Share

Akhir Dunia

Langkahnya semakin cepat. Prabu sama sekali tidak memperdulikan tatapan siswa dan omelan guru piket yang memarahinya karena berlari di koridor. Dalam pikirannya hanya ada satu hal. Setelah ia pendam semuanya selama satu tahun, ia merasa jika saat ini harus segera melaporkan segala kejadian penindasan yang ia terima ke pihak sekolah.

Entah kenapa sosok Santi tadi terbesit begitu saja. Ia ingat betul jika gadis pujaan hatinya itu pernah menyarankan agar Prabu mengadukan nasibnya ke pihak sekolah. Karena sekalipun orang tua Adi berpengaruh, jika kebanyakan guru memihak Prabu maka masih ada harapan untuknya lepas dari perundungan mereka.

“Permisi Pak, saya ingin menyampaikan bahwa saya..”, belum sempat Prabu melanjutkan kalimatnya, ia merasa senang bertemu dengan Santi di ruang guru BK. Santi yang sedang menaruh lembaran kertas di meja guru membuat pikirannya buyar sejenak.

Gadis berambut panjang itu tersenyum melihat Prabu. “Prabu, ada yang kamu perlukan juga disini?” tanyanya ramah.

“San, untung kamu juga disini. Aku, aku ingin mengadukan semuanya. Semua perbuatan Adi dan teman-temannya,” jawab Prabu. 

Tidak butuh waktu lama untuk guru BK memanggil Adi dan teman-temannya. Di dalam ruangan BK saat ini, berdiri juga Santi dan Prabu. Santi dipaksa ikut sebagai saksi teman sekelas yang menyaksikan langsung perundungan tersebut. 

Prabu dengan lancar menjelaskan semuanya. Rasa sakit yang ia berusaha tahan, terluapkan dengan menggebu-gebu. Sambil terus menunjuk-nunjuk ke Adi dan gengnya yang masih terlihat santai, guru BK memang tampak mendengarkan. Hingga akhirnya, Santi diminta kesaksiannya. 

“Sepertinya hanya salah paham saja Pak. Karena Adi dan teman-temannya tidak seperti itu. Di kelas mereka berempat berteman baik,” jelas Santi.

Bagai disambar petir. Santi yang diharapkan bisa menjadi saksi satu-satunya karena dikira berpihak pada Prabu, ternyata tidak jauh berbeda dengan teman sekelasnya.

“Sa-Santi, kamu bohong kan? San, kamu tidak perlu takut. Kita ada di depan guru BK saat ini. Jika kamu jujur, maka semuanya akan berakhir San,” bujuk Prabu. 

“Hei, apa kamu gila? Kamu pikir kita sedekat itu?!” ucap Santi ketus. 

“Pak, apa yang saya katakan sebagai saksi benar adanya. Jika bapak tidak percaya, bapak bisa tanya ke teman sekelas kami lainnya,” ucapnya lagi.

“Hmm... Begitu ya,” kata guru BK merespon.

“Ti-tidak perlu tanya ke teman sekelas Pak. Ini, saya ada bukti jika mereka berempat terus memukuli saya,” dengan sigap Prabu segera menunjukkan luka-luka di sekujur tubuhnya. 

“Semua luka saya ini mereka berempat yang lakukan Pak. Hampir setiap hari mereka memukuli saya,” keluh Prabu.

“Hei, itu kan luka karena kamu tidak hati-hati saat jam istirahat bermain sepak bola. Hampir setiap hari kamu bermain dengan Adi dan gengnya kan?” kata Santi. 

Kalimat dari mulut Santi membuat Prabu terdiam dengan mulut menganga. Ia tidak percaya jika Santi yang selama ini mendukungnya malah menusuknya dan membalikkan semua kata-katanya.

“Pa-pak ini bukan luka karena bermain sepak bola. Luka-luka saya bisa divisum sebagai bukti Pak,” Prabu berusaha meyakinkan.

“Prabu cukup!” Guru BK terlihat sudah tidak mau mendengar lagi aduan Prabu.

 “Kamu memang siswa pintar yang mendapat beasiswa penuh disini. Namun jika kamu membuat kegaduhan seperti ini lagi, maka mengeluarkan kamu dari sekolah ini akan menjadi peringatan terakhir,” ujarnya.

“Ta-tapi Pak....” 

“Sudah, sekarang kembali ke kelas kalian,” perintah guru BK. “Kecuali kamu Prabu. Obati dulu lukamu itu di UKS,” tambahnya lagi. 

