"Kalau kamu ada masalah di rumah, jangan dibawa ke kantor, Lilyah! Karena kami tidak menggaji karyawati yang tidak profesional sama sekal! Kami butuh karyawati yang siap bekerja!"
"Maafkan saya, Bu."
Atasanku memberi peringatan tegas karena dua hari ini aku terlambat masuk kantor dan beberapa komplain calon penumpang maskapai yang kutangani tidak terselesaikan dengan baik. Akhirnya mereka mengirim surat elektronik yang sialnya langsung terhubungan dengan atasanku, Bu Dira.
"Sekali lagi kamu tidak becus bekerja, silahkan kirim surat pengunduran dirimu ke bagian HRD!"
Usai mendapat teguran, aku kembali ke kubikel dengan wajah tidak ceria sama sekali. Masalah yang menghampiri belakangan ini membuatku tidak memiliki gairah untuk melanjutkan hidup.
Sudah kehilangan kehormatan, kehilangan calon suami, dibenci keluarga, menjadi bahan gunjingan tetangga, dan kini tidak bekerja dengan baik.
Setelah seharian memaksa diri dan hati untuk bekerja, akhirnya aku kembali pulang dengan sesak di dada yang masih sama. Walau kami batal menikah, namun cincin milik Ishak masih tergantung aman sebagai liontin di kalung yang kukenakan.
Aku masih belum bahkan tidak rela melepas dirinya meski Shala menasehati aku berkali-kali untuk sabar dan mengikhlaskan kepergiannya. Beruntung, Shala tidak memaksaku mengungkap apa yang menjadi alasan perpisahan kami.
"Jangan, Pa! Jangan! Kasihan Lilyah! Dia itu anakmu!"
"Dia bukan anakku! Dia itu pe***ur yang membuat malu nama baik keluarga! Biar dia minggat!"
"Jangan, Pa! Jangan usir Lilyah!"
Aku yang baru saja turun dari taksi online begitu terkejut melihat teriakan Mama dan Papa di teras rumah. Ada dua tas besar berisi pakaian namun sebagian telah terburai ke lantai. Papa menendang satu tas yang telah tertutup hingga tas itu terjungkal di lantai paving rumah.
Sedang Mama tetap memohon pada Papa dengan bersimbah air mata untuk mengampuniku. Dan Vela, adikku, yang tidak pernah akur denganku itu hanya diam, bersedekap, dan berdiri di belakang Papa yang tengah murka.
"Bagus kalau kamu udah datang! Pergi dari rumah ini! Nggak usah nunggu besok!" bentak Papa lantang dengan tangannya menunjuk gerbang rumah.
"Sebagai orang tua yang baik, seharusnya Papa nggak gelap mata nuduh aku kayak gitu, Pa! Karena aku bukan pe***ur atau ja***g seperti yang Papa pikirkan! Aku juga berusaha mengingat dan mencari tahu siapa lelaki yang begitu kurang ajar padaku!"
"Halah, nggak penting! Nasi udah jadi bubur! Lagi pula siapa yang mau percaya ucapanmu heh?!"
Gajiku yang masih belum seberapa untuk hidup mandiri, ditambah aku memiliki gangguan autophobia, menjadikan aku sangat takut bila tinggal seorang diri di tempat baru tanpa ada yang kukenal.
"Seisi perumahan ini udah tahu gimana bejatnya kamu! Papa sampai ditegur Pak RT gara-gara foto terlaknatmu udah tersebar!"
"Papa bakal menyesal karena nggak percaya sama aku! Karena aku memang benar-benar dijebak! Demi Tuhan!"
"Jangan bawa-bawa Tuhan! Dan satu lagi, minta pertanggungjawaban sama lelaki itu kalau kamu bingung mau kemana!"
Saat kami sedang berseteru tiba-tiba Vela membuka suara.
"Kalau Papa malu dengan foto-foto yang udah tersebar, kita bisa carikan Kak Lily penggantinya Kak Ishak," itu suara Vela, adikku yang sangat centil.
Dua tahi lalat di dekat bibirnya seakan menjadi penanda jika dia adalah gadis yang pandai berargumen.
"Maksudnya?" Papa bertanya.
"Gimana kalau Kak Lily tetep dinikahin sama lelaki sembarang yang mau menikahi dia? Ya ... hitung-hitung biar nama baik keluarga kita bisa diselametin, Paa."
Aku menatap heran dengan ide konyol adikku itu. Dia pikir apakah aku ini perempuan tidak punya hati yang bisa menerima lelaki manapun dengan entengnya?
"Emang ada lelaki yang mau nikahin perempuan kotor kayak dia?"
"Selama kita nggak bilang sama lelaki itu, pasti dia mau. Kak Lily nggak jelek-jelek amat, apalagi nanti Papa kasih dia imbalan sepuluh juta buat jadi suami sementaranya Kak Lily."
Aku dibuat tercengang dengan ide Vela yang tidak menghargaiku sama sekali. Dia benar-benar berubah menjadi gadis tidak berperasaan.
"Mama terima saran Vela asal Papa nggak ngusir Lily dari rumah!" Mama justru memberikan persetujuannya.
"Cuma itu jalan satu-satunya biar keluarga kita nggak digunjing sama tetangga, Paa," Vela kembali berucap.
Bisa kulihat dari cara bicara Vela yang terkesan sangat santai disertai senyum tipis penuh makna saat memberi saran pada Papa untuk menikahkanku dengan lelaki sembarang. Apa tujuan sebenarnya dia memberi saran itu?
"Apa kamu punya kenalan lelaki yang mau diajak kerja sama, Vel?"
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di