Share

1 | Delapan Bersaudara

Terletak di pinggir kota dan agak terpencil dari kawasan sekitarnya, berdiri sebuah gedung panti asuhan yang lumayan besar. Eksterior gedungnya nampak tua, dan apa yang ada di dalamnya tidak jauh berbeda.

Selama bertahun-tahun berdiri, panti asuhan itu telah menampung dan merawat anak-anak dari berbagai daerah dengan karakteristik yang berbeda-beda. Delapan bersaudara ini termasuk salah satu dari sejumlah besar anak-anak yang tinggal di panti asuhan itu.

Hanya karena julukan mereka delapan bersaudara, bukan berarti mereka terikat hubungan darah. Mereka terikat satu sama lain atas rasa senasib karena menjadi bagian yang dikucilkan dan tidak terlalu diperhatikan selama tinggal di panti.

Delapan bersaudara ini saling memegang tangan satu sama lain. Begitu kuat ikatan mereka hingga mereka memutuskan bahwa bila ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka, maka calon orangtua mereka harus mengadopsi tujuh saudaranya juga.

Ibaratnya, mereka ini satu paket dan tidak dijual terpisah.

Delapan bersaudara ini tumbuh besar di panti asuhan sampai mereka menginjak usia remaja. Keputusan mereka bahwa mereka harus diadopsi bersama-sama membuat mereka sulit untuk diadopsi. Yah, lagipula, siapa yang mau mengadopsi delapan anak sekaligus?

Delapan bersaudara ini, meski dari wajah mereka terlihat seperti kakak adik betulan, sebenarnya jarak usia mereka tidaklah jauh. Anak yang paling tua dan yang paling muda saja hanya terpaut dua tahun.

Yang pertama, Hanes dan Sagma, dua anak tertua dari delapan bersaudara. Umur mereka sama-sama 16 tahun dan merekalah yang pertama kali mengajak keenam anak lainnya untuk bermain bersama.

Lalu ada Gian, Dima, Sandya, Leo, dan Wira. Mereka berlima sama-sama berumur 15 tahun. Dima dan Wira sudah bersahabat sejak mereka bertemu di panti, tidak seperti Gian, Sandya, dan Leo yang saat itu masih menyendiri.

Dan yang terakhir ada Rafa, anak paling muda diantara delapan bersaudara itu dan umurnya yang baru mencapai 14 tahun. Tidak seperti saudara-saudaranya yang lain, Rafa itu anak yang pendiam dan gemar mengobservasi lingkungan sekitarnya. Perasaan Rafa yang peka memudahkannya mendeteksi bahaya baik dari manusia maupun dari makhluk gaib.

Selain Rafa dan kelebihannya, delapan bersaudara ini terbilang sangat akur. Mereka jarang terlihat bertengkar atau saling mendiamkan satu sama lain, mereka pasti selalu terlihat bersama.

Malam hari itu di panti asuhan berjalan seperti biasanya, seusai makan malam mereka diperbolehkan bermain selama 30 menit dan setelahnya mereka harus tidur. Namun entah kenapa, rutinitas mereka pada hari itu terasa berbeda dari biasanya.

Anak-anak panti yang biasanya makan malam pada pukul tujuh, hari ini mereka makan malam pada pukul sembilan. Setelahnya mereka bebas melakukan apa saja asalkan jangan tidur terlebih dahulu sampai disuruh oleh kepala panti.

Delapan bersaudara itu bersikap biasa saja terhadap perubahan mendadak itu. Tidak seperti anak-anak panti lainnya yang membicarakan gosip mengenai perubahan mendadak itu, delapan bersaudara itu justru tidak terlalu memikirkannya.

Mereka sama-sama beranggapan bahwa makan malam mereka diundur karena persediaan bahan makanan yang mulai menipis dan anggaran panti yang menurun sehingga mereka tidak bisa memakai listrik lama-lama di kamar mereka selama mereka tidur.

Kini delapan bersaudara itu sedang berkumpul di ruang bermain di lantai empat, menemani Rafa yang sejak tadi sore merajuk ingin bermain bersama ketujuh kakaknya. Leo, Gian, Wira, dan Sandya sedang menonton sebuah film dengan laptop milik panti asuhan.

