Aku menatap dengan seksama matahari terbit yang sangat indah menyinari pantai ini. Pantai ini selalu menjadi tempat tujuan ketika mendapatkan hari liburku, karena jaraknya yang jauh dengan tempat kosku, dan aku juga tak mungkin mampu berkendara selama lebih dari satu jam hanya untuk mengunjungi pantai ini di hari biasa.
Sudah hampir enam bulan aku tinggal dan bekerja di Bali. Aku menyukainya. Setidaknya aku sudah menemukan kenyamananku di kota ini. Dan aku selalu menghabiskan seharian berada di pantai Sanur ini, terkadang aku juga mengunjungi pantai Kuta. Aku hampir mendatangi seluruh pantai yang ada di Bali sepertinya.
Aku bekerja di Kayon Resort yang terletak di Ubud, salah satu daerah di Bali yang terkenal dengan budayanya. Awalnya aku memilih resort ini hanya untuk berlibur, ketika aku sedang menghadapi masalahku saat itu. Tapi, kemudian aku malah mengirimkan lamaranku dan mereka meresponnya dengan baik.
Tapi aku bersyukur saat itu karena langsung menerimanya tanpa berpikir dua kali. Selain karena resort itu sendiri yang menawarkan pemandangan indah yang sangat langka, juga karena beban pekerjaanku yang sedikit ringan. Dulu aku bekerja di city hotel yang sangat padat di hari biasa maupun akhir minggu, sangat berbeda ketika aku di sini.
Resort ini hanya di khususkan untuk mereka yang ingin bulan madu, makan malam romantis, relaksasi, dan juga menenangkan diri. Anak-anak di bawah lima belas tahun tidak di perbolehkan berkunjung, karena letaknya yang juga di atas tebing. Jadi, bisa di bilang ini seperti resort privat, dan para tamu bisa mendapatkan pelayanan yang menyeluruh.
Lamunanku buyar ketika ponselku berdering, dan itu dari Lucas. Sekarang ini baru pukul enam empat puluh lima menit, dan di tempat Lucas pasti masih sekitar jam lima subuh.
“Hai, Luke…”
“Kamu di sanur sekarang?” Lucas bahkan tak menyapaku dulu, dan ia tahu keberadaanku sekarang. Sangat aneh sekali.
“Kok kamu bisa tahu?” Aku menaikkan kedua alisku, walaupun aku tahu ia juga tak bisa melihatku.
“Guess what! Aku juga lagi di Sanur. Tepatnya di belakang kamu.”
Aku terkejut mendengar ucapannya. Baru kemarin kami saling mengobrol dan ia tak mengatakan akan berkunjung ke Bali. Tiba-tiba ada tepukan pelan di bahuku, dan aku menolehkan kepalaku ke belakang.
Dan Lucas di belakangku sedang tersenyum menatapku yang kebingungan.
“Surprise!”
Aku langsung memukulinya begitu ia duduk di sampingku, aku tidak peduli padanya yang sudah terjatuh ke samping dan meminta ampun agar aku berhenti memukulinya.
“Kamu gak bilang mau ke Bali!” teriakku. Aku tak peduli dengan beberapa orang yang memperhatikan kami.
Aku kesal dan senang dalam satu waktu. Selama enam bulan ini kami hanya berkomunikasi melalui ponsel, sesekali melakukan video call. Sangat mirip seperti pasangan yang menjalin hubungan jarak jauh. Lagipula aku tak memiliki orang lain untuk aku ajak bicara, selain teman-teman baruku.
Aku masih belum bicara pada Ina, dan Lucas juga tak membahas masalah Ina padaku kecuali aku yang memulai. Oh, aku kadang juga berbicara pada Dwi. Ia sangat antusias ketika menelponku, ia akan menceritakan tentang semua kejadian di hotel, bahkan menyombongkan kemampuan barunya yang bisa membuat berbagai jenis cocktail, dan sudah mulai belajar membuat kopi.
“Ini kejutan, masa aku ngasih tahu kamu duluan. Aku juga gak sengaja ketemu kamu di sini.”
Aku cemberut menatapnya, tapi hanya sebentar saja. Setelahnya aku sudah tersenyum dengan lebar. Enam bulan tak bertemu membuatku sangat merindukannya.
“Kamu cuti?” tanyaku. Lucas sedang mengamati matahari terbit yang sebenarnya sudah meninggi itu. Kulitku sudah hampir menjadi cokelat karena matahari itu, dan aku menyukainya, terlihat sangat eksotis.
