Share

Bab 7

Aku menjalani sisa hariku dengan tenang, Ritchie belum terlihat dimanapun, dan aku mensyukuri hal itu. Mungkin ia masuk di shift sore. Aku juga sempat berpapasan dengan Tsania, dan kami hanya melemparkan senyum seadanya tanpa tegur sapa. Aku tidak tahu bagaimana hubungannya dengan Ritchie sekarang. Kalau bisa sebenarnya ingin sekali mutasi dari hotel ini, tapi sayang sekali belum ada kesempatan untuk itu. Mungkin ya, aku harus dituntut untuk menjadi lebih profesional menghadapi mereka.

Briefing soreku sudah selesai, beruntung hari ini aku tak perlu pulang malam karena hari ini juga sedang tidak ada event. Mungkin itu adalah bagian keberuntunganku.

Aku masih melayani tamu terakhirku, karena sebenarnya aku tak terbiasa pulang tepat waktu. Katakan saja aku orang yang kesepian, teman terdekatku hanyalah Ina. Dia bekerja di departemen finance, jadi tentu saja jam pulang kami berbeda. Jika hari biasa ia akan pulang jam lima, dan ketika mendekati akhir bulan ia akan sedikit lembur. Resiko pekerjaan memang, dan kami hanya bisa berkumpul di akhir minggu, itupun jika aku benar-benar mendapatkan jatah liburku.

Dan sekarang aku masih ingin melayani tamuku sebelum benar-benar pulang. Jam 3 sore masih terlalu siang untukku yang terbiasa pulang jam 9 malam.

"Grilled salmond and mashed potato satu, sup buntut dua, nasi goreng kampung satu," Teriakku lantang.

Hotel Harris memang menyediakan kuliner dari dalam maupun luar negeri. Dan aku tak meragukan resep buatan koki di sini, walaupun itu termasuk Ritchie. Mungkin dia memiliki sifat yang sangat mudah untuk kubenci, tapi untuk urusan pekerjaan aku akan memujinya. Dan itu memang kenyataan.

Tio muncul untuk melihat captain order yang kubawa. "Lembur lagi, Van?" tanyanya.

"Nope. Ini tamu terakhir aku. Soalnya balik jam 3 masih berasa siang banget."

Aku tersenyum tipis, aku masih canggung untuk berbicara dengannya setelah kejadian kemarin. Tapi aku juga tak mungkin memperlihatkan rasa tidak sukaku secara terang-terangan. Beruntung ini masih di dalam hotel, karena jika aku sudah di luar hotel aku tak akan melakukan ini.

Tio tersenyum tipis mendengar ucapanku, aku juga tahu ia masih merasa tidak nyaman karena kejadian kemarin. "Ki, handle this." Perintahnya pada Riski, salah satu juniornya yang menurutku sangat cekatan dan bisa dipercaya. Umurnya masih muda, kisaran dua puluh tahun.

"Mau balik bareng?" Ajaknya.

Aku menatapnya sesaat. Ia sepertinya sangat berharap aku mengiyakan permintaan itu.

“Aku masih banyak kerjaan, aku balik ke restoran dulu.”

Beruntunglah Tio yang memiliki tubuh tinggi sehingga bisa dengan mudah menangkap tanganku, dan membuatku berbalik menatapnya, lalu ia menatap sekelilingku juga, memastikan jika tak ada yang melihat kejadian kecil ini yang sangat mampu menyebabkan gosip di satu hotel ini.

“Aku perlu jelasin tentang kemarin.”

Tio menatapku serius, tak ada paksaan dari kalimatnya. Tapi aku tak nyaman dengan suasana ini, dan Tio yang belum melepaskan tangannya juga. Aku sudah sangat cukup dengan gosip yang sudah beredar di hotel tentang aku yang sudah putus dari Ritchie, dan tentu saja bukan gosip yang bagus.

Aku memberinya senyum tipis terbaikku, aku tak mungkin terlihat kesal saat ini. Sangat lelah menjadi aku sebenarnya, tapi aku bisa apa?

“Aku tunggu di basement.”

**

Aku menatap Tio yang sekarang ini sedang lahap menikmati ayam cabe ijo pesanannya di warung tenda di dekat kos ku. Ayam cabe ijo di warung tenda ini memang menu andalan di sini, bahkan banyak orang rela mengantri demi bisa menikmati menu tersebut. Karena kebetulan aku sudah langganan di sini, tak sulit untuk mencari kursi kosong di jam-jam rawan seperti ini. Terkadang memanfaatkan koneksi juga tak buruk.

Aku menyetujui permintaannya karena terpaksa. Aku tak ingin menambah daftar drama yang mungkin akan terjadi, tapi aku juga sedikit menyesalinya. Aku masih sedikit sakit hati dengan perkataannya kemarin, dan tak semudah itu untuk melupakan yang ia lakukan.

