“Apa ini, Mas? Jujur pada aku, selama ini kamu berbohong ‘kan!” Aku berkata dengan suara yang histeris. Melempar semua foto yang diberikan oleh Lufi sahabatku.
Awalnya aku tak percaya. Sudah berulang kali Lufi mengatakan jika Mas Anjas berselingkuh, tetapi aku masih saja tak percaya. Bukan hanya Lufi yang pernah berkata begitu padaku, sudah ada beberapa orang. Tetapi aku sungguh tak pernah percaya. Bagaimana mungkin bisa percaya, Mas Anjas sangat baik padaku. Dia memperlakukan aku bagai ratu. Dia tak pernah marah. Semua keinginanku selalu dipenuhi. Dia tak pernah berkata kasar. Semua kebutuhanku juga selalu dipenuhi. Lantas atar dasar alasan apa aku bisa percaya pada orang-orang yang mengatakan jika Mas Anjas selingkuh? “Sayang, dengar dulu penjelasan ku. Semua tidak seperti yang kamu katakan. Tolong dengarkan aku dulu,” ujar Mas Anjas memohon. “Penjelasan apa, Mas? Bukti foto itu sudah menjelaskan semuanya. Selama ini kamu meminta izin keluar kota untuk bekerja, nyatanya kamu berbohong. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!” Aku sangat histeris. Sungguh kenyataan ini sangat menyakitkan. Aku tidak percaya jika lelaki yang menurutku sangat baik, tega berkhianat dibelakangku. Mas Anjas meraih pergelangan tanganku, namun aku langsung menghempaskan. Bibirnya pun berucap, “Sayang, tolong. Apa yang terjadi tidak seperti yang kamu pikirkan!” Wajah Mas Anjas memelas. “Berhenti memanggilku sayang. Aku benci kamu, Mas! Aku benci!” ujarku masih dengan penuh amarah. Diri ini perlahan melemah. Aku terduduk dilantai. Rasanya kaki tak mampu menopang tubuh. Aku sungguh sangat rapuh. “Pergi kamu, Mas! Aku tidak ingin lagi melihat wajahmu! Pergi!” tuturku lirih, tetapi pasti Mas Anjas dapat mendengar. Mas Anjas mendekat, dia ikut terduduk. Kini kami duduk berhadapan. Namun aku tak Sudi melihat wajahnya. Sungguh, aku sangat kecewa. Perempuan mana yang tak kecewa saat mengetahui kenyataan jika suaminya telah menikah siri dengan sahabatnya. Sakit, oh Tuhan ini terlalu sakit. Aku sangat tidak menyangka Mas Anjas tega melakukan ini padaku. “Aku minta maaf, Sayang. Aku tak berniat menyakiti kamu. Aku juga sungguh tak pernah mencintai Ana. Aku hanya mencintai kamu. Hanya kamu istriku, Sayang. Aku dan Ana hanya menikah siri,” ujar Mas Anjas pelan. Dia seolah berbisik ditelingaku. Suaranya terdengar sangat lembut. Namun, apapun yang keluar dari bibirnya sangat menyakitkan bagiku. Aku tertawa sendu. Bibir pun berucap, “Katamu tidak mencintainya, Mas. Ana sedang hamil dan kamu mengatakan tidak mencintainya! Aku bukan perempuan bodoh. Oh tidak, aku adalah perempuan bodoh karena selama ini tidak percaya dengan ucapan orang-orang.” Aku tertawa, menertawai diri sendiri. Sebuah tawa yang sungguh sangat mengiris hati. Rasanya saat ini aku sudah gila. Tertawa dengan air mata yang terus berderai. “Tidak, Sayang. Aku bahkan tak pernah menyentuh Ana. Please percaya padaku, Sayang. Perempuan yang pernah aku sentuh hanya kamu.” Tatapan Mas Anjas sangat sendu. Jika di hari yang lalu, aku iba melihat tatapan itu, tetapi tidak dengan hari ini. Aku muak, aku benci ditatap begini. “Apa kamu ingin membodohiku? Tidak pernah menyentuh Ana tetapi dia bisa hamil. Apakah kamu sedang menyindirku yang belum juga hamil setelah lima