Share

Bab 21

Ubud Palace atau yang biasa dikenal dengan Puri Saren Agung adalah istana yang menjadi tempat tinggal para raja dahulu. Bangunan ini kental akan seni dan budaya Bali. Selama tahun 1930-an Bali menjadi saksi bisu gelombang pengunjung luar negeri yang signifikan. Gelombang wisata pertama di fokuskan di Ubud di bawah kepemimpinan Tjokorde Gede Agung Sukawati yang sangat mahir berbahasa Inggris dan Belanda.

Ia juga lah yang berinisiatif mengundang komposer artis terkenal Walter Spies untuk tinggal dan bekerja di Ubud. Lalu setelahnya beberapa seniman asing seperti Rudolf Bonnet dan Willem Hofker mulai bergabung untuk menghadirkan seni lukis modern. Mulailah kabar tentang keindahan Ubud yang mempesona menyebar dan menjadi tuan rumah dari wajah-wajah terkenal seperti Noël Coward, Charlie Chaplin, H.G Wells dan antropolog terkenal Margaret Mead.

Pada tahun 1936, asosiasi pelukis yang di namai Pita Maha mulai terbentuk, hasil kolaborasi antara Tjokorde Gede Agung, Walter Spies, Rudolf Bonnet dan beberapa seniman lokal, dengan bantuan komposer asal Amerika Colin McPhee. Asosiasi ini bertujuan untuk memerangi penurunan mutu dari karya seniman Bali akibat para pelancong Amerika dan Eropa yang banyak membeli karya seni dari Bali. Akibat penjualan besar-besaran itu menyebabkan para seniman dan pengrajin hanya mengejar penjualan tanpa mempedulikan kualitas dari seni yang di ciptakan, seperti imitasi picisan.

Sejak saat itu, Ubud mulai mengembangkan reputasi sebagai denyut nadi budaya Bali dan citra itu bertahan hingga sekarang. Tak heran karena hampir semua bangunan di Ubud selalu memancarkan roh seni yang kuat. Selama enam bulan aku tinggal dan bekerja di sini, aku selalu di manjakan oleh budaya Bali yang kentara, dari patung, ukiran, lukisan yang tergantung di Kayon, bahkan desain bangunannya.

Aku bukan pecinta seni, tapi aku sangat betah memandangi situs seni yang ada di Ubud. Memasuki Puri Saren Agung adalah bukti dari semua seni itu. Masih ada lagi sebenarnya, Museum Puri Lukisan Ratna Warta yang menyimpan karya-karya Pita Maha, ada dua ratus dua tujuh lukisan dan seratus lima karya patung. Aku belum mengunjunginya, tapi nanti aku akan berkunjung ke sana.

Pukul enam tepat aku sudah keluar dari rumah sewaanku, aku akan jalan-jalan di pasar Ubud sebelum mengunjungi Ubud Palace, dan pagi hari merupakan jam terbaik mengunjungi pasar Ubud. Jarak rumahku dan pasar Ubud hanya sepuluh menit jika berkendara, dan aku memutuskan untuk jalan kaki. Butuh waktu hampir tiga puluh menit, karena aku menikmati suasana pagi yang tenang ini.

Aku hanya tak ingin menambah polusi di udara yang segar ini, jadi berjalan kaki adalah pilihan paling baik. Aku berharap pagi ini membawa sedikit keberuntungan untukku, aku tak ingin bertemu Erlangga walaupun kemarin aku yang memintanya menemuiku.

Erlangga mengingatkan aku pada Ritchie. Sekeras apapun aku berusaha melupakannya, Ritchie tetap tak semudah itu terlupakan, dan ia salah satu trauma yang kumiliki hingga sekarang.

Ponsel yang kupegang tiba-tiba bergetar, tak mungkin jika aku tiba-tiba di panggil untuk bekerja, kan? Jika iya, maka itu sangat keterlaluan.

Aku melihatmu.

Aku mengerutkan kening membaca pesan yang dikirim dari nomor yang tak di kenal. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi tak menemukan orang lain yang mungkin aku kenal.

Floral dress. White cardigan. Topi pantai.

Bahkan dia tahu apa yang aku kenakan saat ini. Aku kembali mengedarkan pandangan, dan kembali tak menemukan siapapun. Ini menjengkelkan. Apa mungkin Lucas mengerjaiku?

