Share

Bab 22

Apa kalian pernah merasakan ingin membenci seseorang, tapi berakhir dengan meragukan perasaan tersebut? Aku sedang merasakan hal tersebut. Aku sangat ingin membenci Erlangga, tapi sepertinya aku harus menjadi orang munafik ketika bersamanya. Apa kalian tahu isi perbincangan kami di warung makan tadi? Aku tak ingin menceritakan hal ini sebenarnya, tapi aku ingin berbagi dengan orang lain. Jika Lucas ada bersamaku sekarang, maka aku akan dengan semangat menceritakan hal ini.

“Aku tertarik padamu,” ucapnya. Tanpa kalimat pembukaan, atau setidaknya ia harus mengawalinya dengan sesuatu yang lebih lembut.

“Lalu?” Aku membalasnya dengan tak kalah sarkas.

“Kamu tak memiliki reaksi lain?”

Aku mengangkat alis, kali ini benar-benar tak mengerti dengan jalan pikirannya. Aku bahkan tak tahu harus membalasnya seperti apa.

“Aku benar-benar serius,” lanjutnya. Raut wajahnya memang menunjukkan keseriusan, tapi apa aku harus percaya?

“Itu alasan kamu minta nomor aku secara paksa ke Galang?”

“Karena aku tahu jawaban kamu kalau aku minta secara langsung, itu bagian dari usaha.”

“Kalau mau jadikan aku pelampiasan lebih baik kamu cari orang lain.”

Erlangga menatap mataku serius. Well, aku mengabaikannya. Aku tahu jenis pria seperti ini, dan aku tak akan tertipu lagi.

“Kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu?” tanyanya heran.

“Sejak kapan? Apa pertemuan di pantai itu di sengaja? Apa aku terlihat mudah untukmu? Dan ini ada hubungannya dengan kamu yang menginap di Kayon?”

Apa aku sudah terlihat menyebalkan? Karena aku bertujuan seperti itu. Aku sedang tak ingin berhubungan dengan siapapun. Aku tak ingin meninggalkan Bali dengan alasan yang sama seperti dulu. Bali terlalu indah untuk kutinggalkan sia-sia seperti itu.

“Apa aku terlihat seperti penguntit untukmu?” tanyanya lagi dengan mata menyipit dan wajah yang kesal.

“Ya terlihat seperti itu, dan kamu menyentuhku dengan seenaknya. Jadi, bagian mana yang harus membuatku percaya padamu?”

“Dan kamu tak menolak sentuhan itu sama sekali.”

Aku diam. Untuk yang itu aku terpaksa mengiyakan.

“Tindakan terlihat lebih meyakinkan di banding perkataan,” lanjutnya lagi.

Sungguh sangat sialan! Apa semua pria tampan sangat pemaksa? Ritchie juga seperti itu pada awalnya, dan aku berakhir seperti ini. Lalu aku harus mempercayai pria ini? Bunuh saja aku agar penderitaan ini berakhir.

Dan sekarang aku akan terjebak dengannya, seharian mungkin. Aku akan mencari alasan agar aku terbebas dari dirinya secepatnya.

Kami masih menelusuri pasar seni Ubud. Ia tak menggandeng tanganku atau memelukku lagi, dan anehnya aku merasa ada yang hilang. Genggaman tangannya sangat hangat, aku tak berbohong, dan ini yang baru saja kusebut dengan munafik.

Perlakuannya sangat sama seperti Ritchie, itu yang sangat kubenci. Terlepas dari semua itu, dia tampan, dan dalam satu hari ini aku sudah menyebutnya berkali-kali. Mungkin kalian sudah muak, dan akan kubuat kalian muak dengan semua yang aku rasakan kali ini.

Ia menghentikan jalannya dan melirikku ke belakang. Aku memang memilih berjalan di belakang, aku ingin menetralkan jantungku yang selalu berdetak, aku hanya tak ingin terlihat bodoh dan ia bisa dengan gampang mengetahui perasaanku. Ia kembali menatapku dengan tatapan yang sama ketika ingin memelukku seperti tadi. Ketika ia melangkah mendekat, aku tak bisa melakukan apapun selain berdiri terrpaku di tempatku.

“Aku sepertinya tahu apa yang sedang kamu pikirkan saat ini.”

Ia berbisik sangat dekat dengan wajahku, dan kembali melingkarkan lengannya di sekeliling pinggangku. Aku sudah menduga ini, dan jantungku semakin menggila.

