Share

Bab 21

Author: Elien Prita
last update Last Updated: 2022-11-07 08:15:03

Ubud Palace atau yang biasa dikenal dengan Puri Saren Agung adalah istana yang menjadi tempat tinggal para raja dahulu. Bangunan ini kental akan seni dan budaya Bali. Selama tahun 1930-an Bali menjadi saksi bisu gelombang pengunjung luar negeri yang signifikan. Gelombang wisata pertama di fokuskan di Ubud di bawah kepemimpinan Tjokorde Gede Agung Sukawati yang sangat mahir berbahasa Inggris dan Belanda.

Ia juga lah yang berinisiatif mengundang komposer artis terkenal Walter Spies untuk tinggal dan bekerja di Ubud. Lalu setelahnya beberapa seniman asing seperti Rudolf Bonnet dan Willem Hofker mulai bergabung untuk menghadirkan seni lukis modern. Mulailah kabar tentang keindahan Ubud yang mempesona menyebar dan menjadi tuan rumah dari wajah-wajah terkenal seperti Noël Coward, Charlie Chaplin, H.G Wells dan antropolog terkenal Margaret Mead.

Pada tahun 1936, asosiasi pelukis yang di namai Pita Maha mulai terbentuk, hasil kolaborasi antara Tjokorde Gede Agung, Walter Spies, Rudolf Bonnet dan beberapa seniman lokal, dengan bantuan komposer asal Amerika Colin McPhee. Asosiasi ini bertujuan untuk memerangi penurunan mutu dari karya seniman Bali akibat para pelancong Amerika dan Eropa yang banyak membeli karya seni dari Bali. Akibat penjualan besar-besaran itu menyebabkan para seniman dan pengrajin hanya mengejar penjualan tanpa mempedulikan kualitas dari seni yang di ciptakan, seperti imitasi picisan.

Sejak saat itu, Ubud mulai mengembangkan reputasi sebagai denyut nadi budaya Bali dan citra itu bertahan hingga sekarang. Tak heran karena hampir semua bangunan di Ubud selalu memancarkan roh seni yang kuat. Selama enam bulan aku tinggal dan bekerja di sini, aku selalu di manjakan oleh budaya Bali yang kentara, dari patung, ukiran, lukisan yang tergantung di Kayon, bahkan desain bangunannya.

Aku bukan pecinta seni, tapi aku sangat betah memandangi situs seni yang ada di Ubud. Memasuki Puri Saren Agung adalah bukti dari semua seni itu. Masih ada lagi sebenarnya, Museum Puri Lukisan Ratna Warta yang menyimpan karya-karya Pita Maha, ada dua ratus dua tujuh lukisan dan seratus lima karya patung. Aku belum mengunjunginya, tapi nanti aku akan berkunjung ke sana.

Pukul enam tepat aku sudah keluar dari rumah sewaanku, aku akan jalan-jalan di pasar Ubud sebelum mengunjungi Ubud Palace, dan pagi hari merupakan jam terbaik mengunjungi pasar Ubud. Jarak rumahku dan pasar Ubud hanya sepuluh menit jika berkendara, dan aku memutuskan untuk jalan kaki. Butuh waktu hampir tiga puluh menit, karena aku menikmati suasana pagi yang tenang ini.

Aku hanya tak ingin menambah polusi di udara yang segar ini, jadi berjalan kaki adalah pilihan paling baik. Aku berharap pagi ini membawa sedikit keberuntungan untukku, aku tak ingin bertemu Erlangga walaupun kemarin aku yang memintanya menemuiku.

Erlangga mengingatkan aku pada Ritchie. Sekeras apapun aku berusaha melupakannya, Ritchie tetap tak semudah itu terlupakan, dan ia salah satu trauma yang kumiliki hingga sekarang.

Ponsel yang kupegang tiba-tiba bergetar, tak mungkin jika aku tiba-tiba di panggil untuk bekerja, kan? Jika iya, maka itu sangat keterlaluan.

Aku melihatmu.

Aku mengerutkan kening membaca pesan yang dikirim dari nomor yang tak di kenal. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi tak menemukan orang lain yang mungkin aku kenal.

