Share

terulang kembali

Penulis: Gray
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-01 14:07:35

Sebelum bel istirahat berdering, menandakan waktu istirahat hampir usai, aku berniat kembali ke kelasku. Perlahan aku meninggalkan keramaian kantin, kedua tangan kuselipkan ke dalam saku celana. Langkahku pelan, pikiran masih berputar tentang roti yang baru saja kubayar dan tatapan-tatapan yang menyisakan rasa aneh di dada.

Tiba-tiba, langkahku terhenti tepat di sebelah lorong. Dari celah pintu terdengar suara keributan—teriakan, ejekan, dan suara dentingan yang membuat punggungku merinding. Rasa penasaran menarikku. Tanpa basa-basi, aku berjalan ke sumber suara itu.

Di depanku terlihat kerumunan siswa laki-laki. Lencana mereka menunjukkan kelas A; rapi, seragam disetrika, wangi parfum yang menempel saat jarak mereka semakin dekat. Mereka memang dikenal—cerdas, populer, dan arogan. Sejenak aku berniat menghindar, tapi sesuatu menyentak di dalam hatiku ketika aku melihat sosok yang dipukuli; pria itu tampak familiar.

Tubuhnya kurus, rambut pirang—dia adalah siswa sekelasku. Wajahnya ternoda goresan, baju sekolahnya sobek sedikit, dan matanya menatap kosong saat beberapa dari mereka menendang dan menindasnya dengan tawa kasar.

“Haha, siswa bodoh sepertimu pantas mendapatkannya!” sorak mereka, puas melihat seorang yang dianggap rendah dipermalukan.

Amarah memuncak. Aku benci orang-orang yang munafik—yang menindas karena merasa lebih tinggi, menganggap kasihan sebagai hiburan. Sesuatu di dadaku mendidih; bukan sekadar iri atau takut, tapi kemarahan yang pekat, sejenis naluri protektif yang tak lagi bisa kubendung.

“Hei! Apa yang kalian lakukan?” teriakku. Suaraku memecah kerumunan, membuat beberapa kepala menoleh. Mereka memberi perhatian karena jarang ada yang berani menantang mereka—apalagi aku.

Seorang dari mereka maju. Tinggi, tampan, berkacamata yang memantulkan cahaya koridor. Senyum tipisnya mengandung penghinaan.

“Kau pikir kau siapa? Apa hanya karena berita mengerikan tentangmu kami harus takut?” katanya, nada sinisnya bergema. Kata-katanya menusuk. Memang, gosip tentangku telah menyebar—tapi bukan itu yang membuatku mundur. Kata-katanya seperti memicu sesuatu.

Aku tak pandai berdebat, kata-kata bukan keahlianku. Tapi emosi tak selalu butuh bahasa—kadang cuma tindakan.

“Dasar orang-orang bodoh yang tak tahu diri,” gumamku, lebih pada diriku sendiri ketimbang sebuah provokasi.

Mereka terus mengoceh, menertawakan, menyudutkan pria pirang itu lebih jauh. Aku melihat tubuhnya mengejang, napasnya tersengal. Saat salah satu dari mereka melayangkan pukulan kecil lagi, sesuatu dalam diriku meledak.

Langkahku cepat, tak memberi ruang untuk ragu. Aku maju, menepuk bahu salah satu penindas itu—bukan kata-kata, melainkan tindakan. Seketika itu juga aku memukul wajahnya dengan satu tinju datar—bukan dengan niat membunuh, hanya untuk menghentikannya. Pukulan mengenai hidungnya. Ia terhuyung, darah segar mengalir dari alisnya, dan mulutnya terbuka memekik.

Kerumunan terdiam beberapa detik, lalu berubah jadi hiruk-pikuk marah. Mereka tak terima. Lima, enam tubuh mengerubungi aku sekaligus. Ini bukan soal siapa yang mulia atau siapa yang salah lagi—ini pertarungan, seketika.

Aku merasakan adrenalin memuncak. Naluriku memimpin: satu langkah mundur kecil, menilai jarak, mencari celah. Mereka mengepung, mengayunkan pukulan dan tendangan, tetapi gerakan mereka berulang—sok kuat, namun kurang koordinasi. Aku membalas dengan efisien: satu dorongan keras ke perut, satu tangan menangkis lengan yang hendak memukul, dan sebuah pukulan ke dagu yang membuat salah satu dari mereka terjerembab ke lantai.

