Pagi ini aku ada acara perkenalan diri untuk pertama kalinya sebagai istri polisi, di perkumpulan istri-istri polisi yang di sebut Bhayangkari, khusus bagi Bhayangkari di Polsek tempat suami bertugas.
"Bun, apa ayah anter?" tanya suamiku, berhubung pertemuan dilaksanakan di taman satu-satunya yang ada di wilayah ini, suami menawarkan diri untuk mengantarku.
"Tidak sayang, kayaknya berangkat sama-sama ini." jawabku, sesuai info di group Bhayangkari yang aku ikuti.
"Baiklah, pakai topi ya bun, cuaca nanti akan panas." tegurnya.
"Oke sayang," jawabku seraya memberi kode dengan menyatukan jari telunjuk dan jempolku menyerupai hurup O.
Sementara suami bekerja, akupun berangkat ke taman bersama rombongan yang jumlahnya tidaklah banyak. Kurang lebih sekitar 10 orang, setelah aku tahu, tidak semua anggota hadir di karenakan jarak yang jauh juga kesibukan beberapa orang anggotanya.
"Halo Bu Andra," sapa seseorang padaku, ketika kami semua sudah sampai di lokasi berkumpul.
"Ya Bu, halo juga," jawabku seramah mungkin, aku ingat sekali pesan dari kedua orang tuaku juga mertuaku, baik-baiklah bergaul di rantauan, begitu katanya.
"Ya ampun bu, saya tidak menyangka lo, kalau Om Andra itu akan menikah sama ibu," ucapnya lagi.
Degs, perasaanku tiba-tiba tidak enak, berfikir, apa yang akan di sampaikan orang ini tentang suamiku padaku, fikiran negatif sudah menghantuiku. Sepertinya ada masa lalu suami yang akan ia ceritakan padaku.
"Soalnya ya bu, om Andra itu kemarin dulu sudah punya pacar, jadi saya kira dia akan menikah sama pacarnya itu," lanjutnya.
Benar sudah firasatku, ibu ini sungguh mengesalkan, bisa-bisanya dia menyebut wanita yang menjadi masa lalu suamiku. Apakah dia tidak berfikir bagaimana perasaanku saat ini?
"Mereka sudah putus sebelum bertemu saya," jawabku singkat, perasaanku sudah semakin tidak enak ini, apalagi yang akan di sampaikan.
"Ohh ya? Jadi ibu ketemu om Andra setelah di Bali? Atau di jodohkan?" tanyanya lagi yang semakin kepo dengan pertemuanku dan suami.
"Saya dulu sudah kenal dan sempat pacaran sama suami bu, jadi kemarin sekalinya ketemu lagi langsung nikah," jawabku dengan ketus, dadaku sudah naik turun, emosi sudah di ubun-ubun, namun aku masih mencoba menahannya.
"Oooooo, begitu rupanya, tapi ya bu ya, mantanya suami ibu cantik sekali, kulitnya putih, punya lesung pipit lagi," uapnya.
"Sudah tahu." Hatiku semakin panas mendengar celotehan si ibu ini, istri dari Om Lukas, teman 1 leting suamiku.
"Dulu itu ya bu, mereka sudah seperti suami istri, lengket sekali, kemana-kemana si perempuan di anterin sama om Andra, saya kira sudah mau nikah lagi." Astaga, pengen ku bejek ni mulutnya emak-emak, ngomong kok ga di kontrol diri, dia tidak fikir kah hatiku sudah membara ini, sudah panas bahkan mengalahkan panasnya api.
"Ohhh ya bu, itu masa lalu, karena saya juga dulu punya pacar di Bali, sudah kayak suami istri juga. Sudah biasa itu," ucapku ngelantur.
Pengen ku sekak mat rasanya wanita ini, padahal dari cerita suami diapun juga bukan perempuan benar, dulu sudah punya suami dan anak tapi selingkuh sama Om Lukas, dasar pengincar polisi, untung di nikahi. Umpatku dalam hati.
Acara di mulai, bukan acara resmi, hanya sekedar pertemuan biasa untuk memperkenalkan diri masing-masing bagi kami yang anggota baru termasuk si Ibu Lukas ini.
"Bu Andra, hati-hati ya, jaga suami, disini banyak sekali pelakor lo." Seseorang yang setauku di panggil Bu Roby, yang mungkin itu nama suaminya berbisik padaku.
"Iyakah bu?" Tanyaku penuh dengan rasa penasaran.
"Jangan salah bu, banyak disini ada ledis-ledis yang doyan sama polisi, pengalaman pribadi saya lo bu ya, suami saya kepincut ledis dan dia menikah siri dengan itu lajang keparat, suami saya mengabaikan saya dan anak saya." Ceritanya.
