Share

4 | Kakak Pelindung

Pagi itu Hanes tidak terlalu menikmati sarapannya. Pikirannya tidak jauh dari kejadian semalam yang membuatnya mau tidak mau percaya bahwa boneka-boneka di lemari Mama memang bukan boneka biasa.

"Semalam kamu pingsan di ruang boneka, aku menemukanmu jadi kubawa ke kamarmu."

Ucapan Mama tadi pagi begitu ia bangun kembali terlintas di benaknya. Agak aneh baginya untuk bangun dan melihat sosok Mama duduk di kursi goyang yang ada di kamarnya. Ketika Hanes bertanya mengapa Mama ada disitu, Mama hanya menjawab, "Aku sedang menjagamu dari amarah mereka."

Hanes yakin seratus persen bahwa mereka yang dimaksud Mama adalah boneka-boneka di lemari kemarin. Hanes tidak berminat menanyakan maupun mengetahui lebih lanjut mengenai boneka-boneka itu. Cukup sudah ia diganggu seperti itu kemarin, Hanes tidak mau melaluinya lagi.

"Nanti setelah pulang sekolah, kalian ikut Mama sebentar." Mama membuka pembicaraan di sela-sela sarapan, memecah suara dentingan antara sendok dan piring yang beradu.

"Kemana, Ma?" Leo si penasaran menanggapi perkataan Mama, sementara Gian di sebelahnya nampak tidak tertarik dengan apapun yang keluar dari mulut Mama, "Beli baju, sepatu, dan keperluan sekolah baru untuk kalian." Mama bertopang dagu, "Lalu setelah itu ikut ke tempatku bekerja, sebentar saja."

"Serius, Ma???" Wira berseru girang. Tentu saja ia dan beberapa saudaranya senang, selama di panti asuhan mereka hampir tidak pernah keluar dari gedung tua tersebut. Sekarang Mama ingin membawa mereka ke tempatnya bekerja. Itu terasa seperti mimpi bagi Wira.

"Iya, nanti tunggu aja di depan sekolah. Nanti Mama jemput." Mama menyunggingkan sebuah senyum simpul lalu beranjak berdiri sambil membawa piringnya, "Ayo siap-siap, tidak baik telat di hari pertama sekolah."

###

Sebenarnya ketika masih di panti asuhan, delapan bersaudara itu bersekolah juga disebuah sekolah yang satu yayasan dengan panti asuhan. Lalu ketika mereka pindah ke rumah Mama, jarak dari rumah Mama ke sekolah mereka bisa dibilang cukup jauh. Mama pun memutuskan untuk memindahkan anak-anaknya ke sekolah baru.

Sekolah dengan rupa gedung seperti pada masa penjajahan Belandaㅡyang kata Mama adalah sekolah Mama juga semasa SMP hingga SMAㅡterletak di pusat kota dan terkenal dengan biayanya yang tidak murah. Dari dulu hingga sekarang, sekolah bergengsi tersebut memang dikenal sebagai sekolah para anak orang kaya. Tidak heran jika delapan bersaudara itu merasa gugup ketika mereka berjalan memasuki area sekolah meskipun bersama Mama.

Memang sih, kini mereka menjadi anak Mama yang notabenenya orang berkelas juga. Namun tetap saja, mana mungkin seorang wanitaㅡyang dari wajahnya terlihat masih mudaㅡsudah memiliki delapan anak remaja? Laki-laki semua pula.

Usai bertemu dengan kepala sekolah untuk mengurus berbagai macam hal, delapan bersaudara itu berpisah menuju kelasnya masing-masing bersama wali kelas mereka. Hanes dan Sagmaㅡyang sudah berada di bangku SMAㅡkelasnya berada di gedung yang terletak di belakang gedung utama sekolah. Sementara Gian, Dima, Sandya, Leo, Wira, dan Rafa yang masih SMP, kelas mereka berada di gedung utama tadi.

Hanes berada di kelas 11 IPA 4 dan Sagma di kelas 11 IPS 1. Gian dan Dima berada di kelas 9-3 dan 9-1. Sandya dan Wira berada di kelas yang sama, kelas 9-4. Leo berada di kelas 9-2 dan Rafa berada di kelas 8-2.

Setelah melakukan perkenalan diri dan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh seorang murid baru, delapan bersaudara itu memulai kegiatan belajar mengajar mereka. Sayangnya, tidak semua delapan bersaudara itu memiliki hari yang baik di hari pertama mereka kembali bersekolah, contohnya Dima. Tepat ketika sekolah baru saja selesai dan para murid sibuk membereskan tasnya, kejadian tak mengenakan menimpa anak laki-laki itu.

"Arum Bendima Kaditula. Itu nama lo?"

Dima mendongak, mendapati seorang siswa laki-laki dengan perawakan tinggi dan wajah yang tidak terlihat ramah. Siswa itu memegang buku absen dan bolak-balik memandang buku absen dan wajah Dima. Siswa itu tidak sendirian, ada kaki tangannya di samping kanan kirinyaㅡyang menurut Dimaㅡwajah mereka bertiga sama jeleknya.

"Iya." Jawab Dima singkat sembari memutarbalik badannya untuk menyimpan buku ke dalam tas, "Lo anak panti yang di deket gunung situ, kan? Kok bisa kesini?" Siswa itu berbicara dengan suara yang sengaja dibuat kencang agar didengar seisi kelas yang kini menatap Dima tidak percaya.