Sementara Dima bersama dengan Rafaㅡ menemani anak bungsu itu melukis. Lalu ada Hanes dan Sagma yang duduk di tepi jendela. Hanes sibuk menulis sesuatu sementara Sagma memandang pekarangan luas panti asuhan dari tempatnya duduk.

"Han, itu apa?" Sagma, yang sedari tadi nampak memperhatikan sesuatu dari jendela, menarik tangan Hanes agar melihat apa yang ditunjuknya. Sejumlah mobil sedan hitam terparkir di depan pagar panti asuhan, Hanes dan Sagma dapat melihat dengan jelas ada sejumlah pria berpakaian serba hitam dan berbadan besar memasuki gedung panti.

"Ada yang mau diadopsi kali?" Timpal Hanes. Dahi Sagma berkerut menanggapi pernyataan Hanes, "Masa mau diadopsi yang jemput sebanyak itu? Emangnya satu panti mau diadopsi?"

Selagi Hanes dan Sagma memperhatikan orang-orang asing itu, Rafa yang sedang melukis bersama Dima tiba-tiba membeku dan menoleh ke arah pintu ruang bermain. Dima meletakkan kuasnya dan mengikuti arah pandang Rafa, "Kamu... liat sesuatu?" Tanya Dima agak ragu.

"Nggak, nggak ada hantu kok." Rafa menggeleng, "Tapi feeling-ku gak enak."

"Emangnya ada apㅡ"

DOR! DOR!

Suara pistol yang menembakkan pelurunya beberapa kali memotong ucapan Dima dan juga membuat delapan bersaudara itu terkejut hingga beberapa di antara mereka berteriak. "Ssh! Jangan teriak, takutnya mereka kesini." Sagma meletakkan satu jari di depan bibirnya, berusaha menenangkan adik-adiknya yang nampak ketakutan.

"K-kak, itu t-tadi suara tembakan?" Tanya Wira yang meringkuk ketakutan di samping Sandya. Sagma mengangguk, "Iya, tapi tenang aja. Selama kita gak berisik mereka gak akan kesini."

"Dima, lu gapapa?" Leo menyadari gelagat aneh saudaranya semenjak suara tembakan itu terdengar. Dima sedari tadi menunduk sambil menutup kedua telinganya dengan tangan dan nafasnya tidak beraturan, seperti orang ketakutan.

Ah, Dima memang memiliki trauma terhadap suara tembakan karena masa lalunya sebelum ia berakhir di panti asuhan. Maka ketujuh saudaranya tidak heran jika sekarang Dima sangat ketakutan, hanya saja mereka khawatir Dima akan bertindak panik yang berujung membahayakan mereka semua.

DOR! DOR!

"AAAAAA!"

Suara tembakan kembali terdengar, kali ini juga terdengar suara teriakan anak panti lainnya yang berada di tempat kejadian. Teriakannya berasal dari lantai satu, sementara mereka di lantai empat. Sebenarnya apa yang sedang terjadi di bawah sana?

"Dima, tenang." Hanes mengangkat tangannya, berusaha menenangkan Dima yang sekarang berdiri dari kursinya dan terlihat sangat panik juga bingung.

DOR!

Suara tembakan kembali terdengar, kini suaranya terdengar lebih jelas namun mereka tidak tahu dari lantai berapa suara tembakan itu berasal. Dima berjengit dan setengah berteriak ketika ia mendengar suara tembakan itu. Merasa ketakutan dan tidak aman, Dima berlari keluar dari ruang bermain.

"Dima! Hei! Bendima! Mau kemana!"

"Kak Hanes, jangan!"

Sebelum siapapun sempat menghentikan Hanes, anak laki-laki itu sudah terlebih dahulu berlari menyusul Dima yang entah sekarang berada dimana. Anak-anak lain terpaku di tempat, pintu ruang bermain yang terbuka lebar membuat enam anak itu bingung, apakah sebaiknya mereka pergi menyusul Hanes dan Dima?

"Ayo kita susul!" Sagma berlari ke arah pintu, di belakangnya ada Sandya, Leo, dan Rafa yang mengikut. "Tunggu, kak Sagma!" Gian menarik lengan baju Sagma, "Kakak yakin mau nyusul mereka? Kalo Dima lari ke asal suara tembakan itu gimana?"

