Malam itu aku merenungkan semua permasalahan yang menimpaku. Ini bukan sejenis masalah besar yang melibatkan Negara, ataupun ekonomi yang saat ini sedang menurun. Ini tentang hati dan juga jiwaku yang sudah tak sanggup jika harus bertahan lebih lama lagi.
Aku bukan ingin lari dari masalahku, aku ingin menyelesaikannya, tapi aku sama sekali tak melihat jalan keluar dari semua masalah ini. Apa harus kuselesaikan dengan kata maaf?
Tapi akulah korban di sini, aku yang menanggung semua rasa sakit itu. Aku memeluk kedua lututku, menatap laptop yang menyala, menampilkan email balasan dari resort di Ubud. Aku mengirimkan surat lamaranku beberapa hari yang lalu. Dan hanya inilah yang mampu membawaku pergi dari semua masalah ini.
Aku tak akan peduli jika ada yang mengataiku pengecut. Mereka tak mengalaminya. Mereka hanya melihat dan menilai, merasa selalu benar dengan pemikiran mereka masing-masing. Yang aku butuhkan adalah ketenangan.
**
Aku tak pernah suka keramaian, bukan benar-benar tak suka tapi itu berisik. Setelah lelah seharian bekerja dengan bertemu berbagai jenis tamu yang unik, aku rasa tak perlu menambah malamku dengan menghadapi hal itu lagi. Sejujurnya aku lebih memilih menghadapi tamu-tamuku yang unik itu daripada duduk berbincang bersama teman-teman kuliahku dulu. Mereka menyebut ini reuni, aku bahkan praktis tak terlalu mengenal mereka, Ina yang memaksaku kemari. Menurutku ini hanya ajang pamer yang berkedok reuni, right? Exactly.
"Jadi, Van aku denger kamu sekarang udah jadi asisten manajer, ya? It sounds good."
Itu Clarissa. Dia ratu kepo dikampus kami, dia tak pernah suka melihat temannya lebih sukses dari dirinya, dan dari jaman kuliah dulu Clarissa selalu iri padaku, aku bahkan tak melihat sesuatu yang harus diirikan olehnya. Dia lebih cantik dan orang tuanya juga cukup berada. Yang aku dengar dari temanku, orang tua Clarissa ikut campur tangan dalam urusan pekerjaannya. Sekarang dia adalah head of marketing di salah satu resort di daerah Nongsa. See? Dia lebih beruntung dari aku.
"Masih promosi, aku lebih suka kayak sekarang."
Dan semua orang tertawa. Well, hanya lima orang yang datang dalam acara reuni ini. Aku, Ina, Clarissa, Vera, dan Naomi. Kami sama-sama satu jurusan, tapi aku tak pernah dekat dengan mereka, hanya Ina saja yang menjadi teman dekatku.
"Van, aku denger kamu pacaran sama sous chef hotel kamu ya? Chef Ritchie itu." Kali ini Vera yang bertanya.
Bahkan mereka yang tak bekerja satu hotel denganku bisa tahu hubunganku dengan Ritchie. Kurasa ia cukup terkenal di luar sana, tanpa sepengetahuanku. Padahal jarak Nongsa dan juga Batam Center cukup jauh.
Aku tertawa sumbang, ini suasana yang cukup canggung untukku. Aku bahkan sudah tak mengingat Ritchie seharian ini, dan mereka malah mengingatkannya, damn Vera! Terkutuklah ia dan kekepoannya itu.
"Aku cuma deket aja, gak sampe pacaran, dia gak sebaik yang kalian pikirin, sih, kalau kalian mau tahu. Dia hampir deket sama semua cewek dihotel juga." Aku mengatakan itu dengan lancar, aku sudah tak merasa ia pernah jadi bagian dari hidupku.
Patah hati benar-benar mengubahku menjadi orang yang berbeda, tapi aku juga senang. Inilah yang harusnya kulakukan sejak lama.
"Oh ya? Tapi Ina bilang kalian pacaran," Naomi menimpali dengan wajah polosnya.
Aku menoleh kearah Ina yang duduk di depanku, ia meringis melihatku. "Aku gak pacaran sama Ritchie, mungkin aku bakal nyesel banget sampe pacaran sama dia.”
