Share

Bab 13

Author: Elien Prita
last update Last Updated: 2022-10-31 14:19:18

Aku menatap dengan seksama matahari terbit yang sangat indah menyinari pantai ini. Pantai ini selalu menjadi tempat tujuan ketika mendapatkan hari liburku, karena jaraknya yang jauh dengan tempat kosku, dan aku juga tak mungkin mampu berkendara selama lebih dari satu jam hanya untuk mengunjungi pantai ini di hari biasa.

Sudah hampir enam bulan aku tinggal dan bekerja di Bali. Aku menyukainya. Setidaknya aku sudah menemukan kenyamananku di kota ini. Dan aku selalu menghabiskan seharian berada di pantai Sanur ini, terkadang aku juga mengunjungi pantai Kuta. Aku hampir mendatangi seluruh pantai yang ada di Bali sepertinya.

Aku bekerja di Kayon Resort yang terletak di Ubud, salah satu daerah di Bali yang terkenal dengan budayanya. Awalnya aku memilih resort ini hanya untuk berlibur, ketika aku sedang menghadapi masalahku saat itu. Tapi, kemudian aku malah mengirimkan lamaranku dan mereka meresponnya dengan baik.

Tapi aku bersyukur saat itu karena langsung menerimanya tanpa berpikir dua kali. Selain karena resort itu sendiri yang menawarkan pemandangan indah yang sangat langka, juga karena beban pekerjaanku yang sedikit ringan. Dulu aku bekerja di city hotel yang sangat padat di hari biasa maupun akhir minggu, sangat berbeda ketika aku di sini.

Resort ini hanya di khususkan untuk mereka yang ingin bulan madu, makan malam romantis, relaksasi, dan juga menenangkan diri. Anak-anak di bawah lima belas tahun tidak di perbolehkan berkunjung, karena letaknya yang juga di atas tebing. Jadi, bisa di bilang ini seperti resort privat, dan para tamu bisa mendapatkan pelayanan yang menyeluruh.

Lamunanku buyar ketika ponselku berdering, dan itu dari Lucas. Sekarang ini baru pukul enam empat puluh lima menit, dan di tempat Lucas pasti masih sekitar jam lima subuh.

“Hai, Luke…”

“Kamu di sanur sekarang?” Lucas bahkan tak menyapaku dulu, dan ia tahu keberadaanku sekarang. Sangat aneh sekali.

“Kok kamu bisa tahu?” Aku menaikkan kedua alisku, walaupun aku tahu ia juga tak bisa melihatku.

“Guess what! Aku juga lagi di Sanur. Tepatnya di belakang kamu.”

Aku terkejut mendengar ucapannya. Baru kemarin kami saling mengobrol dan ia tak mengatakan akan berkunjung ke Bali. Tiba-tiba ada tepukan pelan di bahuku, dan aku menolehkan kepalaku ke belakang.

Dan Lucas di belakangku sedang tersenyum menatapku yang kebingungan.

“Surprise!”

Aku langsung memukulinya begitu ia duduk di sampingku, aku tidak peduli padanya yang sudah terjatuh ke samping dan meminta ampun agar aku berhenti memukulinya.

“Kamu gak bilang mau ke Bali!” teriakku. Aku tak peduli dengan beberapa orang yang memperhatikan kami.

Aku kesal dan senang dalam satu waktu. Selama enam bulan ini kami hanya berkomunikasi melalui ponsel, sesekali melakukan video call. Sangat mirip seperti pasangan yang menjalin hubungan jarak jauh. Lagipula aku tak memiliki orang lain untuk aku ajak bicara, selain teman-teman baruku.

Aku masih belum bicara pada Ina, dan Lucas juga tak membahas masalah Ina padaku kecuali aku yang memulai. Oh, aku kadang juga berbicara pada Dwi. Ia sangat antusias ketika menelponku, ia akan menceritakan tentang semua kejadian di hotel, bahkan menyombongkan kemampuan barunya yang bisa membuat berbagai jenis cocktail, dan sudah mulai belajar membuat kopi.

