Home / Romansa / Pilihan Untuk Menjadi Baik / bersiap untuk situasi mendatang

Share

bersiap untuk situasi mendatang

Author: Gray
last update Last Updated: 2025-10-01 16:29:29

Setelah keributan yang terjadi tadi, aku bergegas menuju kamar mandi. Cermin besar di hadapanku memperlihatkan sosokku sendiri—berantakan, keringat bercampur dengan bercak darah yang masih menempel di wajah dan leher. Beberapa bagian seragamku robek, garis merah tipis terlihat di kulit lengan dan pipiku. Luka-luka kecil, tapi cukup mencolok.

Air mengalir deras dari keran, menetes ke bak wastafel yang dingin. Aku membasuh wajahku berkali-kali, mencoba menghapus jejak pertarungan tadi. Bau logam dari darah masih samar tercium. Sambil menunduk, aku berbisik pelan, seolah menegaskan sesuatu pada diriku sendiri.

“Akan ada dua hal yang pasti datang… Mereka akan mengadu ke para guru, atau saat pulang sekolah nanti, mereka akan mengeroyokku.”

Aku menghela napas panjang. Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa rasa takut yang berlebihan, hanya sebuah kesadaran yang dingin. Aku sudah cukup tahu cara orang-orang itu bergerak. Mereka tidak akan membiarkan harga diri mereka jatuh tanpa balasan.

Setelah membereskan semuanya sebisa mungkin, aku kembali ke kelasku. Saat aku melangkah masuk, lima orang sudah ada di dalam. Mereka sempat menatapku sekilas, seolah penasaran dengan keadaanku, namun segera kembali pada kesibukan mereka masing-masing. Tidak ada pertanyaan, tidak ada teguran. Seolah aku hanyalah bayangan yang sekilas lewat di ruang ini.

Laki-laki berambut pirang yang tadi ku tolong hanya melirikku dari bangkunya. Tatapannya mengikuti setiap gerakanku, tetapi ia tidak membuka mulut. Mungkin ia takut menggangguku, atau mungkin ia tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak peduli. Bagiku, diamnya justru lebih baik daripada kata-kata basa-basi yang tidak berarti.

Sedari tadi tidak ada satu pun tugas yang diberikan oleh guru. Entah karena para guru tidak Sudi memberikan tugas ke kelas F, atau karena berita tentang keributan di lorong sudah sampai ke telinga mereka. Yang jelas, aku yakin gosip tentangku akan segera menyebar lagi. Aku bisa membayangkan wajah paman dan bibi ketika mendengar kabar itu. Mungkin kecewa, mungkin marah. Lagi-lagi aku akan menjadi beban.

Waktu terasa berjalan lambat. Jam dinding terus berdetak, dan akhirnya sore datang. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku untuk tidur di atas meja, mengabaikan suara-suara kecil di kelas. Hingga akhirnya bel pulang berdering, menyelamatkanku dari kebosanan yang mencekik.

Aku segera membereskan barang-barang, keluar dari kelas, dan melangkah cepat menuju gerbang sekolah. Ada rasa waspada di dadaku. Aku tahu skenario terburuk bisa saja terjadi. Itulah sebabnya aku berusaha pulang lebih cepat dari biasanya.

Di sepanjang trotoar, langkahku terburu-buru. Aku melewati gang demi gang, lorong demi lorong. Matahari sudah condong ke barat, bayangan bangunan memanjang, menambah kesan suram pada perjalanan pulang. Namun takdir seakan tidak pernah berpihak padaku.

Skenario yang tadi kubayangkan akhirnya benar-benar terjadi.

Di ujung sebuah gang sempit, mereka sudah menungguku. Orang-orang munafik itu. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari sebelumnya—tujuh belas orang. Wajah-wajah penuh amarah, tubuh-tubuh besar yang bersiap menyerang. Beberapa dari mereka bahkan membawa pemukul baseball, besi panjang, dan kayu. Semuanya jelas tidak berniat untuk sekadar menakut-nakuti.

Aku berhenti melangkah. Nafasku panjang, mataku menatap lurus pada mereka. Tidak ada kejutan, tidak ada keterkejutan. Hanya kesadaran pahit.