"Dengerin kakak." Sagma menepuk bahu Gian, "Kita saudara, kan? Kalo saudara kita ada yang kesulitan bukannya kita janji buat saling bantu?"

"Tapi, kak," Wira menjeda ucapannya, "Kakak gak takut...kena tembak?" Lanjutnya dengan ragu-ragu. Sagma menggeleng, "Enggak. Asal sama kalian, kakak nggak takut karena kakak nggak sendirian."

Mendengar jawaban Sagma, Gian dan Wira saling bertatapan. Keduanya memang agak takut dengan ide Sagma untuk menyusul Adir dan Dima. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka tinggal berdua di ruang bermain sama saja dengan mengorbankan keempat saudara mereka.

"Kamu kalo takut tunggu disini aja, gapapa. Nanti kita jemput lagi disini." Sandya angkat bicara setelah hening menyelimuti mereka cukup lama. Gian menggeleng, "Nggak. Kita ikut."

Sagma membalasnya dengan senyuman, "Ayo, kita sama-sama ya. Gian gandeng tangannya Leo, ya. Sandya tolong jagain Wira. Rafa sama aku." Setelah memastikan situasi di lantai empat aman, barulah enam saudara itu berjalan pelan-pelan dengan saling bergandengan dan menuruni tangga tanpa membuat suara.

###

"Apa ada lagi?"

"Kalian mau yang kayak apa?"

"Yang remaja mungkin? Biar bisa langsung dipake."

"Oh, ada tuh. Delapan orang, bawa aja. Kelamaan disini sampe gak ada yang mau adopsi."

Dima membeku di tempat. Barusan itu suara kepala panti tengah berbicara dengan seseorang yang suaranya tidak terdengar ramah sama sekali. Yang membuat Dima bingung dan kalut, siapa yang dimaksud kepala panti dengan delapan orang?

Apakah delapan orang itu adalah dirinya dan saudara-saudaranya? Tapi kenapa kepala panti menawarkan mereka pada pria bersuara rendah itu?

Dari celah tangga lantai dua, Dima dapat melihat sosok lawan bicara si kepala panti. Ia seorang pria bertubuh kekar dan menyeramkan, tangannya membawa pistol yang Yeosang duga adalah sumber suara tembakan tadi.

"Bagus, ada di mana mereka?"

"Tepatnya kurang tau, tapi terakhir saya lihat mereka ke lantai 4, coba cek sana."

"Kalau nggak ada, kamu yang saya bawa ya."

"Kamu yang bakal rugi ngejual perempuan tua kayak saya di pasar gelap."

"Bukan kamu yang saya jual, tapi organmu. Sudah, saya mau cari delapan orang itu."

Deru nafas Dima semakin tak beraturan kala pria berbadan besar beserta beberapa orang di belakangnya berjalan menuju tangga. Dima dapat melihat para pria itu ada yang membawa tali, alat setrum, dan benda tajamㅡentah apa yang akan para pria itu lakukan terhadap dirinya dan saudara-saudaranya. Dima semakin panik saat empat pria itu sudah berada di lantai satu, ia segera berdiri dan bergegas menghampiri saudara-saudaranya yang lain.

"AAAㅡ"

"Sst!" Hanes menutup mulut Dimaㅡ mencegah adiknya agar tidak berteriak karena ia juga mendengar dan melihat hal yang sama dengan Dima tadi.

Para pria itu anggota sindikat perdagangan manusia yang telah bekerjasama dengan panti asuhan selama bertahun-tahun. Sindikat itulah yang membiayai seluruh anggaran panti asuhan. Sebagai gantinya, organisasi itu akan datang dan mengambil anak-anak yang sudah terlalu lama berada di panti dan tak kunjung diadopsi untuk kemudian dijual baik raganya maupun organnya.

Dan hari ini, delapan bersaudara itu menjadi target sindikat keji tersebut.

"Lihat kakak, jangan nangㅡ"

"Pak! Itu di atas sana ada dua orang!"

Baik Dima maupun Hanes membelalakan mata mereka saat salah satu dari empat pria itu melihat mereka dari celah tangga. Lantas Hanes langsung menarik tangan Dima dan membawanya naik ke lantai dua, "Kejar mereka! Jangan sampai lolos!"