Ina masih menatapku, tatapannya memiliki banyak arti. Ia juga terlihat bingung melihatku yang seolah tak memiliki hubungan apapun dengan Ritchie.
"Kamu harus akui..."
"Aku bener-bener gak pacaran sama Ritchie, mungkin Ina salah paham. He teased me lately but it's nothing. He kinda jerk." Aku memotong Ina yang hampir mengatakannya.
Lagi-lagi akan kuttanyakan pada kalian, apa saat ini aku sudah mirip anak SMA yang sedang menjelek-jelekkan mantannya ketika sudah putus? Aku rasa aku mirip seperti itu, dan aku memang tak akan mengakui kalau aku pernah pacaran dengannya. Aku hanya muak selalu di hubungkan dengannya.
"Padahal dia keliatan baik-baik aja. Aku ketemu dia di Bali dan emang dia ramah sih, kalo gak tahu aslinya dia gimana, mungkin banyak cewek yang bakal jadi korbannya. Jangan sampe deh kamu pacarin dia, Van."
Itu Naomi, yang paling dewasa pemikirannya diantara kami berlima. Aku hanya tersenyum, dan Ina masih dengan tatapan ingin tahunya itu. Dan jangan lupakan Clarissa yang juga menatapku, seolah memastikan kebenaran. Apa jangan-jangan ia juga menyukai Ritchie?
"Tapi kenapa enggak, dia kan ganteng. Aku sih gak nolak kalo dia nembak aku." Dan Vera masih seperti itu dari dulu, asal itu cowok ganteng.
Aku tertawa kecut. Dia hanya belum tahu fakta yang sesungguhnya. Mereka semua hanya menilai dari tampilan. Aku juga seperti itu dulu, tapi yakinlah, sekarang pikiranku sudah berubah.
**
Aku mulai merasakan perubahan mood Ina, sejak aku bilang tidak berpacaran dengan Ritchie, ia seperti tak menerima itu dan aku tak tahu bagian mana yang ia permasalahkan sebenarnya. Ia juga sudah tahu kalau aku putus dengan Ritchie, seharusnya ia tak perlu seperti ini. Bahkan sampai kami sekarang tiba di depan gerbang kosku ia masih tak berbicara padaku.
"Apalagi masalahnya, Na? I don't see the point!" Aku mulai berbicara ketika kami sampai. Aku cuman tak begitu suka dengan suasana yang saling diam-diaman seperti ini.
"Kenapa harus sampe bilang kamu gak pacaran sama Ritchie? Apa segitu bencinya kamu sama dia? Atau udah ada pengganti dia?"
Ini hanya perasaanku saja, atau aku memang benar melihatnya. Ia terlihat emosi, nada bicaranya sangat sinis. Selama ini pertengkaran kami hanya karena masalah kecil yang langsung selesai hari itu juga. Tapi kali ini, Ina benar-benar marah. Dan ini pertama kalinya aku melihat semua itu.
"Kamu tahu dengan jelas kalau dia suka sama Tsania. Kamu yang meyakinkan aku selama ini tentang semua itu, dan aku gak ngerti kamu marah karena apa. Aku putus dan itu hal baik yang terjadi." Akupun mulai terbawa emosi melihatnya seperti itu.
“Ini bukan karena Tio, kan?”
Dan aku mulai mengerti sekarang, aku mulai mengerti masalahnya jika nama Tio di kaitkan denganku. “Jadi, kamu lebih percaya gosip itu di banding sahabatmu sendiri? Apa pemikiran kamu sedangkal itu? Kamu bahkan lebih mengenalku di banding diriku sendiri, tapi…,”
Aku tak sanggup melanjutkan kalimatku, mungkin ini yang terberat dari semua permasalahan yang aku alami belakangan ini. Air mataku turun lagi untuk kesekian kalinya.
“Aku cuman mau mastiin, Van. Aku gak mau orang-orang semakin mojokin kamu karena gosip ini.”
Air mataku turun semakin deras. Percayalah jika kukatakan aku sangat lelah dengan semua ini. Tekanan datang dari segala arah, dan membuatku semakin stres. Dan aku rasa inilah yang di janjikan Ritchie ketika aku menolak untuk kembali padanya.
