Setelah keributan yang terjadi tadi, aku bergegas menuju kamar mandi. Cermin besar di hadapanku memperlihatkan sosokku sendiri—berantakan, keringat bercampur dengan bercak darah yang masih menempel di wajah dan leher. Beberapa bagian seragamku robek, garis merah tipis terlihat di kulit lengan dan pipiku. Luka-luka kecil, tapi cukup mencolok.
Air mengalir deras dari keran, menetes ke bak wastafel yang dingin. Aku membasuh wajahku berkali-kali, mencoba menghapus jejak pertarungan tadi. Bau logam dari darah masih samar tercium. Sambil menunduk, aku berbisik pelan, seolah menegaskan sesuatu pada diriku sendiri. “Akan ada dua hal yang pasti datang… Mereka akan mengadu ke para guru, atau saat pulang sekolah nanti, mereka akan mengeroyokku.” Aku menghela napas panjang. Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa rasa takut yang berlebihan, hanya sebuah kesadaran yang dingin. Aku sudah cukup tahu cara orang-orang itu bergerak. Mereka tidak akan membiarkan harga diri mereka jatuh tanpa balasan. Setelah membereskan semuanya sebisa mungkin, aku kembali ke kelasku. Saat aku melangkah masuk, lima orang sudah ada di dalam. Mereka sempat menatapku sekilas, seolah penasaran dengan keadaanku, namun segera kembali pada kesibukan mereka masing-masing. Tidak ada pertanyaan, tidak ada teguran. Seolah aku hanyalah bayangan yang sekilas lewat di ruang ini. Laki-laki berambut pirang yang tadi ku tolong hanya melirikku dari bangkunya. Tatapannya mengikuti setiap gerakanku, tetapi ia tidak membuka mulut. Mungkin ia takut menggangguku, atau mungkin ia tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak peduli. Bagiku, diamnya justru lebih baik daripada kata-kata basa-basi yang tidak berarti. Sedari tadi tidak ada satu pun tugas yang diberikan oleh guru. Entah karena para guru tidak Sudi memberikan tugas ke kelas F, atau karena berita tentang keributan di lorong sudah sampai ke telinga mereka. Yang jelas, aku yakin gosip tentangku akan segera menyebar lagi. Aku bisa membayangkan wajah paman dan bibi ketika mendengar kabar itu. Mungkin kecewa, mungkin marah. Lagi-lagi aku akan menjadi beban. Waktu terasa berjalan lambat. Jam dinding terus berdetak, dan akhirnya sore datang. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku untuk tidur di atas meja, mengabaikan suara-suara kecil di kelas. Hingga akhirnya bel pulang berdering, menyelamatkanku dari kebosanan yang mencekik. Aku segera membereskan barang-barang, keluar dari kelas, dan melangkah cepat menuju gerbang sekolah. Ada rasa waspada di dadaku. Aku tahu skenario terburuk bisa saja terjadi. Itulah sebabnya aku berusaha pulang lebih cepat dari biasanya. Di sepanjang trotoar, langkahku terburu-buru. Aku melewati gang demi gang, lorong demi lorong. Matahari sudah condong ke barat, bayangan bangunan memanjang, menambah kesan suram pada perjalanan pulang. Namun takdir seakan tidak pernah berpihak padaku. Skenario yang tadi kubayangkan akhirnya benar-benar terjadi. Di ujung sebuah gang sempit, mereka sudah menungguku. Orang-orang munafik itu. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari sebelumnya—tujuh belas orang. Wajah-wajah penuh amarah, tubuh-tubuh besar yang bersiap menyerang. Beberapa dari mereka bahkan membawa pemukul baseball, besi panjang, dan kayu. Semuanya jelas tidak berniat untuk sekadar menakut-nakuti. Aku berhenti melangkah. Nafasku panjang, mataku menatap lurus pada mereka. Tidak ada kejutan, tidak ada keterkejutan. Hanya kesadaran pahit. “Hah… padahal aku ingin berhenti,” ucapku pelan. Aku melepaskan gendongan tasku, menaruhnya dengan hati-hati di tanah. Gerombolan itu mulai tertawa mengejek, suara mereka seperti serigala yang mengelilingi mangsa. Namun mereka tidak tahu, aku bukan sekadar mangsa yang pasrah. Aku merogoh isi tasku. Dari dalam, kutarik keluar dua batang linggis besi yang selalu kubawa setiap saat. Dinginnya logam itu langsung terasa di telapak tanganku, memberi sensasi yang aneh: menenangkan, tapi juga menyalakan bara di dadaku. Suasana hening sesaat. Mereka memandangku dengan tatapan kaget, beberapa di antaranya mundur setengah langkah. Namun pemimpin mereka—aku mengenal wajahnya, siswa berkacamata tinggi yang tadi ku pukul—mendorong mereka maju. “Jangan takut! Dia cuma sok berani. Hajar dia!” teriaknya lantang. Dan seperti komando, tujuh belas orang itu mulai bergerak bersamaan. Aku menarik napas dalam, menegakkan tubuh. Adrenalin kembali meluap, menguasai setiap detak jantung. Inilah saatnya—pertarungan sesungguhnya. Yang pertama datang mencoba menebas dengan pemukul baseball. Aku melangkah ke samping, linggis di tanganku kanan berputar cepat, menghantam pergelangan tangannya. Pemukul terlepas, jatuh berisik ke tanah. Aku mendorong bahunya keras hingga ia terhuyung jatuh ke belakang. Dua orang lainnya segera maju. Aku menangkis serangan dengan linggis kiri, lalu menyabetkan linggis kanan ke arah perut lawan. Ia terbungkuk, napasnya tercekat. Sementara