"Ada, Paa. Aku bisa cariin laki-laki yang bisa diajak kompromi. Temanku kan banyak."
Papa menatap Mama sejenak kemudian kembali menatap Vela. Beliau bimbang harus memutuskan apa karena foto syurku terlanjur diketahui warga perumahan."Apa dengan dia menikah dengan lelaki sembarangan itu, nama baik kita bisa berubah bersih?" tanya Papa pada Vela."Ya kan seenggaknya, tetangga mikirnya kalau Kak Lily tuh udah tidur sama lelaki yang menikahi dia. Lumrah kan, Paa.""Lalu, apa harus pakai acara resepsi juga?""Ya nggak usah lah, Paa. Namanya juga married by accident. Yang penting cepet menikah sebelum ketahuan hamil duluan. Masih untung undangannya sama Kak Ishak belum kesebar."Bagaimana bisa Vela begitu enteng membahas hal ini bersama Papa dihadapanku. Bahkan apapun yang mereka putuskan dan bicarakan, aku sama sekali tidak mampu untuk menyahuti. Selelah itulah raga dan jiwaku ini."Hamil duluan katamu?""Ya mana kutahu, Paa.""Seenggaknya, Lily jangan diusir dari rumah ini. Dia punya autophobia, Paa," Maa berucap."Papa nggak peduli, Maa! Mau dia autophobia atau apalah itu, dia mesti tanggung jawab membersihkan nama baik keluarga kita! Dan satu lagi, bukan berarti setelah menikah dia masih boleh tinggal disini. Tapi setelah menikah, dia mesti pergi dari rumah ini sama suaminya. Entah kemana! Terserah!""Paa!" seru Mama."Papa masih kasih dia kelonggoran waktu buat tidur di rumah ini sampai ada lelaki yang mau menikahi dia! Jadi kalian berdua jangan ngelunjak!" Papa menunjuk wajah Mama dan aku dengan cara yang bengis."Vela, segera cari laki-laki itu! Papa mau dia segera menikah dan pergi dari rumah ini! Bikin malu aja!""Iya, Pa. Besok aku segera bergerak."Setelah Papa berlalu ke dalam rumah, Vela kembali berucap di dekat Mama. Entah mengapa adikku itu terlihat seperti serigala berbulu domba. Padahal saat masih SMA, dia tidak setega ini padaku."Ma, ini adalah jalan terbaik. Mau gimana lagi? Kak Lily emang salah.""Udahlah, Vel. Jangan dibahas.""Ya harus dibahas lah, Ma. Oh ya, Mama maunya lelaki yang model kayak apa? Tapi jangan minta yang terlalu high class ya, Maa. Soalnya mereka itu laki-laki sederhana. Eh, lebih tepatnya lelaki serabutan deh."Melihat cara bicaranya yang seakan-akan begitu senang melihatku terpuruk begini, aku mendadak sungguh sangat membenci Vela."Tega kamu, Vel! Kenapa kamu malah nyaranin hal kayak gitu ke Papa!" seruku."Kak Ly, tega yang gimana maksudnya? Kan bener kalau aku bantuin cari solusi. Andai nggak ada solusi itu, Kakak udah diusir sama Papa malam ini juga! Masih bagus juga aku bantuin cari solusi jadi Kakak masih bisa tidur disini!"Apa yang dia katakan ada benarnya juga. Hanya saja, gaya penyampaiannya terkesan sangat licik dan begitu bahagia diatas deritaku."Kalau tahu kayak gini, aku nggak bakalan mau nganterin kamu ke pesta sialan temanmu malam itu, Vel!" seruku."Jangan nyalahin pesta temanku, Kak! Itu emang salahnya Kak Lily aja jadi cewek gampangan! Buktinya, aku nggak ada masalah tuh."Penyesalan tinggallah penyesalan. Andai malam itu aku tidak mengiyakan ajakannya untuk menemaninya pergi ke salah satu pesta sahabatnya, mungkin aku tidak akan berakhir di kamar dengan seorang lelaki tak dikenal.