tahun pernikahan kita, Mas? Benarkah begitu. Apa saat ini kamu sedang mengejekku?” ujarku lirih dengan wajah yang masih saja tersenyum sendu. Mas Anjas menggeleng, “kamu salah paham, Sayang. Bukan begitu maksud perkataanku. Kamu tidak boleh berpikir begitu.” “Lantas apa maksud mas berkata begitu padaku? Tidak perlu menjelaskan pernah melakukan hubungan badan atau tidak, atau kalian pernah melakukan berapa kali. Kehamilan Ana sudah menjadi bukti jika mas mencintainya. Mas tak mungkin berkhianat jika bukan cinta yang menjadi alasan.” “Sayang, please, percaya padaku! Selama kita menikah, apa pernah aku membahas tentang kehamilan? Apa aku pernah mengeluh karena kita belum memiliki keturunan? Apa aku pernah memaksamu ini dan itu? Tidak pernah ‘kan? Aku tidak peduli, Sayang! Aku tidak peduli dengan takdir kita yang belum memiliki keturunan karena hidup dengan kamu adalah pilihanku. Aku sangat sayang kamu, Vara. Sungguh sangat sayang. Tolong jangan pernah berkata begitu.” Aku tak bisa berkata apapun. Mungkin jawaban dari perkataan Mas Anjas dapat terjawab lewat air mata yang hingga kini tak henti. Semua yang keluar dari bibir Mas Anjas benar adanya. Dia tak pernah memaksaku melakukan hal apapun agar bisa hamil. Bahkan dia lah yang selalu berkata bahwa tujuan pernikahan untuk menua bersama, anak adalah bonus. Jika Tuhan sudah percaya, pasti kita akan dikasih. Dia lah satu satunya makhluk yang selalu memberi motivasi padaku disaat rapuh. Bahkan disaat semua orang memojokkan karena tak kunjung hamil, Mas Anjas selalu membela. Hingga usia pernikahan lima tahun, belum pernah sekalipun Mas Anjas diam saat ada orang yang merendahkan aku. Belum pernah sekalipun dia diam saat ada orang yang menyakitiku. Bagiku, Mas Anjas adalah rumah. Tetapi ini apa? Yang dia lakukan sangat menyakitkan. Kemana aku harus pergi jika akhirnya memutuskan untuk berpisah? Aku tidak sanggup hidup tanpa Mas Anjas, tetapi aku juga tidak siap untuk di madu. Apalagi perempuan yang menjadi istri kedua Mas Anjas adalah Ana — Sahabatku. Sungguh, aku tidak bisa menerima kenyataan ini. “Maafkan kesalahanku, Sayang. Selama ini tidak bercerita ke kamu karena aku takut kamu tidak akan terima. Aku tahu aku salah. Tolong maafkan aku. Aku berjanji akan memperbaiki semuanya. Percayalah, aku sangat mencintai kamu.” Bulir air mata keluar dari kelopak Mas Anjas. Tetapi kenapa hati ini tak tersentuh. Mas Anjas nampak sangat rapuh. Entah apa yang aku rasakan saat ini. Ucapan cinta dan sayang yang keluar dari bibir Mas Anjas tidak membuatku luluh. Aku sangat benci kata itu. “Tidak layak bibirmu mengucap kata cinta, sedangkan tanganmu pernah menjamah perempuan lain. Najis, Mas! Aku tak sudi mendengarnya. Yuk, kita akhiri pernikahan ini. Aku rasa, pernikahan kita tidak bisa bertahan. Aku tak bisa memaafkan perselingkuhan,” ujarku pelan dengan tatapan kosong. Mas Anjas langsung memelukku. Bibirnya pun berkata, “tidak, Sayang. Aku bisa perbaiki semuanya. Kamu jangan pergi. Aku tidak mampu jika harus kehilangan kamu. Tolong, sayang. Kasih aku kesempatan untuk perbaiki semuanya. Kamu saat ini masih dalam keadaan emosi. Kita bicarakan lagi saat suasana hatimu sudah membaik.” Badanku sangat rapuh hingga tak punya tenaga untuk memberontak. Membiarkan diri berada