MasukCepat, Ivy memalingkan wajah, menutupi kesalahannya. “Kalau kau tidak mau menjawab, tidak perlu menjawab. Jangan membuat pembicaraan ini menjadi memusingkan.”
Ethan mengamati Ivy dalam diam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya dia mendengus dingin dan berkata, “Tidak peduli sejauh apa perubahanmu, tapi sekarang pernikahan kita tetap berjalan. Jadi, jalanilah tanggung jawabmu sebagai istri yang baik seperti biasanya, dan jangan berbuat onar lagi.” Kemudian, pria itu berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Ivy yang tercengang di tempatnya. Isla baru saja kecelakaan, dan pria itu menganggapnya sebagai ‘membuat onar’? Tangan Ivy mengepal. ‘Dia memang benar-benar seorang bajingan.’ *** Hampir setiap hari setelah Ivy masuk ke tempat Ethan, Ivy menghabiskan waktunya di dalam mansion. Pagi ia duduk di ruang makan, kadang sendiri, kadang bersama Ethan. Meski percakapan di antara mereka hampir tak pernah terjadi. Siang menjelang sore, ia biasa duduk di ruang keluarga, secangkir teh di tangan, matanya mengikuti pergerakan di dalam mansion. Ia mulai mengenali ritme tempat ini. Jam berapa setiap area ruang mulai sepi. Di mana barang-barang kecil biasa diletakkan. Waktu pergantian shift para penjaga dan pelayan. Waktu santai dan istirahat mereka. Semua itu jam-jam kecil yang membentuk pola di balik rutinitas setiap hari di tempat ini. Ia mengamati semuanya, termasuk raut-raut kebingungan mereka terhadap kebiasaan ‘Isla’ yang pasti berubah. Namun itu tidak penting bagi Ivy. Ia cuma perlu menyesuaikan, itu saja. Sesekali, Ivy berdiri di balkon lantai dua saat malam turun. Menyandarkan tangan di pagar besi, mengamati jalur masuk, cahaya lampu taman, dan waktu saat sopir mulai mengganti posisi mobil. Belum waktunya Ivy bergerak keluar pagar. Nanti, di saat yang tepat, ia akan menjalankan perannya sambil tetap menyelidiki semuanya, satu persatu sesuai rencana. Sudah dua minggu ini, rutinitas itu yang Ivy lakukan, mengamati dan mengingat detail kecil yang mungkin berguna. Sampai semuanya bisa ia gunakan untuk menyelidiki keluarga Winchester. Pelan-pelan, tanpa jejak. Di satu pagi hari, seorang pelayan membukakan pintu, dan seorang wanita dengan setelan kerja elegan melangkah masuk tanpa ragu. Ivy baru saja turun dari kamar, ketika melihat wanita yang ia lihat di rumah sakit saat pertama kali membuka mata, berjalan menuju meja makan, tempat Ethan sedang menikmati kopi sambil membaca dokumen. Tanpa melihat Ivy sedikit pun, ia meletakkan beberapa berkas di meja dengan gerakan cepat. “Ada rapat penting pagi ini,” kata Stella. Nada suaranya terdengar profesional, tapi sedikit lebih akrab dari sekadar urusan pekerjaan. “Aku tahu kau tidak suka membawa pekerjaan ke rumah, jadi aku putuskan datang lebih awal.” Stella berasal dari keluarga terpandang, keluarga Roswell yang terkenal dengan bisnis perhotelan mereka. Sebenarnya, tidak perlu bagi wanita itu bekerja, tapi … dengan alasan dia ingin mencari pengalaman sebelum mengambil alih sebagian bisnis keluarga, dia berakhir menjadi sekretaris Ethan—sesuatu yang semua orang tahu adalah alasan untuk terus berada di sekitar Ethan. Ethan melirik berkas itu sekilas. “Aku bisa melihatnya nanti di kantor.” Stella tersenyum tipis, lalu kemudian menoleh ke arah Ivy, baru menyadari keberadaan wanita itu. “Oh, kau sudah keluar dari rumah sakit, Isla? Aku tidak sempat melihatmu. Selamat pagi!” sapanya dengan senyum manis memuakkan. Ivy tidak membalas sapaan Stella. Dia hanya memandang Stella dari ujung kepala ke ujung kaki, lalu berkata dengan wajah datar, “Kau datang pagi sekali. Begitu berdedikasi,” katanya santai selagi menuangkan teh ke dalam cangkirnya. Stella agak terkejut, menangkap kalimat sindiran Ivy. Dia memaksakan senyuman selagi membalas, “Aku hanya ingin memastikan segalanya berjalan lancar untuk Ethan.” Dia merapikan salah satu berkas dengan gerakan lembut. “Kau tahu, dia sangat sibuk.” Ivy tersenyum, lalu