Setelah beberapa lama mereka meninggalkan ruang guru BK, Santi terlihat senang seraya menyodorkan tangannya ke Adi.

 “Nah kan, benar kataku. Prabu sudah suka dan percaya padaku. Sekarang kamu harus bayar taruhannya Di,” pintanya. 

“San...” Prabu tak sanggup meneruskan kalimatnya. 

“Hahahaha, lihat wajahnya itu. Heh, pecundang! Memangnya siapa yang disini mau berteman dan dekat dengan kasta terendah?” ejek Bagas.

“Salahkan ibumu yang hanya bekerja sebagai pembantu dan hidup miskin,” sahut Jun.

“Heh sialan! Gara-gara kamu aku harus membayar satu juta ke Santi. Kenapa pecundang sepertimu mudah jatuh cinta, hah!” teriak Adi.

“Sepertinya hari ini akan lebih sakit dari hari kemarin Prabu,” bisik Adi dengan sinis di depan wajah Prabu. 

“Anak-anak, bawa kecoak ini ke tempat biasa,” ajak Adi pada teman-temannya. 

***

Tongkat kayu berserakan di bawah kaki mereka. Bercak-bercak darah sudah penuh mewarnai seragam putih Prabu. Namun itu belum mampu menghentikan Adi dan teman-temannya untuk terus memukuli badannya. 

Suara pukulan benda tumpul begitu keras terdengar menenggelamkan rintihan kesakitan yang  dirasakan Prabu. Sesekali mereka pun menendangnya. Tidak ada belas kasihan bagi Prabu. Kebengisan nampak jelas pada wajah Adi dan gengnya. 

“He-hei sudah hentikan. Dia sudah tidak bergerak lagi,” kata Adi melerai teman-temannya begitu melihat Prabu tergeletak pasrah. 

“Wah, benar. Ayo, kita pergi dari sini,” ajak Bagas.

“Tunggu dulu. Jun, periksa denyut jantungnya. Bisa gawat kalau dia tewas disini,” suruh Adi. 

Segera Jun mendekatkan kepalanya ke bagian dada Prabu sambil menutup hidungnya.

“Aman bos. Jantungnya masih berdetak kok,” kata Jun.

Seperti aba-aba, setelah mendengar jawaban Jun maka mereka meninggalkan Prabu sendirian yang tidak sadarkan diri di samping halaman sekolah.

Hari semakin gelap. Butuh waktu yang lama agar Prabu bisa siuman. Badannya terasa ngilu dan nyeri. Dengan terseok-seok ia berjalan menuju jalan pulang. Namun perasaan khawatir jika ibunya melihat kondisi yang seperti sekarang ini, membuat Prabu membelokkan langkahnya. 

Ia duduk di gang sempit dan gelap. Lampu jalan yang remang-remang menambah suasana suram baginya. Tapi Prabu tidak peduli, karena untuk melihat dengan jelas saja matanya sudah tidak bisa dibuka lebar. 

'Sebenarnya apa yang salah dengan diriku? Kenapa aku harus mengalami semua ini?' pikirnya. 

'Apa karena sistem kerajaan modern yang diterapkan oleh negara ini? Atau sistem pendidikan yang sarat dengan materi sudah begitu kental di sekolah itu?'

Tanpa sadar air matanya mengalir begitu deras. Prabu bener-bener menangis seperti anak kecil. Selama setahun ini ia berusaha untuk bertahan namun jika membayangkan harus ditindas lagi selama dua tahun kedepan, membuatnya merasa mengasihani dirinya sendiri.

Dia tidak bisa bicara pada ibunya tentang kejadian hari ini. Harapan yang Prabu katakan pada ibunya beberapa waktu lalu membuat dia harus menelan ludahnya sendiri. Prabu sudah tidak kuat!

Seperti mencari pertolongan, langkah kaki Prabu mencari tempat dimana dia bisa tenang. Tatapan matanya sudah kosong. Ia pun menyeret tas yang seharusnya digendong. Yang ia tahu, di sekitar sini ada sungai yang cukup dalam dengan arus yang terkenal berbahaya.

Langit seolah mendukung, hujan besar pun turun. Bagi Prabu, mungkin ini memang sudah takdirnya jika ia hanya berumur sampai enam belas tahun. Dunia kecil untuk Prabu yang hanya ingin bersekolah dengan tenang hingga bisa lulus tampaknya tidak bisa diwujudkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status