Dima dan Hanes sudah berada di lantai dua ketika mereka mendengar suara pria itu menyuruh anak buahnya mengejar mereka. Di situ mereka kembali bertemu dengan enam saudara mereka yang lainnya yang baru saja tiba di lantai dua.

"Hanes! Dimㅡ"

"Itu mereka! Ayo tangkap!"

"LARI! NAIK KE LANTAI EMPAT!" Reuni itu tak berlangsung lama sebab para anggota sindikat sudah menyusul mereka dan kini mengejar delapan bersaudara tersebut sambil sesekali menembakkan pistol sebagai ancaman. Melihat salah seorang pria yang membawa pistol berada tak jauh dari Dima, Hanes segera mendorong Dima agar berlari ke saudara-saudaranya yang lain di depan.

Setelah memastikan Dima aman bersama Sagma, Hanes mengambil sebuah vas bunga, "Hei! Botak!" Panggilnya pada si pria dengan pistol. Hanes melempar vas bunga tersebut yang kemudian pecah mengenai kepala pria tersebutㅡmembuatnya oleng dan meraung tidak jelas karena beberapa serpihan vas masuk ke matanya.

"Hanes! Ayo!" Teriak Sagma dari lantai empat dengan para adiknya di sebelahnya. Tanpa menoleh ke belakang, Hanes berlari menaiki tangga menuju tempat adik-adiknya berada. Namun belum ada sepuluh anak tangga yang dinaikinya, seseorang menarik pergelangan kakinya.

BRAK!

"KAK HANES!" Wira berteriak panik. Pasalnya, mereka takut Hanes tidak sanggup melawan pria berbadan besar yang memegang pergelangan kaki Hanes itu. Pun mereka takut pria itu akan membawa Hanes pergi dan mereka tidak akan pernah melihat Hanes lagi.

"Ketangkap juga kamu, anak nakal." Pria itu tersenyum remeh di kala Hanes tidak menunjukkan tanda-tanda perlawanan. Bahkan Hanes masih diam saat pria itu hendak mengikat kedua kakinya.

"KAK HANES!" Wira kembali meneriaki nama Hongjoong, kali ini suaranya terdengar sedih dan putus asaㅡia tidak mau berpisah dengan kakaknya dengan cara seperti ini. Ia ingin menyelamatkan Hanes, namun situasi menempatkannya dimana ia hanya bisa meneriaki nama kakaknya itu.

"Tangkap yang lainnya! Ini bagianku." Pria itu kembali memerintah anak buahnya untuk menangkap sisa tujuh anak lainnya. Sagma menatap panik pada beberapa pria berbadan kekar yang mulai menyusuli mereka. Selagi membawa adik-adiknya pergi, Sagma menatap sekali lagi pada Hanes dengan tatapan yang sulit dimengerti. Hanes mengangguk pada Sagma, tanda bahwa ia akan baik-baik saja.

"Lari! Nanti kita ketemu di sana." Anak tertua itu tersenyum selagi Sagma dan adik-adiknya menghilang dari pandangannya. Ketujuh saudara itu tahu apa itu di sana yang dimaksud Hongjoong, maka mereka tidak lagi takut akan berpisah dari Hongjoong.

Setelah adik-adiknya menghilang dari pandangannya, kini fokus Hanes jatuh pada pria di depannya yang nampak sangat fokus mengikat kedua kakinya hingga ia tak melihat bahwa Hanes memegang sebuah pisau lipat. Hanes mengamati pria itu baik-baik. Ia menemukan celah untuk menyerang ketika pria itu lengah, seolah ia puas setelah menangkap Hanes.

"Anteng sekali kau, daritadi kayak gitu kek biar gak nyusahin orㅡ"

CRAT!

"AAAAHHH!"

Hanes menarik kerah baju pria itu dan menyayat lehernya dengan pisau lipat yang selalu dibawanya di saku celananya. Selagi pria itu meraung kesakitan, Hanes melepaskan dirinya dari tali yang mengikat lalu segera berlari menyusul adik-adiknya.

"Rasain, botak." Gumam Hanes dengan puas seraya membawa dirinya menjauh dari pria yang tengah meraung ditengah kesakitannya.