membalas, “Kalau tahu dia sibuk, seharusnya cukup ganggu dia di kantor. Tidak perlu sampai ke rumah di pagi hari seperti ini, bukan begitu?” Sontak, ruangan hening. Bukan hanya Stella yang terbelalak kaget mendengar balasan Ivy, tapi Ethan sendiri beralih menatap wanita itu lekat. Namun, sebelum ada yang kembali bersuara, Ivy menambahkan dengan senyuman manis, “Tapi terima kasih, melihat ada yang begitu perhatian padanya, Ethan pasti sangat bersyukur memiliki sekretaris sepertimu. Lanjutkan kerja kerasmu.” Di tempatnya, Stella hanya bisa mengepalkan tangan. Sebenarnya, dia sengaja datang pagi sekali seperti ini untuk menunjukkan pada Ivy bahwa Ethan akan menerimanya kapan pun. Tapi, siapa sangka wanita itu malah merendahkannya seperti ini dan mengingatkan statusnya lagi sebagai seorang sekretaris?! Tidak bisa memberikan balasan yang lebih baik, akhirnya Stella pun menggertakkan gigi selagi tersenyum. “Tentu saja, Isla.” Dia kemudian beralih pada Ethan. “Aku … akan menunggumu di kantor.” Ethan mengangguk kecil tanpa melihat Stella. Perhatiannya masih tertuju pada dokumen di tangannya, sementara tangan satunya meraih cangkir kopi dan menyesapnya pelan. “Tutup pintu saat keluar,” titahnya datar, tampak sama sekali tidak peduli maupun menghargai Stella yang telah datang begitu pagi untuk menemuinya. Mendengar hal itu, Stella semakin merasa dipermalukan. Akhirnya, dia pun melangkah pergi dengan lebih cepat meninggalkan kediaman tersebut. Sebelum benar-benar keluar, dia berhenti sejenak di ambang pintu dan menatap tajam ke arah Ivy. ‘Isla, tunggu saja. Akan ada waktunya aku menggantikan posisimu sebagai istri Ethan!’ Begitu pintu tertutup, Ivy menyesap tehnya pelan. “Sekretarismu cukup perhatian,” katanya tanpa menoleh ke Ethan. Ethan sendiri juga tidak melihat ke arah Ivy. “Hmm.” “Menarik.” Ivy tersenyum kecil. “Mungkin ini kenapa orang-orang berpikir dia lebih cocok jadi istrimu, ya?”Tatapannya kini sepenuhnya berada pada Ivy. “Aku tidak memutuskannya karena terpaksa. Aku ingin memulai hidup yang baru, di tempat di mana tidak ada ekspektasiku sendiri yang menghimpitku setiap hari.”Ivy masih terlihat keberatan dan tidak percaya. Ia merasa curiga, namun tidak punya bukti untuk mengungkapkan apa pun di sini sekarang. Sehingga ia memilih diam, mencoba memahami keputusan sang adik.Lalu ia melirik Adrian yang menurut penilaiannya, terlihat tegang. Orang kepercayaannya itu bahkan sesekali tertangkap basah menatap Isla nyaris tidak berkedip.Sekarang ia menoleh menatap suaminya. Berharap Ethan mengatakan sesuatu. Pria itu malah tersenyum tipis padanya. Tidak mengucapkan apa pun, tapi menenangkannya tanpa berhenti dengan mengusap semakin intens di perut sampingnya.Karena hening yang terasa lebih dari lima menit, seakan semua orang yang duduk melingkari meja makan itu sibuk dengan pikirannya masing-masing, Arthur mengambil alih.Arthur yang seolah memvalidasi kejujuran
“Bukan begitu,” sanggah Adrian. Membalas pelukan erat Isla, sambil mengelus, menelusuri punggung telanjang wanita itu dengan ujung-ujung jemarinya. “Aku hanya ingin kau tetap nyaman. Tapi kalau kau tetap mau tidur dalam keadaan kita yang seperti ini, aku tidak keberatan sama sekali.”Isla menghela napas. Lelah dan pasrah yang tidak karuan. Mencoba memejamkan mata di pelukan pria yang sangat ia dambakan itu.Berselang beberapa menit, ia berhasil menutup mata dan tidur dengan nyaman.Sebelum pagi tiba, Adrian terbangun lebih dulu. Ia memindahkan Isla perlahan dari atas tubuhnya, lalu menyelimuti dengan rapat.Ia berniat mengecup bibir dan kening wanita itu sebelum menyelinap pergi, tapi batal ia lakukan karena tidak ingin membangunkan Isla yang terlihat lelah.“Sampai nanti, Isla.” Ia bergumam pelan, lalu berbalik, melangkah meninggalkan kamar Isla dengan hati-hati.Beberapa jam kemudian.Isla turun ke ruang makan dengan gaun sutra yang tertutup rapat hingga ke leher, menyembunyikan s
