Share

Wanita Egois

Bangun tidur, suamiku sudah tidak ada di sebelahku, sudah menjadi kebiasaan antara kami, suamiku selalu bangun lebih awal di banding aku, diam-diam ku intip dia dari pintu kamar, mencari keberadaanya, sepi, tak ada tanda-tanda ia ada di rumah.

Aku kembali masuk ke dalam kamar, ku ambil ponsel suamiku, Andra, yang masih tergeletak begitu saja di tempat tidur kami. Cepat-cepat ku buka aplikasi pesan, kemudian w******p, f******k juga panggilan, tak lupa pula aku periksa kontak ponselnya, membayangkan kelakuanku yang seperti ini seakan-akan aku sudah menjadi maling di dalam rumahku sendiri.

Sebatas ini, yang akun perhatikan aman, tak ada yang mencurigakan, setelah semua selesai, aku letakkan lagi ponselnya pada posisi semula. Sebenarnya, Andra tidak pernah keberatan jika aku memeriksa ponselnya, hanya saja aku harus jaga image, jangan sampai dia ke GR'an dan mikir aku terlalu takut dan curiga juga cemburu yang berlebihan, karena sampai saat ini, tak nampak di mataku jika suamiku itu cemburuan, itu juga yang membuatku bertanya-tanya tentang perasaannya, apakah benar atau tidak ia menyayangiku.

Dari dalam kamar ku dengar suara deru sepeda motor milik suamiku, ohh, rupannya tadi dia pergi ke pasar, Andra memang selalu rajin pergi ke pasar, ia kerap kali beebelanja sendiri, membeli bahan masakan dan lain-lainya, aku memang wanita beruntung yang bisa mendapatkan pria seperti Andra, ia tak pernah berprilaku bak raja di rumah, ia pun tidak pernah mengatakan jika pekerjaan rumah adalah tugasku saja, ia malah dengan semangat membantuku menyelesaikan tugas rumah jika dia tidak lelah.

Trap... Trap... Trap... Beberapa menit terdengar langkah kaki suamiku berjalan menuju ke arah dapur, aku keluar dari kamar berlagak seperti orang yang baru saja bangun tidur. Mengusap-usap wajahku pelan.

"Ayah dari mana? beli apa?" Tanyaku padanya berlagak tidak tahu apa-apa dan tidak terjadi apa-apa.

"Dari pasar sayang. Ayah sudah beli masakan matang ini, bunda tidak usah masak ya. Mau mandi atau mau sarapan dulu?" Ucapnya, ku raih apa yang dia bawa, kemudian ku buka lalu ku tempatkan pada wadah, ku lirik magicom, ternyata, suami juga sudah masak nasi, piring-piring kotor juga sudah ia cuci, aku lanjutkan dengan bersih-bersih rumah. 

"Ayah hari ini kerja?" Tanyaku padanya, suamiku bekerja sebagai abdi negara, polisi, kami merantau jauh dari mertua dan keluarga yang lain karena tugasnya di luar pulau asal kami. Papua. 

"Kerja dong bun, mana ada polisi libur." Ucapnya, tangannya sudah kembali memegang ponsel barunya, kadang aku berfikir, siapa sih sebenarnya yang ia hubungi setiap saat, padahal kalau aku cek malah kosong, ga ada yang di ajak chat ataupun telponan, apa iya cuma tengok-tengok laman f******k?

"Pegang hp terus." Sindirku, suamiku langsung meletakkan ponselnya lagi, ia masuk ke dalam kamar mandi, melakukan ritual paginya sebelum berangkat bekerja.

Ku pastikan ia sudah mengunci pintu kamar mandi rapat, ku lirik sekilas ke arah kamar mandi, tanganku sudah gatal merogoh ponselnya, segera ku buka semua aplikasi yang selalu ku curigai.

Apa? Tidak ada pesan w******p? Perasaan tadi tanganya lancar sekali ngetik sesuatu, dia berbalas pesan sama siap? Kok tidak ada pesannya? Emosiku mulai lagi membludak di dada, beragam pertanyaan mulai mengusik fikiranku, beragamam tebakan-tebakan serta selidik akan suamiku mulai berkeliaran di otakku, dalam deru nafas yang tak karoan, ku lanjutkan pekerjaanku beberes rumah. Dari ujung belakang sampai ujung depan, ku sapu, lalu ku pel sampai semua mengkilat.

