Vanilla menangis mendengar kata-kata pria itu. Dia tidak pernah membayangkan bahwa situasi seperti ini bisa terjadi, di mana tubuhnya yang selalu dijaga bisa saja dikotori oleh pria tersebut.
Pria itu pun mendekatkan wajahnya sambil berbisik, "Aku akan mempermudah urusan kau dengan kasus itu. Intinya, jangan beritahu siapapun siapa pelaku dari pembunuhan itu, atau aku bisa dengan mudah memperkosamu disini."
Pria itu segera melepaskan pegangannya, memberi kesempatan pada Vanilla untuk berbicara. Dengan air mata mengalir di wajahnya, Vanilla mencoba mengajukan pertanyaan kepada pria tersebut.
"Tapi... bukankah awalnya kalian akan menyekapnya...? Bukan menembaknya dengan senapan...." tutur Vanilla.
Vanilla merasa sangat banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan. Dia tahu bahwa dia tidak bisa melarikan diri dari situasi ini. Vanilla sudah terjerat dalam tragedi pembunuhan ini.
"Hahaha, kau masih belum mengerti?! Kaulah penyebabnya!! Penulis itu meninggal lebih awal karena kau... Pembunuhan itu akhirnya menggunakan rencana terakhir karena kau ditakutkan menggagalkan rencana penyekapan itu. Namun, ternyata kau hanya gadis yang bodoh," ucap pria itu.
Pria tersebut lanjut berbicara sambil menyeringai, "Ternyata kau tidak melakukan apa-apa... Bagus. Jadi, sekarang kau ingin hidupmu hancur? Atau, kau ingin kehidupan normal seperti orang biasa? Cuma itu pilihanmu sekarang..."
Mendengar pilihan yang ditawarkan oleh pria itu, Vanilla dengan pasrah memilih untuk menyelamatkan hidupnya daripada terjebak dalam kasus tersebut.
"Aku.... tidak akan memberitahu siapapun...." ucap Vanilla.
"Bagus... Tapi bagaimanapun, gerak-gerikmu akan selalu diawasi. Sekalipun kau melakukan hal yang mencurigakan... kau tidak akan selamat... baik hidup atau mati," ucap pria itu sambil mengisyaratkan jarinya yang memotong lehernya. Pria itu pun pergi meninggalkan Vanilla.
Dengan mendengar hal tersebut, Vanilla tak bisa menahan tangisannya yang deras. Dia merasa hampir mengalami kejadian mengerikan pada dirinya. Namun, sekarang dia diselimuti oleh ketakutan akan kematian mengenaskan yang mungkin akan menimpanya.
Vanilla berpikir bahwa seharusnya ia mencoba melupakan kejadian dari kasus tersebut. Namun, ia bertanya-tanya bagaimana caranya untuk melakukannya. Ditambah lagi... penulis tersebut belum benar-benar mati, bukan?
***
Vanilla siap untuk pergi ke sekolah pada hari Senin ini. Ia telah memutuskan untuk mengabaikan kasus tersebut secara keseluruhan.
Vanilla menyadari bahwa terlalu fokus pada kasus tersebut dapat merusak kehidupannya dan juga mempengaruhi orang-orang di sekitarnya. Dia yakin masih banyak orang baik yang selalu mendukungnya. Vanilla masih memiliki sahabat dan orang tuanya.
Vanilla berharap bahwa dengan melupakan kejadian kemarin, dia dapat kembali menjalani kehidupan yang tenang seperti sebelumnya.
Sebelum meninggalkan kamar, Vanilla membuka pintu dengan hati-hati untuk melihat kamar depannya. Ia khawatir akan bertemu dengan Ravi.
Tampaknya tidak ada tanda-tanda keberadaan mantannya di dalamnya. Pintu dan tirai tertutup, dan tidak ada cahaya yang bersinar dari dalam kamar.