Dima mengernyitkan alisnya, "Terus kenapa?" Siswa itu meludah ke samping meja Dima, "Gue denger, lo sama saudara lo delapan orang baru diadopsi ya? Kok mau sih adopsi lo pada?" Dima mulai merasa kesal. Apa urusannya kenapa Dima diadopsi dan bersekolah di sini? Bukankah semua orang berhak mendapat pendidikan?

Siswa itu tertawa remeh, "Lo berdelapan laki-laki semua kan?" Ia menatap sekeliling lalu kembali menatap Dima, "Kalo gak salah yang adopsi lo pada tuh cewek ya? Lo godain apa gimana sampe mau adopsi anak kaya lo gini?" Dima mengepalkan tangannya. Amarah mulai memuncak di kala siswa itu tak henti-hentinya menjelekkan Mama dan saudara-saudaranya.

"Kalo diliat-liat lo cakep sih." Siswa itu mencengkram wajah Dima dan mengangkatnya hingga Dima bertatapan dengan siswa tersebut, "Jangan-jangan lo sama yang lain diadopsi buat dipake ya?"

PLAK!

Kesabaran Dima sudah habis, ia benar-benar kesal bagaimana siswa tersebut berbicara buruk mengenai Mama dan juga saudara-saudaranya. Tamparan keras di pipi siswa itu membuat siswa siswi yang lain menatap Dima dengan tatapan terkejut.

"Wah!" Siswa itu terkekeh, "Anak panti bisa main tangan juga!"

Siswa itu hendak membalasㅡ ia segera melayangkan tinju pada wajah rupawan Dima. Namun bagi Dima yang sudah terlatih dalam hal membela diri karena masa lalunya, Dima dengan sigap menghindar lalu menendang area kemaluan siswa itu dan membuatnya menjerit kesakitan.

"BANGSAT!" Jeritnya sambil menatap Dima dengan tatapan nyalang, "Bantuin kek, anjing!"

Menuruti kata temannya layaknya seekor anjing yang setia, kedua teman siswa yang tadi dihajar Dima pun maju untuk membalas perbuatan Dima. Meskipun Dima bisa melawan, tetap saja yang namanya melawan dua orang sendirian pasti tidak mudah.

"HEI! MEMANGNYA INI TEMPAT TINJU?!" Sontak para siswa dan siswi yang tadi menonton berhamburan ke kursinya masing-masing saat sebuah suara berat terdengar dari ambang pintu. Seorang guru pria berkacamata menelisik Dima dan tiga siswa tadi dengan tatapan tajam, "Kau!" Hardiknya, "Kau murid baru bukan?!"

Dima mengangguk, "Sudah buat masalah aja kau!" Guru itu lanjut memarahi Dima, "Kau juga! Tidak ada tobat-tobatnya kau kutengok!" Amarah guru itu beralih pada siswa yang ditendang oleh Dima beserta kaki tangannya.

"Ikut saya!"

Setelah dinasehatiㅡdan juga diceramahiㅡoleh guru BK, tiga siswa tadi kembali ke kelas sementara Dima lebih memilih untuk pergi ke UKS daripada pulang. Tentu saja ia diberi ijin lantaran luka-luka yang ia dapatkan akibat baku hantam tadi lumayan parah. Usai lukanya diobati, Dima merebahkan dirinya di ranjang Uks. Dima merasa lelah, ia ingin mendinginkan kepalanya di ruang UKS yang sepi sebelum pulang.

Yah, setidaknya sampai saudara-saudaranya datang menjenguknya.

BRAK!

"DIMAAAA!" Ini Wira, yang paling heboh sekaligus khawatir tak keruan saat mendengar saudaranya terlibat baku hantam. Di belakang Wira ada saudara-saudaranya yang lain yang sama khawatirnya dengan Wira. Ketujuh saudaranya berkumpul mengelilingi ranjang Dima, "Kok lu bisa berantem gitu sih?! Siapa yang mulai?! Lu diapain?! Aduuh muka lu sampe luka dimana-mana gini!" Lagi-lagi, ini Wira.

"Wir, nanyanya satu-satu dong." Tegur Hanes, "Ish, yaudah sih! Namanya juga khawatir!" Wira membalas dengan sewot. Dima tersenyum tipis pada Wira, "Gue gapapa kok, Wir."

"Gapapa apanya, sih?! Muka lo bonyok sana sini!" Wira kembali sewot, kali ini ditujukan pada Dima, "Emang mereka ngapain, Dim?" Kini giliran Sagma yang bertanya. Sama seperti Wira, kekhawatiran terpancar jelas di wajah Sagma.

Dima diam sebentar sembari menatap satu persatu saudaranya. Sebenarnya ia enggan bercerita, ia takut saudara-saudaranya merasa terluka juga, namun apa boleh buat. Dima dengan berat hati akhirnya menceritakan apa yang terjadi pada awalnya hingga ia bisa sampai terlibat perkelahian di hari pertama sekolah.

Seusai bercerita Dima menunduk, "Maaf." Ucapnya lirih, "Aku takut Mama marah kalo Mama tau aku berantem." Ketujuh anak yang lain menatap Dima prihatin. Beberapa diantaranya ada yang sama sakit hatinya dengan Dima setelah mendengar cerita saudaranya itu. Namun mereka juga mengerti, bahwa Dima hanya berusaha membela dirinya, saudara-saudaranya, dan juga Mama.

"Dima." Sagma menepuk pundak adiknya, "Yang kamu lakuin itu bener, kamu berusaha ngebela diri kamu, kita, juga Mama." Sagma tersenyum.