dalam pelukan Mas Anjas. Tetapi aku benci pelukan ini. Aku benci jika harus mengetahui kenyataan, badan Mas Anjas pernah dicumbu oleh perempuan lain. Aku sakit jika menerima kenyataan, bibir yang selalu mengucap sayang dan cinta, ternyata pernah bersentuhan dengan bibir perempuan lain. Aku tidak bisa menerima kenyataan menyakitkan itu. Tak rela jika Mas Anjas pernah begitu mesra dengan perempuan lain. Dengan sisa tenaga yang aku punya, perlahan melepas pelukan. Aku menatap mata Mas Anjas. Lama terdiam, aku akhirnya berkata, “tidak ada lagi yang perlu diperbaiki, Mas. Sesuatu yang sudah retak, tidak akan bisa lagi untuk diperbaiki. Meskipun bisa, bekasnya tak mungkin hilang. Aku ingin kita bercerai. Mulai hari ini, hidup denganmu bukan lagi kebahagiaanku. Ceraikan aku, Mas!”“Kamu membiarkan aku berjuang sendiri. Kamu tidak pernah mengakui jika telah menikah dengan Ana, tetapi kamu juga tidak menjelaskan apapun padaku. Kamu membiarkan aku merasa bersalah. Kamu membiarkan aku menunggu tanpa kepastian, kapan akan pulang. Aku menunggu kamu di Rumah dalam keadaan khawatir, takut kamu kenapa-napa. Saat itu aku sedang hamil muda, Mas. Dokter menyuruhku untuk beristirahat total, tetapi aku tidak mungkin bisa beristirahat dengan tenang sedangkan kamu tidak ada kabar. Dengan semua kekhawatiran itu, nyatanya kamu sedang berada di tempat aman dalam keadaan yang sangat bahagia. Siapa perempuan yang tak akan kecewa melihat kenyataan itu?” Aku hanya mampu mendengarkan dengan perasaan yang sangat merasa bersalah. Sejahat itu aku! Seharusnya bisa menjelaskan sejak dulu. Jika memberitahu Vara sejak dulu, dia pasti lebih bisa menerima dan memaklumi. Bukan lari dan pergi jauh dariku. Aku yakin jika Vara bisa memaafkan, jika aku lebih dulu jujur padanya. “Kamu tahu nggak
*** Malam ini aku bertemu dengannya. Perempuan yang sudah hampir dua puluh tahun hilang entah kemana. Ahh, bukan hilang. Lebih tepatnya melarikan diri dari kehidupanku. Tak ingin menyalahkannya, aku lah yang pantas disalahkan. Lelaki yang tidak bisa tegas dengan hidup. Lelaki yang telah menorehkan luka pada perempuan tersayang. Andai saja saat itu aku bercerita jujur. Andai saja ketika itu, aku tak menyangkal. Mungkin dia tak akan pergi dariku. “Aku tidak akan lagi melepaskan kamu, Vara. Apalagi kamu pergi dengan membawa anak-anakku. Kenapa menyembunyikan mereka dariku. Ternyata aku memiliki anak dari kamu. Ternyata aku telah menjadi seorang ayah. Begitu kecewanya kah kamu, hingga tak berkata apapun saat pergi,” lirihku. Namun lantas terdiam. Aku terus saja berpacu mengejar mobil yang takut jika hilang dari pandangan. Dalam keheningan,bibir pun kembali berkata lirih, “pantaskah aku disebut sebagai seorang ayah. Selama ini aku tak pernah membiayai hidup mereka.” Rasa bersa
Ya, perempuan yang berkata pada Mas Anjas adalah Ana. Perempuan terjahat yang pernah aku kenal. Perempuan polos yang berhati munafik. “Vara,” lirih Ana sambil menatapku kaget. Mas Anjas tidak berpaling pada Ana, sedari tadi dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, itu bukan lagi urusanku. “Vara kita perlu bicara,” ucap Mas Anjas masih dengan tatapan yang tajam. Aku langsung menunduk. Berusaha pura-pura tidak mengenal Mas Anjas, namun nyatanya dia enggan untuk