Vanilla merasa lega karena tidak ingin menghadapi kecanggungan yang mungkin timbul jika mereka bertemu. Ia tidak yakin sampai kapan situasi tersebut akan berlangsung.
***
"Hei, pendek," sapa Avery.
"Hah? Gak punya kaca?" balas Vanilla tidak terima.
"Haiii, para kurcaciku..." peluk Sierra yang sama-sama baru sampai di gerbang sekolah.
Avery dan Vanilla tidak bisa menjawab karena Sierra memang lebih tinggi daripada mereka.
"Tidak terasa ya, kita sudah satu tahun setengah di sekolah ini," ucap Sierra.
"Bener juga. Kita juga selama berteman tidak pernah yang namanya bertengkar. Kayaknya kita 'best friend forever ever after' banget deh," balas Avery.
"Bener. Aku gak pernah nyesel loh ketemu kalian," ungkap Sierra sambil terus merangkul keduanya sambil terus berjalan.
Kedekatan mereka semakin meningkat karena Vanilla bercerita tentang akhir hubungannya dengan Ravi semalam. Semua memberikan dukungan penuh atas apa yang dialami Vanilla.
Sangat sulit untuk melepaskan orang yang kita cintai, apalagi harus menerima kenyataan bahwa dia akan menikah dengan orang lain. Sebagai sahabat, mereka berkomitmen untuk saling mendukung dan memberikan dukungan satu sama lain.
***
Di ruang kelas tetangga, ada seorang siswi baru yang baru saja memasuki ruang kelas itu.
"Halo semuanya, perkenalkan namaku Cerise Park. Mohon bantuannya," ucapnya lalu membungkuk.
'Wah gila, cantiknya.' 'Mukanya cantik seperti putri.' 'Apa dia memang seorang artis?'
Semua siswa menjadi berisik saat melihat wajah cantiknya. Mereka terus memberikan pujian yang beragam sejak saat kedatangannya.
***
Ravi : Jangan beritahu dulu hubungan kita ke siapa-siapa, oke?
Cerise: Memangnya kenapa?
Ravi: Jadi gini... Aku dan mantan pacarku dulu kami cukup populer. Aku takut satu sekolahan akan salah paham dengan hubungan kita. Ini demi kebaikan kita berdua ya, kan?
Cerise: Baiklah n_n
Itu adalah obrolan pesan antara Cerise dan calon suaminya.
"Kamu mempunyai hubungan dengan Ravi?" ucap Altair Cho dengan pelan. Ia dan Ravi merupakan rekan ekstrakurikuler basket dan termasuk satu geng dengan Ravi, namun beda kelas.
"Astaga, kau...." Cerise kaget setengah mati setelah tahu teman sebangkunya ikut mengintip percakapan di ponselnya.
"Maaf, tapi kontak Ravi pada ponselmu membuatku salah fokus," jelas Altair kelewat jujur.
"Kau harus berjanji untuk tidak memberitahu siapapun!" bisik Cerise kepada Altair.
"Kamu bisa percayakan kepadaku," jawab Altair sambil mengangguk.
"Aku pegang kata-katamu itu," bisik Cerise menekan kata-katanya. Ia menghela napas. Baru saja memijakkan kaki di kelas, ia sudah melakukan kesalahan.
***
"Lihat. Anak ini cukup pintar, jika dilihat dari nilai akademiknya. Orang tuanya juga merupakan pemilik perusahaan bidang furniture. Ini cukup membahayakan, jika ia beranjak dewasa. Suatu hari ia akan memiliki jabatan, lalu kasus kita diangkat," ungkap salah seorang yang sedang berdiskusi.
"Ya, itu cukup berbahaya," salah satunya menyahut.
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Tuan? Haruskah kita lakukan rencana pembunuhan sekali lagi?"
BRAKK. Pria itu memukul meja.
"Membunuh orang tanpa jejak itu sulit, bodoh. Itu terlalu beresiko," ucapnya.
