Share

Bab 13

Aku menatap dengan seksama matahari terbit yang sangat indah menyinari pantai ini. Pantai ini selalu menjadi tempat tujuan ketika mendapatkan hari liburku, karena jaraknya yang jauh dengan tempat kosku, dan aku juga tak mungkin mampu berkendara selama lebih dari satu jam hanya untuk mengunjungi pantai ini di hari biasa.

Sudah hampir enam bulan aku tinggal dan bekerja di Bali. Aku menyukainya. Setidaknya aku sudah menemukan kenyamananku di kota ini. Dan aku selalu menghabiskan seharian berada di pantai Sanur ini, terkadang aku juga mengunjungi pantai Kuta. Aku hampir mendatangi seluruh pantai yang ada di Bali sepertinya.

Aku bekerja di Kayon Resort yang terletak di Ubud, salah satu daerah di Bali yang terkenal dengan budayanya. Awalnya aku memilih resort ini hanya untuk berlibur, ketika aku sedang menghadapi masalahku saat itu. Tapi, kemudian aku malah mengirimkan lamaranku dan mereka meresponnya dengan baik.

Tapi aku bersyukur saat itu karena langsung menerimanya tanpa berpikir dua kali. Selain karena resort itu sendiri yang menawarkan pemandangan indah yang sangat langka, juga karena beban pekerjaanku yang sedikit ringan. Dulu aku bekerja di city hotel yang sangat padat di hari biasa maupun akhir minggu, sangat berbeda ketika aku di sini.

Resort ini hanya di khususkan untuk mereka yang ingin bulan madu, makan malam romantis, relaksasi, dan juga menenangkan diri. Anak-anak di bawah lima belas tahun tidak di perbolehkan berkunjung, karena letaknya yang juga di atas tebing. Jadi, bisa di bilang ini seperti resort privat, dan para tamu bisa mendapatkan pelayanan yang menyeluruh.

Lamunanku buyar ketika ponselku berdering, dan itu dari Lucas. Sekarang ini baru pukul enam empat puluh lima menit, dan di tempat Lucas pasti masih sekitar jam lima subuh.

“Hai, Luke…”

“Kamu di sanur sekarang?” Lucas bahkan tak menyapaku dulu, dan ia tahu keberadaanku sekarang. Sangat aneh sekali.

“Kok kamu bisa tahu?” Aku menaikkan kedua alisku, walaupun aku tahu ia juga tak bisa melihatku.

“Guess what! Aku juga lagi di Sanur. Tepatnya di belakang kamu.”

Aku terkejut mendengar ucapannya. Baru kemarin kami saling mengobrol dan ia tak mengatakan akan berkunjung ke Bali. Tiba-tiba ada tepukan pelan di bahuku, dan aku menolehkan kepalaku ke belakang.

Dan Lucas di belakangku sedang tersenyum menatapku yang kebingungan.

“Surprise!”

Aku langsung memukulinya begitu ia duduk di sampingku, aku tidak peduli padanya yang sudah terjatuh ke samping dan meminta ampun agar aku berhenti memukulinya.

“Kamu gak bilang mau ke Bali!” teriakku. Aku tak peduli dengan beberapa orang yang memperhatikan kami.

Aku kesal dan senang dalam satu waktu. Selama enam bulan ini kami hanya berkomunikasi melalui ponsel, sesekali melakukan video call. Sangat mirip seperti pasangan yang menjalin hubungan jarak jauh. Lagipula aku tak memiliki orang lain untuk aku ajak bicara, selain teman-teman baruku.

Aku masih belum bicara pada Ina, dan Lucas juga tak membahas masalah Ina padaku kecuali aku yang memulai. Oh, aku kadang juga berbicara pada Dwi. Ia sangat antusias ketika menelponku, ia akan menceritakan tentang semua kejadian di hotel, bahkan menyombongkan kemampuan barunya yang bisa membuat berbagai jenis cocktail, dan sudah mulai belajar membuat kopi.

“Ini kejutan, masa aku ngasih tahu kamu duluan. Aku juga gak sengaja ketemu kamu di sini.”

