Home / Horor / Pocong Andong Penjemput Jiwa / Bab 2. Kedatangan Andong Ke Rumah Arkan

Share

Bab 2. Kedatangan Andong Ke Rumah Arkan

last update Last Updated: 2024-10-23 18:40:58

              Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam, akan tetapi Arkan sama sekali belum bisa terlelap. Ia masih terbayang dengan wujud menyeramkan pocong itu. Pikirannya terus saja beputar-putar mengingat tentang hal apapun yang bersangkutan dengan pocong andong itu.

              Di saat Arkan semakin hanyut dalam fikirannya sendiri ia mendengar suara kerincing andong, “tumben-tumbennya ada ada andong lewat sini jam segini,” dan di dengar-dengar lagi ternyata suara kincringan yang semula jauh itu semakin terdengar jelas seperti andong itu sudah berhenti di sebelah kamarnya.

             Hingga tiba-tiba saja jendela kamar diketuk yang membuatnya langsung terperanjat dan duduk dari tidurnya. Arkan terdiam, ia kembali memasang indra pendengarannya dengan baik. Namun, ternyata lagi-lagi suara ketukan itu masih ada hingga membuat dadanya berdetak dengan sangat cepat. Kedua tangannya mengencengkram seprai kuat sembari terus menatap ke arah jendela. Nyalinya seketika langsung menciut, karena selama ini tidak ada sejarahnya tetangga, teman atau pun saudaranya ngetuk jendela kamar seperti ini.

            “Hah?! Siapa yang ngetok?”

            Tok... Tok... Tok...

            Namun, ternyata jendelanya masih diketuk lagi hingga membuat Arkan langsung berlarian ke kamar orangtuanya.

             “Pak... Bu... Pak...” teriak Arkan yang sudah berdiri di depan pintu kamar orangtuanya dengan napas memburu. Bahkan keringan dingin pun sudah bercucuran dari keningnya, tangannya bergetar karena ia telah tersugesti bahwa suara ketukan dan gemerincing andong tadi pasti berasal dari pocong yang tadi sempat menampakan wujud kepadanya.

            “Ada apa, Arkan?” tanya Bapak yang baru saja keluar dan diikuti oleh Bu Sarah di belakangnya.

             “Kenapa teriak-teriak malem-malem gini?” imbuh Bu Sarah sembari menguap karena beliau tadi memang sudah terlelap dan masih merasa sangat mengantuk.

             “A-ada yang ngetuk jendela kamar Arkan, Pak,” ucap Arkan tersengal-sengal, ia bahkan kesulitan untuk menelan ludahnya. Tenggorokannya mendadak kering kerontang.

               Dengan segera Bapak dan Bu Sarah masuk ke dalam kamar Arkan, menyibak tirai dan membuka jendela. Tidak ada siapa-siapa di sana, namun mereka sama-sama masih mendengar suara gemerincing andong yang samar-samar.

              Kemudian dengan cepat Bapak langsung keluar kamar dan memeriksanya, akan tetapi tak lama kemudian beliau kembali masuk dan langsung mengunci pintu dalam keadaan wajah yang memucat. Kini beliau tampak tengah mengusap-usap dadanya yang tengah berdetak tak beraturan.

             Melihat itu Bu Sarah dan Arkan pun langsung menghampirinya.

             “Ada apa, Pak?” tanya Bu Sarah dengan dahinya yang berkerut.

             “Ada andong,” balas Bapak cepat.

             “Andong siapa? Benar itu andong pocong?”

             “Nggak tau, udah jauh Bapak liatnya. Samar-samar ada andong, ya tapi kan di sini nggak ada yang punya andong.”

              “Udah-udah tenang dulu, Pak. Sebaiknya malem ini kita tidur bareng-bareng aja. Arkan...” Bu Sarah menoleh ke arah putranya itu yang sedari tadi hanya terdiam di ambang pintu kamar, “gelaran kasur lantai di kamar Ibu aja. Jangan tidur sendiri, apa lagi kamar kamu ada di depan gitu,” tutur Ibu dan segera memapah Bapak yang terlihat masih shock untuk masuk ke dalam kamar.

