Hari sudah mulai gelap. Lampu-lampu jalan di sekitar rumah mulai menyala, memantulkan cahaya kuning pucat yang menyerupai warna luka di tubuhku. Setiap langkah yang kuambil terasa berat. Setiap napas yang kutarik membuat dada terasa sesak. Di beberapa bagian tubuhku masih ada luka akibat pertarungan tadi; memar di bahu, goresan panjang di lengan, dan darah yang sudah mulai mengering di ujung bibir. Aku bahkan ragu jika harus pulang ke rumah paman dan bibi dalam keadaan seperti ini.
Aku berdiri di depan rumah. Rumah itu terlihat hangat dari luar; jendela-jendela memancarkan cahaya lampu yang lembut, suara televisi samar terdengar dari dalam. Semua itu seolah menunjukkan kehidupan yang normal dan tenang—sesuatu yang terasa jauh dari diriku. Aku menatap pintu depan dengan pandangan kosong, keraguan tak kunjung reda. Apa aku harus kembali? Mengapa aku harus kembali jika diriku yang bobrok ini selalu saja berkelahi? Mengapa aku harus membuat mereka kecewa lagi? Aku menarik napas panjang. Hembusannya bergetar. Tanganku yang penuh goresan gemetar sedikit saat menyentuh gagang pintu. Namun akhirnya aku tetap memutarnya, membuka pintu pelan-pelan. Aku memasuki rumah tanpa berniat berbicara dengan siapa pun. Suara pintu tertutup pelan, tapi entah kenapa bunyinya terasa seperti hantaman keras di dalam dadaku. Aku berharap bisa langsung naik ke kamar, meletakkan tas, lalu jatuh di atas kasur tanpa kata-kata. Namun langkahku terhenti. Dari belakangku, bibiku sudah berdiri di sana. Sosoknya kecil, wajahnya lembut, namun sorot matanya membuat dadaku semakin sesak. Seolah ia sudah tahu semuanya sebelum aku sempat bicara. “Nak Rei,” katanya lembut, suaranya gemetar tipis, “apa kamu berkelahi lagi?” Suara itu menembus dinding pertahananku. Lembut, tapi justru menyakitkan. Di sisi hatiku, rasa sesak bertambah. Aku tidak bisa menatap matanya. Aku hanya menunduk, meremas tanganku sendiri sekuat-kuatnya. Kulit telapak tanganku terasa sakit, tapi itu lebih baik daripada rasa bersalah yang menumpuk di dada. Aku tidak mengatakan apa pun. Bibiku masih berdiri di sana, menatapku dengan tatapan yang campur aduk—sedih, khawatir, tapi juga berharap. “Bibi hanya ingin kamu menjadi anak yang baik…” katanya pelan. “Tolong jangan buat pamanmu menjadi sangat kecewa kepadamu.” Aku berhenti di tempat. Kata-kata itu menghantam seperti pukulan yang tidak terlihat. Aku mendengar suaranya, tapi rasanya seperti bergema jauh di dalam kepalaku. Aku bisa merasakan darahku sendiri berdesir, mataku panas, meski aku berusaha keras untuk tidak memperlihatkannya. Aku menggigit bibir, mencoba mencari kata-kata, tapi tidak ada yang keluar. Hanya suara napas ku yang berat, hanya rasa sesak yang semakin menumpuk. Dada terasa sempit, seakan ada sesuatu yang menekan dari dalam. Aku tahu bibiku tidak marah. Aku tahu ia hanya ingin aku baik-baik saja. Tapi entah kenapa, justru kelembutannya yang membuat aku merasa lebih hina. Seperti sedang bercermin pada bayangan diriku sendiri yang kotor, sementara di depanku ada sosok yang tetap tulus meski aku selalu mengecewakan mereka. Aku memalingkan wajah, menahan pandangan. Aku hanya ingin berlari ke kamar, mengunci pintu, dan hilang di balik gelap. Tapi tubuhku tetap kaku di sana, seolah terjebak di antara rasa bersalah dan rasa lelah. Aku meremas tanganku semakin keras, kukuku menekan kulit sampai hampir terasa sakit. Aku ingin berkata sesuatu—bahwa aku berusaha, bahwa aku tidak mencari masalah, bahwa aku bahkan sudah mencoba menahan diri. Tapi yang keluar hanyalah keheningan yang panjang. Di belakangku, bibiku