Home / Romansa / Pilihan Untuk Menjadi Baik / sekali lagi aku mengecewakan mereka

Share

sekali lagi aku mengecewakan mereka

Author: Gray
last update Last Updated: 2025-10-01 16:40:33

Hari sudah mulai gelap. Lampu-lampu jalan di sekitar rumah mulai menyala, memantulkan cahaya kuning pucat yang menyerupai warna luka di tubuhku. Setiap langkah yang kuambil terasa berat. Setiap napas yang kutarik membuat dada terasa sesak. Di beberapa bagian tubuhku masih ada luka akibat pertarungan tadi; memar di bahu, goresan panjang di lengan, dan darah yang sudah mulai mengering di ujung bibir. Aku bahkan ragu jika harus pulang ke rumah paman dan bibi dalam keadaan seperti ini.

Aku berdiri di depan rumah. Rumah itu terlihat hangat dari luar; jendela-jendela memancarkan cahaya lampu yang lembut, suara televisi samar terdengar dari dalam. Semua itu seolah menunjukkan kehidupan yang normal dan tenang—sesuatu yang terasa jauh dari diriku. Aku menatap pintu depan dengan pandangan kosong, keraguan tak kunjung reda.

Apa aku harus kembali?

Mengapa aku harus kembali jika diriku yang bobrok ini selalu saja berkelahi?

Mengapa aku harus membuat mereka kecewa lagi?

Aku menarik napas panjang. Hembusannya bergetar. Tanganku yang penuh goresan gemetar sedikit saat menyentuh gagang pintu. Namun akhirnya aku tetap memutarnya, membuka pintu pelan-pelan.

Aku memasuki rumah tanpa berniat berbicara dengan siapa pun. Suara pintu tertutup pelan, tapi entah kenapa bunyinya terasa seperti hantaman keras di dalam dadaku. Aku berharap bisa langsung naik ke kamar, meletakkan tas, lalu jatuh di atas kasur tanpa kata-kata.

Namun langkahku terhenti. Dari belakangku, bibiku sudah berdiri di sana. Sosoknya kecil, wajahnya lembut, namun sorot matanya membuat dadaku semakin sesak. Seolah ia sudah tahu semuanya sebelum aku sempat bicara.

“Nak Rei,” katanya lembut, suaranya gemetar tipis, “apa kamu berkelahi lagi?”

Suara itu menembus dinding pertahananku. Lembut, tapi justru menyakitkan. Di sisi hatiku, rasa sesak bertambah. Aku tidak bisa menatap matanya. Aku hanya menunduk, meremas tanganku sendiri sekuat-kuatnya. Kulit telapak tanganku terasa sakit, tapi itu lebih baik daripada rasa bersalah yang menumpuk di dada.

Aku tidak mengatakan apa pun. Bibiku masih berdiri di sana, menatapku dengan tatapan yang campur aduk—sedih, khawatir, tapi juga berharap.

“Bibi hanya ingin kamu menjadi anak yang baik…” katanya pelan. “Tolong jangan buat pamanmu menjadi sangat kecewa kepadamu.”

Aku berhenti di tempat. Kata-kata itu menghantam seperti pukulan yang tidak terlihat. Aku mendengar suaranya, tapi rasanya seperti bergema jauh di dalam kepalaku. Aku bisa merasakan darahku sendiri berdesir, mataku panas, meski aku berusaha keras untuk tidak memperlihatkannya.

Aku menggigit bibir, mencoba mencari kata-kata, tapi tidak ada yang keluar. Hanya suara napas ku yang berat, hanya rasa sesak yang semakin menumpuk. Dada terasa sempit, seakan ada sesuatu yang menekan dari dalam.

Aku tahu bibiku tidak marah. Aku tahu ia hanya ingin aku baik-baik saja. Tapi entah kenapa, justru kelembutannya yang membuat aku merasa lebih hina. Seperti sedang bercermin pada bayangan diriku sendiri yang kotor, sementara di depanku ada sosok yang tetap tulus meski aku selalu mengecewakan mereka.

Aku memalingkan wajah, menahan pandangan. Aku hanya ingin berlari ke kamar, mengunci pintu, dan hilang di balik gelap. Tapi tubuhku tetap kaku di sana, seolah terjebak di antara rasa bersalah dan rasa lelah.

Aku meremas tanganku semakin keras, kukuku menekan kulit sampai hampir terasa sakit. Aku ingin berkata sesuatu—bahwa aku berusaha, bahwa aku tidak mencari masalah, bahwa aku bahkan sudah mencoba menahan diri. Tapi yang keluar hanyalah keheningan yang panjang.

