Beryl masih menatap mengawasi perempuan yang duduk di depannya. Namun, Bu Liana tetap tak acuh, sama sekali tak menghiraukan Beryl. Ruangan Bu Liana begitu sepi. Yang ada hanya deretan meja-meja kaca yang mengkilat kehitaman. Dosen perempuan itu terkesan angker. Kesan angker akan jelas terlihat jika dosen itu tengah menghadapi mahasiswa yang akan ujian.Dosen perempuan itu tampak membuka-buka buku yang ada di depannya. Tak tahu teori apa yang sedang dicarinya di buku itu untuk menjatuhkan mahasiswanya. Semua hal yang dilakukan dosen itu memang tepat untuk menambah wibawanya di depan mahasiswa agar tambah disegani.Hampir seperempat jam Beryl dibiarkan seperti patung di seberang meja Bu Liana. Dosen perempuan itu masih sibuk dengan pulpennya, menulis. Entah catatan kekurangan apa lagi yang dibuatnya. Rasanya Beryl kepo juga untuk tahu apa yang ditulis dosen perempuan itu. Namun, etika mahasiswanya mencegahnya buat usil pada sang dosen.
Beryl menuruni tangga dengan perasaan tak karuan. Perpaduan dari rasa gundah, khawatir, dan mungkin juga marah. Sepanjang kakinya menuruni tangga empat tingkat itu taka da sesuatu pun yang membuatnya menarik. Dia juga sama sekali tak tertarik untuk mengamati wajah-wajah sumringah penuh pupur dan make up yang begitu tebalnya daric ewe-cewe yang berjalan berpapasan dengannya. Dia juga tak tertarik untuk menikmati pinggul cewe-cewe yang bergoyang dan berlenggok di depannya. Menghadapi pemandangan seperti itu biasanya Beryl selalu menelan saliva karena merasa tergoda. Tapi kali ini semua seperti kelabu. Salivanya kini terasa pahit.Matahari senja masih menyisakan sinar hangatnya di atas atap kampus Universitas Airlangga. Hanya sisa hangat yang samar berbaur dengan sejuk angin kemarau. Tapi hatinya masih seperti digodok yang panasnya jauh lebih panas dari panasnya matahari karena sekian kali tak lulus ujian pada mata kuliah Bu Liana. Ya, tak lulus ujian. Persoalan terb
“Begini, Beryl. Tadi Bu Liana meminta dewan dosen untuk bersidang membahas persoalanmu. Menurut Bu Liana, kamu telah menghina dan meremehkannya. Apa betul seperti itu? Saya ingin mendengar keterangan langsung darimu.”Mendengar semua penjelasan ketua jurusan, Beryl jadi terperanjat di atas kursi tamu yang tengah dia duduki di rumah ketua jurusan. Mata Beryl tak berkedip menatap ketua jurusan fakultasnya. Sementara ketua jurusan juga mengawasinya.“Sampai sebegitunya, Pak?” kata Beryl dengan gugup.“Iya, Beryl. Bu Liana menginginkan semua persoalan ini masuk dalam agenda sidang dosen. Sepertinya dia sangat marah dan tersinggung. Yang aku pahami dari penjelasannya, dia mengajukan opsi, kamu dikeluarkan atau dia yang keluar.”“Sampai sebegitunya, Pak?” Tanya Beryl kembali.“Iya, begitulah Beryl. Dan dalam kasus seperti ini belum ada sejarah dosen yang harus keluar. Kamu menger
Di dalam hati Beryl merasa takut ketika dia harus memikirkan Ririn dan ancaman-ancamannya. Maka sebisa mungkin Beryl berusaha menghindari pertemuan dengan Ririn. Juga berusaha sebisa mungkin tidak menghubungi Ririn lewat media sosial. Membayangkan Ririn seperti membayangkan seorang polisi yang siap menyeretnya ke sel penjara. Itulah yang kini selalu membayangi pikiran Beryl. Entahlah! Apakah ini semua berlebihan. Namun, begitulah yang kini tengah dirasakannya.Beryl tak bisa memastikan apakah semua sikap Ririn bisa berubah lagi. Dulu, di mata Beryl tak pernah ada cewe lain yang mampu melebihi Ririn, begitu lembut, perasa, pengertian, dan pintar. Tapi sekarang, kenapa Ririn berubah menjadi penjajah bagi dirinya? Penjajah kemerdekaannya. Kesetiaan jenis apa yang sebenarnya dimiliki oleh Ririn. Begitu mengikatkah? Seseuatu yang indah dan romantis dalam percintaan dengan Ririn seperti sudah lenyap. Apakah cinta hanya sebuah sarana untuk mencapai sebuah ikatan yang namanya p
Beryl masih berdiri di depan rumah yang berpagar mewah itu. Ia meneliti keadaan di sekitarnya. Bunga-bunga yang begitu indah sore itu bermekaran dengan aroma yang begitu wangi. Pintu pagar rumah itu tak terkunci. Menunjukkan rumah itu ada penghuninya. Dengan pelan, Beryl mencoba mendorong pintu pagar itu. Bunyi keras terdengar dari pagar yang di dorong Beryl. Apa yang dilakukan Beryl begitu mengejutkan bagi perempuan setengah baya yang tengah menyiram bunga di taman samping rumah. Sejenak perempuan itu menghentikan aktivitasnya. Dia menatap ke arah rambut gondrong Beryl yang dari beberapa waktu lalu belum sempat di potong. Perempuan itu mengeryitkan dahinya, merasa heran dengan sikap Beryl yang dinilainya kurang memiliki tata karma.Beryl mencoba tersenyum pada perempuan setengah baya itu. Namun, perempuan itu bersikap lain. Terlihat merasa kurang suka dengan kedatangan Beryl. Beryl menjadi salah tingkah.“Selamat sore, Bu. Saya teman Lidya.”