mengikuti. Kenapa bibirnya terlalu lancang menyebut namaku dan mengajak untuk berbicara. Nisa mengusap lenganku. Bibirnya pun berkata, “Var, kamu kenal dengan Pak Anjas?” Meskipun berkata dengan lirih, aku dapat mendengar. “Yuk pulang. Tempat ini tidak baik untuk kita. Nisa tolong kamu tetapi berada di sini sampai acara ini selesai,” ujarku sambil menoleh pada Candu, Candi dan kemudian Nisa. “Iya, Bun. Yuk kita pulang,” tutur Candu, sedangkan Candi, sedari tadi dia hanya menunduk. Baru saja ingin
Setelah berbincang dengan Candu, aku pun ke kamar meninggalkan Candu yang hanya terdiam. Mungkin dia bertanya-tanya tentang alasan atas semua ucapanku. Aku sungguh belum bisa menceritakan semuanya pada mereka.Mungkin di luar sana banyak orang yang akan menilai jika aku adalah seorang ibu yang jahat. Aku tak akan marah dengan pikiran mereka. Aku akui memang jahat karena tak membebaskan kedua putriku untuk dekat dengan lelaki diluar sana. Bahkan aku mengekang mereka untuk tidak menjalin hubungan asmara saat ini. Entah sampai kapan, aku juga belum tahu. Rasa takut ini terlalu menggerogoti dan menjadikan mereka sebagai tumbal atas rasa takut.Tepat pukul tujuh, aku keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapih. Di tangan, ada tas putih. Tak lupa, aku juga memakai high heels berwarna putih. Sedangkan baju yang aku pakai berwarna hitam dan kepala dibaluti jilbab yang juga berwarna hitam. Aku berusaha untuk berpenampilan elegan.“Candu, Candi, apakah kalian sudah selesai bersiap-siap?”
***“Bunda, emang harus ya kami gantiin karyawan bunda entar malam?” tanya Candu saat aku sudah memarkir mobil.“Wajib, Sayang. Kalian tidak sedang punya banyak tugas. Bunda tidak menerima alasan. Bunda sudah beri tahu dari Minggu lalu ‘kan? Kalian bantu gantiin karyawan di acara pertunangan anak koleganya bunda. ” “Kak Candu kenapa sih? Ya kan tidak setiap hari kita membantu Bunda. Toh kita juga tidak memiliki kesibukan apa-apa,” ujar Candi dengan lembut. Ucapan Candi membuatku tersenyum. Anakku yang satu ini memang sangat lembut. Aku melirik lewat spion dalam, Candi terlihat sendu. Wajah yang selalu dihiasi senyuman, tak nampak terlihat. Apa dia sedang punya masalah yang ditutupi dariku?“Ahhh, Bunda! Tapi aku sedang malas, jadwal nonton ku di ganggu. Aku sekarang lagi penasaran. Udah episode dua puluh, Bun! ” tutur Candu sambil menghentak-hentakan kaki. “Bunda tidak menerima bantahan, Sayang. Ini wajib, perintah dari bunda yang harus kalian ikuti. Kalian tidak boleh membantah. L
Tangan terasa gemetar. Mata masih saja menatap langkah yang kian menjauh itu. Mustahil aku bisa lupa dengan wajah itu.Bagaimana ini, Ya Allah. Kalau sampai Mas Anjas bertemu dengan Candu dan Candi, aku harus bagaimana? Oh Tuhan, Mas Anjas tidak boleh bertemu dengan Candu dan Candi. Aku takut! Dia pasti bisa saja mengenal wajah mereka. Bagaimana tidak, Candu dan Candi sangat mirip dengan wajah Mas Anjas. Kini Mas Anjas telah hilang dari pandangan. Tetapi belum ingin beranjak. Aku harus tetap berada di sini. Memastikan kalau Candu dan Candi tidak bertemu dengan ayah mereka.Dering handphone membuyarkan lamunan. Aku melihat sejenak nama yang tertera di layar, lalu mengangkat. “Hallo, Nis,” ujarku lembut.[Vara, kamu nggak ke kantor? Bagaimana dengan rapat nanti? Jadi nggak?”] “Iya, jadi. Tunggu, aku udah mau ke situ.” Aku langsung mematikan panggilan sepihak. Menarik napas secara kasar, lalu menghembuskan. Aku harus bergegas dari sini. Nanti malam rencananya ada rapat. Sebelum itu,