"Cuma caranya aja yang salah." Sagma melanjutkan, "Kakak tau kamu sakit hati, kita semua juga kok. Tapi lain kali jangan asal pukul, ya?" Sagma masih menyunggingkan senyuman tulusnya. Satu tangannya bergerak mengelus surai hitam Dima guna untuk menenangkan adiknya. Dima membalas senyuman kakaknya setelah beberapa saat, "Iya, kak. Makasih."

Senyum yang Sagma berikan kepada Dima diberikannya juga kepada adik-adiknya yang lain, "Ya udah, sekarang kita pulang yuk? Nggak enak kalo Mama kelamaan nungguin kita." Ketujuh saudara Sagma mengangguk serempak sebagai tanda mereka mengiyakan apa yang Sagma katakan pada mereka.

Gianㅡ yang berada di dekat pintu UKS ㅡmembalikkan badannya. Tepat saat itu juga, kedua matanya menangkap sosok Mama berdiri di ambang pintu, "AH!" Gian terkejut. Kedua kakinya secara otomatis bergerak mundur hingga menabrak Sandya. Sejak kapan Mama ada di sana? Mengapa tidak ada yang melihat Mama masuk? Kedelapan anak itu kini menatap Mama. Semuanya sama terkejutnya dengan Gian, terutama Dima. Siapapun pasti tahu Dima baru saja terlibat pertengkaran hanya dengan melihat luka-luka di wajahnya.

"Mama.." Gumam Dima takut. Pasalnya Mama tidak bergeming di tempatnya. Netra hitam kembarnya menatap kosong pada Dima. Mama bahkan tidak menyapa anak-anaknya yang lain, "Kamu berantem?" Mama akhirnya membuka suara. Alih-alih menjawab, Dima justru mengalihkan pandangan dari ibu angkatnya. Mama yang masih menatapnya dengan tatapan kosong membuat Dima takut.

"Dima, ditanya Mama itu loh." Wira mengguncang sebelah pundak saudaranya. Pada akhirnya, mau tak mau Dima balas menatap kedua netra ibu angkatnya, "Iya, Ma. Dima berantem, m-maaf.." Tatapan Mama melunak. Wanita itu berjalan menghampiri Dima dan menggunakan satu tangannya untuk mengangkat dagu Dima, "Siapa yang pukul duluan?" Mama kembali bertanya selagi memperhatikan luka-luka di wajah Dima.

"Aku, Ma."

"Kenapa?" Pandangan Mama yang semula tertuju pada luka-luka di wajah Dima kembali tertuju pada kedua netra Dima. Begitu tiba-tiba hingga Dima berjengit saat mata Mama kembali menatapnya. Meski takut, Dima tetap menatap mata Mama, "Dia jelek-jelekin Mama, aku, sama kakak adek aku. Dia bilang, Mama adopsi kita biar kita bisa dipake."

Mama diam sebentar, tatapannya masih tertuju pada Dima. Pada awalnya Dima pikir Mama akan terkejut atau merasa tidak terima ketika mendengar hal itu. Namun melihat Mama justru bersikap tenang dan tersenyum memunculkan tanda tanya pada benak Dima, "Bagus." Mama menjauhkan dirinya dari Dima dan menepuk pundak anaknya, "Orang seperti itu memang sudah seharusnya kamu pukul."

Dima dan saudara-saudaranya yang lain mengernyitkan dahinya bingung, "Mama.. nggak marah?" Mamaㅡyang sudah berada di ambang pintuㅡmembalikkan badannya, "Buat apa aku marah? Kamu 'kan nggak salah." Mama menyilangkan kedua tangannya dan melanjutkan bicaranya, "Aku lebih marah karena banyak orang yang tanya kenapa aku adopsi kalian, padahal itu hakku. Kalau nggak penting, nggak usah cari ribut. Aku nggak butuh disorot lebih dari ini, ngerti?"

Delapan bersaudara itu mengangguk serempak, "Ngerti, Ma." Mama tersenyum tipis menanggapi respon anak-anaknya, "Bagus. Ayo pergi, aku sudah janji bawa kalian jalan-jalan hari ini."

###

Sesuai janjinya, Mama benar-benar membawa kedelapan anak angkatnya ke pusat perbelanjaan. Tentu saja semuanya senang, walau tidak seheboh Wira dan Sandya hingga Sagma terpaksa terus menggandeng dua anak itu tidak main pergi sendiri. Usai berbelanja berbagai hal yang sekiranya dibutuhkan anak-anaknya, Mama kini membawa mereka ke sebuah rumah tua bergaya Victorian yang berada di pedalaman.

"Mama, ini rumah siapa?" Tanya Wira begitu ia turun dari mobil. Rumah tua yang tidak terlalu besar itu berdiri kokoh di tengah-tengah antah berantah. Pada pagarnya yang tinggi, terpasang sebuah papan bertuliskan Boneka Van Dijk. Kedelapan bersaudara itu berasumsi inilah toko boneka yang dimaksud Mama. Tapi kenapa letaknya di antah berantah seperti ini?

"Ini tokoku," Mama tersenyum pada Wira, "Aku sudah berjanji akan membawa kalian ke sini, kan? Ayo masuk." Mama merangkul pundak Wira dan berjalan memasuki toko itu diikuti saudara-saudara Wira yang lainnya.

Begitu mereka masuk ke rumah tersebut, mereka disuguhi pemandangan ratusan boneka dari berbagai macam bahan berjejer rapi pada sebuak rak kayu bercat putih. Di seberang mereka terdapat sebuah meja kayu antik dan semacam alat yang biasa digunakan untuk melakukan pembayaran. Kedelapan bersaudara itu berasumsi itu adalah meja kasir yang pada umumnya ada di setiap toko.

