Share

Jawaban menakjubkan

Mouza menekuk wajahnya semakin dalam. Persis seperti wajah yang sedang ditagih hutang pas bulan tua. Mungkin memilih diam adalah pilihan terbaik kali ini. Jika orang tua Rendi kelak harus tau, maka Mouza telah siap menanggung konsekuensinya. 

Bu Fatma yang sebenarnya penasaran dengan siapa gadis di sampingnya dan apa hubungannya dengan Rendi? Kenapa dia begitu mengkhawatirkan Rendi? Bu Fatma ingin menyerbu gadis itu dengan berbagai pertanyaan lainnya, namun ia mengurungkan niatnya untuk mencecar gadis itu. Takutnya gadis itu malah takut padanya dan pergi. 

Bu Fatma memutuskan meraih tubuh kurus Mouza, membawanya dalam pelukan hangatnya. Terlihat gadis berwajah tirus itu cukup lelah. Bahkan lingkar hitam membulat melingkari mata Mouza. 

"Terima kasih telah menolong anakku," bisik Bu Fatma lembut. 

Entah harus mengangguk atau bagaimana, leher Mouza mendadak kaku. Dia diam tak bergerak dalam pelukan Bu Fatma. 

"Tidurlah kalo capek, Ibu nggak papa," kata Bu Fatma seraya mengusap rambut lurus Mouza. Bu Fatma merasa seperti memeluk anak gadis sendiri. Elusan Bu Fatma begitu nyaman, membuat Mouza yang sedari tadi lelah karena panik dan menangis terus menerus, merapatkan mata merasakan setiap sentuhan lembut jemari Bu Fatma. 

Bu Fatma yang tetap sibuk dengan pikirannya sendiri tidak tau kalau ada sepasang mata yang memperhatikan dia dan Mouza sejak tadi. 

Rendi, ya, Rendi sudah siuman sejak tadi. Namun dua wanita disampingnya tak sadar. Mereka terdiam namun saling menguatkan. Rendi merasa senang, Ibunya dan wanita idamannya duduk dengan kompak bahkan, sekarang mereka saling memeluk dan mengabaikan Rendi. 

Rendi memperhatikan wajah kusut Bu Fatma. Wajah tua itu nampak lelah, entah sudah berapa lama Rendi berbaring di tempat ini. Rendi ingin mendekatkan diri pada Bu fatma, tapi saat dia menggerakkan badannya, dia menjerit kesakitan. 

"ahh!"

Bu Fatma terkejut mendengar jeritan Rendi. Tak sengaja  dia melepas Mouza dari pelukannya hingga membuat tubuh Mouza oleng.

Gubrak! 

Mouza yang sudah hampir memasuki dunia mimpi, tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Dia jatuh ke lantai dan kursi yang di dudukinya ikut terseret dan menimpanya. Bagai pepatah yang berbunyi sudah jatuh ditimpa kursi, begitulah yang dirasakan Mouza kali ini. Oh, malang nian nasib Mouza. 

Bu Fatma dan Rendi bengong melihat Mouza yang terduduk dilantai. Dengan wajah panik Bu Fatma meraih tangan Mouza dan menolongnya berdiri.

"Aduh, maaf! maaf! Ibu nggak sengaja" kata Bu Fatma dengan wajah cemas. 

Rendi terkikik di tempat tidur. 

"Udah badannya kecil, Mamak lemparkan pula" kelakar Rendi. Bibir Mouza menyerucut seperti ikan koi. 

"Bukan sengaja Mamak, terkejut Mamak kau menjerit" ucap Bu Fatma tidak sepenuhnya hanya membela diri. Dia memang terkejut mengetahui anaknya sudah siuman. 

"Aku nggak papa kok, Bu!" kata Mouza menenangkan Bu Fatma yang terlihat tak enak hati.

Lelaki berpakaian khas Bapak-Bapak pejabat, walaupun bukan pejabat menghampiri pintu ruangan tempat Rendi di rawat. Dia yang sejak tadi menghilang pergi mencari makanan dan ke toko baju milik mereka, mengambil baju ganti buat Bu Fatma dan Si Gadis yang menangisi anaknya sejak sebelum mereka sampai di rumah sakit. 

Dia dan Bu Fatma memang baru pulang menghadiri Pesta kerabat mereka saat ada anak gadis mencari mereka dan mengajak mereka kesini. 