Floral dress. White cardigan. Topi pantai.

Bahkan dia tahu apa yang aku kenakan saat ini. Aku kembali mengedarkan pandangan, dan kembali tak menemukan siapapun. Ini menjengkelkan. Apa mungkin Lucas mengerjaiku?

Di belakangmu.

Aku segera menoleh ke belakang, terpaku sejenak dengan apa yang baru saja kutemukan. Dan aku benar-benar tak bisa berkata apapun lagi. Erlangga.

Ia menunjukkan senyumnya, dan aku untuk kesekian kalinya kembali terpana. Dia tampan. Harus berapa kali kukatakan agar ia bisa berhenti terlihat tampan? Dan percayalah aku belum bosan mengatainya tampan walau aku membencinya. Tak konsisten, tapi kalian tak merasakan apa yang kurasakan sekarang.

“Hai,” sapanya.

Ia mengenakan kemeja putih yang tak di kancing, kaos putih sebagai dalaman, celana chino selutut, dan juga sneakers. Ia bahkan menggantungkan kacamata hitam di kaosnya. Ia terlihat santai dan segar, dan tampan.

“Simpan nomorku.”

Hanya itu saja, dan ia langsung menggandeng tanganku tanpa izin. Aku bahkan masih mencoba menetralkan napas serta wajahku sendiri. Aku tak ingin dia tahu kalau aku mengaguminya. Aku cukup memasang wajah dingin agar ia tak berminat untuk dekat-dekat denganku lagi.

“Kita mau kemana?” tanyaku di sela-sela gandengan tangannya. Tangannya hangat dan besar. Oke, kenapa aku sekarang menikmatinya? Ini seharusnya tak boleh terjadi.

“Sarapan, aku lapar banget.”

Aku tak membalas, dan masih menjaga jarak walaupun ia menggandeng tanganku. Aku akan berjalan di belakangnya, tak ada alasan. Aku hanya mengikuti kata hatiku. Ini tak benar, aku tak boleh terlalu dekat dengannya.

Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, dan menolehkan wajahnya padaku dengan tatapan yang sangat sulit kuartikan. “Apa kamu selalu seperti ini?” tanyanya.

Kali ini aku yang menatapnya tak mengerti. Apa maksud dari pertanyaannya itu? Dan ia melepaskan genggaman tanganku. Aku merasa kehilangan, tapi mengabaikannya. Dia tampan, tapi aku tak akan terpengaruh. Ah, berhentilah mengatakan kalimat tampan, aku benci pria tampan.

Hal yang tak terduga terjadi lagi, dan aku seperti sudah tak asing. Apa pria ini sangat suka mencekal tangan orang lain? Atau tunangannya dulu selalu menjadi korban cekalan tangan sehingga membatalkan pertunangan mereka? Cukup masuk akal kedua opsi itu.

Tebak apa hal mengejutkan lain yang terjadi? Pria ini melingkarkan lengannya di sekeliling pinggangku. Catat itu. ERLANGGA MELINGKARKAN LENGANNYA DI PINGGANGKU. Apa-apaan pria ini!

Aku menatapnya tajam, memberi peringatan padanya dan mencoba melepaskan lilitan lengan itu. Tapi aku bisa apa ketika tubuh dan tenaganya lebih besar dariku, yang lebih memalukan adalah aku selalu tak bisa berkata banyak hal di dekatnya. Alasannya, aku tak ingin melontarkan kalimat konyol di hadapannya. Aku selalu gugup dengan kehadirannya, dan jika gugup aku cenderung mengatakan hal konyol yang akan mempermalukan diri sendiri.

“Di sini ramai, aku tak ingin kamu tiba-tiba menghilang. Kamu terlalu sering meninggalkanku di tengah pembicaraan, jadi anggap saja ini untuk memastikan kamu gak lari.”

Tinggiku hanya sampai bahunya, dan ia berbicara sangat dekat dengan telingaku, “Tapi gak kayak gini, ini tempat umum!” teriakku tertahan.