yang satu lagi mencoba menyerang dari samping, aku memutar tubuh, lututku menghantam perutnya, membuatnya tersungkur ke tanah. Keributan semakin menjadi. Suara teriakan, langkah kaki, dentingan logam beradu memenuhi gang. Aku dikepung dari berbagai arah, tapi gerakanku tetap tenang—efisien, terukur. Tidak ada gerakan sia-sia. Setiap ayunan linggis, setiap tendangan, selalu mengenai titik lemah. Satu demi satu mereka roboh. Ada yang terkapar memegangi lengan, ada yang tersungkur karena kehabisan napas. Namun jumlah mereka terlalu banyak. Beberapa pukulan mengenai tubuhku—pundak, punggung, bahkan pipi. Rasa sakitnya tajam, tapi aku bertahan. Aku sudah terlalu terbiasa dengan rasa sakit untuk membiarkannya menghentikan ku. Seorang dengan tubuh besar maju sambil mengayunkan kayu panjang. Aku menangkisnya dengan kedua linggis sekaligus, lalu menendang lututnya dari samping. Suara retakan kecil terdengar, ia menjerit dan jatuh. Darah mulai mengalir dari sudut bibirku. Aku mengusapnya dengan punggung tangan, lalu kembali bersiap. Mereka mulai ragu, namun dipaksa oleh pemimpin mereka untuk terus maju. “Tangkap dia! Jangan biarkan dia kabur!” teriak si berkacamata. Aku mengangkat kedua linggis, berdiri tegak di tengah lingkaran mereka. Nafasku berat, tapi mataku menyala dingin. “Kalau kalian benar-benar ingin menjatuhkan ku… maka bersiaplah untuk jatuh lebih dulu.” Aku melangkah maju lagi. Pertarungan berlanjut, semakin brutal, semakin liar. Setiap detik terasa panjang, setiap serangan seperti tarian kematian di lorong sempit itu. Aku tidak melawan demi kebanggaan, tidak juga demi status. Aku hanya melawan karena aku muak. Muak dengan kesombongan mereka, muak dengan dunia yang selalu memandangku rendah, muak dengan semua kepalsuan ini. Satu demi satu mereka kembali tumbang, hingga jumlah mereka semakin berkurang. Aku sendiri pun mulai terengah, tubuhku penuh lebam, tapi aku masih berdiri. Dan ketika matahari akhirnya tenggelam di balik atap gang, hanya beberapa dari mereka yang masih bisa berdiri tegak. Tatapan mereka tidak lagi sama—tidak lagi penuh kesombongan. Yang tersisa hanyalah ketakutan, campur aduk dengan kebencian yang tak mampu mereka lampiaskan. Aku menurunkan kedua linggis, darah menetes dari ujungnya. Dengan langkah goyah tapi pasti, aku mengambil kembali tasku. Pertarungan mungkin belum selesai. Mereka bisa kembali suatu hari nanti, dengan jumlah lebih banyak, dengan senjata lebih berbahaya. Tapi hari ini, aku masih berdiri. Dan itu cukup. Aku menatap mereka sekali lagi, lalu berbalik, meninggalkan gang itu tanpa sepatah kata pun. Hanya sunyi dan langkah kakiku yang terdengar. “Hah…” aku menghela napas, suara itu nyaris tenggelam dalam senja. “Padahal aku benar-benar ingin berhenti.” Namun sepertinya, dunia ini tidak pernah mengizinkanku. Ku bergegas pergi meninggalkan tempat itu sesegera mungkin sebelum petugas kepolisian datang. masalah ini akan menjadi lebih besar.Hari sudah mulai gelap. Lampu-lampu jalan di sekitar rumah mulai menyala, memantulkan cahaya kuning pucat yang menyerupai warna luka di tubuhku. Setiap langkah yang kuambil terasa berat. Setiap napas yang kutarik membuat dada terasa sesak. Di beberapa bagian tubuhku masih ada luka akibat pertarungan tadi; memar di bahu, goresan panjang di lengan, dan darah yang sudah mulai mengering di ujung bibir. Aku bahkan ragu jika harus pulang ke rumah paman dan bibi dalam keadaan seperti ini.Aku berdiri di depan rumah. Rumah itu terlihat hangat dari luar; jendela-jendela memancarkan cahaya lampu yang lembut, suara televisi samar terdengar dari dalam. Semua itu seolah menunjukkan kehidupan yang normal dan tenang—sesuatu yang terasa jauh dari diriku. Aku menatap pintu depan dengan pandangan kosong, keraguan tak kunjung reda.Apa aku harus kembali?Mengapa aku harus kembali jika diriku yang bobrok ini selalu saja berkelahi?Mengapa aku harus membuat mereka kecewa lagi?Aku menarik napas panjang. H
Setelah keributan yang terjadi tadi, aku bergegas menuju kamar mandi. Cermin besar di hadapanku memperlihatkan sosokku sendiri—berantakan, keringat bercampur dengan bercak darah yang masih menempel di wajah dan leher. Beberapa bagian seragamku robek, garis merah tipis terlihat di kulit lengan dan pipiku. Luka-luka kecil, tapi cukup mencolok.Air mengalir deras dari keran, menetes ke bak wastafel yang dingin. Aku membasuh wajahku berkali-kali, mencoba menghapus jejak pertarungan tadi. Bau logam dari darah masih samar tercium. Sambil menunduk, aku berbisik pelan, seolah menegaskan sesuatu pada diriku sendiri.“Akan ada dua hal yang pasti datang… Mereka akan mengadu ke para guru, atau saat pulang sekolah nanti, mereka akan mengeroyokku.”Aku menghela napas panjang. Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa rasa takut yang berlebihan, hanya sebuah kesadaran yang dingin. Aku sudah cukup tahu cara orang-orang itu bergerak. Mereka tidak akan membiarkan harga diri mereka jatuh tanpa balasan.