“Hah… padahal aku ingin berhenti,” ucapku pelan.

Aku melepaskan gendongan tasku, menaruhnya dengan hati-hati di tanah. Gerombolan itu mulai tertawa mengejek, suara mereka seperti serigala yang mengelilingi mangsa. Namun mereka tidak tahu, aku bukan sekadar mangsa yang pasrah.

Aku merogoh isi tasku. Dari dalam, kutarik keluar dua batang linggis besi yang selalu kubawa setiap saat. Dinginnya logam itu langsung terasa di telapak tanganku, memberi sensasi yang aneh: menenangkan, tapi juga menyalakan bara di dadaku.

Suasana hening sesaat. Mereka memandangku dengan tatapan kaget, beberapa di antaranya mundur setengah langkah. Namun pemimpin mereka—aku mengenal wajahnya, siswa berkacamata tinggi yang tadi ku pukul—mendorong mereka maju.

“Jangan takut! Dia cuma sok berani. Hajar dia!” teriaknya lantang.

Dan seperti komando, tujuh belas orang itu mulai bergerak bersamaan.

Aku menarik napas dalam, menegakkan tubuh. Adrenalin kembali meluap, menguasai setiap detak jantung. Inilah saatnya—pertarungan sesungguhnya.

Yang pertama datang mencoba menebas dengan pemukul baseball. Aku melangkah ke samping, linggis di tanganku kanan berputar cepat, menghantam pergelangan tangannya. Pemukul terlepas, jatuh berisik ke tanah. Aku mendorong bahunya keras hingga ia terhuyung jatuh ke belakang.

Dua orang lainnya segera maju. Aku menangkis serangan dengan linggis kiri, lalu menyabetkan linggis kanan ke arah perut lawan. Ia terbungkuk, napasnya tercekat. Sementara yang satu lagi mencoba menyerang dari samping, aku memutar tubuh, lututku menghantam perutnya, membuatnya tersungkur ke tanah.

Keributan semakin menjadi. Suara teriakan, langkah kaki, dentingan logam beradu memenuhi gang. Aku dikepung dari berbagai arah, tapi gerakanku tetap tenang—efisien, terukur. Tidak ada gerakan sia-sia. Setiap ayunan linggis, setiap tendangan, selalu mengenai titik lemah.

Satu demi satu mereka roboh. Ada yang terkapar memegangi lengan, ada yang tersungkur karena kehabisan napas. Namun jumlah mereka terlalu banyak. Beberapa pukulan mengenai tubuhku—pundak, punggung, bahkan pipi. Rasa sakitnya tajam, tapi aku bertahan. Aku sudah terlalu terbiasa dengan rasa sakit untuk membiarkannya menghentikan ku.

Seorang dengan tubuh besar maju sambil mengayunkan kayu panjang. Aku menangkisnya dengan kedua linggis sekaligus, lalu menendang lututnya dari samping. Suara retakan kecil terdengar, ia menjerit dan jatuh.

Darah mulai mengalir dari sudut bibirku. Aku mengusapnya dengan punggung tangan, lalu kembali bersiap. Mereka mulai ragu, namun dipaksa oleh pemimpin mereka untuk terus maju.

“Tangkap dia! Jangan biarkan dia kabur!” teriak si berkacamata.

Aku mengangkat kedua linggis, berdiri tegak di tengah lingkaran mereka. Nafasku berat, tapi mataku menyala dingin.

“Kalau kalian benar-benar ingin menjatuhkan ku… maka bersiaplah untuk jatuh lebih dulu.”

Aku melangkah maju lagi. Pertarungan berlanjut, semakin brutal, semakin liar. Setiap detik terasa panjang, setiap serangan seperti tarian kematian di lorong sempit itu. Aku tidak melawan demi kebanggaan, tidak juga demi status. Aku hanya melawan karena aku muak. Muak dengan kesombongan mereka, muak dengan dunia yang selalu memandangku rendah, muak dengan semua kepalsuan ini.

Satu demi satu mereka kembali tumbang, hingga jumlah mereka semakin berkurang. Aku sendiri pun mulai terengah, tubuhku penuh lebam, tapi aku masih berdiri.

