Home / Horor / Pocong Andong Penjemput Jiwa / Bab 3. Keberadaannya Ada Di mana-mana

Share

Bab 3. Keberadaannya Ada Di mana-mana

last update Last Updated: 2024-10-23 18:45:00

          “Mulai lagi penyakit ngelamunnya,” sindir Bu Sarah sembari meleparkan bantal sofa ke arah putra semata wayangnya itu.

          “Ck! Ibu ni ngagetin terus. Udah tahu lagi parnoan gini,” balas Arkan lalu mendengkus kesal.

          “Ya kalau udah tau kondisi lagi kaya gini jangan ngelamun lah, Arkan! Jangan dibiasain hal yang nggak baik kaya gitu,” seru Bu Sarah yang kembali memperingati.

           “Arkan bukan ngelamun, Bu. Tapi, emang lagi mikirin hal itu. Apa lagi kemarin Arkan udah liat itu pocong pake mata kepala Arkan sendiri. Gimana kalau malem ini andong itu dateng lagi ke sini buat jemput Ar...”

          Belum sempat Arkan menyelesaikan perkataannya dengan cepat Bu Sarah langsung membungkam mulut anaknya itu dengan telapak tangannya, “jangan ngawur ngomongnya, Arkan!” sentaknya seraya melayangkan tatapan tajamnya.

           “Ya sudah kalau gitu besok kita ke rumah Bude aja, untuk beberapa saat tinggal di sana dulu sampai teror ini mereda,” sahut Bapak lalu menghela napas panjang.

            “Ya kalau mereda, lah kalau enggak. Memang kita mau terus-terusan di sana, Pak? Bapak juga dua hari lagi udah balik ke Jakarta buat kerja, untung aja Arkan lagi libur kuliah. Lah kalau enggak ya Ibu bakal sendirian,” seloroh Bu Sarah sembari menatap suaminya dengan lesu.

             Bu Sarah tak memeliki sanak saudara lagi di desa ini. Ini juga rumah yang mereka tempati adalah peninggalan orangtuanya yang sudah meninggal sejak Arkan masih dalam kandungan.

            “Iya, Pak. Kalau semua warga cuma diem dan ketakutan kaya gini tanpa cari solusi ya masalah ini nggak akan mereda,” sahut Arkan sembari sesekali menoleh ke arah pintu dan jendela. Ada perasaan cemas yang tidak bisa ia sembunyikan, apalagi semalam jendela kamarnya sudah diketuk. Segala kemungkinan-kemungkinan buruk terus saja berputar di kepala Arkan.

            Bapak bangkit dari sofa dan berjalan menghampiri Arkan yang tengah duduk di lantai. Wajah ketakutan anak lelakinya itu membuat Bapak pun ikut gundah dan tak tenang. Namun, memangnya apa yang bisa dilakukan? Andong pocong itu bukan maling ataupun rampok yang bisa ditangkap dengan tangan manusia.

          Tangan Bapak memanjang, merangkul pundak Arkan sembari tersenyum tipis, “setiap masalah pasti ada jalan keluarnya, Arkan. Tapi ini bukan perkara yang mudah, semua warga juga pasti ingin teror ini segera hilang.”

           “Semoga keluarga kita selalu dilindungi dan bisa bareng-bareng dalam waktu yang lama, ya. Ibu bener-bener takut,” ucap Ibu seraya menatap suami dan anaknya dengan nanar.

            Andong pocong benar-benar membuat seluruh warga resah dan begitu takut jika sampai salah satu dari anggota keluarga mereka menjadi korban dari sosok itu.

             Dan untung saja malam ini di rumah mereka aman-aman saja, tidak lagi terdengar suara gemerincing andong ataupun suara ketukan jendela dan pintu. Namun ternyata di rumah ujung desa ditemukan jenazah seorang wanita berumur 22 tahun dalam keadaan telungkup di depan kamar mandi yang  berada di belakang rumahnya.

             Di siang hari itu juga setelah pulang melayat Arkan dan orangtuanya segera bergegas untuk pergi ke rumah bude, kakak dari Bapak yang tinggal di desa sebelah.

