Aku menjalani sisa hariku dengan tenang, Ritchie belum terlihat dimanapun, dan aku mensyukuri hal itu. Mungkin ia masuk di shift sore. Aku juga sempat berpapasan dengan Tsania, dan kami hanya melemparkan senyum seadanya tanpa tegur sapa. Aku tidak tahu bagaimana hubungannya dengan Ritchie sekarang. Kalau bisa sebenarnya ingin sekali mutasi dari hotel ini, tapi sayang sekali belum ada kesempatan untuk itu. Mungkin ya, aku harus dituntut untuk menjadi lebih profesional menghadapi mereka.
Briefing soreku sudah selesai, beruntung hari ini aku tak perlu pulang malam karena hari ini juga sedang tidak ada event. Mungkin itu adalah bagian keberuntunganku.
Aku masih melayani tamu terakhirku, karena sebenarnya aku tak terbiasa pulang tepat waktu. Katakan saja aku orang yang kesepian, teman terdekatku hanyalah Ina. Dia bekerja di departemen finance, jadi tentu saja jam pulang kami berbeda. Jika hari biasa ia akan pulang jam lima, dan ketika mendekati akhir bulan ia akan sedikit lembur. Resiko pekerjaan memang, dan kami hanya bisa berkumpul di akhir minggu, itupun jika aku benar-benar mendapatkan jatah liburku.
Dan sekarang aku masih ingin melayani tamuku sebelum benar-benar pulang. Jam 3 sore masih terlalu siang untukku yang terbiasa pulang jam 9 malam.
"Grilled salmond and mashed potato satu, sup buntut dua, nasi goreng kampung satu," Teriakku lantang.
Hotel Harris memang menyediakan kuliner dari dalam maupun luar negeri. Dan aku tak meragukan resep buatan koki di sini, walaupun itu termasuk Ritchie. Mungkin dia memiliki sifat yang sangat mudah untuk kubenci, tapi untuk urusan pekerjaan aku akan memujinya. Dan itu memang kenyataan.
Tio muncul untuk melihat captain order yang kubawa. "Lembur lagi, Van?" tanyanya.
"Nope. Ini tamu terakhir aku. Soalnya balik jam 3 masih berasa siang banget."
Aku tersenyum tipis, aku masih canggung untuk berbicara dengannya setelah kejadian kemarin. Tapi aku juga tak mungkin memperlihatkan rasa tidak sukaku secara terang-terangan. Beruntung ini masih di dalam hotel, karena jika aku sudah di luar hotel aku tak akan melakukan ini.
Tio tersenyum tipis mendengar ucapanku, aku juga tahu ia masih merasa tidak nyaman karena kejadian kemarin. "Ki, handle this." Perintahnya pada Riski, salah satu juniornya yang menurutku sangat cekatan dan bisa dipercaya. Umurnya masih muda, kisaran dua puluh tahun.
"Mau balik bareng?" Ajaknya.
Aku menatapnya sesaat. Ia sepertinya sangat berharap aku mengiyakan permintaan itu.
“Aku masih banyak kerjaan, aku balik ke restoran dulu.”
Beruntunglah Tio yang memiliki tubuh tinggi sehingga bisa dengan mudah menangkap tanganku, dan membuatku berbalik menatapnya, lalu ia menatap sekelilingku juga, memastikan jika tak ada yang melihat kejadian kecil ini yang sangat mampu menyebabkan gosip di satu hotel ini.
“Aku perlu jelasin tentang kemarin.”
Tio menatapku serius, tak ada paksaan dari kalimatnya. Tapi aku tak nyaman dengan suasana ini, dan Tio yang belum melepaskan tangannya juga. Aku sudah sangat cukup dengan gosip yang sudah beredar di hotel tentang aku yang sudah putus dari Ritchie, dan tentu saja bukan gosip yang bagus.
