Share

Ingin di Manja

Bab 5

Terik matahari sudah tinggi, aku dan yang lainnya pulang kembali ke rumah masing-masing setelah mobil yang mengantar kami menurunkan semua ibu-ibu di halaman Polsek.

"Ibu-ibu saya pamit duluan." Ucapku seraya meninggalkan yang lain dan berjalan mendekati rumahku yang tinggal beberapa langkah lagi dari tempat kami bubar.

Aku masuk ke dalam rumah yang hanya di tutup tanpa di kunci, itu artinya suamiku masih di kantor. Aku celingukan menoleh ke arah kantor suami, mataku berselancar mencari tahu keberadaan suamiku yang tidak ku temukan, mungkin dia ada di dalam ruangan.

Aku bergegas masuk ke dalam rumah, ku ganti pakaianku dengan daster, ngomong-ngomong soal daster, suamiku paling tidak suka jika aku menggunakan daster, ia sering ngomel saat melihatku memakai pakaian santai itu, katanya itu mengundang bahaya, entah maksudnya apa. Aku masuk kamar, kemudian mengambil hp merk anuku dan membuka aplikasi hijau. Ku cari nomor atas nama 'sayang' yang tak lain adalah suamiku sendiri.

[Ayah dimana?] Aku segera tekan tulisan kirim pada suduh bawah, centang dua abu-abu. 

5 menit, 10 menit, 15 menit, belum ada tanda-tanda pesanku di balas sama suamiku, kebiasaan, dia selalu pelit dalam hal membalas pesanku, bahkan mengangkat panggilanku dia susah, dasar pelit dan menyebalkannya dia.

Ku buka lagi aplikasi hijau pada ponselku, pesan pada nama panggilan suamiku masih centang abu-abu, kesal, jengkel, kemana sih, susah sekali baca pesan dari istri, padahal kalau di rumah pegang hp terus.

[Woeee, baca pesanku, ayah kemana sih? Susah sekali balas pesan istri, pelit sekali sama kata-kata buat istri, coba sama orang lain, lancar, dirumah pegang hp terus.] Tidak sampai 5 menit, kedua pesan akhirnya berubah menjadi centang dua biru yang artinya semua sudah di baca oleh suamiku.

[Sabar bunda sayang, ayah masih kerja, ada yang lapor tadi.] Jawabnya.

Setelah ku baca, aku abaikan pesan suami, aku melongos keluar kamar kemudian mengintip dari pintu depan, memperhatikan apakah suamiku benar-benar ada di kantor atau tidak.

Tapi sayang, tak terlihat batang hidungnya, mungkin benar dia tengah di dalam ruangan. Aku kembali masuk ke dalam kamar, kembali merebahkan tubuhku di atas tempat tidur.

Teringat bagaimana aku bertemu dengan suamiku sebelum kami menikah, iya, memang kami pernah berpacaran dulu, dulu sekali, itu pun hanya melalui telpon dan sms. Kami tidak pernah bertemu sama sekali, dan akhirnya kandas setelah berjalan 5 bulan, aku tidak kuat dengan hubungan jarak jauh juga yang jarang berkomunikasi. Terlebih lagi karena keraguanku yang luar biasa padanya karena kita tidak pernah bertemu sekalipun.

Setelah putus, tak ada komunikasi lagi antara kami, nomornya sudah ku hapus, bertahun-tahun sampai akhirnya aku teringat tentangnya lagi. Ku coba mencari tahu melalui aplikasi f******k, sempat ku lihat namun pada akhirnya hilang, aku di block. Entah niat apa yang memaksaku terus mencari tahunya, mencoba mencari tahu keberadaannya, informasi tentangnya, melalui teman-temannya yang polisi ku perjuangkan kabarnya.

Dan setelah pencarian 2 bulan itu, seorang teman 1 kantornya memberi tahuku nomor ponselnya. Kami berkomunikasi lagi, to the point dia mengajakku balik dan menikah, ia ambil cuti bulan itu juga, pertemuan pertama ia langsung minta ijin kepada orang tuaku dan 2 minggu kemudian kami sah menikah.

Aku baru tahu jelas tentang mantannya setelah aku di boyong ke Papua oleh suamiku. Dan itu yang menyebabkan otakku rusak berfikir hal-hal yang membuatku sakit hati sendiri.