Dan ketika matahari akhirnya tenggelam di balik atap gang, hanya beberapa dari mereka yang masih bisa berdiri tegak. Tatapan mereka tidak lagi sama—tidak lagi penuh kesombongan. Yang tersisa hanyalah ketakutan, campur aduk dengan kebencian yang tak mampu mereka lampiaskan.

Aku menurunkan kedua linggis, darah menetes dari ujungnya. Dengan langkah goyah tapi pasti, aku mengambil kembali tasku.

Pertarungan mungkin belum selesai. Mereka bisa kembali suatu hari nanti, dengan jumlah lebih banyak, dengan senjata lebih berbahaya. Tapi hari ini, aku masih berdiri. Dan itu cukup.

Aku menatap mereka sekali lagi, lalu berbalik, meninggalkan gang itu tanpa sepatah kata pun. Hanya sunyi dan langkah kakiku yang terdengar.

“Hah…” aku menghela napas, suara itu nyaris tenggelam dalam senja. “Padahal aku benar-benar ingin berhenti.”

Namun sepertinya, dunia ini tidak pernah mengizinkanku.

Ku bergegas pergi meninggalkan tempat itu sesegera mungkin sebelum petugas kepolisian datang. masalah ini akan menjadi lebih besar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   dia?

    beberapa saat kemudian seseorang memasuki kelas yang sudah dianggap hilang dari sekolah ini. tampak seorang perempuan pendek tetapi muda membawa setumpuk buku yang ada didepannya. semua orang dikelas ini tampak menatap sekilas perempuan itu sebelum akhirnya tidak memperdulikannya lagi. aku sangat mengetahui wanita itu adalah orang yang menabrakku sebelumnya karena ketidaksengajaan dan situasi yang diluar dugaan. "selamat pagi semuanya!" serunya. tapi aku mendengar ketegasan dibalik suaranya itu. semua orang reflek menghadap kedepan sesudah mendengar sapaan pagi dari orang baru yang berdiri didepan. "halo semuanya! saya akan memperkenalkan diri terlebih dahulu." katanya riang, tapi aku tahu jika itu hanya dibuat-buat olehnya saja. "perkenalkan nama saya adalan Arina. di sini tanggung jawab saya adalah sebagai wali kelas baru di kelas ini. " setelah dia mengucapkan itu dengan penuh semangat, tampak semua siswa tidak menggubrisnya sama sekali. padahal dia sudah susah-susah memak

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   kawan baru

    pagi itu aku sudah bersiap untuk berangkat kesekolah. setiap langkah perjalananku selalu berpapasan dengan orang yang sangat sibuk. beberapa menit kemudian akhirnya aku sampai disekolahan. aku hanya berharap tidak ada orang yang akan mengangguku, atau kuhabisi saja mereka? yah itu akan membuatku repot nantinya. saat aku memasuki kelas, di sana duduklah seorang laki-laki berambut keperakan tengah sibuk dengan dunianya. jari-jarinya memainkan layar ponsel setiap detik tanpa henti. aku tidak terlalu memperdulikannya, bahkan sepertinya tidak perlu untuk berkenalan dengannya. aku segera duduk di bangku yang sudah kupilih beberapa Minggu sebelumnya saat awal-awal masuk ke sekolah ini. oh benar, sepertinya kelas ini akan ada seorang wali kelas yang mengajar. aku tahu pihak sekolah ini mengirim guru amatiran untuk membimbing para siswa aneh ini. mungkin pihak sekolah ini berniat untuk membuat pengajar baru itu menyerah hingga mengundurkan diri dari sekolah ini... dunia ini memang tida

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   hari yang biasa saja

    Aku mencoba menawarkan diri untuk mengantarkannya sampai kerumah. aku berpikiran dia akan menerima tawaranku. jika dia tidak bisa berjalan mungkin aku akan menggendongnya menggunakan punggungku. "Bagaimana jika kau kuantar pulang?" "tidak perlu, aku akan menelpon seseorang yang akan menjemputku," jawabnya dengan suara datar, aku sedikit kecewa karena tidak bisa mempraktekkan adegan yang kupikirkan seperti di novel romansa yang pernah kubaca dulu. "Seharusnya aku menggendongmu," ucapku spontan, membuat dia terlihat kesal setelah mendengar kalimatku. "Cepat pergi keluar. Sekarang!" bentaknya hingga membuatku kaget. ternyata ada orang sepertinya yang suka merubah perasaanya dalam sekejap. karena permintaanya akupun keluar tanpa pikir panjang, siapa juga yang peduli dengannya? ah... idiot ini memang tidak pernah peduli. aku pun berjalan melewati lorong bangunan sekolah dengan langkah yang santai. saat ini aku berniat untuk tidak pulang secara langsung, mungkin jalan-jala

