Sore harinya, di Winchester Corporation.Setelah merampungkan sebagian pekerjaannya hari ini, Ethan membuka kembali dokumen penyelidikan terkait kecelakaan yang menimpa Ivy beberapa waktu lalu.Termasuk insiden yang baru saja terjadi, total sudah tiga peristiwa nyaris merenggut nyawa Ivy.Dan semuanya terjadi dalam rentang waktu yang tidak terlalu berjauhan.Kening Ethan mengerut. Ujung jarinya mengetuk pelan permukaan meja, sementara tatapannya terpaku pada laporan penyelidikan yang terbuka.Kecurigaan terhadap Stella kembali mengemuka, terutama sejak insiden reruntuhan bangunan di kediaman nyonya Helwig menempatkan nama sekretarisnya itu sebagai orang yang patut dicurigai.Meski belum ada bukti konkret kecurigaan itu berdasar.Tapi ada transaksi mencurigakan ke mandor proyek yang ternyata tidak terdaftar secara resmi. Dan itu terjadi dua hari sebelum kecelakaan Ivy.Hanya ada tiga orang yang memiliki akses langsung ke vendor lama yang pernah digunakan perusahaan.Ethan, Julian, dan
Pukul tiga kurang lima menit, Ivy sampai di bagian utara Alden, Edenmoor. Tepatnya di Garden Meet. Tempat acara diadakan.Dari jarak hampir sepuluh meter, ia melihat Verena melambai sekilas ke arahnya. Dan mata Ivy juga menemukan Stella bersama wanita itu.Jarang-jarang terjadi melihat Stella tidak menempel pada Ethan. Apalagi ini masih jam kerja.Mungkin benar karena hubungan Ethan dan Stella begitu akrab, Stella merasa Ethan membebaskannya seperti ini.Atau mungkin … sama seperti sebelumnya saat di butik tas Hermance, wanita bermuka dua itu sengaja agar bisa bertatap langsung dengannya. Untuk menghina dan menyerang Isla habis-habisan.Ivy merasa kecurigaan itu berdasar. Tidak ada yang namanya kebetulan.Tersenyum sinis sekilas, dengan langkah tenang dan santai, Ivy melangkah menuju ke arah mereka.Sementara Stella sendiri mulai memperlihatkan tatapan meremehkan, saat Ivy sudah nyaris sampai di hadapannya dan Verena.Sesekali tatapan itu berubah, ketika Verena mengajaknya mengobrol
Ivy terbangun pagi harinya, karena mencium aroma maskulin yang menyebar di udara. Segar, bersih, dan menenangkan. Begitu matanya terbuka penuh dan kepalanya menoleh, ia mendapati Ethan duduk di sofa. Pria itu sudah rapi meski belum mengenakan jas. Tablet di tangannya masih menyala. “Kenapa masih di sini?” tanyanya pelan, lalu duduk sambil menatap Ethan yang kini mengalihkan pandangan dari layar. “Kakek masih ada di ruang makan, jadi kita harus turun bersama,” jawab Ethan, matanya mengikuti setiap gerakan Ivy. Terutama saat wanita itu mengikat rambutnya tinggi-tinggi hingga lehernya terekspos. Beberapa helai terlepas dan jatuh di tengkuk, membuat pria itu menahan napas tanpa sadar. Menyadari Ethan memperhatikannya, Ivy langsung menurunkan tangan dan menggosok tengkuknya pelan. Ia turun dari ranjang, lalu berkata tanpa menoleh, “Oke. Tunggu sebentar. Aku akan siap dalam sepuluh menit.” Ethan hanya mengangguk sebelum kembali fokus pada tabletnya. Ivy membuka lemari, memi
Ivy membuka pintu kamarnya pelan, sementara Ethan berdiri di belakangnya. Begitu Ivy melangkah masuk, pria itu menyusul kemudian.Cahaya dari lorong perlahan memudar saat pintu ditutup oleh Ethan.Ivy berjalan ke arah ranjang, berdiri di sisi tempat tidurnya. Tidak tahu harus melakukan apa terlebih dulu.Haruskah ia mengambil selimut tambahan? Atau meminta Ethan tidur di sofa saja? Atau … membiarkan pria itu tidur di sisi kanan kasurnya?Selagi Ivy sibuk dengan pikirannya, Ethan berjalan mendekat, tepat berhenti di sisi Ivy.Ia hanya meletakkan jam tangannya di meja kecil dekat sofa, lalu membuka kancing atas kemejanya perlahan.Menyadari hal itu, Ivy langsung menunduk, pura-pura sibuk merapikan bantal.“Apa aku harus tidur di sini?” tanya Ethan.Ia sudah duduk di sofa. Tatapannya tenang dan suaranya terdengar santai.Ivy langsung menggeleng. “Tidak perlu. Seperti kataku tadi, asal kau tahu batasanmu, tidak masalah kita tidur seranjang.” Bantal yang dirapikannya, diletakkan satu ke
Leonard meletakkan sendoknya perlahan di sela makan malamnya. Wajahnya menegang sesaat sebelum akhirnya ia berkata, “Aku baru sadar ... aku belum menanyakan keadaanmu, Isla.”Nada suaranya tak lagi setegas tadi. Lebih pelan. “Maafkan aku. Seharusnya itu jadi pertanyaan pertama saat kita bertemu tadi.”Ivy langsung menoleh, sedikit terkejut. “Tidak apa-apa, Kakek,” jawabnya lembut.Leonard tersenyum tipis, “Kuharap kau memaklumiku. Ingatanku tidak terlalu bagus di usiaku sekarang ini.”Ivy menggeleng dengan senyum hangat. “Tidak masalah, Kakek. Lagipula, aku baik-baik saja.”Leonard menatap Ivy dengan raut serius. “Ya, kau memang terlihat baik-baik saja sekarang, tapi yang kudengar, dua kali kau mengalami insiden yang hampir membuatmu kehilangan nyawa.”Ivy tidak terkejut Leonard mengetahui dua kecelakaan yang menimpanya.Wajar saja. Apa pun yang terjadi pada keluarga nomor satu di Alden pasti jadi sorotan.“Begitulah, Kek, tapi aku beruntung masih di sini sekarang.” Ia tersenyum lagi,
Beberapa menit diam, tatapan Ethan yang lurus ke depan, kini menatap Ivy. Menyadari sedang ditatap, Ivy menoleh sekilas. Pelan-pelan rasanya tidak secanggung sebelumnya. “Kau tidak dingin?” Sambil bertanya, ia menggosok lengannya ringan, menahan dingin yang mulai terasa.Tanpa menjawab pertanyaan Ivy, Ethan langsung berdiri dan berkata, “Ayo masuk.”Posisinya tepat di samping Ivy. Menunggu sampai wanita itu berdiri, barulah ia melangkah menuju tangga.Satu anak tangga baru dipijak Ivy, tangannya langsung ditarik pelan, digenggam oleh Ethan.Meski sempat terkejut, tapi Ivy mulai terbiasa. Ia sudah menyesuaikan diri. Namun, walau tangannya digenggam, ia tidak membalas. Cuma membiarkan.Mereka terus berjalan menuruni tangga batu kecil yang menghubungkan balkon ke sisi dalam mansion.Tapi tidak bersisian. Ethan di depan, memimpin jalan seolah bukan menuruni tangga biasa. Lalu tiba-tiba bertanya, “Masih dingin?” Ia menoleh melewati bahunya, sekilas.“Sudah tidak lagi,” jawab Ivy cepat.