Di belakangku, bibiku masih berdiri. Aku tidak berani menatapnya lagi. Kata-kata terakhirnya menggantung di udara seperti beban:

“Jangan buat pamanmu kecewa…”

Aku menarik napas, sekali lagi, mencoba menahan semua yang ingin tumpah. Aku akhirnya melangkah pelan, melewati bibiku tanpa sepatah kata, menuju kamar. Setiap langkah terasa berat, tapi aku tidak berhenti.

Di dalam kamar, aku menutup pintu perlahan. Ruangan kecil itu terasa seperti ruang pengakuan dosa. Gelap, sunyi, hanya ada aku dan napas ku sendiri. Aku bersandar di pintu, lututku goyah.

Rasa sakit di tubuhku tak seberapa dibandingkan rasa sakit di dalam dada. Kata-kata bibiku terus terngiang, dan di baliknya ada wajah paman yang pasti akan kecewa lagi ketika mendengar apa yang terjadi hari ini.

Aku menatap ke arah langit-langit kamar. Cahaya lampu dari luar jendela masuk, membentuk garis-garis samar di dinding. Aku mengangkat tanganku, melihat luka-luka kecil yang menghiasi kulitku.

“Aku hanya ingin berhenti…” bisikku pelan, hampir tidak terdengar.

Namun aku tahu, kata-kata itu hanyalah bisikan kosong. Di luar sana, dunia tidak peduli pada bisikan semacam itu.

Aku merebahkan tubuhku ke atas kasur. Mata terasa berat, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena beban yang terlalu lama kupikul sendirian. Aku memejamkan mata, berharap setidaknya tidur bisa menghentikan semua suara di kepalaku, walau hanya untuk sementara.

Dan di luar kamar, aku bisa mendengar langkah kaki bibiku yang perlahan menjauh. Suara itu lembut, penuh kesabaran yang membuat dadaku semakin terasa sesak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   dia?

    beberapa saat kemudian seseorang memasuki kelas yang sudah dianggap hilang dari sekolah ini. tampak seorang perempuan pendek tetapi muda membawa setumpuk buku yang ada didepannya. semua orang dikelas ini tampak menatap sekilas perempuan itu sebelum akhirnya tidak memperdulikannya lagi. aku sangat mengetahui wanita itu adalah orang yang menabrakku sebelumnya karena ketidaksengajaan dan situasi yang diluar dugaan. "selamat pagi semuanya!" serunya. tapi aku mendengar ketegasan dibalik suaranya itu. semua orang reflek menghadap kedepan sesudah mendengar sapaan pagi dari orang baru yang berdiri didepan. "halo semuanya! saya akan memperkenalkan diri terlebih dahulu." katanya riang, tapi aku tahu jika itu hanya dibuat-buat olehnya saja. "perkenalkan nama saya adalan Arina. di sini tanggung jawab saya adalah sebagai wali kelas baru di kelas ini. " setelah dia mengucapkan itu dengan penuh semangat, tampak semua siswa tidak menggubrisnya sama sekali. padahal dia sudah susah-susah memak

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   kawan baru

    pagi itu aku sudah bersiap untuk berangkat kesekolah. setiap langkah perjalananku selalu berpapasan dengan orang yang sangat sibuk. beberapa menit kemudian akhirnya aku sampai disekolahan. aku hanya berharap tidak ada orang yang akan mengangguku, atau kuhabisi saja mereka? yah itu akan membuatku repot nantinya. saat aku memasuki kelas, di sana duduklah seorang laki-laki berambut keperakan tengah sibuk dengan dunianya. jari-jarinya memainkan layar ponsel setiap detik tanpa henti. aku tidak terlalu memperdulikannya, bahkan sepertinya tidak perlu untuk berkenalan dengannya. aku segera duduk di bangku yang sudah kupilih beberapa Minggu sebelumnya saat awal-awal masuk ke sekolah ini. oh benar, sepertinya kelas ini akan ada seorang wali kelas yang mengajar. aku tahu pihak sekolah ini mengirim guru amatiran untuk membimbing para siswa aneh ini. mungkin pihak sekolah ini berniat untuk membuat pengajar baru itu menyerah hingga mengundurkan diri dari sekolah ini... dunia ini memang tida

