gosip lagi. Hal yang sudah bisa kutebak sebenarnya, dan aku tak peduli, mereka akan terus membicarakanku walau aku membela diriku sendiri.Mungkin lain kali ketika Clarissa ingin menyebarkan berita gosip tentangku, aku akan membawa wartawan. Setidaknya aku bisa tenar dengan gosip ini, aku bisa memiliki pekerjaan sampingan sebagai artis. Tak terlalu buruk. Toh, aku juga lumayan jago berakting, mungkin bisa lebih bagus dari aktris yang biasanya sering tampil di televisi itu.“Kamu bilangnya gak mau pacaran, tapi teman priamu lumayan banyak juga, ya,” ucap Bara, yang saat ini sedang menata barang-barang yang ada di bar.Aku seda