“Aku libur, nanti malam aku bakal pulang ke Batam.”
Mataku membulat. Pria ini gila atau bagaimana? Tapi ia acuh seolah itu bukan hal yang besar. “Dan sejak kapan kamu di Bali. Jangan-jangan kamu udah sebulan ada di Bali tanpa sepengetahuan aku.”
“Aku baru tadi malam nyampe Bali, aku kayaknya terlalu capek kerja jadi pengen hari libur yang beda.”
Kalau tadi mataku membola, maka sekarang aku hampir membuka lebar mulutku saking kagetnya. Dia benar-benar teman tergila yang pernah aku miliki. Orang gila mana yang hanya akan menghabiskan satu hari liburnya dengan pergi ke Bali? Ia sangat membuang tenaganya dan juga uang tentu saja.
“Kamu masih waras, kan? Buat apa coba kamu ke Bali kalau gak lagi cuti?” tanyaku horor. Jarak Batam dan Bali bukan jarak yang dekat, dan pria ini melakukannya.
“Demi ketemu kamu, dong. Itulah kenapa kamu harus memperlakukan aku dengan baik seharian ini,” ucap Lucas. Ia menampilkan senyum lebarnya padaku.
“Itulah kenapa banyak banget yang gosipin kita pacaran, kelakuan kamu aja kayak gini.”
Untuk kalian tahu, aku dan Lucas masih dalam hubungan persahabatan sampai sekarang. Lucas ini bukan salah satu pria yang aku pacari. Dia tampan, tentu saja, tapi aku sudah terlanjur nyaman dengan persahabatan kami. Kalau Lucas, aku yakin ia juga menyimpan rasa yang sama terhadap apa yang aku rasakan.
Pria dan wanita tak pernah bisa menjadi sahabat, itu yang sering di katakan orang-orang. Dulu aku pernah menyukai Lucas ketika pertama kali kami bertemu. Tapi ia yang meyakinkan aku, kalau kami tak bisa lebih dari sahabat. Dan itu memang benar terbukti, aku sangat nyaman berada di dekat Lucas sebagai sahabat.
“Dan kamu gak pernah nyangkal gosip itu sama sekali.”
Aku mengangkat bahu tak acuh. “Aku juga gak perlu klarifikasi tiap ada gosip begituan, berasa artis banget gak, sih?” ucapku geli.
Kami berdua tertawa bersama, sembari menyaksikan cahaya matahari yang mulai naik dan sinarnya semakin menerangi pantai ini. Para pengunjung pun mulai berdatangan memenuhi pantai. Suasana yang tadinya sepi, perlahan mulai ramai dengan celotehan mereka yang baru saja tiba.
“Ina selalu nanyakin kamu, dia nyesel banget sama semua ucapan dan tindakannya. Udah enam bulan dan kalian masih belum baikan cuman karena si brengsek itu,” ujar Lucas.
Sudah lama sekali rasanya aku tak mengobrol bersama Ina. Sebenarnya aku sudah melupakan masalah yang terjadi itu, hanya saja aku selalu menunda untuk menelpon Ina dan itu berlarut-larut sampai sekarang.
“Karena dia udah bilang kayak gitu sama kamu, jadi dia yang harus ke sini buat nemuin aku. Semuanya berawal dari dia, jadi dia juga yang harus akhiri drama ini.”
Lucas tertawa menatapku. “Siap. Bu Manajer!”
Lucas berseru dengan tangan yang bersiap seperti hormat ketika melaksanakan upacara di sekolah dulu. Dan kami sama-sama tertawa dengan tingkah kami yang sangat absurd ini.