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   orang yang berani berbicara padaku

    Setelah aku membawa gadis itu ke ruangan UKS, sesegera mungkin aku mencari obat yang ada di kotak P3K. Aku kurang paham bagaimana cara mengobati luka, tetapi aku ingat beberapa orang yang pernah mengobati luka. "Oh benar, aku harus menggunakan es batu," ucapku pelan setelah teringat cara mengatasi kaki terkilir. Menggunakan es batu pasti akan meredakan rasa nyeri yang ada. Gadis itu sedari tadi hanya diam tanpa berbicara sepatah kata pun setelah kugendong paksa kemari. Tapi aku berpura-pura tidak melihatnya saat ia mencuri-curi pandang ke arahku. Karena di ruangan ini tidak ada es, aku berencana mencarinya di kantin sekolah untuk mendapatkannya. Aku akan meninggalkannya sebentar di ruangan ini. "Hei... mau ke mana kau?" Aku menoleh sedikit ke arahnya. "Ada hal yang perlu kuambil. Jangan ke mana-mana." Namun sebelum aku meraih gagang pintu, dia kembali berteriak dengan nada yang tinggi. "A-Aku! Akan melaporkan dirimu jika macam-macam denganku!" serunya. Dia bahkan memegangi bagia

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   Pandangan pertama

    Aku segera mengambil tas yang berada di atas meja dan buru-buru untuk segera keluar dari kelas yang sangat sunyi meski kekesalan masih tersisa di dalam diriku. Siapa sangka hari ini hari cuti bersama, pantas saja aku tidak melihat orang-orang yang sibuk ingin berangkat kerja. tapi pemandangan itu malah di gantikan oleh pemandangan Kakek-kakek aneh yang membuatku jengkel. setiap lorong demi lorong yang sunyi hanya di isi oleh suara langkah kakiku yang menggema di sepanjang lantai. dalam hati aku ingin menghajar bocah itu karena telah berani menipuku setelah kesabaran yang kucurahkan ini sangat luas. "menyebalkan... apa gak ada hal yang menarik gitu?" ucapku untuk memecah keheningan di sepanjang lorong. aku pun berbelok di persimpangan lorong yang cukup gelap— Brukk!!! "aduhhh!'" aku agar sedikit terpental saat menabrak sesuatu hal yang tidak terduga. saat pandanganku teralihkan, seorang gadis cantik nan anggun berambut hitam yang berkilau saat terkena sedikit sedikit cahaya m

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   Aku Terlalu Bodoh

    Pagi itu seperti biasa, aku berangkat kesekolah pagi-pagi sekali karena jaraknya lumayan jauh. Karena ini kesempatan terakhir aku bersekolah aku merasa tidak pantas jika menyia-nyiakan usaha yang telah di lakukan oleh paman dan bibiku. ‎ ‎Saat ini di halte bus terasa sangat sepi, hanya ada diriku yang berdiri setia menunggu bus datang dari arah timur. Biasanya setiap hari aku selalu melihat halte ini ramai di penuhi orang-orang yang sibuk menggapai masadepan mereka. ‎ ‎Aku menoleh ke arah timur berharap bus segera muncul. di sisi lain aku mencoba memainkan ponsel baru yang di berikan oleh Lia. dia memberikan ini dengan alasan bahwa aku akan selalu di awasi olehnya. yahh... meski diriku yang bodoh ini kurang paham untuk menggunakan semacam teknologi. saat aku terlalu fokus cara mengirim pesan kepada seseorang—bus berukuran sedang sudah berhenti di depanku. "tiba-tiba banget udah didepanku." aku segera naik kedalam bus dan mencari tempat duduk yang serasa nyaman untukku. a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status