Share

5. Hidup yang berharga

Vanilla menangis mendengar kata-kata pria itu. Dia tidak pernah membayangkan bahwa situasi seperti ini bisa terjadi, di mana tubuhnya yang selalu dijaga bisa saja dikotori oleh pria tersebut.

Pria itu pun mendekatkan wajahnya sambil berbisik, "Aku akan mempermudah urusan kau dengan kasus itu. Intinya, jangan beritahu siapapun siapa pelaku dari pembunuhan itu, atau aku bisa dengan mudah memperkosamu disini."

Pria itu segera melepaskan pegangannya, memberi kesempatan pada Vanilla untuk berbicara. Dengan air mata mengalir di wajahnya, Vanilla mencoba mengajukan pertanyaan kepada pria tersebut.

"Tapi... bukankah awalnya kalian akan menyekapnya...? Bukan menembaknya dengan senapan...." tutur Vanilla.

Vanilla merasa sangat banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan. Dia tahu bahwa dia tidak bisa melarikan diri dari situasi ini. Vanilla sudah terjerat dalam tragedi pembunuhan ini.

"Hahaha, kau masih belum mengerti?! Kaulah penyebabnya!! Penulis itu meninggal lebih awal karena kau... Pembunuhan itu akhirnya menggunakan rencana terakhir karena kau ditakutkan menggagalkan rencana penyekapan itu. Namun, ternyata kau hanya gadis yang bodoh," ucap pria itu.

Pria tersebut lanjut berbicara sambil menyeringai, "Ternyata kau tidak melakukan apa-apa... Bagus. Jadi, sekarang kau ingin hidupmu hancur? Atau, kau ingin kehidupan normal seperti orang biasa? Cuma itu pilihanmu sekarang..."

Mendengar pilihan yang ditawarkan oleh pria itu, Vanilla dengan pasrah memilih untuk menyelamatkan hidupnya daripada terjebak dalam kasus tersebut.

"Aku.... tidak akan memberitahu siapapun...." ucap Vanilla.

"Bagus... Tapi bagaimanapun, gerak-gerikmu akan selalu diawasi. Sekalipun kau melakukan hal yang mencurigakan... kau tidak akan selamat... baik hidup atau mati," ucap pria itu sambil mengisyaratkan jarinya yang memotong lehernya. Pria itu pun pergi meninggalkan Vanilla.

Dengan mendengar hal tersebut, Vanilla tak bisa menahan tangisannya yang deras. Dia merasa hampir mengalami kejadian mengerikan pada dirinya. Namun, sekarang dia diselimuti oleh ketakutan akan kematian mengenaskan yang mungkin akan menimpanya.

Vanilla berpikir bahwa seharusnya ia mencoba melupakan kejadian dari kasus tersebut. Namun, ia bertanya-tanya bagaimana caranya untuk melakukannya. Ditambah lagi... penulis tersebut belum benar-benar mati, bukan?

***

Vanilla siap untuk pergi ke sekolah pada hari Senin ini. Ia telah memutuskan untuk mengabaikan kasus tersebut secara keseluruhan.

Vanilla menyadari bahwa terlalu fokus pada kasus tersebut dapat merusak kehidupannya dan juga mempengaruhi orang-orang di sekitarnya. Dia yakin masih banyak orang baik yang selalu mendukungnya. Vanilla masih memiliki sahabat dan orang tuanya.

Vanilla berharap bahwa dengan melupakan kejadian kemarin, dia dapat kembali menjalani kehidupan yang tenang seperti sebelumnya.

Sebelum meninggalkan kamar, Vanilla membuka pintu dengan hati-hati untuk melihat kamar depannya. Ia khawatir akan bertemu dengan Ravi.

Tampaknya tidak ada tanda-tanda keberadaan mantannya di dalamnya. Pintu dan tirai tertutup, dan tidak ada cahaya yang bersinar dari dalam kamar.

Vanilla merasa lega karena tidak ingin menghadapi kecanggungan yang mungkin timbul jika mereka bertemu. Ia tidak yakin sampai kapan situasi tersebut akan berlangsung.

***

"Hei, pendek," sapa Avery.

"Hah? Gak punya kaca?" balas Vanilla tidak terima.

"Haiii, para kurcaciku..." peluk Sierra yang sama-sama baru sampai di gerbang sekolah.

Avery dan Vanilla tidak bisa menjawab karena Sierra memang lebih tinggi daripada mereka.

"Tidak terasa ya, kita sudah satu tahun setengah di sekolah ini," ucap Sierra.

"Bener juga. Kita juga selama berteman tidak pernah yang namanya bertengkar. Kayaknya kita 'best friend forever ever after' banget deh," balas Avery.

"Bener. Aku gak pernah nyesel loh ketemu kalian," ungkap Sierra sambil terus merangkul keduanya sambil terus berjalan.

Kedekatan mereka semakin meningkat karena Vanilla bercerita tentang akhir hubungannya dengan Ravi semalam. Semua memberikan dukungan penuh atas apa yang dialami Vanilla.