"Lalu, kira-kira apa yang bisa kami lakukan, Tuan?"
"..."
"Keluarkan semua koneksi kalian. Aku punya rencana," ungkapnya sambil tersenyum jahat.
***
Altair dan Cerise semakin akrab. Altair memiliki kartu AS yang membuat Cerise tak berdaya. Terkadang, dia menggunakan keunggulan itu untuk mengusili Cerise.
Apakah Ravi cemburu? Sebaliknya, ia justru bersyukur karena Altair membantu menjaga kerahasiaan hubungannya dengan Cerise. Baginya, asalkan Altair tetap merahasiakan hal tersebut, tidak masalah.
Terlebih lagi, Altair memang teman dekatnya dari klub basket. Beban yang dia tanggung malah terasa lebih ringan setelah mengetahui bahwa Altair mengetahui situasinya. Tanggapannya terhadap keputusan Ravi juga sangat ramah, dan dia tidak menjadikan Vanilla sebagai sasaran.
Sementara itu, Altair menghargai sikap Vanilla. Dia terkesan bahwa gadis itu mampu menerima situasinya dengan bijaksana ketika ditinggalkan oleh Ravi, yang merupakan seorang siswa yang keren seperti dirinya.
***
Saat ini, sekolah sedang dalam waktu istirahat. Sambil menunggu pelajaran berikutnya, Vanilla dan teman-temannya memutuskan untuk makan di kafetaria.
"Itu siapa ya, guys? Kok deket-deket sama Altair?" tanya Sierra.
Terketuk oleh omongan tersebut, Avery dan Vanilla justru mulai memperolok-olok Sierra, yang dulunya adalah kekasih Altair.
"Cieee, cinta bersemi kembali, nih!" sorak Avery dan Vanilla.
"Haish, gak deh, gak bakal. Makanya lihat tuh, dia sama siapa di sana?" ucap Sierra yang terus menunjuk ke belakang.
Setelah membalikkan kepala, Avery dan Vanilla merasa asing dengan gadis yang berada di samping Altair. Mereka baru menyadari keberadaan siswi baru yang baru saja bergabung dengan SMA Hamyulyang.
"Sier, ayo gunakan skill stalkermu...." kode Avery kepada Sierra.
(Bersambung)
"Namanya Cerise Park, guys!!" teriak Sierra kepada kedua sahabatnya sambil memasuki kelas dengan heboh."Cerise?" ucap Vanilla mengulangi nama itu."Anak kelas sebelah, ya?" sela salah satu teman sekelasnya yang menguping pembicaraan mereka."Seirra, kamu pasti cembokir kan, dia deket banget sama Altair di kelas sebelah," sahut teman sekelas lain sambil mengejek. Satu kelas pun ikut riuh dan menyoraki Sierra yang merupakan mantan dari siswa tampan bernama Altair itu."Wah, sayang sekali sang mantan mudah move-on!!" sorak Sovann, yang merupakan anggota ekskul basket Ravi dan Altair. Ia dengan usil ikut menyoraki Sierra yang semakin memeriahkan sorakan kelas.Mendengar komentar tersebut, Sierra menatap tajam semua teman sekelasnya yang mengganggunya. Tanpa berkata apa pun, dia duduk di bangkunya dan memilih untuk tidak peduli.Saat melihat kehebohan di kelas, Ravi justru merasa panas dingin, yang membuatnya menjadi panik.***Sierra nampaknya iri terhadap hubungan dekat antara Altair dan