Suara benturan sepatu di lantai, teriakan, dan bisik-bisik panik memenuhi lorong. setiap pukulan terasa seperti menambah beban di dadaku. Tapi aku harus bertahan, bukan hanya untuk diriku, melainkan untuk pria pirang itu yang tampak separuh mati ketakutan.

Mereka menyerang bertubi-tubi. Seorang pemuda berusaha memelukku dari belakang, aku memutar badan, siku menekan tulang rusuknya—ia melepaskan pegangan dengan rintihan. Tangan lain mencoba menendang kakiku; aku mengangkat lutut dan menendang balik, membuatnya kehilangan keseimbangan. Sekali, dua kali, aku menerima beberapa pukulan; bukan karena kalah, tetapi karena memilih saat yang tepat untuk membalas dengan lebih keras.

Salah satu dari mereka, yang terlihat paling ganas, maju sambil berteriak. Ia mencakar rambutku. Aku merasakan sedikit rasa sakit. Dengan gerakan cepat aku menangkis kepalanya, lalu memutar tubuh dan mendorongnya hingga ia menabrak tembok. Dentuman itu cukup keras untuk membuat beberapa orang membeku.

Di tengah kekacauan itu, aku melihat pria pirang mencoba bangkit. Wajahnya mengerang, tapi matanya menatapku dengan campuran rasa terima kasih dan malu. Sekilas itu memberiku energi lain—bukan untuk mencari kemenangan, tetapi untuk menghentikan penghinaan.

Aku memusatkan serangan, menandai leader mereka—yang berkacamata. Ia tampak bingung, karena aku bukan lawan biasa; aku tidak berteriak, aku tidak pamer, aku hanya melancarkan serangan yang tepat. . Satu uppercut ringan menghentikan napasnya. Ia terhuyung.

Di luar lorong, beberapa siswa lain mulai berkumpul, suaranya seperti gelombang. Orang dewasa belum datang; bel belum berbunyi. Waktu seolah melambat. Napasku berat, jantungku berdetak keras, setiap otot tegang. Tubuh mereka lebih banyak jumlahnya, tapi collab mereka rapuh—terlalu percaya diri.

Pukulan terakhir yang kulayangkan bukan untuk melukai, hanya untuk memecah semangat. Seorang dari mereka jatuh, memegang pipinya, dan tanpa disangka orang-orang di sekitarnya mulai mundur. Ketika aku masih berdiri, dada berdebar, ada ketegangan di udara—tidak lagi suasana main-main.

Mereka menatapku, beberapa menahan amarah, beberapa terlihat takut. Si berkacamata mengumpulkan wajahnya, menatapku dengan kebencian yang kering. Namun ia tahu, di mata kami berdua, tidak ada lagi kemenangan yang mudah. Dengan tatapan dingin, ia berbalik, menarik teman-temannya, dan kerumunan itu menyebar seperti api yang ditiup angin—pergi, menjauh dari konfrontasi yang tidak ingin mereka teruskan.

Lorong kembali sunyi, hanya suara napas dan desah yang tersisa. Aku terengah, lutut sedikit lemas. Pria pirang itu meraih tanganku, menarikku mendekat, suaranya bergetar ketika berkata, “Terima kasih… kau—”

Aku hanya menggeleng, mencoba menahan rasa yang bercampur antara lega dan kelelahan. Tanganku gemetar sedikit saat aku merapikan kemejanya yang sobek. Darah yang tertinggal di bibir salah satu penindas mengering, tetapi tidak ada yang mengeluh lagi. Mereka telah pergi, meninggalkan bekas—luka kecil, malu, dan kenangan.

Di saat itu, bel istirahat akhirnya berdering, suaranya memantul di lorong panjang. Suasana seolah kembali ke ritme yang semula—siswa berhamburan, percakapan melanjutkan, namun kini ada ruang baru di antara langkah kakiku. Beberapa orang menatapku, namun tidak seperti dulu—mereka tak lagi berbisik, mungkin hanya merenung sejenak tentang apa yang baru saja terjadi.