“Ini kejutan, masa aku ngasih tahu kamu duluan. Aku juga gak sengaja ketemu kamu di sini.”

Aku cemberut menatapnya, tapi hanya sebentar saja. Setelahnya aku sudah tersenyum dengan lebar. Enam bulan tak bertemu membuatku sangat merindukannya.

“Kamu cuti?” tanyaku. Lucas sedang mengamati matahari terbit yang sebenarnya sudah meninggi itu. Kulitku sudah hampir menjadi cokelat karena matahari itu, dan aku menyukainya, terlihat sangat eksotis.

“Aku libur, nanti malam aku bakal pulang ke Batam.”

Mataku membulat. Pria ini gila atau bagaimana? Tapi ia acuh seolah itu bukan hal yang besar. “Dan sejak kapan kamu di Bali. Jangan-jangan kamu udah sebulan ada di Bali tanpa sepengetahuan aku.”

“Aku baru tadi malam nyampe Bali, aku kayaknya terlalu capek kerja jadi pengen hari libur yang beda.”

Kalau tadi mataku membola, maka sekarang aku hampir membuka lebar mulutku saking kagetnya. Dia benar-benar teman tergila yang pernah aku miliki. Orang gila mana yang hanya akan menghabiskan satu hari liburnya dengan pergi ke Bali? Ia sangat membuang tenaganya dan juga uang tentu saja.

“Kamu masih waras, kan? Buat apa coba kamu ke Bali kalau gak lagi cuti?” tanyaku horor. Jarak Batam dan Bali bukan jarak yang dekat, dan pria ini melakukannya.

“Demi ketemu kamu, dong. Itulah kenapa kamu harus memperlakukan aku dengan baik seharian ini,” ucap Lucas. Ia menampilkan senyum lebarnya padaku.

 “Itulah kenapa banyak banget yang gosipin kita pacaran, kelakuan kamu aja kayak gini.”

Untuk kalian tahu, aku dan Lucas masih dalam hubungan persahabatan sampai sekarang. Lucas ini bukan salah satu pria yang aku pacari. Dia tampan, tentu saja, tapi aku sudah terlanjur nyaman dengan persahabatan kami. Kalau Lucas, aku yakin ia juga menyimpan rasa yang sama terhadap apa yang aku rasakan.

Pria dan wanita tak pernah bisa menjadi sahabat, itu yang sering di katakan orang-orang. Dulu aku pernah menyukai Lucas ketika pertama kali kami bertemu. Tapi ia yang meyakinkan aku, kalau kami tak bisa lebih dari sahabat. Dan itu memang benar terbukti, aku sangat nyaman berada di dekat Lucas sebagai sahabat.

“Dan kamu gak pernah nyangkal gosip itu sama sekali.”

Aku mengangkat bahu tak acuh. “Aku juga gak perlu klarifikasi tiap ada gosip begituan, berasa artis banget gak, sih?” ucapku geli.

Kami berdua tertawa bersama, sembari menyaksikan cahaya matahari yang mulai naik dan sinarnya semakin menerangi pantai ini. Para pengunjung pun mulai berdatangan memenuhi pantai. Suasana yang tadinya sepi, perlahan mulai ramai dengan celotehan mereka yang baru saja tiba.

“Ina selalu nanyakin kamu, dia nyesel banget sama semua ucapan dan tindakannya. Udah enam bulan dan kalian masih belum baikan cuman karena si brengsek itu,” ujar Lucas.

Sudah lama sekali rasanya aku tak mengobrol bersama Ina. Sebenarnya aku sudah melupakan masalah yang terjadi itu, hanya saja aku selalu menunda untuk menelpon Ina dan itu berlarut-larut sampai sekarang.

“Karena dia udah bilang kayak gitu sama kamu, jadi dia yang harus ke sini buat nemuin aku. Semuanya berawal dari dia, jadi dia juga yang harus akhiri drama ini.”