Akhirnya, bel istirahat sekolah berbunyi. Vanilla dan teman-temannya menuju kantin. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Altair yang langsung menyapanya.“Hai, nyonya Kim. Waduh, kakimu kenapa tuh?” ucap Altair sambil menanyakan kondisi kaki Vanilla.“Hai juga, Altair,” balas Vanilla yang hanya membalas pertanyaan tersebut dengan senyuman.Dari balik tubuh Altair, muncul siswi baru tersebut. Murid baru itu merasa mengenal cincin merah muda yang ada di jari gadis di depannya.“Tunggu sebentar,” ucapnya. Ia meraih tangan Vanilla untuk memastikan bahwa cincin itu merupakan cincin miliknya.“Ini ‘kan cincin pemberian Ravi untukku kemarin?” tanya Cerise pada gadis yang baru ia jumpai itu. Ia cukup kaget mengapa cincin itu persis dengan cincin yang ia beli. Hal itu terbukti dari ukiran huruf ‘R’ yang ada pada cincin itu.“Kamu bilang apa barusan?” tanya Avery sambil mendekat. Ia merasa salah dengar karena gadis itu menyebut mantan dari sahabatnya tersebut."Ma-maaf, sepertinya aku sal
Bel pulang telah berbunyi. Vanilla dan teman-temannya saling berpamitan di gerbang sekolah karena arah pulang mereka yang berbeda-beda.Vanilla sebenarnya memiliki rencana untuk singgah di suatu tempat. Dia merasa gelisah, dan merasa bahwa akan lebih sulit bagi dirinya jika hanya diam sendirian di kamar kosnya.“Vanilla,” panggil seseorang dari belakang.Saat Vanilla berbalik, dia kaget mendapati bahwa yang muncul di hadapannya adalah Ravi. Ravi menyempatkan diri untuk bertemu dengan Vanilla sebelum dia pergi ke tempat parkir motor, sambil menunggu kedatangan Cerise.“Vanilla, cincin itu-”“Maaf!” tutur Vanilla dan ia langsung membungkuk.“Cincin ini akan aku kembalikan ke Cerise. Maaf karena aku telah mencurinya!” jelas Vanilla. Ia jelas malu dan tengah menahan tangisan. Tak ia sangka bahwa ternyata ini yang terjadi, jika memungut cincin Cerise.Ravi dan teman-temannya bahkan telah mengetahui situasi tersebut. Yang lebih buruk lagi, kesalahpahaman Ravi menyebabkan dia memberitahu semu
Altair mencoba melihat kondisi Vanilla. Ia tampak seperti menahan kesakitan.“Inilah hal yang aku takutkan terjadi padamu. Kau hancur karena cintamu terhadap Ravi,” ucap Altair.“Bukan hal itu….” jawab Vanilla sambil menangis terisak-isak.Ia pun berusaha melanjutkan, “Aku dikejar… oleh dua orang pria... Tapi aku tidak bisa cerita sekarang….”Vanilla ingat bahwa ia hampir dilecehkan pada waktu itu. Seharusnya ia tidak mengatakan kasus ini kepada siapapun. Masa depannya akan menjadi taruhan.Pria-pria tersebut bisa saja ia temui dimana saja. Ia juga baru ingat bahwa pergerakannya juga dimata-matai. Dirinya bahkan bisa saja berakhir sama persis dengan penulis Aithne Han, atau mungkin lebih buruk.“Astaga, lalu bagaimana?” ucap Altair dengan panik.Mata Vanilla mulai berkunang-kunang. Efek dari lari sejauh itu ternyata separah ini. Lalu, bagaimana caranya aku bisa p
“Ngomong-ngomong kita bakal pulang jam berapa?” tanya Akarsana pada yang lain. “Sekarang masih jam tiga lebih. Kayaknya sampai jam lima, sesuai jam pulang les gua,” sahut Zavier. Semuanya setuju untuk tidak main berlama-lama. Selesai bermain permainan tembak-tembakan, Vanilla sekilas melihat pria yang memakai seluruh baju hitam. Topi itu. Pria baju hitam yang memakai topi khasnya. Matanya terlihat sedang melihatnya. Dengan melihat atributnya saja, Vanilla mengenali bahwa itu adalah pria yang selalu mengikutinya. Kini, Vanilla tidak akan lupa. Vanilla sempat beranggapan bahwa dirinya akan aman, jika bersama dengan yang lain. Nyatanya, kini ia takut kasus yang menjeratnya itu malah berdampak buruk pada yang lain. Vanilla berpikir, masa depan teman-temannya jangan sampai ikut rusak karena kasus yang menimpanya. Melihat semuanya sedang bersenang-senang, ia tidak ingin merusak kebahagiaan teman-temannya itu. “Vanilla?” Vanilla terse
