Share

Salah kaprah akhirnya berdarah-darah

Mouza tetap menangis, dia tidak sadar melewati rumah Pamannya. Kebetulan Paman Mouza sedang bersantai di teras dan melihat Mouza melintas sambil menangis. 

"kenapa Mouza" batin Paman Mouza. Dia memperhatikan seksama. Ada pemuda yang dikenalnya dengan kenakalannya sedang mengikuti keponakannya. 

Tanpa babibu, Paman Mouza berlari ke arah Rendi dan langsung mendaratkan bogem mentah ke wajah Rendi. 

Rendi yang tidak siap saat di serang terjungkal ke aspal. Ada darah segar menetes dari sudut bibir Rendi. 

"kimak!" umpat Rendi marah. 

Mouza terkejut bukan main. Dia sempat terdiam tidak tau mau berbuat apa. Lidahnya kelu saat melihat Rendi adu jotos dengan Pamannya. 

"Rendi! sudah!" Mouza berteriak menghentikan Rendi, tapi kepalang emosi karena diserang duluan. Rendi tetap melawan pukulan Paman Mouza, hingga memancing perhatian warga. Warga berdatangan, kini Rendi bak buruan yang siap di tangkap massa. 

Mouza makin panik " Udah, Paman! Rendi nggak salah!"

Mouza mencoba melerai. Tapi suaranya seperti tertelan oleh ramainya suara orang disana. Ada yang memaki dan ada yang ikut memukuli Rendi. Kini Rendi sudah menjadi bulan-bulanan massa. Jumlah lawan yang tak seimbang membuat Rendi tersungkur jatuh dan pingsan. Mouza yang melihat Rendi tak bergerak menangis histeris. 

"Cukup!" Mouza menjerit sekuat tenaganya. 

Mereka semua terkejut. Lalu melepaskan Rendi yang sudah tak sadarkan diri. 

Mouza terduduk lemas melihat Rendi kini tak bergerak. Dia tak menyangka sikap kekanak-kanakannya menangis di jalan membuahkan hasil seperti ini.

"Rendi! maafkan aku!" Mouza menggoyang-goyangkan tubuh Rendi. Namun, tak ada respon sama sekali. 

"Tolong! siapa saja tolong aku! bawa dia ke rumah sakit" seru Mouza memohon. Tangisnya kini pecah. Dia memeluk tubuh Rendi yang sudah bersibah darah. 

"Rendi! tolong bangun! Ren, jangan tinggalkan aku!" Mouza terus menggoyang-goyangkan bahu Rendi, tapi hasilnya nihil. 

Dengan menggunakan Mobil warga setempat, Rendi di bawa ke rumah sakit. Tidak butuh waktu lama, mereka sampai di rumah sakit, para perawat langsung membawa tubuh Rendi ku ruangan UGD. Mouza sangat cemas. Dia mondar-mandir di depan ruangan itu. Hatinya terus menyalahkan kelakuannya sendiri. 

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, seseorang dengan seragam putih memanggil keluarga korban. Mouza bingung harus gimana. Bagaimana cara memberi tahu keluarga Rendi. 

"Cepat ya, Bu! pasien harus segera dilakukan tindakan, agar segera tertolong" ucap wanita yang mengenakan jas putih itu. 

Mouza menggigiti kukunya sendiri akibat bingung. Jika dia pulang siapa yang akan menjaga Rendi disini. Lagi pula Mouza tak tau alamat rumah Rendi. Tiba-tiba dia teringat Rini. Rini pernah bercerita kalau rumahnya dan rumah Rendi satu gang. 

Dia menelepon Rini dan menceritakan yang terjadi sambil terus menangis terngungu. 

Rini bersedia dan sambungan telepon mati. 

Kini Rini berada di depan gerbang rumah juragan di kampungnya. Pagar yang menjulang tinggi, menutupi bangunan yang ada di dalam. 

Rini mencoba mengetuk pagar, namun tak ada tanda-tanda orang keluar dari dalam rumah. Dia mencoba berulang kali, hingga sebuah mobil pazero sport mendadak membunyikan klaskson di belakangnya. 

Ternyata kedua orang tua Rendi. 