Tio menyelesaikan makanan di hadapannya dengan tenang, seolah tak terjadi apapun. Dan aku tak tahu harus merespon seperti apalagi. Apa saat ini aku terlihat seperti wanita gampangan yang pasrah dengan semua pria yang hadir di hidupku?

“Kamu udah selesai, kan? Aku mau balik dulu, biar aku yang traktir kali ini.” Aku segera beranjak dari dudukku, tapi lagi-lagi Tio menarik tanganku.

“Aku belum jelasin sama kamu,”

“Aku cuma setuju karena gak mau ada gosip lain lagi karena kejadian tadi di dapur, aku gak pernah setuju untuk denger penjelasan kamu.”

Mungkin aku hanya kecewa pada diriku sendiri, dan aku sudah terlalu banyak menyalahkan diriku sendiri. Dan perkataanku selalu benar, tentang aku yang tak bisa merasakan kebahagiaan yang utuh dalam satu hari. Pagi tadi aku sangat bahagia karena Lucas dan Dwi, tapi sekarang aku di hadapkan lagi pada kenyataan kalau aku tak bisa sebahagia itu. Dan aku sudah muak dengan semua drama yang terjadi di manapun aku berada.

Aku bukan ratu drama atau sejenisnya, aku hanya seperti ini saja dan drama itu datang begitu saja tanpa aku minta, bayangkan betapa lelahnya hidup seperti itu. Harus berapa banyak lagi kalimat yang aku katakan, agar drama itu berhenti dari hidupku?

Aku segera duduk kembali, tak ingin menarik perhatian orang lain. Walaupun semua pengunjung di sini sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

“Aku minta maaf sama kata-kataku kemarin, aku gak bermaksud buat belain Ritchie. Aku cuman gak mau ada gosip kamu sama Ritchie. Tsania gak sebaik yang kamu kira, dia bisa jadi licik. Dan dia pasti orang pertama yang bahagia atas putusnya kalian.”

“Jadi maksud kamu aku harus tetap pacaran sama Ritchie supaya gak ada gosip, dan aku harus nahan sakit hati setiap liat kedekatan mereka? Bahkan kamu sendiri yang saranin untuk putus sama Ritchie secara gak langsung, ini yang kamu bilang penjelasan?”

Aku berusaha menahan emosiku agar tak berteriak di tempat umum seperti ini, tapi kalimat yang Tio sebut penjelasan ini sama sekali tak menjelaskan apapun.

“Apa mau kamu sebenarnya?” tanyaku padanya.

Tio masih tak menjawab, ia terlihat sangat terluka dan bingung. Sangat aneh melihatnya seperti ini. Ia biasanya ceria, dan selalu menebarkan keceriannya pada semua orang.

“Aku gak mau kamu tersakiti lagi…,”

Aku mengusap wajahku frustasi, aku sangat kesal tapi aku tak bisa menangis. Aku seperti menghadapi Ritchie yang lain, dalam versi yang lebih lembut dan membingungkan. Ia tak perlu melakukan itu jika hanya untuk membuat perasaanku lega.

“Kamu gak perlu ngelakuin itu, aku tahu yang terbaik untuk diriku sendiri. Kamu cuma membuat perasaanku semakin sakit.”

Aku berusaha melepaskan tanganku yang masih ia pegang sejak tadi, tapi ia semakin mengeratkan pegangan itu, sama sekali tak melonggarkannya sedikitpun.

“Aku sudah cukup sakit hati, kamu tak perlu menambahkan rasa sakit itu. Dia bahkan nuduh aku selingkuh sama kamu, sama Lucas, dia berpura-pura menjadi korban. Berusaha membuatku terlihat buruk, dan gosip yang mulai menyebar di hotel. Apa kamu mau nambahin semua daftar itu? Untuk membuat aku terlihat seperti tokoh jahatnya di sini, kamu gak mau ngelakuin itu?”

Air mataku perlahan turun, seiring aku mengatakan kalimat panjang itu. Aku sudah tak peduli sekelilingku. Hatiku sudah terlalu sesak menahan semua rasa sakit ini, dan semua itu berpengaruh pada anggota tubuhku yang lain. Sakitnya tak tertahankan, aku bahkan sama sekali tak pernah membayangkan akan seperti ini.

“Aku selalu bersyukur kamu memilih putus, aku cuma khawatir dengan hal yang akan terjadi setelahnya. Kamu salah paham, Van. Aku kenal Tsania baik, aku tahu selicik apa dia, dan Ritchie. Dan gosip itu, aku yakin itu ulah Tsania.” Tio menggenggam tanganku erat.

Aku sudah terlanjur merasakan sakit yang benar-benar menyesakkan dada, aku tak bisa berpikir dengan jernih. Yang kutahu aku sudah melepaskan diri dari Tio dan segera berjalan keluar dari warung tenda ini. Aku hanya perlu berjalan beberapa menit untuk sampai di kosku.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status