Aku menarik napas panjang, memandang ke arah pria pirang. Ia tersenyum tipis, luka di pipinya membuatnya tampak rapuh, namun ada sesuatu yang berbeda di matanya—sebuah rasa hormat yang sederhana. Aku mengangguk, kemudian berbalik, melanjutkan langkahku menuju kelas. Langkahku lebih berat, tapi di dalamnya ada ketegasan baru—sesuatu yang bukan sekadar amarah, melainkan pilihan untuk tidak lagi diam ketika yang salah terjadi.

Pria pirang itu masih terengah, tubuhnya gemetar, namun ia mencoba menegakkan diri di hadapanku. Tatapannya penuh rasa terkejut bercampur syukur. Suaranya serak ketika akhirnya ia membuka mulut.

“Terima kasih… kau sudah menolongku.”

Aku menatapnya datar. Nafasku masih berat, telapak tanganku terasa perih karena beberapa kali menghantam wajah orang. Namun di wajahku tak ada senyum, hanya sebuah ekspresi kosong yang tersisa setelah adrenalin sedikit mereda.

“Aku hanya benci orang-orang seperti mereka,” jawabku singkat, suaraku datar tanpa intonasi berlebihan.

Dia terdiam, seolah kalimat sederhana itu punya bobot yang lebih berat dari sekadar ucapan. Matanya menunduk, dan aku bisa melihat jelas rasa malu di wajahnya—bukan hanya karena dipukuli, tapi juga karena ia merasa tidak berdaya hingga harus diselamatkan olehku.

Aku berbalik, memasukkan kembali kedua tanganku ke dalam saku. Lorong yang tadinya penuh keributan kini kembali sepi, hanya menyisakan jejak-jejak kekacauan. Beberapa bercak darah di lantai, seragam robek, dan suara langkah-langkah siswa lain yang menjauh sambil berbisik-bisik pelan.

Pria pirang itu masih berdiri di belakangku, tidak tahu harus berkata apa lagi. Dan aku, seperti biasa, memilih tidak peduli. Bagiku, semua itu tidak lebih dari sebuah pemandangan yang menjijikkan—orang-orang yang merasa tinggi, merendahkan orang lain hanya karena status. Aku muak dengan hal semacam itu.

Aku melanjutkan langkah, tanpa menoleh lagi. Yang tersisa hanyalah suara bel yang masih menggema, memanggil semua orang kembali ke kelas masing-masing.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   sekali lagi aku mengecewakan mereka

    Hari sudah mulai gelap. Lampu-lampu jalan di sekitar rumah mulai menyala, memantulkan cahaya kuning pucat yang menyerupai warna luka di tubuhku. Setiap langkah yang kuambil terasa berat. Setiap napas yang kutarik membuat dada terasa sesak. Di beberapa bagian tubuhku masih ada luka akibat pertarungan tadi; memar di bahu, goresan panjang di lengan, dan darah yang sudah mulai mengering di ujung bibir. Aku bahkan ragu jika harus pulang ke rumah paman dan bibi dalam keadaan seperti ini.Aku berdiri di depan rumah. Rumah itu terlihat hangat dari luar; jendela-jendela memancarkan cahaya lampu yang lembut, suara televisi samar terdengar dari dalam. Semua itu seolah menunjukkan kehidupan yang normal dan tenang—sesuatu yang terasa jauh dari diriku. Aku menatap pintu depan dengan pandangan kosong, keraguan tak kunjung reda.Apa aku harus kembali?Mengapa aku harus kembali jika diriku yang bobrok ini selalu saja berkelahi?Mengapa aku harus membuat mereka kecewa lagi?Aku menarik napas panjang. H

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   bersiap untuk situasi mendatang

    Setelah keributan yang terjadi tadi, aku bergegas menuju kamar mandi. Cermin besar di hadapanku memperlihatkan sosokku sendiri—berantakan, keringat bercampur dengan bercak darah yang masih menempel di wajah dan leher. Beberapa bagian seragamku robek, garis merah tipis terlihat di kulit lengan dan pipiku. Luka-luka kecil, tapi cukup mencolok.Air mengalir deras dari keran, menetes ke bak wastafel yang dingin. Aku membasuh wajahku berkali-kali, mencoba menghapus jejak pertarungan tadi. Bau logam dari darah masih samar tercium. Sambil menunduk, aku berbisik pelan, seolah menegaskan sesuatu pada diriku sendiri.“Akan ada dua hal yang pasti datang… Mereka akan mengadu ke para guru, atau saat pulang sekolah nanti, mereka akan mengeroyokku.”Aku menghela napas panjang. Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa rasa takut yang berlebihan, hanya sebuah kesadaran yang dingin. Aku sudah cukup tahu cara orang-orang itu bergerak. Mereka tidak akan membiarkan harga diri mereka jatuh tanpa balasan.