###

"Rafa! Ayo cepetan! Sini, ke sini!" Di tempat yang berbeda, Sagma membawa adik-adiknya menuju sebuah pintu yang berada di pelosok lantai empatㅡyang letaknya jauh dari ruangan-ruangan lainnya.

Di balik pintu tersebut ada tangga menuju basement yang kemudian memiliki pintu yang tembus ke halaman belakang panti asuhan. Sagma sangat bersyukur dulu dirinya suka sekali menjelajah setiap bagian gedung panti asuhan hingga mengetahui jalan pintas seperti ini. Setelah memastikan semua adik-adiknya sudah masuk, Sagma menutup pintu itu lalu bersembunyi di tangga.

"Kak, Kak Hanes gimana?" Tanya Gian khawatir sebab Hanes belum juga menampakkan batang hidungnya, "Kita tunggu aja ya, Kak Hanes pasti ke sini kok." Sagma berusaha tersenyum walau dirinya juga tidak yakin apakah Hanes akan berhasil meloloskan diri atau tidak.

Setelah sepuluh menit bersembunyi di tangga yang gelap dan curam sembari menunggu Hanes, pintu tangga itu terbuka dan menampilkan sosok Hanes yang terengah-engah, "Kak Hanes!" Pekik Wira, wajahnya yang semula ketakutan kembali cerah ceria begitu melihat sosok kakaknya itu.

Hanes tersenyum sebentar lalu meletakkan satu jari di depan mulutnyaㅡmeminta Wira dan yang lain agar tidak bersuara. Hanes mengintip dari celah pintu untuk memastikan para pria itu tidak menyusul mereka kemari. Beruntung pintu rahasia tersebut menyatu dengan tembok sehingga menyulitkan para pria itu menemukan pintu tersebut. Hanes lalu mengunci pintu tersebut dan menahannya dengan sebuah meja besi berkarat.

"Sudah, ayo keluar dari sini." Setelah mengunci pintu, Hanes turun menyusul saudara-saudaranya dan mereka bergegas keluar dari sana. Begitu mereka keluar dari pintu basement, mereka langsung mengunci pintu tersebut dan menahannya dengan sebuah lemari pakaian yang tak lagi dipakai karenaㅡkatanyaㅡberhantu.

Setelah yakin tak akan ada seorang pun dari sindikat itu maupun orang panti asuhan akan mengikuti mereka, barulah kedelapan bersaudara itu kabur dengan berjalan kaki menuju kota.

Hari sudah gelap ketika mereka tiba di kota. Kebanyakan toko sudah tutup dan hanya ada sedikit orang yang berlalu lalang. Lampu-lampu jalanan sudah mulai redup dan jalan raya nampak sepi tanpa ada satupun kendaraan yang lewat.

"Sekarang kita kemana?" Wira berjongkok di tanah, lelah karena berjalan jauh untuk bisa sampai di kota. Tangannya menggenggam tangan Sandya, pertanda ia meminta Sandya dan yang lain untuk berhenti berjalan karena ia lelah.

Panti asuhan mereka berlokasi agak jauh dari kotaㅡlebih tepatnya di daerah yang hanya ada hutan, pepohonan, dan jalanan. Setelah kabur mereka memutuskan untuk berjalan ke kota untuk mencari batuan, namun alih-alih mendapat bantuan, mereka justru lelah dan kedinginan.

"Nggak tau, aku juga belom pernah ke daerah sini." Sagma memandang lingkungan yang asing di sekitarnya. Hari sudah sangat larut, mustahil jika mereka mencari bantuan sekarang. Sekalipun mereka ke kantor polisi, mereka pasti akan ditanyai bagaimana mereka bisa terdampar di kota.

"Gimana kalo kita coba jalan lagi?" Usul Leo sembari berjalan mundur. Satu tangannya menunjuk ke sembarang arah, "Setau aku kantor polisi ada di siㅡAAAHH!"

Leo meloncat mundur ketika ia menoleh ke belakang dan mendapati sosok seorang wanita berdiri mematung di belakangnya entah sejak kapan. Wanita tersebut memakai blus putih dengan pita hitam dan rok sebatas paha berwarna hitam. Rambutnya hitam dan panjang bergelombang hingga sepinggang dan tangannya membawa tas kecil berwarna hitam pula.