"Lalu kenapa ibu tidak lapor saja?" Tanyaku semakin penasaran.
"Sudah bu, tapi ya begitu, damai lagi, dia tidak kapok-kapok dan masih juga berhubungan sama perempuan gila itu." Gerutunya, air matanya mulai memenuhi pelupuk matanya yang cantik.
"Sabar ya bu." Hanya kata itu yang keluar dari bibirku.
"Ayo, bu ibu, makan dulu." Teriak yang lain.
Aku menggeser posisiku, mendekati yang lain, seseorang kemudian datang menghampiriku lagi seraya mengambilkanku buah jeruk.
"Terimakasih bu." Ucapku yang sudah mulai menikmati suapan pertamaku.
"Bu Andra, jaga suami ya, jangan lupa manjain suami, sering dandan juga, jaga penampilan, banyak pelakor." Ucapnya padaku.
Astaga, ini daerah apa sih? Kok yang negur pasti ujung-ujungnya ngingetin adanya pelakor, otakku jadi rusak kefikiran suami sekarang sedang apa, di kantor atau dia sudah jalan-jalan menemui mantanya?
Ya ampun, aku jadi menuduh suamiku begini kan.
"Bu, bu Andra." Ibu itu mengusap-usap kan tangannya di depan wajahku, menyadarkanku dari lamunan dan fikiran jauhku.
"Ehh, iya bu, tentu bu, pasti saya jaga suami saya kok." Jawabku, ku perhatikan satu persatu ibu-ibu yang ada disini bersamaku, ku akui, semua berdandan cantik, tidak ada yang tidak. Apakah mereka semua adalah korban?
Aku bergidik ngeri sendiri, bulu kudukku merinding, awas aja sampai suamiku macam-macam, biar ku potong anunya sekalian. Selagi yang lain ngobrol, ku sempatkan diri membuka ponselku, ku buka akun f******k suamiku. Banyak permintaan pertemanan yang masuk, begitu juga pesan di dalam f******knya, satu persatu ku ceck semua, rata-rata perempuan.
Apaan sih, mereka tidak lihat status pernikahan yang terpampang jelas di profil suamiku? Kenapa harus mengirim permintaan pertemanan sih? Ku lihat pesan masuknya, semua masih aman-aman saja, dari beberapa teman laki-lakinya.
"Bu Andra, gimana? Seneng ga ikut suami kesini?" tanya seseorang yang tiba-tiba mendekat, ia duduk di sebelahku, tangannya memegang air mineral yang sudah ia minum.
"Untuk sekarang, masih biasa-biasa saja bu, kalau nanti belum tahu, leganya ya cuma bisa sama suami," jawabku lagi, ku masukkan ponselku ke dalam tas kecil yang ku bawa, ku perhatikan wajah lawan bicaraku sesaat.
"Disini sudah biasa begitu bu, banyak memang laki-laki hidung belang, tapi saya yakin, Om Andra orangnya baik. ya ... namanya orang, setiap orang kan pasti punya masa lalu, begitu juga dengan Om Andra, ada masa lalunya juga," ucapnya.
"Terimakasih bu," jawabku tersenyum, ada juga yang akhirnya sedikit menenangkan hatiku.
"Ibu asli mana?" tanyaku padanya.
"Kalau saya, asli Medan bu, ikut suami juga kesini, saya sudah ada anak satu," ucap Bu Berto, itu yang ku tahu namanya, aku melihatnya di group, dan sempat bertanya kepada suamiku semalam.
Ibu-ibu Bhayangkari biasa di panggil dengan embel-embel suaminya, itu ku tahu sudah sejak lama, karena ibuku juga seorang Bhayangkari dari ayahku.