Aku memberinya senyum tipis terbaikku, aku tak mungkin terlihat kesal saat ini. Sangat lelah menjadi aku sebenarnya, tapi aku bisa apa?
“Aku tunggu di basement.”
**
Aku menatap Tio yang sekarang ini sedang lahap menikmati ayam cabe ijo pesanannya di warung tenda di dekat kos ku. Ayam cabe ijo di warung tenda ini memang menu andalan di sini, bahkan banyak orang rela mengantri demi bisa menikmati menu tersebut. Karena kebetulan aku sudah langganan di sini, tak sulit untuk mencari kursi kosong di jam-jam rawan seperti ini. Terkadang memanfaatkan koneksi juga tak buruk.
Aku menyetujui permintaannya karena terpaksa. Aku tak ingin menambah daftar drama yang mungkin akan terjadi, tapi aku juga sedikit menyesalinya. Aku masih sedikit sakit hati dengan perkataannya kemarin, dan tak semudah itu untuk melupakan yang ia lakukan.
Tio menyelesaikan makanan di hadapannya dengan tenang, seolah tak terjadi apapun. Dan aku tak tahu harus merespon seperti apalagi. Apa saat ini aku terlihat seperti wanita gampangan yang pasrah dengan semua pria yang hadir di hidupku?
“Kamu udah selesai, kan? Aku mau balik dulu, biar aku yang traktir kali ini.” Aku segera beranjak dari dudukku, tapi lagi-lagi Tio menarik tanganku.
“Aku belum jelasin sama kamu,”
“Aku cuma setuju karena gak mau ada gosip lain lagi karena kejadian tadi di dapur, aku gak pernah setuju untuk denger penjelasan kamu.”
Mungkin aku hanya kecewa pada diriku sendiri, dan aku sudah terlalu banyak menyalahkan diriku sendiri. Dan perkataanku selalu benar, tentang aku yang tak bisa merasakan kebahagiaan yang utuh dalam satu hari. Pagi tadi aku sangat bahagia karena Lucas dan Dwi, tapi sekarang aku di hadapkan lagi pada kenyataan kalau aku tak bisa sebahagia itu. Dan aku sudah muak dengan semua drama yang terjadi di manapun aku berada.
Aku bukan ratu drama atau sejenisnya, aku hanya seperti ini saja dan drama itu datang begitu saja tanpa aku minta, bayangkan betapa lelahnya hidup seperti itu. Harus berapa banyak lagi kalimat yang aku katakan, agar drama itu berhenti dari hidupku?
Aku segera duduk kembali, tak ingin menarik perhatian orang lain. Walaupun semua pengunjung di sini sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
“Aku minta maaf sama kata-kataku kemarin, aku gak bermaksud buat belain Ritchie. Aku cuman gak mau ada gosip kamu sama Ritchie. Tsania gak sebaik yang kamu kira, dia bisa jadi licik. Dan dia pasti orang pertama yang bahagia atas putusnya kalian.”
“Jadi maksud kamu aku harus tetap pacaran sama Ritchie supaya gak ada gosip, dan aku harus nahan sakit hati setiap liat kedekatan mereka? Bahkan kamu sendiri yang saranin untuk putus sama Ritchie secara gak langsung, ini yang kamu bilang penjelasan?”
Aku berusaha menahan emosiku agar tak berteriak di tempat umum seperti ini, tapi kalimat yang Tio sebut penjelasan ini sama sekali tak menjelaskan apapun.
“Apa mau kamu sebenarnya?” tanyaku padanya.
Tio masih tak menjawab, ia terlihat sangat terluka dan bingung. Sangat aneh melihatnya seperti ini. Ia biasanya ceria, dan selalu menebarkan keceriannya pada semua orang.
“Aku gak mau kamu tersakiti lagi…,”
Aku mengusap wajahku frustasi, aku sangat kesal tapi aku tak bisa menangis. Aku seperti menghadapi Ritchie yang lain, dalam versi yang lebih lembut dan membingungkan. Ia tak perlu melakukan itu jika hanya untuk membuat perasaanku lega.