Erlangga dengan beraninya mendekatkan wajahnya padaku, dan aku hanya mampu menghindar sebisanya. Lilitan lengannya bahkan tak terlepas dan itu menguntungkannya. “Aku bahkan bisa melakukan yang lebih jauh dari ini,” bisiknya dengan senyum manis dan sedikit seringai.

Dia pria gila. Itu kesimpulan yang paling pasti, pria gila yang tampan.

**

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pilihan Kedua   Bab 34

    Belajar dari kesalahan yang sebelumnya, tapi ini bukan kesalahanku juga sebenarnya. Aku justru tak tahu di bagian mana aku melakukan kesalahan, semuanya hanya terjdai secara alami dan aku mendapatkan bagian yang sial. Vania dan kesialan sepertinya sudah mendarah daging dan juga menjadi takdirku.Aku di pecat begitu saja, dengan kejadian yang aku sendiri sama sekali tak tahu bagaimana caranya aku bisa terlibat. Ini tak adil memang, tapi jika sudah seperti ini aku juga tak bisa melakukan apapun. Jejakku yang tertera di sana, dan itu menjadi bukti yang konkrit. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan aku?Pada saat seperti ini, pikiranku justru melakukan hal konyol dengan memikirkan skenario terburuk. Mungkin saja ini ulah Clarissa yang sengaja menjebakku karena tak ingin melihatku lebih lama bertahan pada jabatan ini. Aku tahu ini sangat sempit dan terlalu klise, justru aku memikirkan wanita itu setelah kejadian buruk ini menimpaku.“Berita itu benar?”Aku mendongak dari pintu

  • Pilihan Kedua   Bab 33

    Kembali ke rutinitasku bekerja sebagai seorang manajer di sebuah resort di Ubud, aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri dan seluruh perjalanan ke Kuta nanti. Jika di suruh memilih, aku juga lebih suka bersantai di kamar dengan buku di sebelahku dan juga musik yang mengiringi untuk menambah suasana lebih berwarna.Bekerja ketika suasana hatiku sedang tak baik sangat sulit, aku harus memaksakan senyumku selama hari belum berakhir dan bersikap ceria di hadapan orang lain. Itu adalah hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Apapun yang di awali dengan kepura-puraan, selalu berjalan dengan tak baik.Ada sesuatu yang janggal kurasakan ketika melangkahkan kaki menuju restoran pagi ini, entah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh. Aku selalu mendapati anggotaku menyapa dengan ceria ketika aku muncul, atau hanya melemparkan sapaan dalam bentuk senyum, tapi hari ini berbeda. Tak ada senyum, tak ada sapaan, mereka seperti sibuk dengan

  • Pilihan Kedua   Bab 32

    Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah. Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli. Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku

  • Pilihan Kedua   Bab 31

    Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini. Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana. Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi seper

  • Pilihan Kedua   Bab 30

    “Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa. “Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.” Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya. “Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana. “Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas. Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunanganny

  • Pilihan Kedua   Bab 29

    “Tunangan Pak Erlangga marah-marah di lobi karena gak di kasih informasi soal kamar yang di sewa Pak Erlangga.”Itu percakapan yang terus berulang-ulang di gosipkan oleh karyawan Kayon. Aku bahkan sudah sangat muak mendengarnya. Aku bahkan sudah di tanyai beberapa orang tentang keberadaan tunangannya itu, dan aku memang bertemu dengan wanita itu.Aku sebenarnya merasa aneh, pertama kali aku bertemu Erlangga ia mengatakan bahwa tunangannya memutuskan dirinya ketika Erlangga sudah menyiapkan makan siang romantis. Ia bahkan terlihat putus asa saat itu. Lalu sekarang, ada seorang wanita yang mengaku sebagai tunangannya.Hal yang pertama terlintas di pikiranku ketika melihat wanita itu, dia adalah wanita yang angkuh dan sangat sosialita. Dia bahkan menatapku dengan sinis ketika aku masuk ke vilanya untuk mengecek ketersediaan mini bar. Erlangga sedang bekerja di luar, dan katanya akan sampai malam.Yang paling mengesalkan adalah selama satu harian ini aku melayaninya, dan ia hanya menunjuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status