'Jangan-jangan suamiku masih mencintainya.'

'Jangan-jangan aku dinikahi cuma karena kita satu agama sedangkan sama si mantan beda agama, makanya terpaksa putus, dan milih aku.'

'Apa iya suamiku sayang sama aku? Kok kayaknya engga sayang ya? Jangan-jangam perasaannya masih sama perempuan itu.'

'Bisa jadi kan dia nikahin aku bukan karena cinta, tapi karena satu keyakinan saja.'

Bukannya gimana sih, kalau dia sayang, masak balas chat istri aja pelit banget, harusnya kan ga boleh gitu, kalau sayang yang sempatin dong balas chat istri, rajin, jangan cuma saat pacaran saja antusias, tentu setelah menikahpu  harusnya masih sama. Cinta harus dipupuk teruskan? Jangan sampai cinta itu rusak karena tidak dijaga.

Fikiran berkecamuk itu membuatku sakit hati sendiri, belum lagi kalau mengingat status-status dan foto-foto suami sama mantannya yang belum di hapus oleh perempuan itu.

Ohh iya, kalau di ingat-ingat, f******k suami sama sekali ga ada foto si cewek itu, status untuk diapun ga ada. Aku uda scroll sampai habis tuh f******k suami, bersih, malah sejak ketemu aku, dia langsung post fotoku, langsung buat status, berarti itu tandanya sayang kan?

Kalau sayang, kok pelit perhatian sama istri? Aiisstt, sial, mending aku tidur, ku letakkan kembali ponselku, ku kecilkan volume tivi, ku pejamkan mataku. Berharap mimpi indah dan setelah bangun suamiku sudah ada di sampingku, memelukku. Ahh tidak-tidak, bangun tidur nanti buka hp, lihat aplikasi hijau trus ada story suami post fotoku dan di caption 'istri ku tersayang.' Semoga aja.

Aku terbangun setelah 1 jam lebih tertidur, aku bula ponselku seperti rencana sebelumnya, buka aplikasi hijau, ku scroll sampai bawah, sama skali tak ada status suamiku.

[Ayah.] Aku kirim pesan padanya.

[Iya sayang, gimana?] Balasnya cepat.

[Tolong ayah up foto di story wa, up fotonya bunda, trus isi caption, istriku sayang, cepat.] Send.

[Ok baik.]

2 menit kemudian, benar saja, suamiku sudah mem'post fotoku dengan caption sesuai perintahku. Kalau seperti ini, aku ibarat wanita yang mengemis perhatian pada suamiku sendiri. Aku bisa apa? Aku juga ingin merasakan seperti wanita lain yang suaminya romantis, so sweet, pokonya bisa buat senyum-senyumlah.

Hal yang paling ku takutkan adalah tanggapan orang, menganggap suamiku tidak sayang padaku, apalagi kalau sang mantan tahu, pasti dia akan menertawakanku, menganggapku wanita yang cuma di pilih, bukan di cintai, buktinya? Tidak ada perhatian lebih.

[Sayang, bunda pengen ayah romantis.] aku mengirin pesan lagi padanya.

[Sesekali ayah romantis dong.] kirimku lagi.

[Mau romantis gimana lagi sayang? Ayah tidak bisa lo.] balasnya.

[Dulu sebelum nikah kok bisa? Sekarang kok gini sih yah?] ku bubuhkan emoticon kesal di belakang kalimat.

[Sayang, nikah sama pacaran beda, coba tanya orang tua kita, mereka pasti sama.] balasnyanlagi.

[Orang lain bisa kok.] gerutuku.

[Selama ini ayah udah bantu bunda dirumah, jadi suami siaga, bantu masak, beberes dan semua hal juga lebih banyak ayah yang kerjakan, bunda sudah seperti tuan putri, apa masih kurang?] 

[Bukan gitu ayah, tapi bunda juga ingin di manja, di perhatikan, dibuatkan status.] aku tersenyum kecut melihat ponselku, apakah suamiku tidak peka sama sekali?

Aku malas membalas pesan terakhirnya, ku abaikan ponselku dan merebahkan diri lagi.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status