Share

Bab 8

Malam itu aku merenungkan semua permasalahan yang menimpaku. Ini bukan sejenis masalah besar yang melibatkan Negara, ataupun ekonomi yang saat ini sedang menurun. Ini tentang hati dan juga jiwaku yang sudah tak sanggup jika harus bertahan lebih lama lagi.

Aku bukan ingin lari dari masalahku, aku ingin menyelesaikannya, tapi aku sama sekali tak melihat jalan keluar dari semua masalah ini. Apa harus kuselesaikan dengan kata maaf?

Tapi akulah korban di sini, aku yang menanggung semua rasa sakit itu. Aku memeluk kedua lututku, menatap laptop yang menyala, menampilkan email balasan dari resort di Ubud. Aku mengirimkan surat lamaranku beberapa hari yang lalu. Dan hanya inilah yang mampu membawaku pergi dari semua masalah ini.

Aku tak akan peduli jika ada yang mengataiku pengecut. Mereka tak mengalaminya. Mereka hanya melihat dan menilai, merasa selalu benar dengan pemikiran mereka masing-masing. Yang aku butuhkan adalah ketenangan.

**

Aku tak pernah suka keramaian, bukan benar-benar tak suka tapi itu berisik. Setelah lelah seharian bekerja dengan bertemu berbagai jenis tamu yang unik, aku rasa tak perlu menambah malamku dengan menghadapi hal itu lagi. Sejujurnya aku lebih memilih menghadapi tamu-tamuku yang unik itu daripada duduk berbincang bersama teman-teman kuliahku dulu. Mereka menyebut ini reuni, aku bahkan praktis tak terlalu mengenal mereka, Ina yang memaksaku kemari. Menurutku ini hanya ajang pamer yang berkedok reuni, right? Exactly.

"Jadi, Van aku denger kamu sekarang udah jadi asisten manajer, ya? It sounds good."

Itu Clarissa. Dia ratu kepo dikampus kami, dia tak pernah suka melihat temannya lebih sukses dari dirinya, dan dari jaman kuliah dulu Clarissa selalu iri padaku, aku bahkan tak melihat sesuatu yang harus diirikan olehnya. Dia lebih cantik dan orang tuanya juga cukup berada. Yang aku dengar dari temanku, orang tua Clarissa ikut campur tangan dalam urusan pekerjaannya. Sekarang dia adalah head of marketing di salah satu resort di daerah Nongsa. See? Dia lebih beruntung dari aku.

"Masih promosi, aku lebih suka kayak sekarang."

Dan semua orang tertawa. Well, hanya lima orang yang datang dalam acara reuni ini. Aku, Ina, Clarissa, Vera, dan Naomi. Kami sama-sama satu jurusan, tapi aku tak pernah dekat dengan mereka, hanya Ina saja yang menjadi teman dekatku.

"Van, aku denger kamu pacaran sama sous chef hotel kamu ya? Chef Ritchie itu." Kali ini Vera yang bertanya.

Bahkan mereka yang tak bekerja satu hotel denganku bisa tahu hubunganku dengan Ritchie. Kurasa ia cukup terkenal di luar sana, tanpa sepengetahuanku. Padahal jarak Nongsa dan juga Batam Center cukup jauh.

Aku tertawa sumbang, ini suasana yang cukup canggung untukku. Aku bahkan sudah tak mengingat Ritchie seharian ini, dan mereka malah mengingatkannya, damn Vera! Terkutuklah ia dan kekepoannya itu.

"Aku cuma deket aja, gak sampe pacaran, dia gak sebaik yang kalian pikirin, sih, kalau kalian mau tahu. Dia hampir deket sama semua cewek dihotel juga." Aku mengatakan itu dengan lancar, aku sudah tak merasa ia pernah jadi bagian dari hidupku.

Patah hati benar-benar mengubahku menjadi orang yang berbeda, tapi aku juga senang. Inilah yang harusnya kulakukan sejak lama.

"Oh ya? Tapi Ina bilang kalian pacaran," Naomi menimpali dengan wajah polosnya.

Aku menoleh kearah Ina yang duduk di depanku, ia meringis melihatku. "Aku gak pacaran sama Ritchie, mungkin aku bakal nyesel banget sampe pacaran sama dia.”

Ina masih menatapku, tatapannya memiliki banyak arti. Ia juga terlihat bingung melihatku yang seolah tak memiliki hubungan apapun dengan Ritchie.

"Kamu harus akui..."

"Aku bener-bener gak pacaran sama Ritchie, mungkin Ina salah paham. He teased me lately but it's nothing. He kinda jerk." Aku memotong Ina yang hampir mengatakannya.

Lagi-lagi akan kuttanyakan pada kalian, apa saat ini aku sudah mirip anak SMA yang sedang menjelek-jelekkan mantannya ketika sudah putus? Aku rasa aku mirip seperti itu, dan aku memang tak akan mengakui kalau aku pernah pacaran dengannya. Aku hanya muak selalu di hubungkan dengannya.