Sebelum bel istirahat berdering, menandakan waktu istirahat hampir usai, aku berniat kembali ke kelasku. Perlahan aku meninggalkan keramaian kantin, kedua tangan kuselipkan ke dalam saku celana. Langkahku pelan, pikiran masih berputar tentang roti yang baru saja kubayar dan tatapan-tatapan yang menyisakan rasa aneh di dada. Tiba-tiba, langkahku terhenti tepat di sebelah lorong. Dari celah pintu terdengar suara keributan—teriakan, ejekan, dan suara dentingan yang membuat punggungku merinding. Rasa penasaran menarikku. Tanpa basa-basi, aku berjalan ke sumber suara itu. Di depanku terlihat kerumunan siswa laki-laki. Lencana mereka menunjukkan kelas A; rapi, seragam disetrika, wangi parfum yang menempel saat jarak mereka semakin dekat. Mereka memang dikenal—cerdas, populer, dan arogan. Sejenak aku berniat menghindar, tapi sesuatu menyentak di dalam hatiku ketika aku melihat sosok yang dipukuli; pria itu tampak familiar. Tubuhnya kurus, rambut pirang—dia adalah siswa sekelasku. Wajahny
Aku mengangkat sedikit kepalaku, terbangun dari tidur yang cukup lelap. Pandanganku yang masih dipenuhi rasa kantuk perlahan mulai terasa lebih jelas. Kulirik sekeliling, ternyata semua orang di kelas sudah pergi. Mungkin sekarang memang sudah jam istirahat. Jam dinding menunjukan pukul 10.30. Sepertinya aku benar-benar tidur cukup lama. Kedua tanganku kuangkat tinggi-tinggi, mencoba merenggangkan otot-otot yang kaku agar sedikit lebih reda. “Pergi ke kantin sepertinya tidak buruk,” gumamku pelan. Langkah kakiku menapaki permukaan lantai kelas yang kotor dan menjijikkan. Setiap kali aku melangkah, terdengar suara gesekan dari tanah kering yang menumpuk di sudut-sudut lantai. Aku sempat melirik ke arah kelas lain; mereka terlihat jauh lebih bersih, nyaman, dan enak dipandang—sangat berbeda dengan kelasku yang suram. Suasana jam istirahat di luar begitu riuh. Semua siswa saling menyapa, tertawa, berkumpul untuk membagikan cerita, bahkan bermain dengan riang. Aku hanya bisa menatap p
Pagi itu, seperti biasa, matahari terbit dari timur. Sinar hangatnya perlahan menyelimuti bumi, berpadu dengan semilir angin yang menyejukkan suasana. Di lingkungan sekolah, para siswa sibuk berlalu-lalang dengan kesibukan masing-masing. Sepertinya pagi ini memang indah. Namun, seperti biasa, keindahan itu tidak berarti apa-apa bagiku. Namaku Riley. Hanya Riley. Tidak ada nama belakang, tidak ada status, tidak ada keluarga yang bisa kubanggakan. Di sekolah, orang-orang memanggilku berandalan tak tahu diri. Yah… mereka tidak salah. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan. Bagi mereka aku hanyalah masalah berjalan, dan aku pun tidak berusaha menyangkalnya. Hari ini, meski langit begitu cerah, hatiku tetap dipenuhi kegelapan yang tidak pernah mau pergi. Setiap hari, para siswa menjaga jarak dariku. Teman? Aku tidak punya. Hanya ada beberapa orang bodoh yang kadang bisa kuperalat untuk mencapai tujuan tertentu. Aku sekarang duduk di bangku kelas dua SMA, usiaku baru