              Karena Arkan memang ketakutan akhirnya ia menurut saja dan malam ini mereka benar-benar tidur satu kamar agar merasa lebih aman.

             Namun, di pagi harinya seluruh warga desa semuanya gempar. Karena ternyata tetangga sebelah kiri rumah Arkan, anaknya ditemukan meninggal dunia dalam keadaan telungkup di teras rumah. Di mana posisi kamar Arkan ya berada tepat di sebelah rumah tetangganya itu.

            Ya, karena sebelumnya memang sudah tersebar rumor kalau ada teror andong pocong yang sebenarnya dari desa sebelah. Di mana di desa tersebut ada orang yang meninggal dengan keadaan yang sama, yaitu telungkup. Sehingga Para warga desa langsung bercocok logi dan mengaitkan kalau hal ini sudah merambat ke desa mereka.

              Apa lagi Arkan dan keluarganya yang semalam juga mendengar memang ada suara andong. Apa lagi Bapak yang benar-benar melihat dengan mata kepalanya sendiri, tapi posisinya memang sudah jauh.

            “Jangan-jangan semalem itu memang andongnya ke sebelah rumah ya, Bu. Makanya suara gemerincingnya sama kedengeran sampai rumah kita,” bisik Arkan lirih.

             “Udah jangan dibahas dulu,” balas Bu Sarah.

             Kini ia dan Bu Sarah maupun para warga lainya tengah berada di rumah tetangganya Arkan untuk melayat. Keluarga yang ditinggalkan terus saja menangis tersedu-sedu karena ditinggalkan anaknya yang masih remaja dengan keadaan yang seperti ini. Tanpa sakit atau pun hal-hal yang masuk logika lainnya. Bahkan jenazahnya pun sudah ditemukan dalam keadaan mata terbelalak dan mulut yang terbuka.

            Arkan sempat melihat jenazah tetangganya itu, membuatnya jadi teringat dengan kejadian kemarin malam. Keadaannya itu benar-benar sama persis dengan dirinya yang terbelalak dan mulut terbuka lebar karena sangking terkejutnya.

           “Apa setelah ini aku, ya? Ya Allah...” batin Arkan, tapi dengan cepat ia langsung menggelengkan kepalanya dan berusaha untuk menepis segala fikiran negatif itu.

           Setelah kejadian hari ini semua orang pada kehebohan panik. Memperingatkan anak-anak mereka untuk jangan membuka pintu ataupun jendela saat malam tiba. Kalau ada yang mengetuk jangan pernah ada yang membukakannya dan mulai dari itu keadaan desa mulai semakin mencekam.

           Kecemasan dan ketakutan yang semula memang sudah ada itu justru kini semakin lebih kuat lagi. Para warga sudah banyak yang tak berani keluar rumah lebih dari jam lima sore hari. Bahkan ada yang lebih memilih untuk mengungsi ke rumah saudaranya yang desanya lebih jauh.

          Menambah suasana malam yang semakin sepi karena warga desa juga semakin sedikit. Apa lagi tidak ada yang berani keluar rumah. Benar-benar sudah seperti desa mati. Karena warga di desa percaya bahwa hal ini bukan lah sesuatu yang bisa ditangkap dengan tangan manusia.

          Bahkan di malam ini saja para warga yang melaksanakan tahlilan di rumah tetangga Arkan lebih memilih untuk menginap saja, keculai tetangga sebelah kanan dan kiri. Karena memang warga yang datang tidak sebanyak hari-hari sebelum adanya teror andong pocong ini. Warga memang benar-benar merasa ketakutan yang teramat besar, apalagi mereka tidak tahu harus melakukan hal apa untuk menghadapi perkara ini.

          “Malem ini tidur di kamar Ibu sama Bapak lagi aja,” seru Bapak yang tengah terduduk di sofa ruang keluarga.