Daripada meja kasir antik itu, manik kembar delapan bersaudara itu lebih tertarik pada ratusan boneka buatan Mama. Di satu sisi, semua boneka terlihat indah dan mereka ingin memilikinya. Di sisi lainnya, entah kenapa mereka merasa boneka-boneka yang tak bergeming itu bukanlah boneka biasa. Sama seperti boneka-boneka di lemari kaca.

"Mama.. nggak punya pegawai?" Gian memecah keheningan yang menyelimuti di kala ia merasa rumah itu terlalu sepi dan kosong untuk sebuah toko. Biasanya kalau mereka masuk ke sebuah toko, mereka akan disambut oleh seseorang atau beberapa pegawai. Namun toko milik Mama justru kebalikannya, sepi tanpa adanya tanda-tanda kehidupan.

Mama menggeleng pelan seraya berjalan mendekati meja kasir, "Aku lebih suka kerja sendiri." Jawabnya, "Punya pegawai kadang ngerepotin. Nggak disiplin lah, kerjanya nggak bener lah." Tangan Mama bergerak membuka buku catatan keuangan dan membacanya sembari berbicara, "Makanya Mama lebih suka kerja sendiri. Semuanya jadi punyaku, nggak perlu repot-repot dibagi buat keperluan gaji." Mama tersenyum pada Gian.

"Kenapa, Ma? Emangnya Mama pernah ngaㅡ"

"Gian, udah!" Bisik Sagma sambil menarik Gian kesampingnya, mencegah adik tak sedarahnya itu dari membalas omongan Mama. Sagma tahu Gian tidak suka pada Mama, makanya ia kerap bertingkah untuk menguji kesabaran ibu angkat mereka itu. Gianㅡyang tangannya ditahan erat oleh Sagmaㅡmenatap kakak tak sedarahnya dengan tajam dan menepis tangan Sagma yang masih menahan tangannya.

Mama tersenyum misterius pada Sagma dan Gian, "Nggak papa, Sagma. Gian cuma penasaran kok. Iya 'kan, Gian?" Mama mengalihkan tatapannya pada Gian, membuat anak laki-laki itu mau tak mau mengangguk setuju atas ucapan Mama. Mama kembali tersenyum setelah Gian mengangguk. Kali ini ia tersenyum pada kedelapan putra angkatnya, "Yuk, Mama mau tunjukkin sesuatu." Kedelapan bersaudara itu saling berpandangan dengan bingung. Namun lagi, mereka sebagai anak hanya bisa menuruti dan mengikuti ucapan Mama meski beribu pertanyaan bersarang di benak mereka masing-masing.

Mama meraba-raba dinding di belakang meja kasir dan membuka sebuah pintu geser. Ah, rupanya disitu ada pintu yang sengaja disamarkan. Kedelapan saudara itu kembali berasumsi itu adalah semacam ruangan rahasia atau tempat Mama membuat boneka-bonekanya. Mama menoleh sebentar pada anak-anaknya lalu melangkah masuk ke ruangan itu disusul kedelapan anaknya.

Tidak seperti yang ada di benak delapan bersaudara itu, ruangan yang mereka masuki justru lebih terlihat seperti ruang pertemuan. Ruangan itu luasnya hampir sama dengan ruangan tempat lemari kaca milik Mama di rumah, hanya saja ruangan itu diisi oleh dua sofa yang saling berhadapan dan sebuah coffee table berbahan dasar kayu di tengah-tengah dua sofa itu, "Duduk disitu dulu, Mama mau ambil sesuatu." Serempak dengan Mama yang menunjuk sofa dengan dagunya, delapan bersaudara itu duduk di sofa berbahan kulit sintesis itu. Mama tidak mengucapkan apa-apa lagi setelahnya, ia hanya tersenyum lalu menghilang di balik pintuㅡyang lagi-lagi disamarkan dengan dinding.

"Mama mau ngapain, sih?" Leo angkat bicara, memecah keheningan di kala ia dan saudara-saudaranya sudah diam terlalu lama. Gian yang duduk di sebelah Leo hanya mengendikkan bahunya, "Nggak tahu, tuh. Gak jelas." Dengusnya sinis, "Gianaya!" Sagma melotot pada adiknya, "Kamu itu kenapa, sih?! Nggak usah bertingkah begini, lah!"

"Terus kenapa?" Gian membalas omongan kakak tak sedarahnya, "Emang menurut kalian Mamaㅡbukan, cewek itu nggak aneh apa?! Kenapa juga Kak Sagma mau-mau aja sih diadopsi sama dia?!" Sagma bangkit dari duduknya ketika Gian menyalahkannya. Anak tertua itu maju mendekati Gian dan menarik kerah bajunya, "Kamu tahu kakak nggak punya pilihan lain! Kamu harusnya bersyukur ada yang mau adopsi kita! Kamu mau berakhir dijual di pasar gelap kayak yang lain, hah?! Kakak cuma berusaha buat melindungi kamu, bisa-bisanya kamu salahin kakak!"

Gian menepis kedua tangan Sagma yang mencengkram kerah bajunya, "Aku nggak butuh kakak buat lindungin aku! Harusnya kakak tinggalin aja aku di panti asuhan! Biarin aja aku diculik atau dijual, emangnya siapa yang bakal peduli? Kakak?" Gian mendengus sinis, "Kakak bahkan bukan saudara kandung aku. Nggak usah sok peduli." Ucapnya dingin.