**
Aku kembali melanjutkan aktifitas seperti biasa, setelah aku menghabiskan satu hari penuh bersama Lucas. Aku tetap merasa lelah walaupun sudah libur, karena Lucas tentunya. Jika saja ia tidak memaksa untuk di temani berkeliling Bali, maka aku tidak akan selelah ini. Tapi aku tetap menikmatinya. Keuntungan bekerja di resort, aku tidak perlu menyibukkan diriku untuk menyiapkan buffet breakfast yang selalu ada di setiap city hotel. Bisa di bilang pekerjaanku cukup santai, walaupun tanggunng jawab yang kumiliki cukup besar karena aku yang mengepalai restoran di resort ini. Jabatanku hanya sementara, aku melamar sebagai asisten manajer di resort ini, tapi selang beberapa hari aku bekerja di sini, manajer restoran ini mengundurkan diri. Dan karena belum ada penggantinya, maka aku sementara menjadi manajer restoran di resort ini. Sejauh ini aku bekerja, tak ada kesulitan yang berarti kecuali mengenakan seragam. Karena konsep resort ini sendiri sangat kental budaya Bali, maka seragam yang k
Canyon jetty ini adalah salah satu dek yang ada di kanyon resort. Letaknya di tepi sungai dengan suara alami air terjun yang akan menemani para tamu yang akan menikmati hidangan di dek ini. Canyon jetty ini juga digunakan untuk mereka yang ingin melakukan yoga. Suasana yang di ciptakan sangat menenangkan jiwa, mampu menyembuhkan pikiran yang sedang stres.Aku juga termasuk salah satunya. Biasanya aku akan berlama-lama menatap air terjun itu sembari mendengarkan suara gemericik air yang turun lalu menghantam bebatuan yang ada di dasar. Suasana itu memang sangat menenangkan.Canyon jetty hanya dibuka untuk makan siang dari pukul sebelas siang, sampai pukul lima sore. Untuk mereka yang ingin menikmati kopi dan teh sorenya, sangat di rekomendasikan tempat ini.Saat ini aku sedang menunggu tamu yang sudah mereservasi meja di canyon jetty, dari yang aku dengar mereka adalah pasangan. Dan mereka mengharapkan makan siang yang romantis di sini. Terkadang aku merasa seperti miris dengan diriku
Aku masih bisa mengingat dengan jelas pria yang waktu itu tiba-tiba mencurahkan isi hatinya padaku, bahwa dia baru saja di putuskan oleh tunangannya. Sudah satu minggu berlalu, tapi aku bisa mengingatnya. Aku bahkan menceritakan hal itu pada Mbak Gita dan juga Emi. Mereka hanya tertawa. Tapi aku tetap mendapatkan tip yang ia janjikan.Aku sebenarnya sudah menolaknya, aku tak ingin mengambil kesempatan ketika orang tersebut sedang menghadapi masalah. Tapi ternyata ia memaksa, dan berterima kasih sudah menemaninya. Padahal bisa di bilang aku tak melakukan apapun, aku hanya berdiri di belakangnya sampai ia memutuskan untuk pergi.Harapanku hanya satu, semoga dia bisa segera lepas dari semua permasalahnnya. Dia terlihat seperti pria baik, walaupun senyumnya tak pernah terlihat bahkan sampai ia pergi.“Jadi, Mbak gak minta nomor hape cowok itu? Padahal lumayan, kan dia lagi butuh hiburan gitu,” ucap Emi. Ia adalah orang yang paling heboh merespon ceritaku. Ia juga sampai menyusun skenario a
Setelah mengeluarkan kemampuan mengebutku yang sangat payah, aku berhasil sampai di Kuta tepat pada pukul lima kurang sepuluh menit. Aku memarkirkan motor yang yang kugunakan sedikit asal, pasti ada tukang parkir yang akan mengaturnya nanti. Karena efek buru-buru itu, aku bahkan masih mengenakan kebaya dan juga kain kamen, dan tak lupa sepatu fantofel yang ada di genggaman tanganku, yang kulepas agar bisa merasakan pasir pantai ini. Aku sangat salah kostum datang ke pantai ini, aku bahkan bisa merasakan mata dari para turis yang memandangku, tapi aku tidak peduli. Aku hanya terus berjalan menuju spot yang bisa melihat matahari terbenam dengan jelas. Setelah menemukannya, aku hanya terus berdiri, sangat tidak memungkinkan untukku duduk di pasir dengan kain ini. Walaupun kaki ini sedikit keram, tapi tak masalah, karena aku sangat mencintai pantai, matahari terbit dan juga matahari terbenam. Hanya beberapa menit, dan perlahan matahari itu mulai turun dengan cahaya oranye yang sangat in