"Udah, Vel. Jangan dibahas lagi!" Mama berseru kemudian membantuku berdiri.Saking terlalu lelah dan rapuh raga ini, berjalan pun jika tidak ditopang Mama, mungkin aku akan ambruk di tempat."Aku nggak nyangka loh, Kak. Kalau Kakak sebegitu teganya sama Kak Ishak. Mana sekarang pura-pura terluka lagi."Tanpa memperdulikan ocehan Vela yang sama saja dengan para tetangga, aku memilih mengistirahatkan raga.***Hari ini aku resmi jatuh lara. Tekanan darah yang terlalu rendah membuat kepalaku seakan dipukul gada. Belum lagi tulang yang seakan tak mampu menopang raga.Setelah mendapat obat dari dokter dan mengirimkan bukti surat sakitku ke Bu Dira, aku kembali ke rumah ditemani Mama. Hanya beliau yang selalu ada dan mempercayai pengakuanku jika ujian ini terjadi karena aku dijebak.Karena terlalu berat beban yang melanda, akhirnya aku terlelap cukup lama hingga terdengar kegaduhan dari ruang tengah."Paa! Kalau kamu mau menyelematkan nama baik keluarga, seenggaknya jangan menghancurkan masa depan Lilyah kayak gini!" Mama berteriak keras."Memangnya harus gimana lagi, Ma?! Masih syukur Vela bisa nyariin lelaki secepat ini buat nikahin anak nggak tahu diri itu!""Tapi seenggaknya kita nyariin yang agak mapan hidupnya! Bukan jadi pengamen kayak gitu!""Yang penting ada yang nikahin perempuan kotor kayak dia itu udah bagus! Kalau kamu mau anakmu dinikahi lelaki mapan dan bermartabat, suruh dia ngaca! Kalau dia itu udah nggak suci lagi!"Pertengkaran kedua orang tuaku terus saja terdengar sepanjang hari sejak foto-fotoku bersama lelaki tidak dikenal itu sampai ke tangan Papa. Siapa dalang dari semua ini belum bisa kuungkap."Andai gajiku cukup untuk mandiri, aku nggak apa-apa pergi dari rumah."Kemudian aku kembali terisak dengan kepala masih berdenyut nyeri dari balik pintu kamar."Mau dia berprofesi jadi pengamen, Papa nggak peduli! Yang penting anakmu itu segera pergi dari sini!""Lilyah itu juga anakmu, Pa! Mungkin sekarang kamu masih dibutakan emosi. Tapi suatu saat nanti, ketika kebenaran terungkap, kamu yang akan malu mengemis maaf pada anakmu!"Papa tertawa sumbang dihadapan Mama, "Kamu terlalu baper, Ma! Dibohongi anak sendiri kok percaya aja."Kemudian bel rumah berbunyi dua kali."Nah, itu dia, Paa," Vela melangkah membuka pintu.Papa kembali menatap Mama dengan ekspresi tegasnya, "Suruh anakmu itu keluar.""Untuk apa? Siapa yang kamu undang, Paa?""Panggil aja anakmu itu!" Papa berucap dengan nada sedikit membentak. "Kalau Papa nggak mau bilang tamu itu siapa, lebih baik Lilyah tetap di kamar!" Mama juga tidak mau kalah berargumen dengan Papa. Kemudian Papa menghela nafas kasar sambil berkacak pinggang. Ekspresi wajahnya terlihat menahan emosi yang teramat karena selalu dihadapkan dengan pertengkaran bersama Mama. "Dia ---""Pa, anaknya udah aku persilahkan duduk," Vela menyela obrolan Mama dan Papa dengan wajah sumringah dan bahagiaAdikku telah berubah dengan tidak lagi bersikap manis itu justru bertindak sebagai angin yang terus berhembus di ladang hati Papa yang tengah terbakar. Akibatnya usahaku dan Mama menaburkan air yang tidak seberapa untuk meredam amarah Papa, tidak sepenuhnya berhasil. Alih-alih justru gagal. "Suruh anakmu keluar!"Hanya itu yang Papa katakan lalu aku kembali luruh ke lantai dengan kepala yang masih berdenyut nyeri. Tidak lama kemudian, Mama mengetuk kamarku. Beliau menyuruhku untuk memakai baju