"Gian!" Sandya ikut berdiri dan berusaha menarik Gian kesampingnya, "Kenapa bicara kayak gitu, sih?" Di sisi lain, Sagma menggertakkan giginya, mulutnya yang terkatup rapat bergetar seolah ia berusaha menahan diri untuk tidak memarahi adiknya lagi. Namun Gian justru tersenyum remeh melihat kakaknya menahan diri, "Kenapa, Kak? Bener 'kan yang aku bilang barusan?"

Sagma tidak tahan. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, hendak menampar wajah adiknya itu sebelum seseorang menghentikannya, "Rafa?" Sagma bertatapan dengan si bungsu yang kini menahan tangannya, "Rafa, lepasin tangan kakak."

"Kak Sagma, Kak Gian," Alih-alih mendengarkan perkataan Sagma, Rafa justru menatap kedua kakaknya bergantian, "Duduk. Mama sebentar lagi dateng." Sagma dan Gian bertatapan bingung lalu kembali menatap Rafa. Sosok yang ditatap hanya memasang wajah datar dan melepas genggamannya dari tangan Sagma, "Ya udah kalau nggak percaya." Tanpa menunggu respon kedua kakaknya, Rafa kembali duduk di sebelah Dima.

Hanes yang sedari tadi diam saja akhirnya bangkit dan merangkul pundak Sagma, "Udah, Sag. Ayo duduk." Bisiknya. Hanes kemudian melayangkan pandangannya pada Sandya yang masih berdiri, mengisyaratkan sang adik untuk mengajak Gian duduk. Sandya mengangguk mengerti, "Gian, sini duduk."

Tepat ketika Sagma, Hanes, Gian, dan Sandya mendudukkan diri mereka di sofa, pintu yang menyatu dengan dinding itu terbuka dan menampilkan sosok yang menjadi topik pertengkaran Sagma dan Gian. Mama membawa sebuah peti kayu yang cukup besar dengan kedua tangannya. Peti kayu itu berwarna hitam dengan beberapa ukiran emas pada permukaannya. Delapan bersaudara itu sempat menaruh perhatian pada peti yang dibawa Mama sebelum mereka semua kembali sibuk dengan pikiran masing-masing, terutama Sagma dan Gian yang baru saja bertengkar.

Menyadari ada yang aneh diantara anak-anaknya, Mama mengangkat sebelah alisnya, "Ada apa? Tumben kalian diem begini, habis berantem?" Tanyanya sembari meletakkan peti kayu tersebut pada coffee table di depannya, "Nggak, Ma. Pada bosen aja kayanya." Hanes beralasan. Mama mengerutkan dahinya mendengar jawaban Hanes lalu menatap anak-anak angkatnya satu persatu. Mama tersenyum tipis ketika melihat Sagma dan Gian yang sama-sama memalingkan wajah mereka. Tebakannya benar, pasti ada yang baru saja bertengkar.

"Ya sudah. Daripada bosen, Mama punya sesuatu buat kalian." Mama menyunggingkan senyum sembari berlutut membuka peti tersebut. Ketika yang lain mendekat kepada Mama atas rasa penasaran, Sagma, Gian, dan Hanes masih diam di tempatnya. Hanes dan Gian memang pada dasarnya tidak suka pada Mama. Kalau Sagma, yah, dia masih terlalu sakit hati untuk bisa memerdulikan hal lainnya. Tiga anak tertua itu hanya melirik pada Mama yang sedang memberitahu kelima anaknya yang lain untuk bersabar.

"Sagma," Mama berdiri sembari menatap anak tertuanya itu, pada tangannya terdapat sebuah boneka porselen yang akan diberikan pada si sulung. Sagma tidak mengucapkan sepatah kata pun, ia hanya menoleh pada Mama seakan bertanya mengapa Mama memanggilnya. Mama tersenyum pada Sagma, "Ini buat Sagma." Mama menyerahkan boneka tersebut pada Sagma, "Namanya Gita."

Sagma menerima boneka porselen pemberian Mama. Boneka perempuan yang bernama Gita itu memiliki rambut hitam kecoklatan yang dikepang dua. Matanya yang senada dengan warna rambutnya bersinar di bawah cahaya lampu ruangan itu.

Boneka cantik itu memakai sebuah gaun putih gading bercorak bunga-bunga berwarna merah muda. Gita adalah boneka yang cantik, senyuman hampa yang terukir di wajah Gita saja terlihat cantik. Namun Sagma tetap merasa aneh ketika ia menatap kedua bola mata palsu Gita.

"Baik-baik sama Gita, ya." Sagma mengangkat kepalanya dan menatap Mama dengan penuh tanda tanya. Mama hanya tersenyum, "Gita itu pemalu, tapi gampang marah."

Selesai berbicara dengan Sagma, sekarang Mama mengambil sebuah boneka laki-laki dari dalam peti. Boneka berbahan porselen itu diberikannya kepada Hanes, "Ini buat kamu, namanya Hansel."

Hanes menerima boneka yang bernama mirip dengannya. Sama seperti Sagma, diperhatikannya baik-baik boneka itu. Tidak seperti Gita yang berambut hitam kecoklatan dan bermata hitam, Hansel memiliki rambut pirang dan bermata biru. Hanes berasumsi Hansel adalah boneka seorang anak laki-laki keturunan Belanda. Boneka laki-laki itu dipakaikan kemeja biru muda bermotif kotak-kotak, dasi biru tua, dan celana krem terang.