“Kamu gak perlu ngelakuin itu, aku tahu yang terbaik untuk diriku sendiri. Kamu cuma membuat perasaanku semakin sakit.”
Aku berusaha melepaskan tanganku yang masih ia pegang sejak tadi, tapi ia semakin mengeratkan pegangan itu, sama sekali tak melonggarkannya sedikitpun.
“Aku sudah cukup sakit hati, kamu tak perlu menambahkan rasa sakit itu. Dia bahkan nuduh aku selingkuh sama kamu, sama Lucas, dia berpura-pura menjadi korban. Berusaha membuatku terlihat buruk, dan gosip yang mulai menyebar di hotel. Apa kamu mau nambahin semua daftar itu? Untuk membuat aku terlihat seperti tokoh jahatnya di sini, kamu gak mau ngelakuin itu?”
Air mataku perlahan turun, seiring aku mengatakan kalimat panjang itu. Aku sudah tak peduli sekelilingku. Hatiku sudah terlalu sesak menahan semua rasa sakit ini, dan semua itu berpengaruh pada anggota tubuhku yang lain. Sakitnya tak tertahankan, aku bahkan sama sekali tak pernah membayangkan akan seperti ini.
“Aku selalu bersyukur kamu memilih putus, aku cuma khawatir dengan hal yang akan terjadi setelahnya. Kamu salah paham, Van. Aku kenal Tsania baik, aku tahu selicik apa dia, dan Ritchie. Dan gosip itu, aku yakin itu ulah Tsania.” Tio menggenggam tanganku erat.
Aku sudah terlanjur merasakan sakit yang benar-benar menyesakkan dada, aku tak bisa berpikir dengan jernih. Yang kutahu aku sudah melepaskan diri dari Tio dan segera berjalan keluar dari warung tenda ini. Aku hanya perlu berjalan beberapa menit untuk sampai di kosku.
**
Malam itu aku merenungkan semua permasalahan yang menimpaku. Ini bukan sejenis masalah besar yang melibatkan Negara, ataupun ekonomi yang saat ini sedang menurun. Ini tentang hati dan juga jiwaku yang sudah tak sanggup jika harus bertahan lebih lama lagi. Aku bukan ingin lari dari masalahku, aku ingin menyelesaikannya, tapi aku sama sekali tak melihat jalan keluar dari semua masalah ini. Apa harus kuselesaikan dengan kata maaf? Tapi akulah korban di sini, aku yang menanggung semua rasa sakit itu. Aku memeluk kedua lututku, menatap laptop yang menyala, menampilkan email balasan dari resort di Ubud. Aku mengirimkan surat lamaranku beberapa hari yang lalu. Dan hanya inilah yang mampu membawaku pergi dari semua masalah ini. Aku tak akan peduli jika ada yang mengataiku pengecut. Mereka tak mengalaminya. Mereka hanya melihat dan menilai, merasa selalu benar dengan pemikiran mereka masing-masing. Yang aku butuhkan adalah ketenangan. ** Aku tak pernah suka keramaian, bukan benar-benar tak
Aku kembali ke rutinitasku seperti biasa, hari ini aku terlihat lebih ceria dari biasanya bahkan terlalu ceria menurut ukuranku. Sesama temanku di restoran ini bahkan sampai heran dengan sifatku hari ini, aku tak pernah seceria ini sebelumnya, bisa dibilang aku satu-satunya senior yang pelit senyum. Tapi itu akan berbeda ketika berhadapan dengan tamu, aku harus menampilkan senyumku apapun masalahku saat ini. "Kamu lebih banyak senyum kayaknya, ya, hari ini?" Tanya pak Robert yang menemaniku berjaga di bar. Pak Robert ini merupakan Manajer yang sangat humble dan selalu membaur dengan kami-kami ini yang merupakan bawahannya. "Aneh ya, pak?" Tanyaku ringan. "Itu malah bagus jadi terlihat fresh dan saya gak perlu sering-sering negur kamu, kan?" Aku tertawa mendengar ucapan Pak Robert. Ya aku memang sering mendapat teguran karena sifatku yang satu itu. Aku tak pernah tahu seperti apa wajahku yang sering aku tampilkan. Mereka selalu bilang kalau aku harus sering-sering tersenyum, dan ket