Siapa bilang Lois itu tampan?Jika ada yang bilang dia tampan, mungkin itu adalah kucing betina yang benar-benar buruk rupa hingga tidak ada kucing jantan yang sudi mengajaknya berkencan. Oh ayolah ... Lois, si lelaki yang berprofesi sebagai seniman recehan dengan pendapatan pas-pasan ditunjang dengan wajah yang tidak rupawan. Dia memiliki model rambut yang disisir ke belakang dengan gel murahan, kaos hitam setengah pudar yang dibungkus dengan kemeja flanel biru abu-abu usang dan celana jeans belel yang mulai kelihatan tidak layak dikenakan.Seriuskah Papa akan menghancurkan masa depanku dengan menikahkanku dengannya?! Garis wajahnya sangat minimal sekali, hanya hidung saja yang mancung. Selebihnya dia tidak memiliki daya tarik apapun dan aku berani jamin jika dia berasal dari keluarga yang kastanya lebih rendah dari pada keluargaku. Ini mimpi buruk!Bahkan dia sama sekali tidak jauh lebih baik seujung kuku Ishak. Tunangan yang harus kulepaskan secara paksa karena kebodohanku. Mu
Saat aku hanya diam menatap tangan Lois yang terulur padaku, dengan cepat Mama mengulurkan tangan kananku untuk meraih tangannya. Dengan setengah terkejut, aku menuruti apa yang sudah Mama lakukan. Pasalnya, keinginan untuk mengabaikan pernikahan ini lalu pergi meninggalkan Lois di tengah-tengah acara sudah membayangi pikiranku. Tapi, karena ulah Mama, akhirnya aku menerima tangan Lois lalu menciumnya sekilas dihadapan para petugas agama yang menikahkan kami dan siapa saja yang datang. Setelahnya, aku segera melepas tangan Lois dan ia hanya tersenyum tipis dengan bentuk lengkungan yang membuatku berpikir jika ia sedang menikmati betapa tersiksanya aku melakukan hal ini. Ketika dia datang seperti pahlawan kesiangan yang benar-benar nyata untukku, ingin rasanya satu waktu nanti giliranku yang akan menertawakannya balik. Tunggu saja, Lois!"Pengantin perempuannya masih syok ya kalau udah nikah," ucap petugas urusan agama. "I ... iya, Pak," jawab Mama dengan senyum terpaksanya. Lalu
"Yang menghancurkan masa depanmu, adalah kamu sendiri! Jadi, berhenti menunjuk Papa sebagai orang tua yang nggak benar! Justru menikahkan kamu adalah pilihan terbaik meski harus sama pengamen sekalipun kayak Lois!" ucap Papa kasar. Aku melirik Lois yang bermuka cuek dan masa bodoh meski dihina Papa sedemikian menyakitkan. Dia seakan-akan kenyang dengan segala hinaan orang karena profesinya yang tidak menjanjikan masa depan yang cerah."Ingat Lilyah, kalau fotomu itu udah kesebar di satu kompleks perumahan! Memang lelaki benar mana yang mau menikahi kamu?! Masih syukur Lois mau sama kamu meski ujung-ujungnya dia mau nerima kamu karena duit!" "Dasar anak nggak tahu diri! Ngaca yang bener baru menghardik orang tua! Udah salah, masih protes melulu!" jelas Papa panjang lebar.Selepas mengatakan kekesalannya pada kami berdua, betapa malunya aku dihadapan Lois dan ketiga temannya yang mendengar pertengkaranku dengan Papa. Pernikahan yang baru diselenggarakan, bahkan kurang dari dua jam saj
Lois menunjukkan kardus besar yang disembunyikan di balik tubuh tingginya. Dia mengangkatnya sedikit lebih tinggi dengan ekspresi acuh. "Buat apa kamu bawa kardus kemari?" tanyaku dengan suara serak sehabis menangis. Bahkan aku setengah malu karena dia melihatku dengan kondisi sehabis berurai air mata. Pasti penampilanku sudah jauh dari kata layak dipandang mata. "Pindahan." "Apa maksudnya?" Dia menghela nafas pendek lalu kembali berucap, "Papamu ngasih kardus ini ke aku. Katanya suruh bantuin kamu packing dari sekarang. Besok pagi kita harus udah nggak ada di rumah ini lagi." Aku menelan kenyataan pedih ini sambil memejamkan mata erat-erat. Demi Tuhan, aku menyumpahi Papa akan sangat menyesal karena telah mengusirku dengan cara yang teramat buruk. Dia tega mengusir darah dagingnya sendiri yang difitnah oleh orang tidak bertanggung jawab. Papa seperti apa dirinya itu?! Bukannya membantuku mencari tahu siapa dalang dibalik fitnah yang membuat keluargaku menanggung malu hingga a