“Kenapa kalian selalu beralasan mengkhawatirkanku, kalian bahkan tak merasakan rasa sakit yang aku terima. Kalian bisa dengan mudah bilang, kalau kalian bisa merasakan yang aku rasakan. Kalian gak benar-benar tahu seberapa terlukanya aku saat ini.”
Ina menatapku dari cahaya temaram mobilnya, tapi aku memalingkan wajahku. “Aku bener-bener khawatir sama kondisi kamu, Van. Kamu gak perlu bohong sama mereka tentang hubungan kamu.”
“Kamu tahu, Na. Aku bahkan gak mau di kaitkan sama Ritchie, dia hal terburuk yang pernah terjadi di hidupku. Aku berusaha untuk gak terlibat obrolan tentang Ritchie. Hati aku sesakit itu, dan kalian gak tahu rasanya kayak gimana, Na,” ucapku.
“Aku padahal berharap banget kamu jadi satu-satunya orang yang akan bela aku, tapi kayaknya aku salah.”
Aku segera keluar dari mobil Ina dengan air mata yang masih setia mengalir. Setiap peristiwa yang terjadi di hidupku saat ini hanya semakin menambah daftar kesedihan di hidupku. Ini pertama kalinya aku merasakan ingin menghilang dari dunia ini.
**
Belajar dari kesalahan yang sebelumnya, tapi ini bukan kesalahanku juga sebenarnya. Aku justru tak tahu di bagian mana aku melakukan kesalahan, semuanya hanya terjdai secara alami dan aku mendapatkan bagian yang sial. Vania dan kesialan sepertinya sudah mendarah daging dan juga menjadi takdirku.Aku di pecat begitu saja, dengan kejadian yang aku sendiri sama sekali tak tahu bagaimana caranya aku bisa terlibat. Ini tak adil memang, tapi jika sudah seperti ini aku juga tak bisa melakukan apapun. Jejakku yang tertera di sana, dan itu menjadi bukti yang konkrit. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan aku?Pada saat seperti ini, pikiranku justru melakukan hal konyol dengan memikirkan skenario terburuk. Mungkin saja ini ulah Clarissa yang sengaja menjebakku karena tak ingin melihatku lebih lama bertahan pada jabatan ini. Aku tahu ini sangat sempit dan terlalu klise, justru aku memikirkan wanita itu setelah kejadian buruk ini menimpaku.“Berita itu benar?”Aku mendongak dari pintu
Kembali ke rutinitasku bekerja sebagai seorang manajer di sebuah resort di Ubud, aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri dan seluruh perjalanan ke Kuta nanti. Jika di suruh memilih, aku juga lebih suka bersantai di kamar dengan buku di sebelahku dan juga musik yang mengiringi untuk menambah suasana lebih berwarna.Bekerja ketika suasana hatiku sedang tak baik sangat sulit, aku harus memaksakan senyumku selama hari belum berakhir dan bersikap ceria di hadapan orang lain. Itu adalah hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Apapun yang di awali dengan kepura-puraan, selalu berjalan dengan tak baik.Ada sesuatu yang janggal kurasakan ketika melangkahkan kaki menuju restoran pagi ini, entah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh. Aku selalu mendapati anggotaku menyapa dengan ceria ketika aku muncul, atau hanya melemparkan sapaan dalam bentuk senyum, tapi hari ini berbeda. Tak ada senyum, tak ada sapaan, mereka seperti sibuk dengan
Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah. Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli. Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku
Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini. Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana. Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi seper
“Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa. “Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.” Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya. “Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana. “Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas. Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunanganny
“Tunangan Pak Erlangga marah-marah di lobi karena gak di kasih informasi soal kamar yang di sewa Pak Erlangga.”Itu percakapan yang terus berulang-ulang di gosipkan oleh karyawan Kayon. Aku bahkan sudah sangat muak mendengarnya. Aku bahkan sudah di tanyai beberapa orang tentang keberadaan tunangannya itu, dan aku memang bertemu dengan wanita itu.Aku sebenarnya merasa aneh, pertama kali aku bertemu Erlangga ia mengatakan bahwa tunangannya memutuskan dirinya ketika Erlangga sudah menyiapkan makan siang romantis. Ia bahkan terlihat putus asa saat itu. Lalu sekarang, ada seorang wanita yang mengaku sebagai tunangannya.Hal yang pertama terlintas di pikiranku ketika melihat wanita itu, dia adalah wanita yang angkuh dan sangat sosialita. Dia bahkan menatapku dengan sinis ketika aku masuk ke vilanya untuk mengecek ketersediaan mini bar. Erlangga sedang bekerja di luar, dan katanya akan sampai malam.Yang paling mengesalkan adalah selama satu harian ini aku melayaninya, dan ia hanya menunjuk
Aku benar-benar pulang tepat waktu ketika Dewa menginformasikan kalau Erlangga akan berada di luar. Aku menghela napas lega. Sebenarnya tak ada yang kulakukan ketika sampai di rumah. Aku tinggal sendirian, dan juga tak memiliki teman di Bali. Menyedihkan memang, tapi aku masih menikmatinya, dan akan terus menikmatinya. Dengan hotpants yang hanya menutupi setengah pahaku, dan baju tanpa lengan, ditambah cardigan putih yang menutupi sampai lutut, aku berjalan mengelilingi Ubud di malam hari. Hal ini sering kulakukan jika aku pulang kerja lebih cepat dan aku sedang tak ingin menempuh perjalanan jauh menuju Kuta ataupun Sanur. Sebenarnya di Ubud juga ada pantai, aku hanya sekali saja berkunjung ke pantai itu. Aku lebih suka suasana Kuta ataupun Sanur, itulah kenapa aku rela menghabiskan waktuku hanya untuk pantai di sana. Aku memasuki Istana Ubud setelah membeli tiket masuk di loket tadi. Setiap pukul tujuh tiga puluh, ada pertunjukan tari tradisional di Istana Ubud. Ini sudah kesekian k
Selama dua minggu ke depan, aku yakin hariku tak akan selancar biasanya. Salah satu bagian dari mimpi burukku yang coba kuhilangkan, tapi setelah di pikir-pikir, aku tak bisa menghindarinya.Erlangga ini, aku tak tahu apa yang ia mau. Kalian bisa bayangkan. Ia menginap di salah satu vila yang seharga hampir sepuluh juta selama dua minggu. Mungkin ia menghabiskan hampir seratus juta di vila ini. Itu haknya memang, tapi tetap saja. Memangnya sekaya apa dirinya hingga melakukan hal seperti ini?Hari pertama berjalan lancar, ia tak memiliki permintaan aneh. Yang paling aneh, ia hanya keluar dari kamarnya jika harus berenang di kolam. Bahkan ia meminta makanannya di antar kekamar. Minggu pertama ia menginap, ia selalu makan di restoran, dan hanya beberapa kali ia meminta room service.Aku mengetuk pintu vilanya lumayan lama untuk mengantarkan pesanan makan siang. Ketika aku sudah putus asa karena tak kunjung di bukakan, pintu itu terbuka menampilkan Erlangga dalam balutan handuk di pinggan
Aku kembali bekerja seperti biasa setelah cuti mendadak yang kuambil selama tiga hari. Mau tahu hal yang lucu? Clarissa sangat menentang ideku untuk cuti secara mendadak. Ia beralasan, seharusnya cuti itu di ambil setidaknya seminggu sebelumnya, jadi ia memiliki persiapan dan ada orang yang menggantikanku. Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya?Aku menjadi bahan gosip lagi. Hal yang sudah bisa kutebak sebenarnya, dan aku tak peduli, mereka akan terus membicarakanku walau aku membela diriku sendiri.Mungkin lain kali ketika Clarissa ingin menyebarkan berita gosip tentangku, aku akan membawa wartawan. Setidaknya aku bisa tenar dengan gosip ini, aku bisa memiliki pekerjaan sampingan sebagai artis. Tak terlalu buruk. Toh, aku juga lumayan jago berakting, mungkin bisa lebih bagus dari aktris yang biasanya sering tampil di televisi itu.“Kamu bilangnya gak mau pacaran, tapi teman priamu lumayan banyak juga, ya,” ucap Bara, yang saat ini sedang menata barang-barang yang ada di bar.Aku seda