Lucas tertawa menatapku. “Siap. Bu Manajer!”

Lucas berseru dengan tangan yang bersiap seperti hormat ketika melaksanakan upacara di sekolah dulu. Dan kami sama-sama tertawa dengan tingkah kami yang sangat absurd ini.

**

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pilihan Kedua   Bab 34

    Belajar dari kesalahan yang sebelumnya, tapi ini bukan kesalahanku juga sebenarnya. Aku justru tak tahu di bagian mana aku melakukan kesalahan, semuanya hanya terjdai secara alami dan aku mendapatkan bagian yang sial. Vania dan kesialan sepertinya sudah mendarah daging dan juga menjadi takdirku.Aku di pecat begitu saja, dengan kejadian yang aku sendiri sama sekali tak tahu bagaimana caranya aku bisa terlibat. Ini tak adil memang, tapi jika sudah seperti ini aku juga tak bisa melakukan apapun. Jejakku yang tertera di sana, dan itu menjadi bukti yang konkrit. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan aku?Pada saat seperti ini, pikiranku justru melakukan hal konyol dengan memikirkan skenario terburuk. Mungkin saja ini ulah Clarissa yang sengaja menjebakku karena tak ingin melihatku lebih lama bertahan pada jabatan ini. Aku tahu ini sangat sempit dan terlalu klise, justru aku memikirkan wanita itu setelah kejadian buruk ini menimpaku.“Berita itu benar?”Aku mendongak dari pintu

  • Pilihan Kedua   Bab 33

    Kembali ke rutinitasku bekerja sebagai seorang manajer di sebuah resort di Ubud, aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri dan seluruh perjalanan ke Kuta nanti. Jika di suruh memilih, aku juga lebih suka bersantai di kamar dengan buku di sebelahku dan juga musik yang mengiringi untuk menambah suasana lebih berwarna.Bekerja ketika suasana hatiku sedang tak baik sangat sulit, aku harus memaksakan senyumku selama hari belum berakhir dan bersikap ceria di hadapan orang lain. Itu adalah hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Apapun yang di awali dengan kepura-puraan, selalu berjalan dengan tak baik.Ada sesuatu yang janggal kurasakan ketika melangkahkan kaki menuju restoran pagi ini, entah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh. Aku selalu mendapati anggotaku menyapa dengan ceria ketika aku muncul, atau hanya melemparkan sapaan dalam bentuk senyum, tapi hari ini berbeda. Tak ada senyum, tak ada sapaan, mereka seperti sibuk dengan

  • Pilihan Kedua   Bab 32

    Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah. Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli. Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku

  • Pilihan Kedua   Bab 31

    Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini. Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana. Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi seper

  • Pilihan Kedua   Bab 30

    “Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa. “Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.” Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya. “Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana. “Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas. Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunanganny

  • Pilihan Kedua   Bab 29

    “Tunangan Pak Erlangga marah-marah di lobi karena gak di kasih informasi soal kamar yang di sewa Pak Erlangga.”Itu percakapan yang terus berulang-ulang di gosipkan oleh karyawan Kayon. Aku bahkan sudah sangat muak mendengarnya. Aku bahkan sudah di tanyai beberapa orang tentang keberadaan tunangannya itu, dan aku memang bertemu dengan wanita itu.Aku sebenarnya merasa aneh, pertama kali aku bertemu Erlangga ia mengatakan bahwa tunangannya memutuskan dirinya ketika Erlangga sudah menyiapkan makan siang romantis. Ia bahkan terlihat putus asa saat itu. Lalu sekarang, ada seorang wanita yang mengaku sebagai tunangannya.Hal yang pertama terlintas di pikiranku ketika melihat wanita itu, dia adalah wanita yang angkuh dan sangat sosialita. Dia bahkan menatapku dengan sinis ketika aku masuk ke vilanya untuk mengecek ketersediaan mini bar. Erlangga sedang bekerja di luar, dan katanya akan sampai malam.Yang paling mengesalkan adalah selama satu harian ini aku melayaninya, dan ia hanya menunjuk