           Akan tetapi, sesampainya mereka di sana ternyata teror andong pocong itu juga sudah sampai. Bahkan pada pagi hari ini sudah ditemukan 3 orang yang meninggal dalam keadaan telungkup, mata terbelalak dan mulut terbuka.

           “Gimana, Pak? Ternyata di sini juga sama aja,” bisik Ibu lirih.

          “Kita menginap aja dulu malam ini di sini, lebih rame juga biar nggak terlalu ketakutan,” balas Bapak.

          “Kayaknya memang teror andong pocong ini udah kesebar ke mana-mana, desa-desa sebelah itu juga udah banyak korban berjatuhan. Kalau di sini emang baru mulai sekarang, tapi serem banget lah kalau kaya gini,” seloroh Bima, sepupu Arkan yang sudah berumur 21 tahun.

           Mereka tengah duduk di kamar Bima sembari memandang keluar jendela.

           “Padahal aku mau nginap di sini itu karena mau ngindarin andong pocong itu, tapi ternyata di sini malah baru di mulai,” balas Arkan.

             “Emang baru hari ini ada korban, tapi malem-malem sebelumnya juga warga udah diperingati buat nggak keluar malem dan buka jendela atau pun pintu kalau ada yang ngetuk. Tapi, ya gitu deh. Masih banyak yang nggak percaya dan akhirnya mereka yang jadi korban,” papar Bima, lalu menyesep sebatang rokok yang ia selipkan diantara telunjuk dan jari tengahnya.

             Siang itu mereka habisnya dengan perbincangan mengenai andong pocong tersebut. Tak ada satu solusi pun yang di dapat dalam isi obrolan itu. Mereka semua juga bingung dan hendak meminta tolong kepada siapa juga tidak tahu.

           Hingga mahgrib pun tiba, semua warga dan termasuk Bude juga mengunci semua pintu dan jendela. Mereka melaksanakan salat berjamaah di rumah saja karena tak ada yang berani keluar jika matahari sudah tenggelam.

            Malam itu suasana pun sangat hening, tidak ada kendaraan yang berlalu lalang seperti hari-hari biasanya. Bahkan suara burung atau sekedar jangkrik dan hewan-hewan lainnya pun tak ada yang terdengar. Malam ini begitu sunyi dan hawa pun begitu sangat berbeda.

             Tak ada lagi yang berani membahas tentang pocong andong itu, mereka takut jika dibicarakan pada petang hari seperti ini sosok menyeramkan itu akan datang dan mengetuk pintu rumah mereka. Walau perasaan gusar tak menentu, mereka semua berusaha untuk tetap tenang sembari menikmati secangkir teh buatan Bude dan beberapa camilan.

           Waktu masih menunjukan pukul sembilan malam, belum ada yang mengantuk kecuali simbah yang sudah terlelap setelah selesai melaksanakan salat isya. Bahkan malam ini saja simbah tak tidur di kamar seperti biasanya, karena setelah kejadian menggemparkan tentang pocong andong ini seluruh keluarga Bude tidur bersama di ruang keluarga.

            “Eh, suara siapa itu? Dengar enggak?” seru Bima sembari memegang daun telinganya, menajamkan indra pendengaran untuk memastikan apa yang telah ia dengar tadi.

           “Suara apa to, Bim? Jangan nakut-nakutin, ya!” sahut  Susan, Kakak Bima yang sedari tadi terus saja merangkul lengan Bude.

            “Iya itu ada yang minta tolong sambil gedor-gedor pintu warga,” imbuh Pakde.

            “Tolong!!! Tolong!!! Tolong saya, Bu... Pak! Tolong buka pintunya,” teriak seseorang itu masih terdengar samar-samar. Namun, makin ke sini suaranya semakin jelas dan gedoran pintu pun juga semakin terdengar keras.

          Sepertinya seseorang itu tengah menggedor pintu-pintu warga namun, tidak ada yang berani membukakannya. Hingga beberapa saat kemudian giliran pintu rumah Bude  pun juga di ketuk dengan keras.