*** “Sayang, apa lagi yang kalian perdebatkan? Langsung makan saja kenapa sih?” Teriak ku dari dapur. Sedangkan di meja makan, kedua putriku masih saja berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan, sepertinya sangat seru. Hingga suara mereka terdengar hingga ke dapur. Mereka masih asyik berdebat tanpa menggubris perkataanku. Setelah membersihkan semua peralatan masak pagi ini, aku langsung mendekati Candi dan Candu — Kedua putri kembarku yang kini sudah berusia dua puluh tahun. Dulu, aku mengira hanya mengandung seorang bayi. Namun, diusia empat bulan kehamilan, terlihatlah di dalam rahim terdapat dua janin. “Kalian berdebat tentang apa? Kenapa bunda tidak diajak?” “Nih Kak Candu. Sangat menyebalkan. Masa dia mengatakan kalau Kak Yislam jelek,” ujar Candi dengan sangat lembut. “Lah emang jelek. Aku tuh heran kenapa Candi suka sama lelaki modelan kayak Kak Yislam. Kamu tuh bisa dapat laki-laki yang lebih dibandingkan dia.” Kali ini Candu yang berbicara. Aku mengerutkan alis. Sia
“Aku nggak bohong, Var. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku menceritakan semuanya. Aku yakin setelah mendengar ceritaku, kamu akan semakin terpuruk. Tetapi kamu berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka,” ucap Lufi, tatapannya sangat sendu melihatku. Ada rasa ingin menghentikan Lufi agar tidak bercerita. Namun, ada pula rasa penasaran. Apa saja yang tidak aku ketahui selama ini? Benarkah ada banyak hal yang mereka sembunyikan dari aku? Sebanyak apa rahasia diantara Mas Anjas dan Ana? “Kamu tahu nggak, kenapa selama ini aku selalu mengatakan, jangan mudah percaya dengan kepolosan seseorang?” Aku hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ana. Otak terasa lemot untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Heheh, aku sudah menduga, kamu tidak paham dengan ucapanku, Vara. Orang yang aku maksud itu Ana. Selama ini kamu selalu memuji Ana di hadapanku dan aku sangat membenci itu. Dia munafik, Vara. Dia tidak sebaik yang kamu sangkakan sela
“Yang sabar ya, Mbak. Hidup memang berat. Tetapi kita harus berjuang. Makanya Allah beri kita masalah, karena Allah tahu kita mampu,” ujar supir taksi yang membuatku kaget. Dia lalu melihatku sejenak lewat spion yang ada dalam mobil, lalu lanjut berkata, “semua manusia punya ujiannya masing-masing. Semangat, Mbak.” Mungkin supir taksi ini bisa menebak jika aku sedang mengalami masalah yang berat, karena sejak tadi aku terus saja menangis. Sebenarnya malu karena harus menangis di dalam taksi. Hanya saja air mata ini tak bisa untuk ditahan. “Makasih ya, Pak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Aku merasa seperti dinasehati oleh seorang ayah. Supir taksi ini sudah tidak muda lagi. Aku perkirakan usianya sekitar 50 tahun lebih. Jika ayah masih hidup, mungkin usia ayah juga sudah lima puluh tahun. Andaikan aku memiliki orang tua yang lengkap, mungkin tidak akan serapuh ini. Ketika ada masalah, aku akan pulang ke rumah orang tua untuk berkeluh kesah. Nyatanya nasibku tak sebaik