  • Pilihan Kedua   Bab 28

    Aku benar-benar pulang tepat waktu ketika Dewa menginformasikan kalau Erlangga akan berada di luar. Aku menghela napas lega. Sebenarnya tak ada yang kulakukan ketika sampai di rumah. Aku tinggal sendirian, dan juga tak memiliki teman di Bali. Menyedihkan memang, tapi aku masih menikmatinya, dan akan terus menikmatinya. Dengan hotpants yang hanya menutupi setengah pahaku, dan baju tanpa lengan, ditambah cardigan putih yang menutupi sampai lutut, aku berjalan mengelilingi Ubud di malam hari. Hal ini sering kulakukan jika aku pulang kerja lebih cepat dan aku sedang tak ingin menempuh perjalanan jauh menuju Kuta ataupun Sanur. Sebenarnya di Ubud juga ada pantai, aku hanya sekali saja berkunjung ke pantai itu. Aku lebih suka suasana Kuta ataupun Sanur, itulah kenapa aku rela menghabiskan waktuku hanya untuk pantai di sana. Aku memasuki Istana Ubud setelah membeli tiket masuk di loket tadi. Setiap pukul tujuh tiga puluh, ada pertunjukan tari tradisional di Istana Ubud. Ini sudah kesekian k

  • Pilihan Kedua   Bab 27

    Selama dua minggu ke depan, aku yakin hariku tak akan selancar biasanya. Salah satu bagian dari mimpi burukku yang coba kuhilangkan, tapi setelah di pikir-pikir, aku tak bisa menghindarinya.Erlangga ini, aku tak tahu apa yang ia mau. Kalian bisa bayangkan. Ia menginap di salah satu vila yang seharga hampir sepuluh juta selama dua minggu. Mungkin ia menghabiskan hampir seratus juta di vila ini. Itu haknya memang, tapi tetap saja. Memangnya sekaya apa dirinya hingga melakukan hal seperti ini?Hari pertama berjalan lancar, ia tak memiliki permintaan aneh. Yang paling aneh, ia hanya keluar dari kamarnya jika harus berenang di kolam. Bahkan ia meminta makanannya di antar kekamar. Minggu pertama ia menginap, ia selalu makan di restoran, dan hanya beberapa kali ia meminta room service.Aku mengetuk pintu vilanya lumayan lama untuk mengantarkan pesanan makan siang. Ketika aku sudah putus asa karena tak kunjung di bukakan, pintu itu terbuka menampilkan Erlangga dalam balutan handuk di pinggan

  • Pilihan Kedua   Bab 26

    Aku kembali bekerja seperti biasa setelah cuti mendadak yang kuambil selama tiga hari. Mau tahu hal yang lucu? Clarissa sangat menentang ideku untuk cuti secara mendadak. Ia beralasan, seharusnya cuti itu di ambil setidaknya seminggu sebelumnya, jadi ia memiliki persiapan dan ada orang yang menggantikanku. Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya?Aku menjadi bahan gosip lagi. Hal yang sudah bisa kutebak sebenarnya, dan aku tak peduli, mereka akan terus membicarakanku walau aku membela diriku sendiri.Mungkin lain kali ketika Clarissa ingin menyebarkan berita gosip tentangku, aku akan membawa wartawan. Setidaknya aku bisa tenar dengan gosip ini, aku bisa memiliki pekerjaan sampingan sebagai artis. Tak terlalu buruk. Toh, aku juga lumayan jago berakting, mungkin bisa lebih bagus dari aktris yang biasanya sering tampil di televisi itu.“Kamu bilangnya gak mau pacaran, tapi teman priamu lumayan banyak juga, ya,” ucap Bara, yang saat ini sedang menata barang-barang yang ada di bar.Aku seda

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status