            Arkan hanya mengangguk ringan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia masih terus merasa terancam karena sebelumnya sudah pernah melihat pocong di rumah kosong. Hal itu membuatnya jadi terus ketakutan, karena dia berfikiran bahwa target selanjutnya adalah dirinya.

            Kenapa hal semacam ini bisa sampai ada di desanya? Hal yang sama sekali tak mampu dicerna dengan akal sehat manusia biasa. Padahal warga desa juga sedang susah karena lumpur lapindo sudah terus saja meluap hingga sampai menenggelamkan rumah-rumah di desa sebelah. Yang mungkin saja bisa sampai meleber ke desanya jika lumpur lapindo itu terus saja meluap.

           Namun, justru ditambah dengan hal mencekam dan menakutkan yang membuat warga semakin tak bisa melewati malam dengan tenang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pocong Andong Penjemput Jiwa   Bab 19. Kebusukan Sang Dalang Terkuak

    -Flashback On-“Apa nggak papa ini kita dobrak pintu rumah ini, kalau sampai ada tetangganya yang dengar bagaimana?” ucap Anto, lelaki berbaju hitam dengan tubuh kekar seraya melihat ke sekeliling untuk memastikan keadaan benar-benar aman.“Hujannya deras, suara petir juga bersahut-sahutan. Nggak mungkin bakal ada yang denger,” balas Jaja yang berdiri di belakang lelaki paruh baya.“Cepat dobrak!” ucapnya dengan lantang.“Ta-tapi, Mbah Kandar. Dua pemuda yang salah satunya Mbah bilang punya khodam singa putih bukannya mereka juga sudah pulang ke rumah, nanti kita mati kalau harus berhadapan dengan khodamnya,” keluh Anto takut.“Mereka nggak bisa pulang, masih kejebak di desa sebelah. Tapi mungkin dia malam ini dia bakal ngebrantas semua pocong penjemput tumbal. Makanya kita nggak punya banyak waktu, ambil keris kecil itu di dalam rumah ini. Itu salah satu pusaka peninggalan leluhurnya yang sampai saat ini masih di simpan oleh keluarganya. Mereka orang bodoh yang nggak tahu cara penggu

  • Pocong Andong Penjemput Jiwa   Bab 18. Sebuah Pernyataan

    “Simbah...” Bibir Arkan bergetar dengan tatapan nanar. Lelaki itu langsung mengangkat tubuh rentan Simbah untuk mengeluarkannya dari dalam lemari dan segera membaringkan-nya di atas kasur. Napas Arkan tersengal-sengal, kedua matanya memanas melihat Simbah yang tak sadarkan diri. Namun, untungnya ia masih bisa menghela napas lega karena ternyata Simbah tak bernasib sama dengan almarhum Susan. Akan tetapi, kedua bibir wanita rentan ini sangat memucat. Sepertinya Simbah sudah kehabisan napas karena terlalu lama berjongkok di dalam lemari. “Apa yang sebenarnya terjadi, Simbah?

  • Pocong Andong Penjemput Jiwa   Bab 17. Ada Apa Di Dalam Lemari

    Para tetangga berbodong-bondong menuju rumah Arkan setelah mendengar teriakan Mila meminta tolong.Salah satu dari mereka langsung memanggilkan dokter dan polisi. Sedangkan yang lainnya membantu mengurus pemakaman Susan.Tak ada yang tahu apa kejadian yang telah menimpa keluarga ini semalam hingga membuat Susan sampai kehilangan nyawa seperti ini."Apa yang terjadi semalam di desa kita ini, Bude? Ke mana ibu saya?" tanya Arkan yang tengah terduduk lemas sembari menyenderkan kepalanya di dinding ruang tamu.Bu Listri mengusap-usap lembut lengan Arkan sembari berkata, "saya nggak tau ke mana ibumu, Arkan. Saya kira semalam semua keluargamu pergi dari rumah ini saat ujan mulai deras. Karena pagi hari ini mobilmu udah nggak di rumah.""Semalam desa kita diguyur hujan deras disertai angin kencang, Arkan. Tapi, hari ini alhamdulillah nggak ada korban andong pocong. Eh, te