         “Pak, tolong!!!"

          Tok... Tok... Tok...

          “Tolong, Pak... Bu...! TOLONG SAYA!!!!” pekik seseorang itu semakin kencang.

          Semua orang yang ada di rumah Bude pun seketika langsung terdiam dan pandangan mereka terus tertuju pada pintu yang tengah bergetar-getar akibat ketukan keras itu.

            “Bu, aku takut,” ucap Susan dengan suara bergetar sembari terus merangkul lengan Bude dengan semakin erat.

           “Jangan ada yang bukain!” Larang Pakde sembari menggeleng keras.

            Lagi dan lagi pintu itu terus saja diketuk dengan ritme yang semakin cepat, “TOLONG!!! TOLONG, BU... PAK!!!!”

            “Udah bukain aja, Pak. Ada yang minta tolong itu. Manusia itu manusia,” seru Bude dengan dahi yang berkerut-kerut.

            Akhirnya setelah beberapa detik Pakde pun segera mengeceknya dari sela tirai jendelanya, dan benar saja ternyata itu bukan pocong. Lalu, dengan cepat Pakde pun langsung membukakan pintu dan mempersilahkan seseorang dengan wajah yang sudah banjir keringat itu untuk masuk ke dalam rumahnya.

            “Ya Allah, Pak Yadi,” seloroh Bude nampak tersentak melihat kondisi wajah tetangganya itu yang sudah sangat memucat dengan bibir yang bergetar hebat.

            “Ayo-ayo masuk dulu, Pak,” ucap Pakde mempersilahkan dan kembali menutup pintu.

            Bude langsung ke belakang mengambilkan segelas air untuk Pak Yadi, “ini Pak diminum dulu.

             Dengan tangan yang masih bergetar Pak Yadi menerima segelas air itu dan segera menengguknya sampai habis. Setelahnya beliau tampak menghela napas panjang sembari memegangi dadanya.

             “Ada apa, Pak? Kenapa malem-malem teriak dan gedor-gedor rumah warga kaya gitu?” tanya Pakde dengan hati-hati.

               Pak Yadi bercerita bahwa dirinya tadi baru saja pulang dari desa sebelah karena ada urusan pekerjaan dan tahu-tahu sewaktu di jalan menggunakan motor ia berpapasan dengan andong di depannya. Di situ ia sudah deg-degan sebenarnya, karena rumor andong pocong.

             Tapi, bagaimana? Posisinya berlawan, Pak Yadi memang hendak pulang ke arah sana dan si andongnya ini hendak menuju ke arah sebaliknya. Dan sewaktu mereka sudah bersebelahan Pak Yudi ini baru melihatnya Pak Yadi dibuat terhenyak karena ternyata di andong itu tidak ada yang mengendarai dan yang duduk di kursi depan itu adalah ‘pocong’ .    

              “Seketika itu juga saya langsung ngebut, Pak... Bu... Saya sampe jatoh dan langsung teriak. Motor aja saya tinggal di jalan sana karena udah nggak mikir lagi dan tanpar pikir-pikir lagi saya juga langsung gedor-gedor rumah warga buat minta tolong. Saya mau ngungsi malem ini,” jelas Pak Yadi seraya mengedarkan pandangannya pada semua orang yang ada di rumah Bude.

                “Ntar masalah motor diurusin besok pagi aja, Pak. Lagian di desa kita juga aman dari maling-malingan,” ucap Pakde.

             “Iya memang aman dari maling, Pak.  Tapi justru ada pocong-pocongan begini jatohnya lebih ngeri, soalnya nggak bisa ditangkep sama kita-kita orang ini. Mana mukanya itu bener-bener serem, Pak. Gosong...” papar Pak Yadi sembari bergidik ngeri kala mengingatnya.

           “Ya udah kamu nginep di sini aja dulu sampe besok pagi, Pak Yadi,” balas Pakde

            “Malem ini juga kita semua tidur di ruang keluarga, tapi kasurnya udah full. Jadi, Pak Yadi gelaran tikar di ruang tamu aja, ya,” imbuh Bude.