Rini menghadang mobil itu dan mengetuk jendela mobil. Pak Dame yang merasa kurang kenal dengan Rini bingung. 'mau apa anak ini' batinnya. Bu Fatma yang memperhatikan wajah Rini di landa kepanikan meminta izin pada suaminya untuk turun. Pak Dame mengizinkannya. 

Bu Fatma menghampiri gadis itu, lalu bertanya dengan ramah. "Kenapa dek,ada perlu apa?" 

"Itu Bu, Rendi..., " ucap Rini panik. Bu Fatma masih terlihat tenang. Dia memang sudah biasa mendengar anaknya berulah."Rendi? Rendi kenapa, nak?" tanya Bu Fatma masih dengan nada yang sama. 

"Itu, Bu, Rendi di Rumah sakit, operasi" kata Rini terbata-bata karena panik. 

"Rumah sakit?" Bu Fatma terkejut. "Bang! Bang, putar balik Bang! kita ke rumah Sakit" titah Bu Fatma pada suaminya yang masih di dalam mobil. Pak Dame hanya menurut memutar balik mobilnya mengarah ke rumah sakit. Rini diajak ikut serta oleh Bu Fatma. 

Bu Fatma sudah berada di rumah sakit sekarang, setelah menanyai resepsionis mereka menuju ke tempat Rendi di Rawat. Dokter belum menangani Rendi karena tidak ada pihak keluarga yang bertanggung jawab. Mouza masih menangis sejak tadi. Wajahnya nampak kusut dan matanya membengkak. 

Baju yang dikenakan Mouza masih berlumur darah karena memeluk Rendi tadi. Tak henti-hentinya Mouza merapalkan doa dalam hati agar Rendi bisa selamat. Dia tidak tau bagaimana jadinya jika nanti Rendi kenapa-napa. Mouza menggeleng cepat, "tidak! tidak! nggak boleh, Rendi, kau nggak boleh ninggalkan aku." Air mata Mouza tak bisa berhenti mengalir. 

Pintu tiba-tiba terbuka, Mouza terkejut melihat wanita yang kelihatan sudah tua dan seorang lelaki yang berperawakan mirip dengan Rendi. Mouza bisa menebak itu orang tua Rendi.  Sejenak dia beradu pandang dengan Bu Fatma lalu menunduk dalam. Mouza beringsut mundur membiarkan Bu fatma menemani Rendi.

Tangis Bu Fatma pecah memeluk Rendi, berulang kali Bu Fatma jatuh pingsan akibat shock. Rendi sudah dibawa ke ruang operasi untuk mendapat tindakan lebih lanjut. Bu Fatma kini berada di ruang perawatan karena tekanan darahnya yang rendah dan pingsan berulang kali.

Hancur hati Bu Fatma melihat anak satu-satunya terkulai tak berdaya. Lagi dan lagi, tempat yang paling nyaman untuknya berkeluh kesah adalah Tuhan. Dia, Bu fatma kembali mengemis kemurahan hati Tuhan, meminta kesembuhan atas anaknya. Air mata itu terus saja mengalir.Rasa hancur seketika menghantam hatinya.

Berbeda dengan Bu Fatma yang menenangkan hati dengan berdoa, Pak Dame justru terlihat marah sejak tadi. Pak Dame merasa harus membalas atas perlakuan yang terjadi pada anaknya. Mengapa mereka main hakim sendiri. Bukankah mereka bisa meminta apa saja padanya jika anaknya memang salah. Giginya terdengar gemurutuk menahan emosinya. 

Mouza memperhatikan Ayah Rendi yang sejak tadi berjalan mondar-mandir dan terus mengumpati penyebab anaknya terbaring di dalam sana. Mouza gemetar ketakutan. Bagaimana jika Ayah Rendi mengetahui dialah penyebab Rendi dipukuli massa, dan orang yang pertama menyerang adalah Pamannya. 

Ingin Rasanya Mouza beranjak dari tempat itu dan pergi, sanking takutnya melihat Ayah Mouza. Pemilik sinar mata tajam dan tatapan yang membunuh membuat suhu di sekelilingnya terasa membeku. Walaupun sudah berusia 58 tahun namun sisa-sisa ketampanan dan kharismatik Ayah Rendi masih terlukis jelas. 