  • Pocong Andong Penjemput Jiwa   Bab 16. Keluarga Arkan Kembali Berduka

    Sesaat Mbah Kandar terdiam, kemudian beliau menghela napas pelan dan akhirnya membalas perkataan Mila, "wajar saja jika para tetanggamu lebih memilih untuk mengungsi, Nduk. Mereka takut jika akhirnya akan menjadi korban, tetapi memangnya mereka hanya ingin terus bersembunyi tanpa bertindak? Kematian adalah takdir yang nggak bisa dihindari."Mila mengernyitkan dahinya seraya menoleh sekilas ke arah Bima dan Arkan.Memang apa yg bisa para warga di desa Mila lakukan? Mereka semua hanya orang biasa, jelas saja tak ada yang mampu untuk mengatasinya. Jalan terbaik bagi mereka hanyalah dengan cara pergi meninggalkan desa, untuk sementara atau bahkan selamanya.“Iya, Mbah. Memang kematian adalah rahasia Sang Ilahi, tapi jika kematian penduduk disebabkan oleh hal semacam ini apakah ini disebut dengan takdir juga? Mereka belum waktunya meninggal, tapi dibuat meninggal secara paksa untuk dijadikan tumbal," sahut

  • Pocong Andong Penjemput Jiwa   Bab 15. Keluarnya Segumpah Darah Hitam Pekat Dari Tubuh Arkan

    Waktu tengah menunjukan pukul 9 dini hari. Sebelum berangkat ke rumah mbah Kandar mereka menyempatkan untuk bertakziah ke rumah tetangga Mila. Ternyata semalam warga desa sini yang meninggal mencapai sembilang orang dengan 5 diantaranya meninggal akibat kesambar petir dan 4 lainnya meninggal tak wajar karena kedatangan pocong andong yang membuat warga semakin dibuat ketakutan. Hingga akhirnya pada hari ini juga mereka berbondong-bondong pindah ke pengusian di luar kabupaten karena sudah tak ada pilihan lain lagi. Para warga sudah tidak mampu lagi untuk bertahan di rumah mereka karena teror yang semakin gencar hingga yang tak keluar dari dalam rumah pun bisa menjadi korbannya. Sudah banyak beberapa orang pintar yang berusaha untuk menghentikannya, namun belum ada satu pun yang berhasil. Bahkan beberapa ustad yang ikut serta mencoba untuk menghentikannya pun belum ada yang mampu. Entah harus menggunakan cara seperti apa lagi untuk menghentikan se

  • Pocong Andong Penjemput Jiwa    Bab 14. Bangkitnya Mayit Para Warga Desa

    Arkan mengerjapkan matanya perlahan saat sinar cahaya pagi masuk dari sela-sela jendela. Sembarai berseringai kecil karena merasa tubuhnya redam remuk dan rasa perih dibagian lengannya. Lelaki itu pun merasakan tenggorokannya yang kering kerontang hingga terasa sangat perih saat ia menelan ludah. “Kamu udah bangun.” Bima yang sejak semalam terus duduk di sebelah Arkan itu pun segera mengambilkan segelas air putih, lalu membantu adik sepupunya itu duduk. Wajah Arkan terlihat begitu pucat, ia juga merasa tubuhnya sangat lemas tak bertenaga. “Minum dulu!” Bima memberikan segelas air dan Arkan menerimanya sembari tangan kiri memegangi kepalanya yang terasa pusing. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa bisa tiba-tiba sudah berada di dalam rumah apa lagi matahari sudah terbit. Padahal seingatnya semalam ia dan Mila masih berada di luar dalam kondisi yang cukup meneganggkan saat tak sengaja kedua retinanya beradu tatap den

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status