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   terulang kembali

    Sebelum bel istirahat berdering, menandakan waktu istirahat hampir usai, aku berniat kembali ke kelasku. Perlahan aku meninggalkan keramaian kantin, kedua tangan kuselipkan ke dalam saku celana. Langkahku pelan, pikiran masih berputar tentang roti yang baru saja kubayar dan tatapan-tatapan yang menyisakan rasa aneh di dada. Tiba-tiba, langkahku terhenti tepat di sebelah lorong. Dari celah pintu terdengar suara keributan—teriakan, ejekan, dan suara dentingan yang membuat punggungku merinding. Rasa penasaran menarikku. Tanpa basa-basi, aku berjalan ke sumber suara itu. Di depanku terlihat kerumunan siswa laki-laki. Lencana mereka menunjukkan kelas A; rapi, seragam disetrika, wangi parfum yang menempel saat jarak mereka semakin dekat. Mereka memang dikenal—cerdas, populer, dan arogan. Sejenak aku berniat menghindar, tapi sesuatu menyentak di dalam hatiku ketika aku melihat sosok yang dipukuli; pria itu tampak familiar. Tubuhnya kurus, rambut pirang—dia adalah siswa sekelasku. Wajahny

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   orang bodoh dengan mulut pedasnya

    Aku mengangkat sedikit kepalaku, terbangun dari tidur yang cukup lelap. Pandanganku yang masih dipenuhi rasa kantuk perlahan mulai terasa lebih jelas. Kulirik sekeliling, ternyata semua orang di kelas sudah pergi. Mungkin sekarang memang sudah jam istirahat. Jam dinding menunjukan pukul 10.30. Sepertinya aku benar-benar tidur cukup lama. Kedua tanganku kuangkat tinggi-tinggi, mencoba merenggangkan otot-otot yang kaku agar sedikit lebih reda. “Pergi ke kantin sepertinya tidak buruk,” gumamku pelan. Langkah kakiku menapaki permukaan lantai kelas yang kotor dan menjijikkan. Setiap kali aku melangkah, terdengar suara gesekan dari tanah kering yang menumpuk di sudut-sudut lantai. Aku sempat melirik ke arah kelas lain; mereka terlihat jauh lebih bersih, nyaman, dan enak dipandang—sangat berbeda dengan kelasku yang suram. Suasana jam istirahat di luar begitu riuh. Semua siswa saling menyapa, tertawa, berkumpul untuk membagikan cerita, bahkan bermain dengan riang. Aku hanya bisa menatap p

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   kesempatan terakhir

    Pagi itu, seperti biasa, matahari terbit dari timur. Sinar hangatnya perlahan menyelimuti bumi, berpadu dengan semilir angin yang menyejukkan suasana. Di lingkungan sekolah, para siswa sibuk berlalu-lalang dengan kesibukan masing-masing. Sepertinya pagi ini memang indah. Namun, seperti biasa, keindahan itu tidak berarti apa-apa bagiku. Namaku Riley. Hanya Riley. Tidak ada nama belakang, tidak ada status, tidak ada keluarga yang bisa kubanggakan. Di sekolah, orang-orang memanggilku berandalan tak tahu diri. Yah… mereka tidak salah. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan. Bagi mereka aku hanyalah masalah berjalan, dan aku pun tidak berusaha menyangkalnya. Hari ini, meski langit begitu cerah, hatiku tetap dipenuhi kegelapan yang tidak pernah mau pergi. Setiap hari, para siswa menjaga jarak dariku. Teman? Aku tidak punya. Hanya ada beberapa orang bodoh yang kadang bisa kuperalat untuk mencapai tujuan tertentu. Aku sekarang duduk di bangku kelas dua SMA, usiaku baru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status