Pak Dame sudah berada di depan pintu dan mendengar canda tawa tiga manusia beda generasi. Hatinya pun berucap syukur, akhirnya tangis itu berubah tawa dalam seketika. 

Seperti gelap yang dihapuskan oleh cahaya mentari, begitulah hati Pak Dame melihat anaknya yang tadi terbaring tak berdaya kini tertawa lepas seperti tidak merasakan sakit apapun. Gadis yang belum dia ketahui namanya mencebik kesal ke arah anaknya yang sejak tadi menggodanya. 

Sangking asiknya mereka sampai tidak menyadari pintu terbuka. Pak Dame masuk ke dalam ruangan dan menyaksikan kebahagiaan itu dari jarak yang cukup dekat. Dia membiarkan mereka saling menggoda, mengejek satu sama lain. Senyumnya mengembang. Kehadiran Mouza seperti warna baru disana. 

"Ehhkhhem! " 

Mereka berpaling menuju sumber suara. Bu Fatma heran sejak kapan suaminya disana. 

"Kalian nyeritain Ayak 'kan?" Pak Dame bercanda. 

"Ish, sok kepedean" kata Bu Fatma seraya meraih belanjaan yang tergantung di kedua tangan Pak Dame. 

Pak Dame menghampiri Rendi. Dia mengacak rambut Rendi. 

"Tepar juga jagoan itu" ejek Pak Dame pada anaknya. 

"Namanya manusia, Yak! teparlah" jawab Rendi. Rendi Meraih tangan Pak Dame dan mencium tangan yang sudah bekerja membesarkan Rendi, menjadi tangan pertama yang selalu menolong Rendi kala dalam masalah. "Makasih Yak, udah jadi Ayak Rendi" mata Rendi berkaca-kaca. Entah kenapa dia ingin sekali mengucapkan hal itu. 

Bu Fatma terharu hingga menitikkan air mata. Hati Pak Dame juga merasakan sesuatu yang menghangat menjalar di dalam sana. 24 tahun ia dan istrinya membesarkan Rendi, baru kali ini ucapan tulus berterima kasih keluar dari mulut Rendi. 

"helleh, mentang-mentang ada cewek cantik disini sok manis kau." Pak Dame mengejek Rendi menyembunyikan keharuannya. Dia selalu berprinsip air mata adalah kelemahan. Seperti istrinya yang selalu penuh dengan air mata. Senang menangis, sedih pun menangis. 

"Eh, mana pulak" kilah Rendi malu-malu. 

Mouza yang sepertinya sungkan karena ada Bapaknya Rendi memilih jadi penonton, melihat semua keakraban keluarga ini. Mouza jadi teringat Ayahnya yang juga sama seperti Pak Dame, suka bercanda. 

'Andai Ayak masih hidup' batin Mouza. 

"Bu, buka coba belanjaan Ayak tadi, ada baju ganti buat Ibu sama... " Pak Dame menunjuk gadis di samping Bu Fatma dengan gerakan seperti ingin menanyakan nama. 

"Mouza, Yak!" Potong Rendi cepat. 

"Ohh iya, meja?" Pak Dame salah sebut. 

"Mouza, Yak!" kata Rendi sedikit kesal. 

"Monza?" Tanya Pak Dame heran. 

Rendi tertawa. Dia ingat, dia juga pernah mengeja nama Mouza salah. Lebih tepatnya di buat salah agar Mouza kesal. 

"Mo-u-za, Pak!" jawab Mouza akhirnya. 

"Oh, Mouza, ah Si Rendi ini gak betul ngasih taunya" Pak Dame berkilah. 

"Kok, aku pula?Ayak jangan suka salah-salah bilang nama orang, nanti dia ngamuk Yak, ngeri!" kata Rendi sekalian menggoda Mouza. 

Mouza melirik Rendi dengan tajam. 

"Usil kali kau, Ren!" tegur Bu Fatma sambil berlalu ke kamar mandi. 

"Masa? ngerian mana sama Mamakmu kalo ngamuk?" tanya Pak Dame ikut menggoda Mouza. 

"Dialah" tunjuk Rendi pada Mouza. " Ayak tengok aku sampek masuk rumah sakit dibuatnya" kelakar Rendi sembari tertawa.