Aku cemberut menatapnya, tapi hanya sebentar saja. Setelahnya aku sudah tersenyum dengan lebar. Enam bulan tak bertemu membuatku sangat merindukannya.

“Kamu cuti?” tanyaku. Lucas sedang mengamati matahari terbit yang sebenarnya sudah meninggi itu. Kulitku sudah hampir menjadi cokelat karena matahari itu, dan aku menyukainya, terlihat sangat eksotis.

“Aku libur, nanti malam aku bakal pulang ke Batam.”

Mataku membulat. Pria ini gila atau bagaimana? Tapi ia acuh seolah itu bukan hal yang besar. “Dan sejak kapan kamu di Bali. Jangan-jangan kamu udah sebulan ada di Bali tanpa sepengetahuan aku.”

“Aku baru tadi malam nyampe Bali, aku kayaknya terlalu capek kerja jadi pengen hari libur yang beda.”

Kalau tadi mataku membola, maka sekarang aku hampir membuka lebar mulutku saking kagetnya. Dia benar-benar teman tergila yang pernah aku miliki. Orang gila mana yang hanya akan menghabiskan satu hari liburnya dengan pergi ke Bali? Ia sangat membuang tenaganya dan juga uang tentu saja.

“Kamu masih waras, kan? Buat apa coba kamu ke Bali kalau gak lagi cuti?” tanyaku horor. Jarak Batam dan Bali bukan jarak yang dekat, dan pria ini melakukannya.

“Demi ketemu kamu, dong. Itulah kenapa kamu harus memperlakukan aku dengan baik seharian ini,” ucap Lucas. Ia menampilkan senyum lebarnya padaku.

 “Itulah kenapa banyak banget yang gosipin kita pacaran, kelakuan kamu aja kayak gini.”

Untuk kalian tahu, aku dan Lucas masih dalam hubungan persahabatan sampai sekarang. Lucas ini bukan salah satu pria yang aku pacari. Dia tampan, tentu saja, tapi aku sudah terlanjur nyaman dengan persahabatan kami. Kalau Lucas, aku yakin ia juga menyimpan rasa yang sama terhadap apa yang aku rasakan.

Pria dan wanita tak pernah bisa menjadi sahabat, itu yang sering di katakan orang-orang. Dulu aku pernah menyukai Lucas ketika pertama kali kami bertemu. Tapi ia yang meyakinkan aku, kalau kami tak bisa lebih dari sahabat. Dan itu memang benar terbukti, aku sangat nyaman berada di dekat Lucas sebagai sahabat.

“Dan kamu gak pernah nyangkal gosip itu sama sekali.”

Aku mengangkat bahu tak acuh. “Aku juga gak perlu klarifikasi tiap ada gosip begituan, berasa artis banget gak, sih?” ucapku geli.

Kami berdua tertawa bersama, sembari menyaksikan cahaya matahari yang mulai naik dan sinarnya semakin menerangi pantai ini. Para pengunjung pun mulai berdatangan memenuhi pantai. Suasana yang tadinya sepi, perlahan mulai ramai dengan celotehan mereka yang baru saja tiba.

“Ina selalu nanyakin kamu, dia nyesel banget sama semua ucapan dan tindakannya. Udah enam bulan dan kalian masih belum baikan cuman karena si brengsek itu,” ujar Lucas.

Sudah lama sekali rasanya aku tak mengobrol bersama Ina. Sebenarnya aku sudah melupakan masalah yang terjadi itu, hanya saja aku selalu menunda untuk menelpon Ina dan itu berlarut-larut sampai sekarang.

“Karena dia udah bilang kayak gitu sama kamu, jadi dia yang harus ke sini buat nemuin aku. Semuanya berawal dari dia, jadi dia juga yang harus akhiri drama ini.”

Lucas tertawa menatapku. “Siap. Bu Manajer!”

Lucas berseru dengan tangan yang bersiap seperti hormat ketika melaksanakan upacara di sekolah dulu. Dan kami sama-sama tertawa dengan tingkah kami yang sangat absurd ini.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status