Adrian terdiam sejenak. Bukan sedang memikirkan jawaban, namun memastikan bahwa jawabannya tidak memberi efek yang tidak diinginkan terhadap Isla yang rentan.“Ya, aku menikmatinya. Dan kuharap, kau pun begitu.”Isla tidak membalas, ia cuma memberi reaksi dengan semakin menempelkan telinganya ke dada Adrian.Suara detak jantung Adrian yang liar di telinganya menjadi satu-satunya kenyataan yang ia percayai. Bahwa pria itu jujur mengenai apa yang dirasakan—menikmati seks mereka sampai sejauh ini.Mereka terus bergerak. Gerakan Adrian memang pelan, tapi sentakannya sangat dalam, menghadirkan gelombang menuju ke puncak yang kali ini datang dengan perlahan.“Haaaa ...” Isla merintih lembut, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Adrian saat kepuasan itu menjalar pelan namun dalam.Adrian pun tidak lama kemudian menyusul, ia membenamkan wajahnya di rambut Isla, menghirup aromanya, lalu mendekap wanita itu seerat mungkin seolah-olah jika ia melepaskan, Isla akan benar-benar pergi dan tidak
Isla tidak menjawab dengan kata-kata. Ia justru menarik tengkuk Adrian dan menciumnya dengan sisa tenaganya, sebuah jawaban bisu yang penuh kepasrahan. Dengan satu dorongan yang dalam dan mantap, Adrian masuk sepenuhnya. Ia merasakan hambatan fisik yang nyata. Sebuah konfirmasi final atas kemurnian Isla yang sebelumnya hanya ia rasakan lewat ujung jari dan mulutnya. Adrian menggeram pelan saat merasakan sensasi ketat yang luar biasa, seolah tubuh Isla menjepitnya dari segala arah, menolak sekaligus memuja kehadirannya. Isla tersentak, tubuhnya menegang hebat dan kuku-kukunya mencengkeram bahu Adrian hingga meninggalkan bekas. Sekali, dua kali, sampai berkali-kali ia memberi tanda garis kasar memerah di punggung Adrian untuk melampiaskan segalanya. Ia memejamkan mata rapat-rapat saat rasa sakit yang tajam, namun panas menyebar di perut bawahnya. Air mata yang sejak tadi menggenang akhirnya jatuh begitu saja. Tidak. Ini bukan air mata kesedihan, apalagi penyesalan. Lebih tepat jik
Isla terpaku. Tertegun mendapati keberanian Kairos yang sangat kontras dengan keragu-raguan Adrian.Kairos melangkah satu tindak lebih dekat, tidak sampai melewati ambang pintu, menghormati privasi Isla namun tetap terasa mendominasi.“Kau terlihat lelah, Isla,” lanjut Kairos. Ia menyebut namanya tanpa embel-embel apa pun, menciptakan keintiman instan yang membuat Isla merinding. “Keluarga Harrington adalah tempat yang keras. Aku tidak datang untuk menambah bebanmu. Aku datang untuk menawarkan jalan keluar.”Isla menelan ludah. “Jalan keluar?” “Kebebasan. Perlindungan yang tidak mengharuskanmu bersembunyi atau belajar menjadi orang lain ...” Kairos tersenyum tipis, sebuah senyum yang terasa sangat hangat dan dewasa. “Aku mendengar kau banyak belajar mengenai perusahaan. Jika kau bersamaku, kau tidak perlu menggantikan Ivy. Kau cukup menjadi Isla.”Tepat saat itu, Isla melihat siluet di ujung koridor. Adrian.Pria itu berdiri di kegelapan, membeku melihat Kairos berada di depan k
Isla tidak menjawab dengan kata-kata. Ia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Adrian dengan lapar. Lidahnya menyusup masuk dengan berani, menari liar dengan lidah Adrian yang segera membalas dengan keintiman yang sama.Tubuh mereka menekan erat. Payudara telanjang Isla menempel pada dada Adrian, sementara putingnya yang mengeras bergesekan dengan kain kemeja pria itu, membuatnya mendesah di sela ciuman.“Adrian ...” Isla memutus tautan bibir mereka sejenak, napasnya tersengal dan matanya menggenang karena gairah. “Sentuh aku lagi. Aku masih basah untukmu ... aku ingin merasakan jari-jarimu di dalam diriku lagi, sekarang.”“Isla ...” Adrian menggeram pelan, sisa kendali dirinya terbakar habis. Ia membalikkan tubuh Isla hingga gadis itu terlentang di bawahnya. Selimut yang tersingkap memperlihatkan kulit Isla yang merona di bawah cahaya pagi.Tatapan Adrian menyapu setiap inci tubuh di bawahnya—dari dada yang naik-turun cepat hingga bagian intim yang sudah berkilau karena cairan alami