Mouza takut kalau Rendi akan memberi tahu Ayahnya, kalau dialah penyebab Rendi dipukuli orang dan masuk rumah sakit. Dia tak punya jaminan Rendi bisa memafkanya. Kedekatan mereka selama ini hanya karena hukuman aneh dari Rendi. 

Bagaiamana kalau aku dipenjara? siapa yang akan menafkahi Ibu dan adikku? Bagaimana nanti Ibu berobat? 

Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Mouza. Andai dia tidak bertindak konyol, semua ini takkan terjadi. Dia teringat pada wajah Ibu dan Adiknya. 'Ibu maafkan aku' lirih Mouza dalam hati. 

Pak Dame yang sejak tadi memperhatikan Mouza, terlihat bingung melihat tubuh Mouza bergetar. Ternyata Mouza menangis. Mouza menundukkan kepalanya sambil menangis. Pak Dame menyenggol Rendi yang masih tertawa menertawakan Mouza. Menunjuk ke arah Mouza yang sedang menangis, mendadak Rendi terdiam melihat buliran bening berlomba-lomba jatuh dari pipi Mouza. 

"Za! kok nangis, becandanya aku" Rendi memelas. Dia ingat bagaimana Mouza menangis di jalan tadi sore. 

"Za!" Rendi berusaha membujuk, tapi Mouza masih tetap menangis. 

Pak Dame ikutan bingung dibuat gadis itu. Satu-satunya hal paling rumit menurut Pak Dame adalah membujuk wanita sedang merajuk dan menangis. Jika boleh memilih, dia lebih memilih mengangkat beban berat seberat-beratnya dibandingkan, membujuk seorang wanita. Itu akan lebih melelahkan dan sangat menguras pikiran. 

Pintu kamar mandi terbuka, Bu Fatma keluar dan terkejut mendapati Mouza sedang menangis. Dia melotot ke arah dua lelaki yang terlihat kebingungan. 

"Kalian apakan dia, hah?"

Rendi dan Pak Dame serempak menggeleng. 

"Bukan, Ayak, Mak! Rendi itu, asik digodainnya terus" kilah Pak Dame membela diri. 

"Kok aku pula?" elak Rendi. 

"Sudah! sudah! suka kali klen memang merusuh" Bu Fatma mengomel pada dua laki-laki yang sama-sama menggaruki tengkuk yang tidak gatal. 

Bu fatma menghampiri Mouza. Dia merengkuh tubuh gadis itu dan menenangkannya dalam pelukan hangatnya. Isak Mouza terdengar hingga sesenggukan. 

"Sayang! diam Nakku diam! kenapa Mouza? kasih tau ibu!" Bu Fatma membujuk Mouza seperti anak gadiskecil kesayangannya. Dibelai rambutnya dan mengusap-usap punggu Mouza menenangkan.

Mouza bingung harus memberi tahu penyebab dia menangis. Jika Mouza memberi tahukan yang sebenarnya, berarti Mouza mempercepat hukumannya sendiri. Jika terus menangis, khawatir hal konyol terjadi lagi dan dia tidak mau menambah masalah. Lagi pula dia tidak tega membiarkan Bu Fatma yang baik itu bingung. 

"Kenapa kau, hum?" Bu Fatma mengulang pertanyaannya dengan lembut. 

"Lapar!" 

Entah kenapa mulut Mouza memutuskan untuk mengatakan hal itu. Sebenarnya dia tak sedang berbohong. Dia benar-benar lapar.  Sejak tadi siang dia belum memasukkan apapun ke dalam perutnya.

Sekeluarga itu tercengang mendengar jawaban di luar ekspentasi mereka. Pak Dame tak henti-hentinya takjub mendengar jawaban gadis di depannya. 

'Benar kata Rendi, gadis ini lebih aneh dari istrinya.' Pak Dame masih menggeleng tak percaya. Jawaban yang sangat unik. Andai ada perlombaan menebak hati, maka tebakan hati Mouza yang paling sulit di terka. 

"Lapar?" Rendi mengulangi pernyataan Mouza. 

Dua laki-laki itu tak berhenti menggelengkan kepalanya. 'Ini sangat aneh' batin Rendi. 

Bu Fatma lagi-lagi tersenyum, dia baru menyadari keunikan anak perempuan sama seperti dirinya.

"Lapar tinggal bilang, kok na ...," Rendi mencela.

"Husst!" dengan cepat Bu Fatma memotong omongan Rendi takut Mouza kembali menangis. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status