Di belakangmu.

Aku segera menoleh ke belakang, terpaku sejenak dengan apa yang baru saja kutemukan. Dan aku benar-benar tak bisa berkata apapun lagi. Erlangga.

Ia menunjukkan senyumnya, dan aku untuk kesekian kalinya kembali terpana. Dia tampan. Harus berapa kali kukatakan agar ia bisa berhenti terlihat tampan? Dan percayalah aku belum bosan mengatainya tampan walau aku membencinya. Tak konsisten, tapi kalian tak merasakan apa yang kurasakan sekarang.

“Hai,” sapanya.

Ia mengenakan kemeja putih yang tak di kancing, kaos putih sebagai dalaman, celana chino selutut, dan juga sneakers. Ia bahkan menggantungkan kacamata hitam di kaosnya. Ia terlihat santai dan segar, dan tampan.

“Simpan nomorku.”

Hanya itu saja, dan ia langsung menggandeng tanganku tanpa izin. Aku bahkan masih mencoba menetralkan napas serta wajahku sendiri. Aku tak ingin dia tahu kalau aku mengaguminya. Aku cukup memasang wajah dingin agar ia tak berminat untuk dekat-dekat denganku lagi.

“Kita mau kemana?” tanyaku di sela-sela gandengan tangannya. Tangannya hangat dan besar. Oke, kenapa aku sekarang menikmatinya? Ini seharusnya tak boleh terjadi.

“Sarapan, aku lapar banget.”

Aku tak membalas, dan masih menjaga jarak walaupun ia menggandeng tanganku. Aku akan berjalan di belakangnya, tak ada alasan. Aku hanya mengikuti kata hatiku. Ini tak benar, aku tak boleh terlalu dekat dengannya.

Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, dan menolehkan wajahnya padaku dengan tatapan yang sangat sulit kuartikan. “Apa kamu selalu seperti ini?” tanyanya.

Kali ini aku yang menatapnya tak mengerti. Apa maksud dari pertanyaannya itu? Dan ia melepaskan genggaman tanganku. Aku merasa kehilangan, tapi mengabaikannya. Dia tampan, tapi aku tak akan terpengaruh. Ah, berhentilah mengatakan kalimat tampan, aku benci pria tampan.

Hal yang tak terduga terjadi lagi, dan aku seperti sudah tak asing. Apa pria ini sangat suka mencekal tangan orang lain? Atau tunangannya dulu selalu menjadi korban cekalan tangan sehingga membatalkan pertunangan mereka? Cukup masuk akal kedua opsi itu.

Tebak apa hal mengejutkan lain yang terjadi? Pria ini melingkarkan lengannya di sekeliling pinggangku. Catat itu. ERLANGGA MELINGKARKAN LENGANNYA DI PINGGANGKU. Apa-apaan pria ini!

Aku menatapnya tajam, memberi peringatan padanya dan mencoba melepaskan lilitan lengan itu. Tapi aku bisa apa ketika tubuh dan tenaganya lebih besar dariku, yang lebih memalukan adalah aku selalu tak bisa berkata banyak hal di dekatnya. Alasannya, aku tak ingin melontarkan kalimat konyol di hadapannya. Aku selalu gugup dengan kehadirannya, dan jika gugup aku cenderung mengatakan hal konyol yang akan mempermalukan diri sendiri.

“Di sini ramai, aku tak ingin kamu tiba-tiba menghilang. Kamu terlalu sering meninggalkanku di tengah pembicaraan, jadi anggap saja ini untuk memastikan kamu gak lari.”

Tinggiku hanya sampai bahunya, dan ia berbicara sangat dekat dengan telingaku, “Tapi gak kayak gini, ini tempat umum!” teriakku tertahan.

Erlangga dengan beraninya mendekatkan wajahnya padaku, dan aku hanya mampu menghindar sebisanya. Lilitan lengannya bahkan tak terlepas dan itu menguntungkannya. “Aku bahkan bisa melakukan yang lebih jauh dari ini,” bisiknya dengan senyum manis dan sedikit seringai.

Dia pria gila. Itu kesimpulan yang paling pasti, pria gila yang tampan.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status