Share

Bab 23

Aku sudah menceritakan tentang Erlangga pada Lucas. Aku tak bisa menahan kekesalanku seorang diri, dan Lucas adalah orang yang paling cocok untuk itu. Karena aku tak punya teman berbagi yang lain sebenarnya.

Lucas memintaku untuk sedikit mempercayai Erlangga, karena kita tak bisa menilai seseorang hanya karena ia mengingatkan kita pada masa lalu yang ingin di lupakan. Aku mengiyakan, tapi aku tetap tak bisa begitu mudah mempercayai Erlangga. Apa jaminan dari aku yang mempercayai Erlangga?

Jika ada yang akan menjamin hatiku akan baik-baik saja jika mempercayai Erlangga maka aku akan mengambil resiko.

“Kamu gak bisa nyamain dia sama Ritchie gitu aja, gimana kalau dia bener-bener serius suka sama kamu,” ucapnya. Masih mencoba untuk meyakinkan hatiku.

Percayalah, hatiku sudah sangat sulit mempercayai lelaki dan cinta, serta ucapan mereka yang mengatakan kalau mereka serius atau mereka menyukaiku. Aku tak peduli jika mereka bilang aku berpikir terlalu dangkal, aku memiliki trauma sendiri yang tak mungkin hilang dalam waktu dekat. Dan yang mengatakan hal tersebut adalah orang-orang yang tak pernah merasakan berada di posisiku.

Obrolan kami tak berjalan baik semalam, aku bahkan mengakhiri secara sepihak. Aku memahami dengan jelas ucapan Lucas, tapi ini hatiku yang menolak semua hal yang terjadi, walaupun jauh di dalam hatiku yang paling dalam aku masih mengagumi Erlangga. Dia memiliki pesonanya sendiri, sekuat apapun aku menyangkalnya.

“Mbak, katanya Pak Erlangga check-out hari ini,” ucap Emi. Ia sedang membantuku menata meja di Kepitu.

Hari sudah sore, jam kerjaku sudah hampir habis, dan aku mengisi waktu luangku dengan menyusun meja yang baru saja selesai di bereskan setelah makan siang.

“Bagus, deh. Lagian kenapa dia gak nyewa rumah aja di Bali kalau memang kerjanya di Bali. Mau pamer banget dia kalau kaya,” gerutuku.

“Padahal dia cowok pertama yang Mbak bilang ganteng, dari semua cowok yang pernah kita temuin.”

Ya, itu memang benar. Aku tak mudah memuji orang lain, tapi ketika aku melakukannya, aku benar-benar tulus. Itu berlaku untuk Erlangga juga. Aku bahkan memujinya berkali-kali kemarin, hanya saja aku terlalu takut untuk menyukainya. Walaupun ia sudah berusaha keras meyakinkan, trauma hatiku lebih berat dari rasa sukaku padanya.

“Muji gak berarti suka, Mi, dan dia memang ganteng.”

Aku mengangkat bahu tak acuh, pembicaraan tentang Erlangga memang sangat tak baik untuk diriku dan juga hati yang masih dalam tahap perbaikan ini.

“Kamu pernah patah hati, Mi?” Aku bertanya pada Emi, masih setengah jam lagi sebelum aku pulang. Aku juga sudah jarang mengobrol dengan Emi karena tamu yang cukup padat dalam minggu ini, dan juga tanggung jawab kerjaku yang semakin banyak.

“Pernah lah, Mbak, bahkan baru seminggu yang lalu mantanku itu minta balikan,” ucapnya dengan santai.

Kenapa sepertinya orang lain sangat mudah membicarakan perpisahan mereka seolah itu bukan apa-apa? Dan aku di sini sangat terbebani dengan kisah patah hatiku sendiri.

“Dan kamu mau?”

“Kami memang sering putus nyambung, Mbak. Ini tahun ke empat kami, dan aku juga masih cinta sama dia, jadi gak ada alasan buat nolak dia. Well, aku juga tahu kalau dia beberapa kali selingkuh di belakangku.”

Aku langsung menatap Emi tak percaya. Gadis ini sudah di selingkuhi dan masih ingin kembali dengan mantannya? Emi juga menatapku, dengan tersenyum seolah-olah sudah menduga dengan kekagetanku. Aku bahkan merasa sangat sakit hati yang baru berpacaran selama dua tahun. Gadis ini sudah empat tahun pacaran, lalu di selingkuhi, lalu kembali pacaran lagi. Aku pikir hanya aku saja yang gila di sini, tapi ada yang lebih gila lagi.

“Mbak pasti pengen ngatain seberapa gilanya aku, kan? Aku cuma mau bilang kalau buka hati untuk orang baru lebih susah, dan kami udah empat tahun pacaran. Aku selalu bisa ketemu sisi baiknya di setiap dia ngelakuin kesalahan,” lanjutnya.

“Tapi, kan, tetep aja pacar kamu itu salah. Mau sampai kapan kamu kayak gitu?” Aku berapi-api menjelaskannya, beruntung restoran sepi dan beberapa karyawan sedang isstirahat.

“Dia bahkan udah ngelamar aku, Mbak. Keluarga besar kami udah tahu semua, jadi ya, gitu.”

Emi mengangkat bahu seolah ini bukan masalah besar untuknya, bagaimana mungkin masih ada gadis yang kelewat baik seperti ini. “Belum terlambat kalau kamu mau mundur, Mi, sebelum semuanya jadi serius.”

“Cinta gak semudah itu, Mbak,” ucap Emi yang masih tersenyum itu.

Aku masih menatap Emi tak percaya, tapi ada benarnya juga ucapan Emi barusan. Ketika sudah mencintai seseorang dengan sangat dalam, akan sangat sulit melepasnya. Tak ada siapapun yang mampu menggoyahkan pikiran itu kecuali mereka benar-benar merasakan dampak dari mencintai seseorang secara berlebihan.

Tak ada yang salah dari mencintai seseorang jika sesuai dengan porsinya. Hal yang berlebihan sangat tak baik untuk diri kita sendiri. Aku sangat mencintai Ritchie dulu, tapi aku tak mendapatkan balasan yang setimpal. Aku tak ingin menunggunya sampai ia mampu berubah dan mencintaiku sepenuh hati. Aku memilih melepaskan jika itu untuk kebaikan diriku sendiri.

“Mbak Vania.”

Aku menoleh, dan Ismi berjalan ke arahku. “Ada yang nyariin Mbak, dia nunggu di lobi. Katanya temen Mbak, cowok.” Aku tersenyum dan mengiyakan, lalu Ismi kembali lagi ke tempat kerjanya. Kenapa aku merasakan de javu? Terakhir kali Ismi melakukan itu, teman yang ia maksud adalah Erlangga. Apa mungkin ini Erlangga juga?

Aku meninggalkan Emi yang masih melanjutkan pekerjaannya. Aku menuju lobi dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya ada seorang pria yang berdiri dengan koper di sampingnya. Dia tinggi dan mengenakan kaos polo berwarna hitam serta celana jeans. Dan aku bisa menebak siapa pria itu dari sini. Tatonya tak tertutup sempurna oleh kaos polo yang ia kenakan.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status