Aku berdiri di tengah-tengah ballroom yang sudah penuh dengan meja bundar beserta kursinya. Kami harus bersiap untuk acara besok, walaupun hanya untuk lima puluh tamu. Aku melihat ke sekelilingku, aku tak percaya akan meninggalkan tempat yang sudah membesarkanku selama ini. Pemandangan ini akan sangat kurindukan nantinya. Hal yang sangat aneh kurasakan saat ini adalah, aku sangat jarang bertemu Ritchie. Bahkan hampir tak pernah. Aku bukan dengan sengaja menghindarinya, aku bekerja seperti biasanya. Tapi itu hal bagus sebenarnya, jadi aku tak perlu berpura-pura menghindarinya. Pintu di hadapanku terbuka, dan Bella muncul dengan wajah sinisnya. Hanya ini masalahku yang tersisa saat ini. Aku bahkan tak mengerti atas alasan apa ia membenciku, kami juga tak pernah saling sapa. Aku sangat menjunjung tinggi senioritas, apalagi jika itu menyangkut karyawan baru ataupun anak magang. Terdengar sombong, tapi itu prinsipku. Tapi masih di batas wajar, aku juga tak terlalu mengekang bawahanku. Ak
Aku kembali bekerja setelah menyelesaikan urusan di Bali. Sejauh ini tak ada yang tahu aku mengundurkan diri, hanya Lucas dan Pak Robert. Tapi jika Lucas sudah membocorkannya, maka satu hotel akan mengetahuinya. Lucas bukan tipe orang yang akan membocorkan sesuatu tanpa tedeng aling-aling, tapi jika ada yang bertanya, maka Lucas tak segan untuk menceritakan semuanya.Pagi ini hotel terlihat ramai, padahal ini hari rabu. Aku melihat ke sekeliling dan hampir semua karyawan terlihat mondar mandir untuk melayani tamu. Tapi Lucas tak terlihat di manapun, mungkin ia masuk sore. Aku menuju bar untuk menghampiri Dwi yang sibuk meracik minuman.“Hai, Wi. Tumben rame, ya?”“Hai, Mbak. Iya nih, ada grup dari Singapor. Gimana cutinya?” Dwi menjawab pertanyaanku sembari fokus pada mocktail yang sedang ia racik.“Lucas gak cerita sama kamu, ya?”“Cerita apa, Mbak?”Biasanya jika ada berita apapun yang menyangkut diriku, Lucas akan menceritakan langsung pada Dwi. Tumben sekali kali ini dia lebih men
Tapi sepertinya doaku tak di kabulkan. Aku baru saja sampai di kosku, dan menemukan Tsania sedang duduk di teras kamar kosku. Aku ingin mengurungkan niat untuk memasuki gerbang, tapi aku tak ingin terlihat seperti pengecut. Dan juga, bukan aku yang bersalah di sini. Jadi aku tetap melangkah maju, mereka sudah menghancurkan hidupku sedemikian rupa. Jadi lebih baik jika di hancurkan langsung semuanya. "Tumben, Tsan." Aku menyapanya dengan datar. Tak ada alasan untuk ramah padanya setelah semua yang terjadi. Lagipula aku heran, bagaimana bisa ia menemuiku setelah semua gosip yang ia sebarkan? Apa ia ingin meminta maaf? Atau ingin mengorek cerita lebih dalam agar bisa di jadikan bahan gosip lain? "Iya nih, boleh ngobrol-ngobrol sebentar, Van? Atau kamu mau langsung istirahat?" tanyanya. Ia menunjukkan wajah tak bersalah, dan masih bisa tersenyum, bagaimana seseorang bisa melakukan semua hal seperti ini? Aku akui ia memang cantik, wajahnya hampir mirip dengan Bella. Tapi sangat di sayan