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   hari yang biasa saja

    Aku mencoba menawarkan diri untuk mengantarkannya sampai kerumah. aku berpikiran dia akan menerima tawaranku. jika dia tidak bisa berjalan mungkin aku akan menggendongnya menggunakan punggungku. "Bagaimana jika kau kuantar pulang?" "tidak perlu, aku akan menelpon seseorang yang akan menjemputku," jawabnya dengan suara datar, aku sedikit kecewa karena tidak bisa mempraktekkan adegan yang kupikirkan seperti di novel romansa yang pernah kubaca dulu. "Seharusnya aku menggendongmu," ucapku spontan, membuat dia terlihat kesal setelah mendengar kalimatku. "Cepat pergi keluar. Sekarang!" bentaknya hingga membuatku kaget. ternyata ada orang sepertinya yang suka merubah perasaanya dalam sekejap. karena permintaanya akupun keluar tanpa pikir panjang, siapa juga yang peduli dengannya? ah... idiot ini memang tidak pernah peduli. aku pun berjalan melewati lorong bangunan sekolah dengan langkah yang santai. saat ini aku berniat untuk tidak pulang secara langsung, mungkin jalan-jala

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   orang yang berani berbicara padaku

    Setelah aku membawa gadis itu ke ruangan UKS, sesegera mungkin aku mencari obat yang ada di kotak P3K. Aku kurang paham bagaimana cara mengobati luka, tetapi aku ingat beberapa orang yang pernah mengobati luka. "Oh benar, aku harus menggunakan es batu," ucapku pelan setelah teringat cara mengatasi kaki terkilir. Menggunakan es batu pasti akan meredakan rasa nyeri yang ada. Gadis itu sedari tadi hanya diam tanpa berbicara sepatah kata pun setelah kugendong paksa kemari. Tapi aku berpura-pura tidak melihatnya saat ia mencuri-curi pandang ke arahku. Karena di ruangan ini tidak ada es, aku berencana mencarinya di kantin sekolah untuk mendapatkannya. Aku akan meninggalkannya sebentar di ruangan ini. "Hei... mau ke mana kau?" Aku menoleh sedikit ke arahnya. "Ada hal yang perlu kuambil. Jangan ke mana-mana." Namun sebelum aku meraih gagang pintu, dia kembali berteriak dengan nada yang tinggi. "A-Aku! Akan melaporkan dirimu jika macam-macam denganku!" serunya. Dia bahkan memegangi bagia

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   Pandangan pertama

    Aku segera mengambil tas yang berada di atas meja dan buru-buru untuk segera keluar dari kelas yang sangat sunyi meski kekesalan masih tersisa di dalam diriku. Siapa sangka hari ini hari cuti bersama, pantas saja aku tidak melihat orang-orang yang sibuk ingin berangkat kerja. tapi pemandangan itu malah di gantikan oleh pemandangan Kakek-kakek aneh yang membuatku jengkel. setiap lorong demi lorong yang sunyi hanya di isi oleh suara langkah kakiku yang menggema di sepanjang lantai. dalam hati aku ingin menghajar bocah itu karena telah berani menipuku setelah kesabaran yang kucurahkan ini sangat luas. "menyebalkan... apa gak ada hal yang menarik gitu?" ucapku untuk memecah keheningan di sepanjang lorong. aku pun berbelok di persimpangan lorong yang cukup gelap— Brukk!!! "aduhhh!'" aku agar sedikit terpental saat menabrak sesuatu hal yang tidak terduga. saat pandanganku teralihkan, seorang gadis cantik nan anggun berambut hitam yang berkilau saat terkena sedikit sedikit cahaya m

  • Pilihan Untuk Menjadi Baik   Aku Terlalu Bodoh

    Pagi itu seperti biasa, aku berangkat kesekolah pagi-pagi sekali karena jaraknya lumayan jauh. Karena ini kesempatan terakhir aku bersekolah aku merasa tidak pantas jika menyia-nyiakan usaha yang telah di lakukan oleh paman dan bibiku. ‎ ‎Saat ini di halte bus terasa sangat sepi, hanya ada diriku yang berdiri setia menunggu bus datang dari arah timur. Biasanya setiap hari aku selalu melihat halte ini ramai di penuhi orang-orang yang sibuk menggapai masadepan mereka. ‎ ‎Aku menoleh ke arah timur berharap bus segera muncul. di sisi lain aku mencoba memainkan ponsel baru yang di berikan oleh Lia. dia memberikan ini dengan alasan bahwa aku akan selalu di awasi olehnya. yahh... meski diriku yang bodoh ini kurang paham untuk menggunakan semacam teknologi. saat aku terlalu fokus cara mengirim pesan kepada seseorang—bus berukuran sedang sudah berhenti di depanku. "tiba-tiba banget udah didepanku." aku segera naik kedalam bus dan mencari tempat duduk yang serasa nyaman untukku. a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status