Usai memperhatikan boneka laki-laki itu, Hanes memandang Mama, "Hansel?" Mama mengangguk, "Mirip 'kan namanya sama kamu? Sifatnya pun sama kayak kamu, jadi harusnya kalian cocok." Mama tersenyum.

Tanpa menunggu balasan dari Hanes, Mama kini mengambil boneka perempuan lagi. Boneka yang nampak berbeda dari Gita dan Hansel itu diberikannya kepada Gian, "Gian, ini punyamu. Namanya Koyuki."

Boneka bernama khas negeri sakura itu kini berada pada genggaman anak ketiga tertua itu. Gian, yang memang tidak tertarik pada apapun yang Mama lakukan, hanya mendengus cuek sembari melihat-lihat Koyuki sebentar. Tidak seperti Gita dan Hansel yang berbahan porselen, boneka Koyuki berbahan dasar kayu. Boneka perempuan Jepang itu berambut hitam pendek sebahu dan mengenakan kimono  dengan warna yang senada. Dan pada pinggangnya terikat sebuah kain merah tua bercorak bunga.

Gian kembali mendengus usai memperhatikan boneka di tangannya. Ia menghempaskan dirinya kembali ke sofa bersamaan dengan diletakkannya Koyuki pada coffee table  di depannya. Mama tidak merespon apa-apa atas sikap Gian, wanita tersebut sama cueknya dengan putra angkat ketiganya itu. Kini Mama tidak hanya mengambil satu boneka, melainkan dua boneka laki-laki dan perempuan.

"Dima, yang ini buat kamu. Dan yang ini, buat Leo." Ucap Mama dengan lembut seraya menyerahkan satu boneka perempuan kepada Dima dan satu boneka laki-laki kepada Leo. Baik Dima dan Leo saling berpandangan, sebab paras kedua boneka di tangan mereka hampir serupa.

Mama tersenyum. Seolah kebingungan Dima dan Leo adalah yang ditunggu-tunggunya, "Mereka itu kembar, namanya Marko dan Mahisa. Mereka biasanya dikasih ke sepasang saudara yang canggung. Tujuannya, biar mereka bisa jadi saudara yang kompak seperti Marko dan Mahisa. Bukankah kalian begitu?"

Dima dan Leo kembali saling berpandangan. Memang benar adanya Dima dan Leo tidak sedekat itu, mereka begitu canggung dengan satu sama lainnya. Tapi bagaimana Mama bisa tahu? Tidak ada yang pernah benar-benar mempermasalahkan kecanggungan diantara Dima dan Leo. Atau apakah Mama hanya seorang analisi yang terlewat teliti?

Mama kembali menyunggingkan sebuah senyum, "Semoga kalian bisa beradaptasi dengan mereka. Marko dan Mahisa itu terkadang jahil."

Dima dan Leo sontak memandang boneka kembar itu bersamaan. Seragam sekolah merah tua mereka yang serasi membuat Marko dan Mahisa terlihat semakin mirip. Dan lagi, senyum yang tersungging di wajah porselen kedua boneka itu tidak terlihat kosong. Seolah Marko dan Mahisa sedang tersenyum kepada dua saudara yang canggung itu.

Mama kembali menyunggingkan sebuah senyuman selagi kedua tangannya kini mengambil tiga boneka sekaligus. Dua boneka laki-laki dan satu boneka perempuan itu diberikannya kepada Sandya, Rafa, dan Wira.

"Sandya, ini buat kamu. Namanya Wim," Ucap Mama selagi Sandya memperhatikan bonekanya. Sama seperti Hansel, Wim memiliki rambut pirang, kulit putih, dan bola mata biru, "Mirip sama kamu, ya?" Sandya mengangguk atas pernyataan Mama. Boneka anak laki-laki Belanda itu memang mirip dengan dirinya, bahkan potongan rambut mereka sama.

Mama kini beralih pada Rafa, "Kalau ini namanya Jansen, buat Rafa," Rafa tidak merespon banyak. Ia hanya menatap Mama sekilas lalu kembali menatap Jansen di tangannya. Rafa tidak bodoh, ia tahu boneka yang di tangannya adalah boneka yang ia lihat di kamarnya ketika ia baru tiba di rumah Mama. Boneka yang duduk di kursi dan menghilang ketika Rafa hendak menunjukkannya kepada Mama. Juga boneka yang muncul dan duduk di kasurnya sembari tersenyum kepada Rafa.

Mama memang tersenyum padanya, namun Rafa tahu senyuman itu bukan senyuman tulus. Melalui senyumannya, Mama seolah berkata bahwa Rafa pasti sudah tahu siapa itu Jansen. Boneka yang juga berdarah Belanda seperti Gita, Hansel, dan Wim, kembali terlihat tersenyum kepada anak laki-laki yang menggenggamnya. Atau lebih tepatnya, kepada adik barunya.

Tanpa menunggu respon Rafa selanjutnya, Mama langsung beralih kepada Wira, "Nah, ini namanya Seruni. Wira sudah pernah ketemu Seruni, kan?"

Anak laki-laki yang ditanya itu mengangguk patah-patah. Wira melirik pada Sagma dan ia bisa melihat bagaimana wajah kakak tertuanya itu berubah pucat dan ketakutan ketika Sagma melihat boneka di tangan Wira. Seruni adalah sosok hantu anak perempuan yang Sagma lihat tempo hari. Sosok hantu yang hendak mendorong Sandya ke kolam jika Sagma tidak datang dan meneriakinya.