"Padahal dia keliatan baik-baik aja. Aku ketemu dia di Bali dan emang dia ramah sih, kalo gak tahu aslinya dia gimana, mungkin banyak cewek yang bakal jadi korbannya. Jangan sampe deh kamu pacarin dia, Van."

Itu Naomi, yang paling dewasa pemikirannya diantara kami berlima. Aku hanya tersenyum, dan Ina masih dengan tatapan ingin tahunya itu. Dan jangan lupakan Clarissa yang juga menatapku, seolah memastikan kebenaran. Apa jangan-jangan ia juga menyukai Ritchie?

"Tapi kenapa enggak, dia kan ganteng. Aku sih gak nolak kalo dia nembak aku." Dan Vera masih seperti itu dari dulu, asal itu cowok ganteng.

Aku tertawa kecut. Dia hanya belum tahu fakta yang sesungguhnya. Mereka semua hanya menilai dari tampilan. Aku juga seperti itu dulu, tapi yakinlah, sekarang pikiranku sudah berubah.

**

Aku mulai merasakan perubahan mood Ina, sejak aku bilang tidak berpacaran dengan Ritchie, ia seperti tak menerima itu dan aku tak tahu bagian mana yang ia permasalahkan sebenarnya. Ia juga sudah tahu kalau aku putus dengan Ritchie, seharusnya ia tak perlu seperti ini. Bahkan sampai kami sekarang tiba di depan gerbang kosku ia masih tak berbicara padaku.

"Apalagi masalahnya, Na? I don't see the point!" Aku mulai berbicara ketika kami sampai. Aku cuman tak begitu suka dengan suasana yang saling diam-diaman seperti ini.

"Kenapa harus sampe bilang kamu gak pacaran sama Ritchie? Apa segitu bencinya kamu sama dia? Atau udah ada pengganti dia?"

Ini hanya perasaanku saja, atau aku memang benar melihatnya. Ia terlihat emosi, nada bicaranya sangat sinis. Selama ini pertengkaran kami hanya karena masalah kecil yang langsung selesai hari itu juga. Tapi kali ini, Ina benar-benar marah. Dan ini pertama kalinya aku melihat semua itu.

"Kamu tahu dengan jelas kalau dia suka sama Tsania. Kamu yang meyakinkan aku selama ini tentang semua itu, dan aku gak ngerti kamu marah karena apa. Aku putus dan itu hal baik yang terjadi." Akupun mulai terbawa emosi melihatnya seperti itu.

“Ini bukan karena Tio, kan?”

Dan aku mulai mengerti sekarang, aku mulai mengerti masalahnya jika nama Tio di kaitkan denganku. “Jadi, kamu lebih percaya gosip itu di banding sahabatmu sendiri? Apa pemikiran kamu sedangkal itu? Kamu bahkan lebih mengenalku di banding diriku sendiri, tapi…,”

Aku tak sanggup melanjutkan kalimatku, mungkin ini yang terberat dari semua permasalahan yang aku alami belakangan ini. Air mataku turun lagi untuk kesekian kalinya.

“Aku cuman mau mastiin, Van. Aku gak mau orang-orang semakin mojokin kamu karena gosip ini.”

Air mataku turun semakin deras. Percayalah jika kukatakan aku sangat lelah dengan semua ini. Tekanan datang dari segala arah, dan membuatku semakin stres. Dan aku rasa inilah yang di janjikan Ritchie ketika aku menolak untuk kembali padanya.

“Kenapa kalian selalu beralasan mengkhawatirkanku, kalian bahkan tak merasakan rasa sakit yang aku terima. Kalian bisa dengan mudah bilang, kalau kalian bisa merasakan yang aku rasakan. Kalian gak benar-benar tahu seberapa terlukanya aku saat ini.”

Ina menatapku dari cahaya temaram mobilnya, tapi aku memalingkan wajahku. “Aku bener-bener khawatir sama kondisi kamu, Van. Kamu gak perlu bohong sama mereka tentang hubungan kamu.”

“Kamu tahu, Na. Aku bahkan gak mau di kaitkan sama Ritchie, dia hal terburuk yang pernah terjadi di hidupku. Aku berusaha untuk gak terlibat obrolan tentang Ritchie. Hati aku sesakit itu, dan kalian gak tahu rasanya kayak gimana, Na,” ucapku.

“Aku padahal berharap banget kamu jadi satu-satunya orang yang akan bela aku, tapi kayaknya aku salah.”

Aku segera keluar dari mobil Ina dengan air mata yang masih setia mengalir. Setiap peristiwa yang terjadi di hidupku saat ini hanya semakin menambah daftar kesedihan di hidupku. Ini pertama kalinya aku merasakan ingin menghilang dari dunia ini.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status