               “Iya, Bu. Nggak papa, udah ngebolehin saya nginep di sini aja udah Alhamdulillah banget. Apa lagi dari tadi gedor-gedor pintu juga nggak ada yang ngebukain. Untuk Ibu sama Bapak mau ngebukain, kalau enggak saya bener-bener nggak tahu lagi harus gimana.”

             “Para warga juga mungkin pada ketakutan, Pak. Makanya nggak ada yang berani bukain pintu, awalnya tadi aja saya juga takut kok.”      

               Setelah perbincangan itu, akhirnya mereka pun segera bersiap-siap untuk beristirahat. Namun, belum juga mereka terlelap dan Pak Yadi juga masih berdiri untuk menggelar tikar. Tiba-tiba mereka semua mendengar suara gemerincing andong dan yang membuat tubuh mereka semua semakin menegang adalah ketika suara gemerincing itu berhenti tepat di rumah mereka.

              Dan tak lama kemudian, pintu pun diketuk.

              Tok... Tok... Tok...

              Dengan posisi pintu yang berada tepat di belakang punggung Pak Yudi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pocong Andong Penjemput Jiwa   Bab 19. Kebusukan Sang Dalang Terkuak

    -Flashback On-“Apa nggak papa ini kita dobrak pintu rumah ini, kalau sampai ada tetangganya yang dengar bagaimana?” ucap Anto, lelaki berbaju hitam dengan tubuh kekar seraya melihat ke sekeliling untuk memastikan keadaan benar-benar aman.“Hujannya deras, suara petir juga bersahut-sahutan. Nggak mungkin bakal ada yang denger,” balas Jaja yang berdiri di belakang lelaki paruh baya.“Cepat dobrak!” ucapnya dengan lantang.“Ta-tapi, Mbah Kandar. Dua pemuda yang salah satunya Mbah bilang punya khodam singa putih bukannya mereka juga sudah pulang ke rumah, nanti kita mati kalau harus berhadapan dengan khodamnya,” keluh Anto takut.“Mereka nggak bisa pulang, masih kejebak di desa sebelah. Tapi mungkin dia malam ini dia bakal ngebrantas semua pocong penjemput tumbal. Makanya kita nggak punya banyak waktu, ambil keris kecil itu di dalam rumah ini. Itu salah satu pusaka peninggalan leluhurnya yang sampai saat ini masih di simpan oleh keluarganya. Mereka orang bodoh yang nggak tahu cara penggu

  • Pocong Andong Penjemput Jiwa   Bab 18. Sebuah Pernyataan

    “Simbah...” Bibir Arkan bergetar dengan tatapan nanar. Lelaki itu langsung mengangkat tubuh rentan Simbah untuk mengeluarkannya dari dalam lemari dan segera membaringkan-nya di atas kasur. Napas Arkan tersengal-sengal, kedua matanya memanas melihat Simbah yang tak sadarkan diri. Namun, untungnya ia masih bisa menghela napas lega karena ternyata Simbah tak bernasib sama dengan almarhum Susan. Akan tetapi, kedua bibir wanita rentan ini sangat memucat. Sepertinya Simbah sudah kehabisan napas karena terlalu lama berjongkok di dalam lemari. “Apa yang sebenarnya terjadi, Simbah?

  • Pocong Andong Penjemput Jiwa   Bab 17. Ada Apa Di Dalam Lemari

    Para tetangga berbodong-bondong menuju rumah Arkan setelah mendengar teriakan Mila meminta tolong.Salah satu dari mereka langsung memanggilkan dokter dan polisi. Sedangkan yang lainnya membantu mengurus pemakaman Susan.Tak ada yang tahu apa kejadian yang telah menimpa keluarga ini semalam hingga membuat Susan sampai kehilangan nyawa seperti ini."Apa yang terjadi semalam di desa kita ini, Bude? Ke mana ibu saya?" tanya Arkan yang tengah terduduk lemas sembari menyenderkan kepalanya di dinding ruang tamu.Bu Listri mengusap-usap lembut lengan Arkan sembari berkata, "saya nggak tau ke mana ibumu, Arkan. Saya kira semalam semua keluargamu pergi dari rumah ini saat ujan mulai deras. Karena pagi hari ini mobilmu udah nggak di rumah.""Semalam desa kita diguyur hujan deras disertai angin kencang, Arkan. Tapi, hari ini alhamdulillah nggak ada korban andong pocong. Eh, te