Wira tentu tahu siapa Seruni karena Sagma menceritakannya kepada adik-adiknya di hari yang sama. Wira pun masih ingat jelas, seperti apa karateristik fisik boneka Seruni. Dress biru kelabu selutut, rambut sewarna eboni yang menjuntai hingga ke punggung, dan pita merah semerah darah yang terikat di belakang kepalanya. Wira juga ingat kalau ia pernah melihat Seruni di lemari boneka Mama di rumah.

Wira menarik nafas, "I-iya.. udah p-pernah kok, Ma.." Jawabnya patah-patah. Jika Wira boleh jujur, sekujur tubuhnya terasa kaku dan dingin luar biasa. Ia bahkan tidak bisa berlama-lama menatap kedua bola mata palsu Seruni. Entahlah, semakin lama ditatap wajah Seruni semakin terlihat menyeramkan.

Mama tersenyum tipis. Kedua kakinya yang ramping berjalan menuju peti tempat ia menyimpan boneka-boneka tadi dan hendak menyimpannya kembali, "Mama," Tepat sebelum ibu angkat delapan bersaudara itu menghilang dari balik pintu, Rafa memanggilnya, "Kenapa Mama kasih boneka-boneka ini ke kita?"

Mama diam sebentar. Ia memutar badannya menghadap kedelapan anaknya, "Aku nggak bisa menjaga dan mengawasi kalian 24 jam," Mama menjeda. Suaranya terdengar tegas dan terkesan sedikit marah, "Kalau ada masalah, seperti masalah Dima tadi di sekolah, merekalah yang akan membantu kalian." Mama menurunkan pandangannya pada boneka-boneka di tangan masing-masing kedelapan anaknya.

Suara Mama kini melembut, "Mereka akan menjadi kakak kalian dan juga pelindung kalian. Mulai besok, kemanapun kalian pergi, boneka itu harus bersama kalian," Mama tersenyum, "Jika tidak, mereka yang akan datang sendiri pada kalian."

Mama hendak membalikkan badannya, namun kembali menghadap anak-anaknya seakan ia lupa mengatakan sesuatu, "Oh, dan satu lagi. Jangan pernah sengaja membuat kakak kalian marah."

Setelahnya Mama langsung menghilang dari balik pintu, meninggalkan kedelapan anaknya dengan seribu tanda tanya di kepala. Delapan bersaudara itu memandang kembali boneka mereka masing-masing lalu saling bertatapan. Pada titik ini, mereka tidak tahu manakah yang benar. Ucapan Mama atau insting mereka sendiri?

Gian, yang raut wajahnya sudah terlihat luar biasa kesal, kembali melempar boneka Koyuki ke sembarang arah. Persetan dengan larangan jangan membuat boneka kayu itu marah, Gian benar-benar muak.

"Sialan." Racau si anak ketiga sembari mengusap wajahnya dengan kasar.

###

"Eh, aku balik sekarang deh, Kak. Baru inget aku ada tugas buat besok." Waktu menunjukkan tepat tengah malam ketika Gian memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Yah, dia memang akhir-akhir ini sering bermain di kamar Hanes. Sepasang kakak beradik itu saling mengeluh bagaimana mereka sangat tidak suka pada Mama.

Sama seperti hari-hari lainnya, hari ini pun Gian kembali mengeluhkan perwatakan Mama yang sangat tidak disukainya. Entahlah, Gian merasa Mama bukan orang yang baik. Ia tidak mengerti kenapa saudara-saudaranya, kecuali Hanes, bisa dengan semudah itu menerima Mama.

Gian bahkan tidak memerdulikan boneka yang tadi Mama berikan kepadanya. Begitu sampai di rumah, Koyuki dilemparnya ke sembarang tempat. Tidak seperti saudara-saudaranya yang menyimpan boneka mereka di kamar mereka masing-masing. Gian menganggap Mama hanya asal bicara. Koyuki itu hanya benda mati, kenapa Gian harus susah payah menjaga emosi Koyuki? Boneka kayu itu bahkan tidak bisa bergerak.

Cplak

Anak ketiga itu menurunkan pandangannya ke bawah ketika kakinya terasa seperti menginjak sesuatu. Gian tidak tahu itu apa, yang pasti itu berupa cairan kental yang baunya sangat amis. Pencahayaan di lantai dua sudah redup, Mama sudah mematikan seluruh lentera minyak yang menjadi satu satunya sumber pencahayaan disitu. Hanya ada satu lentera yang menyala, itupun letaknya di ujung lorong lantai dua yang jauh dari kamar Gian.

Gian merogoh kantung celananya dan segera menyalakan fitur senter di ponselnya. Remaja lelaki itu mengerutkan dahinya ketika cairan kental yang ia injak ternyata darah. Tapi, darah siapa? Kenapa juga jejak darah itu bermula dari kamarnya?

Kebanyakan orang jika mengalami apa yang Gian alami pasti memilih untuk meminta tolong, namun tidak dengan Gian. Entah kenapa, remaja lelaki itu memiliki firasat bahwa pelakunya memiliki hubungan dengan Mama. Dengan satu tangan mengangkat ponselnya hingga sejajar dengan kepala, Gian mulai mengikuti jejak darah yang berasal dari kamarnya itu.

Jejak darah tersebut membawa Gian ke ruang boneka Mama. Ia tidak tahu kenapa jejak darah itu berakhir di ruangan yang paling dihindarinya, namun itu tidak mengurangi rasa penasaran Gian. Gian melangkah masuk ke ruangan itu. Dengan bantuan pencahayaan senter ponselnya, Gian dapat melihat sosok lain di ruangan itu.