Apa yang kuharapkan dari lelaki .... ah bukan, tetapi suami. Ya, suami. Apa yang kuharapkan dari suami yang berprofesi sebagai seniman recehan ketika membawaku keluar dari rumah yang menjadi istana tempatku dilahirkan? Dijemput mobil bagus? Dengan hiasan indah di atapnya? Lalu membawaku menuju hotel berbintang yang sudah ia sewa? Dengan kamar presidensial yang dipenuhi bunga mawar merah dan segala pernak-pernik dunia yang membuatku memujanya? MIMPI! Ya, karena kenyataannya Lois tidak memiliki itu semua! Dia hanya memiliki sedikit uang, bahkan aku berani bertaruh jika ia baru tahu rasanya memegang uang sebanyak tiga puluh juta. Itu pun dari hasil menjual masa depannya pada Papa dengan menikahi perempuan kotor sepertiku. Tidak ada acara pelepasan penuh haru biru seperti orang tua kebanyakan saat melepas putri mereka pada lelaki yang baru saja menikahinya. Papa tetap menyantap sarapannya dengan nikmat ditemani Vela, adikku sekaligus musuh baruku. Sedang Mama membantuku membawa
"Jangan sentuh aku walau kita udah nikah!" ucapku ketus pada Lois ketika dia mempersilahkan masuk ke dalam taksi.Sepanjang perjalanan menuju kontrakan, aku hanya diam sambil menatap lalu lalang kendaraan. Hingga pandanganku tertuju pada bar and restaurant tempat aku dan Ishak bertemu untuk pertama dan ... terakhir kali.Kisah cinta kami berawal dari pertemuan di dalam bar and restaurant itu dan berakhir disana pula. Aku hanya bisa mendesah lirih dengan hati yang sesak. Bagaimanapun, kisah kami tidak bisa diulang karena Ishak tidak akan pernah sudi menerimaku lagi. Dia berhak mendapatkan perempuan yang jauh lebih bermartabat dan suci.'Kalau kamu bahagia, aku pun akan turut bahagia, Shak. Aku mencintaimu dan akan selalu begitu. Kamu tetap memiliki ruang tersendiri di dalam hatiku meski cinta kita tidak akan pernah bisa bersatu,' batinku.Lois, suamiku itu, tampak akrab berbincang dengan sopir taksi. Mereka membahas timpangnya pembangunan pusat perbelanjaan yang berdiri di atas lahan
Aku kembali mengenakan sepatu lalu berjalan ke arah Lois dengan amarah tertahan kemudian mengambil kedua tasku dari tangannya. "Ini tas aku!" Dia menaikkan kedua alis dan tangannya, "Yang bilang itu tasnya Angelina Jolie juga siapa?" "Jangan banyak omong deh! Sekarang tunjukin dimana rumah kontrakannya?!" tanyaku dengan hati kesal karena Lois nampaknya hobi membuat orang lain kesal dengan kelakuannya. Jarinya menunjuk ke kanan, sebuah rumah yang bentuk bangunannya sama dengan rumah sebelahnya. Hanya wananya saja yang berbeda. Aku berusaha membawa kedua tasku sendiri meski berat lalu menuju rumah itu. Namun, ketika tanganku meraih handle, pintu tidak terbuka sama sekali. Aku hanya bisa mendesah kasar karena baru menyadari jika pintu rumah itu terkunci. Dan Lois pasti memegang kuncinya. Dia membuka tas ransel lalu mengoyak-ayik isinya. Terdengar suara dentingan antara uang koin recehan dengan kunci kontrakan hingga membuatku muak dengan profesi rendahannya. Lalu sekelebat bayan