Sangat sulit untuk melepaskan orang yang kita cintai, apalagi harus menerima kenyataan bahwa dia akan menikah dengan orang lain. Sebagai sahabat, mereka berkomitmen untuk saling mendukung dan memberikan dukungan satu sama lain.

***

Di ruang kelas tetangga, ada seorang siswi baru yang baru saja memasuki ruang kelas itu.

"Halo semuanya, perkenalkan namaku Cerise Park. Mohon bantuannya," ucapnya lalu membungkuk.

'Wah gila, cantiknya.' 'Mukanya cantik seperti putri.' 'Apa dia memang seorang artis?'

Semua siswa menjadi berisik saat melihat wajah cantiknya. Mereka terus memberikan pujian yang beragam sejak saat kedatangannya.

***

Ravi : Jangan beritahu dulu hubungan kita ke siapa-siapa, oke?

Cerise: Memangnya kenapa?

Ravi: Jadi gini... Aku dan mantan pacarku dulu kami cukup populer. Aku takut satu sekolahan akan salah paham dengan hubungan kita. Ini demi kebaikan kita berdua ya, kan?

Cerise: Baiklah n_n

Itu adalah obrolan pesan antara Cerise dan calon suaminya.

"Kamu mempunyai hubungan dengan Ravi?" ucap Altair Cho dengan pelan. Ia dan Ravi merupakan rekan ekstrakurikuler basket dan termasuk satu geng dengan Ravi, namun beda kelas.

"Astaga, kau...." Cerise kaget setengah mati setelah tahu teman sebangkunya ikut mengintip percakapan di ponselnya.

"Maaf, tapi kontak Ravi pada ponselmu membuatku salah fokus," jelas Altair kelewat jujur.

"Kau harus berjanji untuk tidak memberitahu siapapun!" bisik Cerise kepada Altair.

"Kamu bisa percayakan kepadaku," jawab Altair sambil mengangguk.

"Aku pegang kata-katamu itu," bisik Cerise menekan kata-katanya. Ia menghela napas. Baru saja memijakkan kaki di kelas, ia sudah melakukan kesalahan.

***

"Lihat. Anak ini cukup pintar, jika dilihat dari nilai akademiknya. Orang tuanya juga merupakan pemilik perusahaan bidang furniture. Ini cukup membahayakan, jika ia beranjak dewasa. Suatu hari ia akan memiliki jabatan, lalu kasus kita diangkat," ungkap salah seorang yang sedang berdiskusi.

"Ya, itu cukup berbahaya," salah satunya menyahut.

"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Tuan? Haruskah kita lakukan rencana pembunuhan sekali lagi?"

BRAKK. Pria itu memukul meja.

"Membunuh orang tanpa jejak itu sulit, bodoh. Itu terlalu beresiko," ucapnya.

"Lalu, kira-kira apa yang bisa kami lakukan, Tuan?"

"..."

"Keluarkan semua koneksi kalian. Aku punya rencana," ungkapnya sambil tersenyum jahat.

***

Altair dan Cerise semakin akrab. Altair memiliki kartu AS yang membuat Cerise tak berdaya. Terkadang, dia menggunakan keunggulan itu untuk mengusili Cerise.

Apakah Ravi cemburu? Sebaliknya, ia justru bersyukur karena Altair membantu menjaga kerahasiaan hubungannya dengan Cerise. Baginya, asalkan Altair tetap merahasiakan hal tersebut, tidak masalah.

Terlebih lagi, Altair memang teman dekatnya dari klub basket. Beban yang dia tanggung malah terasa lebih ringan setelah mengetahui bahwa Altair mengetahui situasinya. Tanggapannya terhadap keputusan Ravi juga sangat ramah, dan dia tidak menjadikan Vanilla sebagai sasaran.

Sementara itu, Altair menghargai sikap Vanilla. Dia terkesan bahwa gadis itu mampu menerima situasinya dengan bijaksana ketika ditinggalkan oleh Ravi, yang merupakan seorang siswa yang keren seperti dirinya.

***

Saat ini, sekolah sedang dalam waktu istirahat. Sambil menunggu pelajaran berikutnya, Vanilla dan teman-temannya memutuskan untuk makan di kafetaria.

"Itu siapa ya, guys? Kok deket-deket sama Altair?" tanya Sierra.

Terketuk oleh omongan tersebut, Avery dan Vanilla justru mulai memperolok-olok Sierra, yang dulunya adalah kekasih Altair.

"Cieee, cinta bersemi kembali, nih!" sorak Avery dan Vanilla.

"Haish, gak deh, gak bakal. Makanya lihat tuh, dia sama siapa di sana?" ucap Sierra yang terus menunjuk ke belakang.

Setelah membalikkan kepala, Avery dan Vanilla merasa asing dengan gadis yang berada di samping Altair. Mereka baru menyadari keberadaan siswi baru yang baru saja bergabung dengan SMA Hamyulyang.

"Sier, ayo gunakan skill stalkermu...." kode Avery kepada Sierra.

(Bersambung)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status