Tubuhnya kurus dan begitu tinggi hampir setinggi lemari boneka milik Mama. Gian tidak bisa melihat wajahnya sebab sosok itu membelakanginya. Tetapi Gian tahu sosok itu adalah seorang perempuan karena rambutnya yang tergerai hingga sepunggung.

Gian tidak tahu siapa perempuan itu dan mengapa ia terus-terusan menatap lemari boneka Mama. Jejak darah yang diikutinya pun ternyata berasal dari bagian bawah kimono hitam panjang yang dikenakan perempuan itu.

Tunggu, kimono hitam? Nafas Gian tercekat seraya ia mengangkat ponselnya pelan-pelan untuk menerangi sosok itu. Kini Gian bisa melihat keseluruhan fisik sosok misterius tersebut. Rambut hitam panjang, kulit pucat dan kuku hitam, hingga kimono hitam berikat pinggang merah.

Gian tahu itu siapa. Itu adalah bonekanya, Koyuki. Boneka pemberian Mama yang dibencinya begitu ia pertama kali menerima Koyuki. Boneka yang sengaja ia buat marah sebagai bentuk ketidakpercayaannya atas ucapan Mama.

Gian memang tidak pernah percaya apapun yang keluar dari mulut Mama, termasuk bahwa boneka-bonekanya bukan boneka biasa. Namun Gian tidak pernah terbayang bonekanya berubah menjadi penampakan sosok hantu perempuan Jepang.

"K-K-Koyuki..?" Lidah Gian kelu. Meski ia luar biasa takut ia ingin memastikan apa yang dilihatnya bukanlah khayalan maupun tipu muslihat Mama.

Krak- krak- krak-

Diluar dugaan Gian, sosok hantu Koyuki memutar kepala kayunya 180 derajat hingga bertatapan dengan adik barunya. Remaja laki-laki itu hanya bisa diam dan membelalakkan kedua matanya dalam ketakutan, wajah asli Koyuki bukanlah sesuatu yang ingin ia lihat.

Kedua bola mata Koyuki tidak memiliki pupil, kulitnya pucat seperti salju, dan mulutnya yang semerah darah dirobek hingga sebatas telinga. Kuku-kukunya berwarna hitam dan panjang, dan sebagian rambutnya disanggul dengan sebuah tusuk konde. Lalu pada bagian bawah kimononya, darah kental mengucur tanpa henti. Gian berani berasumsi ada sepasang kaki yang terluka parah dibalik kimono itu.

"Halo, Gian."  Terlepas dari penampakannya yang tidak ingin Gian lihat lagi, suara Koyuki ternyata tidak seseram wajahnya. Gian mundur selangkah ketika tubuh Koyuki ikut berputar menghadapnya.

"Kenapa? Takut?"  Melihat Gian yang berjalan mundur, Koyuki melangkah maju mendekatinya. Gian menggeleng patah-patah seraya berusaha menggapai apapun yang bisa ia ambil untuk dilempar ke hantu itu.

Melihat usaha Gian, wajah Koyuki yang semula tanpa ekspresi tiba-tiba tersenyum lebar dan tatapan matanya menajam, "Gian takut, ya?"  Koyuki terkikik melengking, membuat Gian semakin terburu-buru untuk kabur namun kedua tungkainya terasa lemas.

Koyuki mengangkat satu tangannya ke arah Gian, dan saat itu juga kedua kaki Gian terasa seperti. ditahan oleh ribuan tangan. Koyuki mendekatkan wajah mengerikannya pada wajah adiknya itu dan membelai wajahnya dengan kuku-kukunya yang tajam, "Bukannya Mama udah bilang, jangan bikin aku marah?"

Gian menutup matanya ketika kuku-kuku Koyuki meremat bahunya, "Kata Mama, anak nakal pasti ada hukumannya."  Gian kembali membuka matanya, "ApaㅡAAAHHH!"

Gian menjerit atas rasa sakit dan perih luar biasa yang tiba-tiba menjalar di kedua kakinya. Ketika ia melihat kebawah, ribuan tangan berkuku tajam mengelilingi kakinya dan mencabik-cabik kulit kakinya hingga berdarah dan terkelupas. Sosok hantu perempuan itu tertawa melengking atas penderitaan Gian.

Selagi kedua kaki Gian dicabik hingga dagingnya, kuku-kuku Koyuki meremat bahu Gian dengan erat hingga menggores luka, "MAU KAMU APA?!" Ditengah rasa sakitnya yang tak bisa ditolerir, Gian berseru pada sosok hantu keji itu.

Koyuki berhenti tertawa, cengkeramannya pada bahu Gian juga melonggar. Didekatkannya lagi wajahnya pada wajah Gian dengan kebencian yang sangat tersirat, "Kamu, mati." 

"AAAHHH!" Belum sempat Gian membela dirinya, ribuan tangan itu kembali mencabik-cabik kakinya dan Koyuki kembali tertawa melengking.

Tepat ketika Gian rasa ia sudah tidak sanggup menahan rasa sakit yang luar biasa itu, sepasang tangan putih seputih porselen muncul dari belakang dan menarik Gian ke dekapannya. Rasa sakit di kedua kakinya kini tak lagi menyiksa dan tawa Koyuki berhenti.

Gian tidak tahu apa yang membuat Koyuki begitu ketakutan dan juga marah. Pun ia tidak tahu siapa sosok yang menyelamatkannya dan juga lebih kuat dari Koyuki. Sesaat sebelum Gian kehilangan kesadaran, ia sempat mendengar apa yang diucapkan sosok yang menyelamatkannya itu.

"Koyuki, jangan ganggu anak saya."

______

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status