Bersambung...Desember 2021Desember ke 3 di tanah Papua. Harapan tinggal harapan. Entah sampai kapan lagi kami harus menunggu untuk hasil pindah sang suami. Aku merasa kosong, sepertinya harapan itu sia-sia. Biarlah, kita sudah berusaha, untuk hasilnya aku kembalikan kepada Tuhan."Bunda ... Bunda ...." teriak suamiku dari depan, kebetulan hari ini piket."Ada apa sih, Yah? Kok teriak-teriak jangan ribut, Ara lagi tidur, nanti dia terganggu." Aku menghampiri suamiku."Bunda, baca ini, Bun, baca, Bun!!" Ia menyodorkan ponsel yang telah terbuka 1 buah pesan Whatsapp di sana.Aku mengambil alih ponselnya, kemudian membaca baik-baik. Apa isinya, entahlah tanganku tiba-tiba gemetar, dadaku bergemuruh, aku terdiam sejenak. Aku terpaku. Aku tak tahu harus berbicara apa lagi kali ini. Air mata sudah mulai menetes membasahi kedua pipiku."Ayah, ini bener kan? Ini tidak b
2 Tahun kemudianHappy Birth Day Ara, 2 Tahun.Tak terasa, kini usia putriku sudah menginjak angka 2 tahun. Ah, tak pernah terbayang sama sekali kalau perayaan ulang tahunnya masih berada di tanah Papua.Sama seperti 1 tahunnya, tak ada yang spesial. Hanya perayaan kecil yang kami rayakan bertiga saja. Kue tar bertemakan doraemon yang ia sukai. Di tambah buket snack yang di hiasi balon. Itu saja Ara kecilku sudah sangat bahagia."Selamat ulang tahun, Ara," ucapku dan suami menatap gadis kecilku yang begitu bahagia.Ahh, kesederhanaan ini yang memang kami tanamkan sejak kecil padanya. Aku tidak ingin kelak ia menjadi gadis yang penuh dengan keegoisan juga menang sendiri."Bunda, Ala suka balon. Kue Ala ada dolaemon, ada obita, ada suka, ada suneo, ada jayen." Ia sebutkan satu persatu tokoh doraemon yang terpasang di kue kecilnya itu.
Tepat pukul 08.00 malam, terdengar suara mobil di depan mes. Aku tak bergegas membuka pintu. Aku memilih mengintip terlebih dahulu dari celah jendela depan. Masih teringat jelas pesan dari tetangga juga pesan dari suamiku. Jangan buru-buru membuka pintu saat orang datang. Lihat dulu dari jendela, takutnya orang mabuk.Yah, begitulah, suami tugas di sini sangat rawan. Orang mabuknya di sini sangat beda jauh dengan d Bali. Kalau di sini mabuk bisa bertindak kekerasan, bahkan sampai memb***h. Kalau di Bali, mabuknya macam orang-orang Korea, mengeluarkan isi hati, muntah lalu tidur.Oke, aku intip dari jendela, ternyata memang suami yang datang. Ia turun dari sebelah kursi kemudi. Ku bukakan pintu rumah seraya menggendong si kecil."Lihat sayang, siapa yang pulang? Ayah!" ucapku pada si kecil.Suami menenteng beberapa tas plastik, besar dan kecil. Ahh, memang suami idaman. Masih berpaka
Hari ini aku duduk santai di depan mes, tepatnya di pospol yang kebetulan memang menjadi 1 dengan mes. Menemani si kecilku yang sudah pandai merangkak dan bermain. Andai saja ada jaringan, aku sudah pasti menghubungi keluarga di Bali. Aku sungguh rindu dengan mereka. Terutama dengan orang tuaku juga mertuaku.Andai saja ada keajaiban suami mutasi semudah membalikkan telapak tangan, sudah pasti suami tak menunggu lama lagi.Aku sering kali berselancar dengan pikiranku sendiri, mengkhayal kalau nanti sudah pindah ke Bali, aku akan jalan-jalan. Yang paling kuharapkan adalah melihat orang tua juga mertuaku menemani cucunya bermain.Betapa bahagianya jika waktu itu tiba. Aku rindu dengan makanan di Bali. Begitu jauh berbeda di bandingkan di sini. Jika di Bali berbagai macam dagang makanan tersedia, jika di sini, bahkan mencari sayur mayurpun susah.Bali, oh Bali. Kapan aku bisa kemBali. Ku seruput kopi panas yang menemani siangku sekalian nemenin
Beberapa hari aku berada di sini, aku mulai akrab dengan beberapa tetangga. Aku bersyukur tinggal di sini. Para tetangga sangat ramah dan bersahabat. Kami sering bertukar makanan.Walau jaringan telepon begitu sulit bagiku itu bukanlah hal yang terlalu penting. Ada suami di sampingku adalah yang paling membuatku bahagia dan nyaman."Bunda, kita pergi ke market yuk?" Seorang ibu yang biasa ku panggil mama fitrah, memanggilku dari depan pintu.Aku panggil mama Fitrah, karena anaknya bernama fitrah. Ini pengalaman baru bagiku. Di Bali rasanya tidak ada yang seperti ini. Ah, jadi ingat Bali lagi. Entah kapan suami akan pindah tugas ke Bali agar kami bisa berkumpul dengan keluarga."Boleh Mama Fitrah, tunggu, saya ambil uang dulu." Aku bergegas masuk kembali ke dalam rumah. Mengambil 1 lembar uang berwarna merah kemudian menggendong putriku, Ara."Mama Fitrah, mau beli apa?" tanyaku sembari barjalan menuju arah market."Lihat-lihat