Kerumunan mahasiswa Universitas Airlangga itu kian bertambah banyak. Mereka berkumpul di hamparan rumput yang dinaungi pepohonan yang rindang. Lingkaran besar telah terbentuk. Mereka akan mengadakan kegiatan Gelar Sastra yang dimotori oleh mahasiswa jurusan sastra dari Fakultas Ilmu Budaya. Pada kegiatan gelar sastra itu mereka akan mengadakan acara pembacaan puisi.Mata Beryl berkeliling di antara sekian banyak mahasiswa. Dia berusaha mencari tempat yang yang luang. Beberapa penyair kenamaaan Jawa Timur dan sekitarnya sudah hadir dan siap untuk membacakan lembar-lembar puisinya.Mata Beryl masih berkeliling. Kali ini pandangan matanya jatuh pada Lidya yang tangah duduk di bawah pohon cemara. Dengan hati-hati dan pelan-pelan, Beryl berusaha mencari jalan agar bisa duduk di dekat Lidya.“Hai?” sapa Beryl pada Koko yang tengah duduk di samping Lidya.“Hai, Lidya,” lanjut Beryl menoleh ke arah Lidya.&ldqu
Rombongan mahasiswa fakultas Ilmu Budaya itu telah siap. Mereka semua sudah berkumpul di kampus. Bus yang akan mengantar mereka juga sudah tiba sedari tadi. Beryl telah mengatur tempat duduk untuk rombongan yang ikut riset. Ririn juga ikut dalam rombongan itu. Wajah Ririn terlihat cerah. Dan Bu Liana tetap seperti biasanya, angker. Namun tetap cantik. Mata Bu Liana begitu acuh mengamati keadaan di sekelilingnya. Bahkan tak mau menyinggahkan pandangannya sedikit pun ke arah Beryl. Juga saat Beryl mempersilakannya duduk di bus di kursi paling depan, tak satu huruf pun dia menjawab.Tempat yang akan mereka tuju untuk mengadakan riset yaitu di daerah sekitar Gunung Bromo. Mereka akan meneliti kawasan industri dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat di sekitar BromoBus yang membawa mereka telah melaju meninggalkan kampus Unair. Beryl duduk di kursi deretan paling belakang bersama Joni.“Tolong kamu urus Ririn selama pelaksanaan riset,”
Lidya masih terdiam. Perempuan setengah baya yang menjadi ibu kostnya itu menatapnya. Setiap kedipan mata yang dilakukan Lidya selalu tertangkap oleh perempuan itu.“Bagaiamana menurutmu tentang cowo yang tadi, Lidya?”“Lidya hanya mengangapnya sebagai teman, Bu.”“Baguslah kalau Lidya hanya menganggapnya seperti itu. Demikian juga dengan dia. Tapi kalau dia punya perasaan yang beda, kemudian tunanganmu dating?”Kembali Lidya diam. Pelan-pelan Lidya mengalihkan pandangannya kepada perempuan setengah baya itu.“Jujur Lidya, ibu kurang simpati pada cowo gondrong tadi. Kamu perlu hati-hati. Siapa tahu saja dia mengira mendapatkan angin segar darimu. Meskipun ibu ini hanya ibu kostmu, ibu tetap berharap Lidya menjadi gadis yang baik. Jangan menjadi perempuan yang suka mempermainkan laki-laki.”“Selama kami kenal, kami tak pernah mempermasalahkan soal cinta, Bu.&rdquo