Aku menatap dengan seksama matahari terbit yang sangat indah menyinari pantai ini. Pantai ini selalu menjadi tempat tujuan ketika mendapatkan hari liburku, karena jaraknya yang jauh dengan tempat kosku, dan aku juga tak mungkin mampu berkendara selama lebih dari satu jam hanya untuk mengunjungi pantai ini di hari biasa. Sudah hampir enam bulan aku tinggal dan bekerja di Bali. Aku menyukainya. Setidaknya aku sudah menemukan kenyamananku di kota ini. Dan aku selalu menghabiskan seharian berada di pantai Sanur ini, terkadang aku juga mengunjungi pantai Kuta. Aku hampir mendatangi seluruh pantai yang ada di Bali sepertinya. Aku bekerja di Kayon Resort yang terletak di Ubud, salah satu daerah di Bali yang terkenal dengan budayanya. Awalnya aku memilih resort ini hanya untuk berlibur, ketika aku sedang menghadapi masalahku saat itu. Tapi, kemudian aku malah mengirimkan lamaranku dan mereka meresponnya dengan baik. Tapi aku bersyukur saat itu karena langsung menerimanya tanpa berpikir dua
Aku kembali melanjutkan aktifitas seperti biasa, setelah aku menghabiskan satu hari penuh bersama Lucas. Aku tetap merasa lelah walaupun sudah libur, karena Lucas tentunya. Jika saja ia tidak memaksa untuk di temani berkeliling Bali, maka aku tidak akan selelah ini. Tapi aku tetap menikmatinya. Keuntungan bekerja di resort, aku tidak perlu menyibukkan diriku untuk menyiapkan buffet breakfast yang selalu ada di setiap city hotel. Bisa di bilang pekerjaanku cukup santai, walaupun tanggunng jawab yang kumiliki cukup besar karena aku yang mengepalai restoran di resort ini. Jabatanku hanya sementara, aku melamar sebagai asisten manajer di resort ini, tapi selang beberapa hari aku bekerja di sini, manajer restoran ini mengundurkan diri. Dan karena belum ada penggantinya, maka aku sementara menjadi manajer restoran di resort ini. Sejauh ini aku bekerja, tak ada kesulitan yang berarti kecuali mengenakan seragam. Karena konsep resort ini sendiri sangat kental budaya Bali, maka seragam yang k
Canyon jetty ini adalah salah satu dek yang ada di kanyon resort. Letaknya di tepi sungai dengan suara alami air terjun yang akan menemani para tamu yang akan menikmati hidangan di dek ini. Canyon jetty ini juga digunakan untuk mereka yang ingin melakukan yoga. Suasana yang di ciptakan sangat menenangkan jiwa, mampu menyembuhkan pikiran yang sedang stres.Aku juga termasuk salah satunya. Biasanya aku akan berlama-lama menatap air terjun itu sembari mendengarkan suara gemericik air yang turun lalu menghantam bebatuan yang ada di dasar. Suasana itu memang sangat menenangkan.Canyon jetty hanya dibuka untuk makan siang dari pukul sebelas siang, sampai pukul lima sore. Untuk mereka yang ingin menikmati kopi dan teh sorenya, sangat di rekomendasikan tempat ini.Saat ini aku sedang menunggu tamu yang sudah mereservasi meja di canyon jetty, dari yang aku dengar mereka adalah pasangan. Dan mereka mengharapkan makan siang yang romantis di sini. Terkadang aku merasa seperti miris dengan diriku