masih berdiri. Aku tidak berani menatapnya lagi. Kata-kata terakhirnya menggantung di udara seperti beban: “Jangan buat pamanmu kecewa…” Aku menarik napas, sekali lagi, mencoba menahan semua yang ingin tumpah. Aku akhirnya melangkah pelan, melewati bibiku tanpa sepatah kata, menuju kamar. Setiap langkah terasa berat, tapi aku tidak berhenti. Di dalam kamar, aku menutup pintu perlahan. Ruangan kecil itu terasa seperti ruang pengakuan dosa. Gelap, sunyi, hanya ada aku dan napas ku sendiri. Aku bersandar di pintu, lututku goyah. Rasa sakit di tubuhku tak seberapa dibandingkan rasa sakit di dalam dada. Kata-kata bibiku terus terngiang, dan di baliknya ada wajah paman yang pasti akan kecewa lagi ketika mendengar apa yang terjadi hari ini. Aku menatap ke arah langit-langit kamar. Cahaya lampu dari luar jendela masuk, membentuk garis-garis samar di dinding. Aku mengangkat tanganku, melihat luka-luka kecil yang menghiasi kulitku. “Aku hanya ingin berhenti…” bisikku pelan, hampir tidak terdengar. Namun aku tahu, kata-kata itu hanyalah bisikan kosong. Di luar sana, dunia tidak peduli pada bisikan semacam itu. Aku merebahkan tubuhku ke atas kasur. Mata terasa berat, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena beban yang terlalu lama kupikul sendirian. Aku memejamkan mata, berharap setidaknya tidur bisa menghentikan semua suara di kepalaku, walau hanya untuk sementara. Dan di luar kamar, aku bisa mendengar langkah kaki bibiku yang perlahan menjauh. Suara itu lembut, penuh kesabaran yang membuat dadaku semakin terasa sesak.Hari sudah mulai gelap. Lampu-lampu jalan di sekitar rumah mulai menyala, memantulkan cahaya kuning pucat yang menyerupai warna luka di tubuhku. Setiap langkah yang kuambil terasa berat. Setiap napas yang kutarik membuat dada terasa sesak. Di beberapa bagian tubuhku masih ada luka akibat pertarungan tadi; memar di bahu, goresan panjang di lengan, dan darah yang sudah mulai mengering di ujung bibir. Aku bahkan ragu jika harus pulang ke rumah paman dan bibi dalam keadaan seperti ini.Aku berdiri di depan rumah. Rumah itu terlihat hangat dari luar; jendela-jendela memancarkan cahaya lampu yang lembut, suara televisi samar terdengar dari dalam. Semua itu seolah menunjukkan kehidupan yang normal dan tenang—sesuatu yang terasa jauh dari diriku. Aku menatap pintu depan dengan pandangan kosong, keraguan tak kunjung reda.Apa aku harus kembali?Mengapa aku harus kembali jika diriku yang bobrok ini selalu saja berkelahi?Mengapa aku harus membuat mereka kecewa lagi?Aku menarik napas panjang. H
Setelah keributan yang terjadi tadi, aku bergegas menuju kamar mandi. Cermin besar di hadapanku memperlihatkan sosokku sendiri—berantakan, keringat bercampur dengan bercak darah yang masih menempel di wajah dan leher. Beberapa bagian seragamku robek, garis merah tipis terlihat di kulit lengan dan pipiku. Luka-luka kecil, tapi cukup mencolok.Air mengalir deras dari keran, menetes ke bak wastafel yang dingin. Aku membasuh wajahku berkali-kali, mencoba menghapus jejak pertarungan tadi. Bau logam dari darah masih samar tercium. Sambil menunduk, aku berbisik pelan, seolah menegaskan sesuatu pada diriku sendiri.“Akan ada dua hal yang pasti datang… Mereka akan mengadu ke para guru, atau saat pulang sekolah nanti, mereka akan mengeroyokku.”Aku menghela napas panjang. Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa rasa takut yang berlebihan, hanya sebuah kesadaran yang dingin. Aku sudah cukup tahu cara orang-orang itu bergerak. Mereka tidak akan membiarkan harga diri mereka jatuh tanpa balasan.
