Share

Mimpi Buruk

Malam ini tidak berbeda dari sebelumnya bagi Prabu. Kontrakan sempit sepetak yang dingin menambah perihnya luka yang ia terima siang tadi. Matanya sesekali melihat ke arah pintu yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat tidurnya. Kekhawatiran terpancar di wajahnya. Ia berharap saat ibunya pulang nanti tidak memergoki luka yang saat ini ia sembunyikan. 

Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam tepat. 'Mungkin ibu akan pulang lima belas menit lagi,' pikirnya sembari menarik selimut yang sudah lapuk.

Tangan Prabu kembali memegang plester yang tertempel di pipinya sambil tersenyum lebar. Ia begitu terhanyut membayangkan sosok Santi. Wajah gadis itu menguasai pikiran Prabu sekarang ini. 

'Seandainya Santi tadi tidak datang, mungkin aku akan bener-bener menyerah dan memutuskan untuk berhenti sekolah disana,' pikirannya kembali melayang hingga ia tidak menyadari jika ibunya sudah pulang.

“Prabu, kamu sudah makan? Ibu beli gorengan,” tanya ibunya begitu menaruh kantong plastik hitam di atas meja. 

“I-ibu sudah pulang? Aku sudah makan Bu.” Prabu tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Tanpa sadar ia segera membuka selimutnya.

“Astaga Prabu! Apa yang terjadi padamu?” Siti Nuriah segera menghampiri anak semata wayangnya itu.

“I-ini, tadi di sekolah aku jatuh saat main sepak bola dengan teman-teman kok Bu. Ibu tidak perlu khawatir,” jelas Prabu gagap.

Namun Prabu tahu betul, jika kali ini mungkin ibunya tidak mungkin percaya semudah itu. Ibu mana yang akan percaya jika hampir setiap hari anaknya pulang dalam keadaan luka-luka? Masih teringat oleh Prabu alasan-alasan yang ia gunakan selama ini untuk menutupi memar yang ia terima. 

‘Ah, bagaimana ini? Kenapa ibu hanya diam saja? Apa alasan main sepak bola sudah pernah aku katakan ya?' matanya terlihat menghindari kontak dengan ibunya.

“Huft, lain kali kamu harus hati-hati Nak,” kata ibunya sambil menghela nafas panjang. Tak lama ibunya segera kembali ke meja tempat ia menaruh kantong plastik hitam tadi. 

“I-iya, baik Bu,” jawab Prabu. Melihat respon ibunya, ia yakin betul jika alasannya tadi sudah tidak berguna.

“Nak, apa kamu keberatan jika bertahan di sekolah itu?” tanya ibunya membelakangi Prabu. Siti Nuriah bukanlah wanita bodoh. Namun ditengah himpitan ekonomi yang melilit mereka, untuk sekedar makan tiga kali sehari saja sulit. 

“Ibu...” Prabu melihat punggung ibunya yang bergetar seperti menahan agar air matanya tidak keluar. 

“Aku bisa bertahan Bu. Tenang saja. Ibu tidak perlu khawatir. Beberapa bulan lagi aku akan naik kelas XI. Dan kelasnya dibagi berdasarkan prestasi. Aku akan mempertahankan nilai ku agar bisa berpisah kelas dengan mereka,” jelas Prabu. 

“Maaf ya Nak, ibu tidak bisa menghasilkan uang yang lebih banyak,” ucap ibunya tersenyum seraya menoleh ke arah Prabu.

Prabu tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menghampiri ibunya dan meraih pundaknya seraya menundukkan kepala. Bagaimana ia bisa menyerah begitu saja jika ibunya sudah berkata seperti itu? Prabu tahu betul, bahwa sejak kecil ibunya sudah bekerja keras membesarkannya sendirian. 

***

Sekolah seperti neraka bagi Prabu. Tidak pernah ada angin segar bagi pemilik badan kecil itu. Setelah bertekad mempertahankan nilai, Prabu berusaha acuh tak acuh pada pukulan yang ia terima. Ia hanya merasa percuma berharap ada teman sekelas yang menolongnya.

Namun parahnya, Prabu mulai merasa jika perundungan yang ia terima dari Adi dan gengnya semakin sadis. Badannya yang kecil kini lebih kurus dari sebelumnya. Luka-luka bekas pukulan yang belum pulih, tak ayal menjadi sasaran bagi para perundung yang membuat lukanya sulit untuk sembuh.

Hingga tiba hari ujian kenaikan kelas. Seperti biasa, Adi dan gengnya mengancam agar Prabu tidak menjawab semua soal ujiannya. Tapi, Prabu sudah bertekad agar bisa keluar dari neraka ini. Bukankah ini alasannya ia bisa bertahan sampai sekarang? Prabu mengincar posisi juara kelas lagi agar bisa terlepas dari para perundung itu dan naik kelas XI IPA I yang merupakan kelas unggulan. 