Mereka sedang berada di kamar Vanilla. Ravi mengantarkannya hingga Vanilla duduk di kasurnya. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. “Kamu gak pulang?” tanya Vanilla. “Pulang kemana?” jawab Ravi. “Pulang ke rumahmu, lah,” ucap Vanilla dengan heran. “Ini ‘kan udah pulang,” jawab Ravi dengan santai. “Sana pulang!” suruh Vanilla sambil menendang-nendang. Ia menganggap omongan Ravi itu hanya bercanda. “Lima langkah dari sini ‘kan udah pulang. Ngapain juga diam-diaman terus di kamar masing-masing?” tanya Ravi yang juga heran dengan reaksi Vanilla. “Kamu masih ngekos di kamar itu?” tanya Vanilla tidak menyangka. “Masih, lah,” jawab Ravi. “Kok, gitu? Bayaran sewanya ‘kan masih jalan kalau gak ditempatin,” ucap Vanilla. “Ya, gak apa-apa. Entah kenapa gua masih ingin tinggal disini,” jawabnya. “Jual ‘overkost’ aja di akun sewaan sekolah,” tutur Vanilla. “Gua juga punya alasan. Sama kayak lu yang izi
Setelah dirinya menemui Cerise, ia tidak pulang menuju apartemennya. Ia mengendarai motor menuju rumah susun yang berada di dekat sekolah itu.Di sana, Vanilla sangat terkejut mendapati Ravi yang sedang meletakkan helm di depan kamarnya.“Ravi? Kenapa pulang ke sini? Ini ‘kan weekend?” tanyanya.“Vanilla, jawab pertanyaanku. Kau berpacaran dengan Altair?” tanya Ravi langsung pada intinya.“Gila, tentu saja tidak!” jawab Vanilla refleks.“Sekarang tunangan telah dibatalkan. Kini, kau tidak ada alasan lagi untuk menghindar,” ucap Ravi dan langsung memeluk gadis yang ada di depannya itu. Jujur, ia takut kehilangan.“... Sungguh?” tanya Vanilla dengan hati-hati.Ravi pun menjawabnya dengan anggukan.***Mereka kini sedang berada di kamar Vanilla. Ravi menanyakan segala yang ingin ia tahu, seperti apa saja yang Vanilla lalui sendiria
“Sampai kapan kita harus di sini?” ucap Vanilla saat ia mulai sadar dan tenang. Mereka cukup lama bersembunyi di lemari loker itu. “Sepertinya sudah aman,” ucap Ravi. Ia membuka pintu loker dan melihat ke arah sekitar. Nampaknya pria-pria itu mengira mereka kabur dari tempat ini. “Ayo.” Mereka pun keluar dengan hati-hati dan segera pulang. Vanilla kagum melihat cara Ravi menghindari para antek politikus itu. Sangat berbeda saat ia menghindarinya sendirian. Ravi menghindari penjahat tersebut dengan cermat dan semakin membuat Vanilla jatuh hati. Tak terbayangkan jika Ravi tidak sedang berada di sisinya. *** Sudah malam, namun Ravi masih berada di kamar Vanilla. Sedari tadi, Vanilla tidak banyak berbicara. Mukanya menunjukkan bahwa ia trauma. Ravi mencoba menenangkannya pelan-pelan. Ravi kali ini tidak akan meninggalkan Vanilla sendirian. “Sudah merasa enakan?” tanya Ravi. Vanilla tidak menjawab denga