Namun diurungkannya niat hatinya beranjak dari sana, dia tetap ingin tau perkembangan keadaan Rendi. Mouza pikir ini akan seperti FTV di televisi yang sering ia tonton, korban hanya luka di kepala lalu bonyok. Bukan seperti saat ini, Rendi sudah berada di dalam kurang lebih dua jam. Mouza terus mengutuki kebodohannya hari ini. 

Rini sudah pamit pulang lebih dulu, tinggallah Mouza yang berdiri memilin baju seragam SPBUnya karena gugup dan panik. Bahkan mereka, Ayah Rendi dan Mouza tak saling menyapa. Mereka sibuk dengan kekalutan masing-masing.

Denting suara pintu mengagetkan mereka berdua. Sama-sama menunggu orang yang di sayangi di depan ruangan menyeramkan itu. Saat dokter menyembul dari dalam mereka serempak berlari mendekati dokter. 

"Bagaimana ...," mereka berdua serempak bertanya. Mouza menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia terlalu antusias hingga melupakan Ayah Rendi yang lebih berhak menanyakan hal itu. Dia memilih mundur dan mendengar percakapan Ayah Rendi dan Dokter perempuan itu. 

Senyum dokter itu mengembang, dia berkata Rendi akan baik-baik saja. Mouza tersenyum haru, rasa khawatirnya kini telah menguap. Rendi hanya menunggu waktu siuman. Menurut dokter tadi mungkin satu atau dua jam, atau bahkan lebih cepat.

Mouza tetap setia menunggu, dia mengabari Ibunya terlebih dulu bahwa dia tidak pulang. Ibu Mouza sudah mengenali Rendi sejak beberapa minggu belakangan. Sejak tugas antar jemput itu berlangsung.

Di ruangan ini kini mereka bertiga menjaga Rendi yang belum sadarkan diri. Ayah dan Ibu Rendi duduk bersisian di samping ranjang tempat Rendi dibaringkan. Mouza berdiri di sudut ruangan.

Air mata Bu Fatma seolah tak pernah Kering. Dia tetap menangisi anaknya itu dalam diam. 

Mata Mouza tak berpaling dari tubuh Rendi yang belum juga bergerak. Dia tak sadar isakannya terdengar lebih kencang. Rasa penyesalan itu menggerogoti hatinya. "Kalo nggak betingkah bodoh tadi aku nggak bakal gini kau, Ren!" Mouza berbisik lirih dan tak terdengar orang tua Rendi. Hanya suara isakannya yang makin lama makin kencang.

Bu Fatma tersadar ada teman Rendi yang sejak tadi bersama mereka tapi tak dihiraukan. Mereka juga belum mengucap terima kasih pada gadis itu. Bu Fatma melambaikan tangannya, memanggil gadis itu untuk mendekat kepadanya. Mouza berjalan mendekat ragu-ragu. Pak Dame memberikan kursi tempat duduknya pada Mouza dan pergi entah kemana.

Dua perempuan yang paling dicintai Rendi kini duduk bersisian. Hati dan pikiran mereka sama. Sama-sama mengkhawatirkan Rendi.

"Nak! Siapa namamu?" tanya Bu Fatma pertama kali dalam kesunyian. 

"Mouza, Bu!" jawab Mouza sopan. Dia tertunduk tak berani menatap mata sendu Ibu Rendi. Ada rasa bersalah kian besar saat melihat wajah kacau itu. 

"Nama yang indah," puji Bu Fatma. "Saya Fatma, Ibunya Rendi," mengulurkan tangan dan di sambut cepat oleh Mouza. 

Bu Fatma memperhatikan baju Mouza yang kotor akibat bercak darah. Baju seragam yang Bu Fatma tau itu adalah seragam pihak SPBU. 

"Kau kerja di galon, Nak? apa kejadiannya di depan galon?" Pertanyaan Ibu Rendi membuatnya gugup. Apa yang harus Mouza katakan, jika dia berkata jujur pasti dia akan dipenjarakan orang tua Rendi. Sekalipun Mouza tidak ikut mencelakai Rendi, tapi gara-gara ulahnya yang memancing perhatian Pamannya yang membuat Rendi begini. 

Mouza tertunduk dalam dan menggeleng. "Ng-nggak, Bu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status