“Hei lihat, tadi si pecundang ini sama sekali tidak menoleh saat aku panggil tadi,” ledek Bagas sambil memegang wajah Prabu yang sudah babak belur. Mereka berempat memojokkan Prabu di samping halaman sekolah yang jarang dilalui siswa. 

“Hehe...” tersungging senyum di bibir Prabu yang masih mengeluarkan darah segar. 

“Wah, sial dia tertawa. Kok bikin kesal ya?” tanya Jun dengan ancang-ancang ingin menampar.

“Hentikan!” perintah Adi membuat mereka semua terdiam. Sambil memegang puntung rokok yang masih menyala, Adi menghampiri Prabu dan membuat semua bergidik dengan wajah seram yang dibuatnya. 

“Kali ini kita biarkan dia pulang sekarang. Jangan sampai dia babak belur dari sebelumnya. Bukankah kita juga berada dalam bahaya jika anak sialan ini sampai mati?” tanya Adi sambil menaikkan salah satu alisnya. 

Prabu dan teman-teman gengnya hanya diam. Tidak lama kemudian mereka melepaskan Prabu untuk segera pulang. Namun, seringai licik yang tersungging dari senyum Adi membuatnya merasa cemas. Ia yakin betul bahwa ada yang sedang Adi rencanakan. 

“Hei, Adi ada apa denganmu hari ini? Kau yakin melepaskan Prabu begitu saja?” tanya Bagas heran. 

“Sudah biarkan saja. Biarkan dia merasa lega sejenak sebelum ia mendapat kejutan,” jawab Adi dengan pandangan yang tajam. 

***

Hari pengumuman pembagian kelas pun tiba. Prabu nampak sumringah. Bekas luka dan plester yang ada di wajahnya seolah tidak berarti lagi. 

Ia berlari dengan semangat menuju papan pengumuman yang berada di lorong sekolah depan perpustakaan. Matanya dengan cepat dan lihai mencari namanya di barisan kelas XI IPA I. Dan betul saja, Prabu Sanjaya menempati urutan pertama dalam absen siswa yang masuk kelas itu. 

'Akhirnya! Tidak sia-sia aku bertahan selama beberapa bulan ini. Kini aku bisa bebas dari Adi dan gengnya. Aku bahkan berhasil menempati posisi pertama,' pikirnya kegirangan.

“Hei coba lihat Adi. Seperti katamu, kalau saat ini si pecundang kita pasti sedang senang,” ledek Jun yang tiba-tiba menyusup di tengah anak-anak yang berkerumun di depan papan pengumuman. 

Merasa sudah terbebas dari Adi dan teman-temannya, Prabu tidak takut lagi pada mereka. “Mau apa kalian?” bentaknya.

“Wah, wah, kecoak ini sudah besar rupanya. Sekarang dia sudah berani melawan,” Bagas mendekati Prabu yang terlihat memasang wajah marah.

“Kalian yang kerjanya hanya memukuli, mulai besok tidak akan bisa menggangguku lagi,” katanya dengan penuh percaya diri. 

“Sepertinya kita terlalu keras memukul kepalanya, sampai-sampai dia tidak bisa membaca absen sampai bawah,” kata Adi dengan senyumnya yang licik.

“A-apa?!” Prabu segera mengalihkan pandangannya menuju absen yang ditempel. Matanya mulai mencari absen terbawah.

'Gila! Ini gila! Nama mereka berempat ada di daftar absen tersebut. Bagaimana bisa? Aku yakin betul jika selama ini mereka berada di posisi terbawah di kelas ku. Kenapa bisa masuk kelas unggulan?!' pikir Adi dengan raut wajahnya yang kebingungan.

“Kau tidak lupa kan, kalau orangtuaku berpengaruh di sekolah ini. Masuk kelas manapun sangat mudah bagiku seperti membalikkan telapak tangan,” jelas Adi.

“Ka-kalau mudah bagimu seperti itu, kenapa selama setahun ini kalian menindas ku dengan alasan nilai?!” teriak Prabu.

“Hmm... Bagaimana ya jawabnya? Aku rasa kamu memang dilahirkan sebagai pecundang,” jawab Adi dengan wajah menyebalkan.

“Kamu tahu kan Prabu, kalau ada beberapa mahluk lemah yang dilahirkan. Ya kamu itu termasuk,” kata Bagas menimpali. 

“Si-sial! Akan aku adukan kalian! Akan aku adukan kalian ke pihak sekolah karena selama ini telah menindas ku!” teriak Prabu sembari berlari menuju ruang guru.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status