Aku tinggal di asrama polisi, rumah panggung sederhana yang letaknya 1 halaman dengan polsek tempat suamiku bertugas. Setelah selesai melakukan bersih-bersih nampak suamiku sudah rapi dengan pakaian dinasnya.

Ku abaikan dia yang sudah menuju dapur hendak sarapan, aku masuk kamar mandi hendak melakukan ritualku membersihkan diri, ku tengok mesin cuci dalam sana, kosong, bersih, ternyata suamiku sudah mencuci semua pakaian kotor dan menjemurnya.

15 menit aku selesai mandi, segera keluar dan berdandan, tak lupa ku ambil ponselku, aku ingin sekali bertanya kenapa dia menghapus pesan-pesanya. Suamiku sudah berangkat bekerja, begitulah kadang ia pamit, kadang tidak, kantor dekat, dan dia sering bolak balik pulang.

[Ayah, dimana?] Aku mengirim pesanku pada suamiku, mulutku sedang sibuk mengunyah sarapan yang ku ambil sebelum mengambil ponsel tadi.

[Di kantor sayang, kenapa?] Balasnya cepat.

[Bunda mau tanya, tapi ayah jangan marah ya.] Kirimku lagi.

[Apa to?]

[Ayah ada chat sama siapa? Bunda liat ayah sibuk pencet hp dari semalam sampai pagi tadi, tapi bunda periksa semua sudah kosong, ayah hapus-hapus ya?] Tanyaku.

[Ayah tidak suka simpan-simpan pesan bun, ayah tidak macam-macam kok.] Jawabnya.

[Awas!] Ancamku.

Fikiranku kembali teringat dengan mantanya yang cantik, aku kepo sama profil facebooknya, aku buka semua, ternyata dia benar-benar marah terhadap suamiku yang memutuskan hubungan, banyak sekali status-status hujatan ia lemparkan kepada suamiku.

Ada satu yang membuatku jengkel, perempuan itu tidak menghapus foto-fotonya dengan suamiku. Rasanya aku ingin sekali mengirim pesan padanya dan memintanya untuk menghapus semua foto mereka, mungkin tuh perempuan tidak bisa move on dari suamiku, sampai-sampai tidak rela menghapus foto-foto mereka.

Ku baringkan tubuhku di dalam kamar tidur, chat terakhirku tidak di balas suamiku.

[Ayah...] Aku kembali mengirimkannya pesan, namun ia hanya membacanya saja tanpa membalas, emosiku kembali membludak.

[Oeeee, balas, kenapa di baca saja?] Tak lupa ku sematkan emoticon emosi pada akhir kalimat.

[Apa sih bun? Ayah lo kerja depan rumah saja, sudah kayak ayah kerja jauh, minta chat terus.] Balasnya kemudian.

[Pelit sekali balas chat istri, padahal hari-hari sibuk chat sama orang, malas!] Umpatku.

[Apa sayang? Iya, maaf.] Pesan terakhirnya tidak ku balas lagi, aku memilih untuk tidur, cuaca yang dingin membuatku merasa sangat nyaman berada dalam balutan selimut.

Ada perasaan kesal menyelimutiku, dulu aja sebelum nikah, chat trus, telponin terus, giliran sudah nikah, cuek seperti bebek, wanita mana yang tidak akan jengkel?

Masih teringat jelas di benakku, betapa sulitnya dulu aku menemukannya, laki-laki yang pernah hilang, kini sudah sah menjadi suamiku. Terkadang aku masih tidak percaya aku benar-benar sudah menjadi miliknya, dan dia adalah milikku.

Padahal sudah jelas, tapi ketakutanku kehilangannya sangat besar, aku takut ada perempuan lain di hatinya, atau ada perempuan yang sedang berusaha memperjuangkan cintanya lagi, sang mantan. 

Itu yang membuatku menjadi wanita egois, pengekang, pencemburu dan posesif. Bersyukur dia adalah pria yang sabar, seberapa keraspun aku marah dan cemburu, ia selalu sebisa mungkin dengan sabar menenangkan dan memberi penjelasan tentang apa yang sudah kujadikan bahan keributan.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status