Aku melewati meja resepsionis ketika selesai mengantar pesanan tamu, aku hendak bersiap pulang karena jam kerjaku sudah selesai. “Van…” Suara panggilan dari Ismi, salah satu resepsionis yang bertugas sore ini menghentikanku. Aku menghampirinya, “Kenapa?” “Ada yang nyariin kamu, katanya dia temen kamu,” ucap Ismi sembari menunjuk orang yang di maksud, orang itu duduk di sofa yang membelakangi meja resepsionis. “Tamu di sini?” Aku bertanya lagi. “Iya, dia baru aja check-in, katanya sebelum ke villanya dia mau ketemu kamu dulu.” Aku hanya menganggukkan kepala dan berterima kasih pada Ismi. Aku segera menghampiri orang itu. Setahuku, aku tak memiliki teman di Bali kecuali rekan kerjaku. Apa mungkin itu Lucas? Dia kemarin berjanji akan berkunjung lagi ketika cutinya sudah di terima oleh Pak Robert. Atau yang lebih buruknya, itu Ritchie atau Tio. Aku mendekatinya dengan perlahan, untuk memastikan siapa pria ini, “Permisi.” Pria itu mendongakkan wajahnya, dan ini adalah wajah yang ku
Namanya Clarissa, ingat sesuatu? Ya, namanya sama seperti temanku di Batam, tapi percayalah mereka hanya berbagi nama yang sama, dan mungkin sifat yang sama juga. Dia cantik—ini jujur—dan umurnya itu sudah dua sembilan, lebih muda sedikit dari Mbak Gita, tapi ia sama sekali tak sedewasa Mbak Gita. Masalah dia cantik, aku harus jujur, karena dia memang cantik. Kulitnya kuning langsat, dan dia asli orang Bali. Dari cerita yang kudengar, orang tuanya cukup berada, ia bahkan alumni salah satu kampus bergengsi di Australia, lalu aku sangat penasaran kenapa sifatnya tak mencerminkan pendidikannya. Mungkin, masalahnya memang ada pada wanita itu sendiri. Pertama kali aku melamar di resort ini, aku memang melamar sebagai asisten manajer karena memang bagian itu yang kosong. Aku lolos dalam semua tes yang di lakukan oleh personalia, lalu aku resmi menjadi karyawan di sini. Sejak awal Clarrisa memang tak menyukaiku dan aku tak tahu awal permasalahan kami dari mana. Yang aku tahu, aku melakukan
“Mbak Vania!”Aku mengalihkan pandanganku pada sumber suara yang meneriakiku, padahal ia tahu ini restoran. Beruntung para tamu baru menyelesaikan makan siangnya, sehingga restoran sepi.Galang terlihat mengatur napasnya yang ngos-ngosan itu. Aku sudah menatapnya dengan garang siap untuk melayangkan omelan. Galang ini termasuk salah satu waiter selain Viki, dan ia hari ini bertugas di room service.“Mbak, maafin aku,” ucap Galang. Napasnya sangat ngos-ngosan, aku bahkan bisa merasakan rasa lelahnya.“Kamu memang harusnya minta maaf. Ini restoran dan kamu berteriak gak pada tempatnya! Lain kali jangan di ulangi,” omelku.“Bu—bukan itu, Mbak.”“Jadi kamu gak akan minta maaf karena teriak-teriak di restoran?” tanyaku.Aku melipat tanganku di dada, menantinya berbicara. Aku tidak bermaksud kejam, tapi menjadi seorang pemimpin harus tegas, kan? Ketika di luar pekerjaan aku tak akan melakukan hal ini. Aku cukup profesional untuk membedakan urusan pekerjaan dan pribadi.“Itu juga aku minta m
Ubud Palace atau yang biasa dikenal dengan Puri Saren Agung adalah istana yang menjadi tempat tinggal para raja dahulu. Bangunan ini kental akan seni dan budaya Bali. Selama tahun 1930-an Bali menjadi saksi bisu gelombang pengunjung luar negeri yang signifikan. Gelombang wisata pertama di fokuskan di Ubud di bawah kepemimpinan Tjokorde Gede Agung Sukawati yang sangat mahir berbahasa Inggris dan Belanda. Ia juga lah yang berinisiatif mengundang komposer artis terkenal Walter Spies untuk tinggal dan bekerja di Ubud. Lalu setelahnya beberapa seniman asing seperti Rudolf Bonnet dan Willem Hofker mulai bergabung untuk menghadirkan seni lukis modern. Mulailah kabar tentang keindahan Ubud yang mempesona menyebar dan menjadi tuan rumah dari wajah-wajah terkenal seperti Noël Coward, Charlie Chaplin, H.G Wells dan antropolog terkenal Margaret Mead. Pada tahun 1936, asosiasi pelukis yang di namai Pita Maha mulai terbentuk, hasil kolaborasi antara Tjokorde Gede Agung, Walter Spies, Rudolf Bonnet