Wanita itu diam tak bergeming, sorot matanya terlihat kosong selagi ia memperhatikan satu persatu delapan bersaudara itu. Wanita itu memang cantik dan elegan, tetapi delapan bersaudara itu lebih takut pada wajah tak berekspresi wanita itu. Entahlah, tatapan wanita itu seolah ia ingin membunuh delapan anak-anak itu.

"M-Maaf." Sagma membuka suara, "A-adik saya t-tidak bermaksud menghalangi jalan A-Anda." Sagma berdiri paling depan bersama Hanes di sebelahnyaㅡ berhadapan langsung dengan wanita itu sementara para adik bersembunyi di belakang mereka.

"Terimakasih, aku hargai kesopananmu." Wanita itu tersenyum tipis pada Sagma lalu kedua maniknya beralih menatap anak-anak yang lain, "Kenapa kalian ada di luar jam segini? Bahaya loh." Intonasi suara si wanita yang terdengar ramah membuat keenam anak yang bersembunyi di belakang Hanes dan Sagma merasa sedikit lega.

"Ah..itu.." Hanes menggigit bibirnya, bingung bagaimana ia harus memberikan jawaban yang masuk akal pada wanita itu. Mata wanita itu menangkap sosok Rafa lalu menatap anak itu cukup lama, "Kalian habis kabur ya? Kalian anak panti kah?"

Sagma dan Hanes bertatapanㅡkelabakan dengan tebakan tepat dari wanita itu. Tadinya mereka ingin berbohong, namun entah bagaimana, wanita itu seakan bisa membaca pikiran mereka, "Iya, bener."

Wanita itu menampakkan wajah ibanya, "Kasihan, pasti ada sesuatu yang bikin kalian kabur sejauh ini ya." Wanita itu berlutut. Ia mengangkat satu tangannya dan mengusap pipi Sagma dengan ibu jarinya.

Delapan bersaudara itu hanya mengangguk pelan lalu diam dan tak lagi menjawab maupun mengajak wanita itu berbicara. Di sela-sela keheningan itu, Dima tiba-tiba menunduk sambil memegangi kepalanya.

"Eh? Dima kenapa?" Wira, yang berada di sebelahnya, mengguncang pelan bahu Dima sembari bertanya. Suara Wira yang cukup keras mengundang perhatian yang lainnya termasuk wanita itu. Dima menggelengkan kepalanya pelan, "Gapapa, cuma pusing tiba-tiba." Racaunya, masih sambil menunduk.

Wanita itu mengalihkan pandangannya dari Dima ke anak-anak lainnya, "Kalian gak punya tempat buat tidur, kan? Bagaimana kalau kalian tidur di rumahku untuk sementara?"

Delapan bersaudara itu nampak ragu, mereka takut wanita itu ternyata juga komplotan sindikat tersebut. Belum lagi, mereka bertemu wanita ini dengan kesan yang kurang baik pula. Bagaimana kalau ia sampai berniat jahat?

"Tenang saja, aku tidak akan membahayakan kalian." Lagi-lagi wanita itu seakan bisa membaca pikiran mereka, "Aku hanya ingin menawarkan tempat istirahat. Lagipula, saudara kalian ada yang butuh istirahat, kan?" Wanita itu melirik Dima yang kini bersandar pada bahu Wira.

"Kalian tidak mungkin kan, tidur di jalanan? Lagipula, ada yang ingin kubicarakan juga dengan kalian." Wanita itu tersenyum. Senyuman yang  terlihat ramah, tetapi terlihat menyeramkan di mata delapan anak itu. Delapan bersaudara itu tidak punya pilihan lain, mereka tidak bisa tidur diluar dengan keadaan Dima yang seperti itu.

Yah, selama wanita itu memang berniat baik, kenapa tidak? Toh, besok mereka akan langsung pergi mencari tempat atau panti asuhan lain, "Kita...nggak ngerepotin memangnya?" Tanya Sagma sehati-hati mungkin.

Wanita itu menggeleng, "Enggak." Tangannya lalu terangkat menepuk kepala Sagma, "Karena aku juga butuh teman." Wanita itu mengukir sebuah senyum.

Senyum yang terlihat ramah, namun juga sulit untuk diartikan apa maksud dari senyum yang diberikannya.

                                        ㅡㅡㅡ

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status