  • Pocong Andong Penjemput Jiwa   Bab 16. Keluarga Arkan Kembali Berduka

    Sesaat Mbah Kandar terdiam, kemudian beliau menghela napas pelan dan akhirnya membalas perkataan Mila, "wajar saja jika para tetanggamu lebih memilih untuk mengungsi, Nduk. Mereka takut jika akhirnya akan menjadi korban, tetapi memangnya mereka hanya ingin terus bersembunyi tanpa bertindak? Kematian adalah takdir yang nggak bisa dihindari."Mila mengernyitkan dahinya seraya menoleh sekilas ke arah Bima dan Arkan.Memang apa yg bisa para warga di desa Mila lakukan? Mereka semua hanya orang biasa, jelas saja tak ada yang mampu untuk mengatasinya. Jalan terbaik bagi mereka hanyalah dengan cara pergi meninggalkan desa, untuk sementara atau bahkan selamanya.“Iya, Mbah. Memang kematian adalah rahasia Sang Ilahi, tapi jika kematian penduduk disebabkan oleh hal semacam ini apakah ini disebut dengan takdir juga? Mereka belum waktunya meninggal, tapi dibuat meninggal secara paksa untuk dijadikan tumbal," sahut

  • Pocong Andong Penjemput Jiwa   Bab 15. Keluarnya Segumpah Darah Hitam Pekat Dari Tubuh Arkan

    Waktu tengah menunjukan pukul 9 dini hari. Sebelum berangkat ke rumah mbah Kandar mereka menyempatkan untuk bertakziah ke rumah tetangga Mila. Ternyata semalam warga desa sini yang meninggal mencapai sembilang orang dengan 5 diantaranya meninggal akibat kesambar petir dan 4 lainnya meninggal tak wajar karena kedatangan pocong andong yang membuat warga semakin dibuat ketakutan. Hingga akhirnya pada hari ini juga mereka berbondong-bondong pindah ke pengusian di luar kabupaten karena sudah tak ada pilihan lain lagi. Para warga sudah tidak mampu lagi untuk bertahan di rumah mereka karena teror yang semakin gencar hingga yang tak keluar dari dalam rumah pun bisa menjadi korbannya. Sudah banyak beberapa orang pintar yang berusaha untuk menghentikannya, namun belum ada satu pun yang berhasil. Bahkan beberapa ustad yang ikut serta mencoba untuk menghentikannya pun belum ada yang mampu. Entah harus menggunakan cara seperti apa lagi untuk menghentikan se

  • Pocong Andong Penjemput Jiwa    Bab 14. Bangkitnya Mayit Para Warga Desa

    Arkan mengerjapkan matanya perlahan saat sinar cahaya pagi masuk dari sela-sela jendela. Sembarai berseringai kecil karena merasa tubuhnya redam remuk dan rasa perih dibagian lengannya. Lelaki itu pun merasakan tenggorokannya yang kering kerontang hingga terasa sangat perih saat ia menelan ludah. “Kamu udah bangun.” Bima yang sejak semalam terus duduk di sebelah Arkan itu pun segera mengambilkan segelas air putih, lalu membantu adik sepupunya itu duduk. Wajah Arkan terlihat begitu pucat, ia juga merasa tubuhnya sangat lemas tak bertenaga. “Minum dulu!” Bima memberikan segelas air dan Arkan menerimanya sembari tangan kiri memegangi kepalanya yang terasa pusing. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa bisa tiba-tiba sudah berada di dalam rumah apa lagi matahari sudah terbit. Padahal seingatnya semalam ia dan Mila masih berada di luar dalam kondisi yang cukup meneganggkan saat tak sengaja kedua retinanya beradu tatap den

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status