Sebelum bel istirahat berdering, menandakan waktu istirahat hampir usai, aku berniat kembali ke kelasku. Perlahan aku meninggalkan keramaian kantin, kedua tangan kuselipkan ke dalam saku celana. Langkahku pelan, pikiran masih berputar tentang roti yang baru saja kubayar dan tatapan-tatapan yang menyisakan rasa aneh di dada. Tiba-tiba, langkahku terhenti tepat di sebelah lorong. Dari celah pintu terdengar suara keributan—teriakan, ejekan, dan suara dentingan yang membuat punggungku merinding. Rasa penasaran menarikku. Tanpa basa-basi, aku berjalan ke sumber suara itu. Di depanku terlihat kerumunan siswa laki-laki. Lencana mereka menunjukkan kelas A; rapi, seragam disetrika, wangi parfum yang menempel saat jarak mereka semakin dekat. Mereka memang dikenal—cerdas, populer, dan arogan. Sejenak aku berniat menghindar, tapi sesuatu menyentak di dalam hatiku ketika aku melihat sosok yang dipukuli; pria itu tampak familiar. Tubuhnya kurus, rambut pirang—dia adalah siswa sekelasku. Wajahny
Aku mengangkat sedikit kepalaku, terbangun dari tidur yang cukup lelap. Pandanganku yang masih dipenuhi rasa kantuk perlahan mulai terasa lebih jelas. Kulirik sekeliling, ternyata semua orang di kelas sudah pergi. Mungkin sekarang memang sudah jam istirahat. Jam dinding menunjukan pukul 10.30. Sepertinya aku benar-benar tidur cukup lama. Kedua tanganku kuangkat tinggi-tinggi, mencoba merenggangkan otot-otot yang kaku agar sedikit lebih reda. “Pergi ke kantin sepertinya tidak buruk,” gumamku pelan. Langkah kakiku menapaki permukaan lantai kelas yang kotor dan menjijikkan. Setiap kali aku melangkah, terdengar suara gesekan dari tanah kering yang menumpuk di sudut-sudut lantai. Aku sempat melirik ke arah kelas lain; mereka terlihat jauh lebih bersih, nyaman, dan enak dipandang—sangat berbeda dengan kelasku yang suram. Suasana jam istirahat di luar begitu riuh. Semua siswa saling menyapa, tertawa, berkumpul untuk membagikan cerita, bahkan bermain dengan riang. Aku hanya bisa menatap p
Pagi itu, seperti biasa, matahari terbit dari timur. Sinar hangatnya perlahan menyelimuti bumi, berpadu dengan semilir angin yang menyejukkan suasana. Di lingkungan sekolah, para siswa sibuk berlalu-lalang dengan kesibukan masing-masing. Sepertinya pagi ini memang indah. Namun, seperti biasa, keindahan itu tidak berarti apa-apa bagiku. Namaku Riley. Hanya Riley. Tidak ada nama belakang, tidak ada status, tidak ada keluarga yang bisa kubanggakan. Di sekolah, orang-orang memanggilku berandalan tak tahu diri. Yah… mereka tidak salah. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan. Bagi mereka aku hanyalah masalah berjalan, dan aku pun tidak berusaha menyangkalnya. Hari ini, meski langit begitu cerah, hatiku tetap dipenuhi kegelapan yang tidak pernah mau pergi. Setiap hari, para siswa menjaga jarak dariku. Teman? Aku tidak punya. Hanya ada beberapa orang bodoh yang kadang bisa kuperalat untuk mencapai tujuan tertentu. Aku sekarang duduk di bangku kelas dua SMA, usiaku baru