“Kalau-kalau kamu ingin melarikan diri lagi,” bisiknya.

Kenapa ia harus melakukan itu? Apa ia tak tahu betapa gilanya aku saat ini menerima semua perlakuannya yang sangat spontan dan memaksa itu.

“Sudah berapa wanita yang kamu pelakukan seperti ini setelah kamu putus dari tunanganmu?” Aku bertanya dengan sarkas.

Sebenarnya aku bisa saja meninggalkan sarkasme itu, tapi percayalah, aku melakukan itu untuk menutupi kegugupan dan jantungku yang terus berdetak dengan kencang. Bahkan aku tak pernah merasakan seperti ini ketika bersama Ritchie dulu. Apa kali ini aku benar-benar jatuh cinta?

“Aku tak ingin menjawab itu, dan lebih baik jika kamu berhenti bicara. Aku bisa melakukan hal lain yang ekstrem.”

Ia mengucapkan hal itu dengan santai, seolah itu hal biasa yang ia lakukan. Ini semakin membuatku percaya kalau ia tetap sama seperti Ritchie dan pria lainnya yang brengsek tentu saja. Tapi, kenapa justru yang kutemukan adalah pria seperti ini?

Kami menyusuri pasar seni itu dengan sunyi. Jika biasanya aku akan sangat bersemangat, maka kali ini aku sangat di penuhi beban. Ia juga hanya melirik dan sesekali tersenyum dengan para penjual yang menjajakan dagangannya.

“Apa ini caramu untuk meyakinkanku, kalau kamu benar-benar serius?” tanyaku.

Aku menatapnya kali ini. Aku ingin sekali saja bertemu dengan pria normal, yang juga menyukaiku dengan cara yang normal. Yang bisa menatapku dengan penuh cinta, bukan dengan tatapan serius seperti ini. Meski ia tersenyum, aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Aku tak yakin ia benar-benar mencintaiku.

Pertemuan kami sangat aneh. Aku yang mendengar curhatannya, lalu kami bertemu secara tak sengaja, dan kami bertemu kembali lalu ia menyatakan kalau ia tertarik padaku. Ia juga tak mengatakan alasannya tertarik padaku. Apa ia menganggapku seperti pelayan hotel yang mampu memberinya pelayanan plus jika ia merayuku?

“Berikan saja aku alasan kenapa kamu melakukan hal ini. Aku tak butuh tindakanmu yang kamu bilang lebih serius dari perkataanmu. Kamu memperlakukanku seperti gadis sewaan yang kamu sewa ketika kamu bosan.”

Aku serius mengatakan hal itu, tidak dengan nada sarkastis seperti sebelumnya. Bagiku ini hal yang serius. Kepercayaanku sudah hilang karena pria brengsek di masa lalu itu, dan aku sudah menyebut namanya berkali-kali hari ini. Hal yang sudah tak kulakukan sejak enam bulan yang lalu.

“Berikan aku kesempatan untuk membuktikannya hari ini,” jawabnya.

“Kalimatmu sama sekali tak menjawab pertanyaanku.”

Kami bertatapan selama beberapa detik, dan kami sedang berada di tengah-tengah pasar. Kami sudah sangat mirip dengan adegan sinetron Indonesia yang menurutku menggelikan itu.

“Kamu berbeda.”

Jawaban klise. Ia bahkan tak bisa lebih pintar dalam mengarang alasan.

“Karena aku acuh, tak seperti wanita lain yang kamu dekati, yang sangat mudah kamu dapatkan itu? Setidaknya berilah aku alasan yang lebih meyakinkan.”

Aku melepaskan lilitan lengannya di pinggangku, untuk yang kesekian kalinya di hari ini. Aku juga ingat Ritchie memberiku alasan yang sama ketika aku bertanya alasannya. Dulu aku merasakan kebanggaan ketika ia mengatakan itu, tapi sekarang yang aku rasakan hanya muak. Sepertinya aku tak salah jika mengatakan kalau semua pria itu sama.

Dan seperti yang sudah kuduga, ia akan mencekal tanganku. Kenapa ia tak membiarkan aku sendiri? Ia sama sekali tak mendapat keuntungan ketika mengejarku. Ia tampan dan sangat potensial, mendapatkan wanita yang setara dengannya sangat mudah, dan ia malah mengejarku? Ia sama konyolnya seperti Ritchie.

“Tinggalkan saja aku sendiri, apa kamu bisa melakukannya? Aku muak bertemu pria sepertimu,” ucapku.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status