Matahari mulai menelisik dari jendela kamarku. Aku terbangun setelah semalaman suntuk tidak bisa memejamkan mataku. Mungkin hanya beberala jam aku terlelap, itupun tidak nyenyak.Ku raih ponselku yang tak jauh dari posisiku. Sama sekali tidak ada pesan ataupun telepon dari suamiku. Aku menghela napas sesaat. Bisa-bisanya suamiku seperti ini.Hari ini aku memilih untuk memesan makanan jadi, posisi Ara suka tidur tak tenang yang tiba-tiba terbangun membuatku enggan meninggalkannya yang masih tertidur.Menghilangkan penat setelah aku sarapan, mandi dan mendanani Ara, aku memilih untuk menghibur diri. Ngobrol dengan beberapa tetangga sebelah rumah."Om Andra sudah nugas lagi ya bu?" tanya Bu Lucas."Sudah bu," jawabku singkat."Kok ibu ga ikut sih ke sana? Kalau saya jadi ibu, sudah minta ikut ke sana. Ga takut nanti suaminya kepincut ladis?" ujarnya."Saya percaya suami saya, bu." jawabku setenang mungkin. Walau pada
4 Bulan kemudianTing, sebuah pesan whatsapp masuk ke ponsel suamiku yang memang sedang aku pegang. Ada pesan group dari kantornya. Aku bergegas membuka pesan itu. Sebuah surat perintah yang isinya adalah perihal penugasan. Jelas ku baca nama suami tertera disana. Ia di pindahkan lagi ke tempat sebelumnya."Ayah, gimana ini? Maksudnya apa? Kok ayah bisa dipindahkan lagi?" pekikku, aku mendelik menatap suamiku, aku percaya pasti dia sengaja minta pindah lagi."Eh, apa, Bun? Maksud Bunda apa? Siapa yang pindah?""Ini, baca, apa maksudnya?" Aku menyodorkan ponselnya. Memintanya membaca pesan group yang baru saja aku baca."Kok bisa ayah dipindahkan lagi? Padahal udah enak di sini, ya kan, Bun?" tanyanya beralasan.Ya! Aku yakin itu hanya alibi, pasti suamiku yang minta pindah sendiri. Ia memang maunya tugas di sana. Ga paham apa yang membuatnya betah di sana. Bikin jengkel.Itu yang bikin aku ga yakin dia
Suami mulai bertugas lagi di Polsek. Aku bersyukur, karena kita dekat. Dan aku nyaman ada yang membantuku mengurus Ara. Tap sepertinya perasaan yang berbeda dirasakan oleh suamiku. Ia seakan-akan tidak suka di pindahkan lagi ke Polsek. Aku sebagai istri jelas bisa membaca sedikit raut ekspresi di wajahnya.Pagi inix sebelum bayiku terbangun, aku bergegas masuk ke dapur. Membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa bahan untuk aku masak.Aku dan suami sama-sama terdiam. Aku masih dengan emosiku sendiri, begitupun dengan suamiku.Tak butuh waku lama, setelah hidangan tersaji aku bergegas menuju kamar mandi. Aku membersihksn diriku, kemudian gegas berganti pakaian. Takut si kecil keburu bangun.Rambut masih acak-acakkan, tak sempat sisir rambut. Aku memberikan asi pada si kecil yang sudah mulai menggeliat dan menangis."Ayah ke kantor dulu," celetuk suami sesaat membuka pi
Suamiku langsung ngelayap ke rumah tetangga setelah kami sampai di rumah, padahal belum juga masuk rumah, bahkan pintu rumah juga belom di buka. Ihh, ngeselin banget ga sih? Ke mana sih? Coba bukain pintu dulu deh, ga paham banget kalau istri capek."Ayah ke mana sih? Baru sampai bukannya buka pintu malah ke tetangga," gerutuku."Ya Tuhan, ayah ambil kunci, Sayang. Ini kunci kan di titip ke pak Robi, kemarin," jawabnya seraya membuka kunci gembok yang gedenya segenggaman tangannya."Hehehheh kirain ke mana," ucapku terkekeh malu.Ya Tuhan, aku masih ga percaya, di tanganku ada boneka hidup yang lahir dari rahimku. Ya ampun, yang lebih bikin aku ga percaya lagi. Aku yang melahirkan dia, tapi wajahnya 90 persen mirip ayahnya. Astaga, gadis kecilku yang lucu.Suami membuka pintu, baru saja hendak masuk, para tetangga sudah berhambur menghampiriku dan bayiku."Aduh, Bu Andra, sini saya gendong dulu si kecil, ayo ajak ke rumah dulu, biar Pak Andra bersih-bersih rumah dulu," ucap tetangga ya